SITUASI POLITIK LUAR DAN DALAM NEGERI [4]

Diposting oleh poentjak harapan on Minggu, 18 Maret 2012


Pidato dalam Kongres Persatuan Perjuangan tanggal 4-5 Januari 1946


Selainnya, daripada keinginan hendak memajukan rakyat Indonesia itu, Belanda pemimpin Indonesia itu, haruslah lebih dahulu memeriksa kesanggupannya buat memimpin itu. Bukankah satu pemimpin itu yang pertama sekali mesti mempunyai sifat “verzienheid” ialah kesanggupan memandang ke depan. Dengan begitu bisa mengadakan payung sebelum hujan. 8 Maret 1942 memberi bukti senyata-nyatanya bahwa sifat itu sama sekali tak ada pada pemimpin Belanda.
Apakah pengalaman 350 tahun belum cukup lagi buat kita rakyat Indonesia yang 70 juta ini akan sekali lagi diserahkan kepada macan kalah, kelak akan kembali dipimpin oleh “kruidenier” dari Belanda?
Bagaimanakah keadaan perekonomian bumi-putera di Indonesia? Buat mendalamkan arti penerangan kita marilah sebentar kita menengok ke luar Indonesia ke Hindustan umpamanya.
Walaupun imperialisme Inggris sudah kita kenal rakus dan galak, tetapi namun perindustrian bumi-putera di Hindustan bisa juga timbul tumbuh. Maskapai bumi-putera yang terkenal ialah Maskapai-Tata di Hindustan, sudah cukup mendalam dan meluas, sudah cukup terpusat.
Maskapai-Tata di Hindustan, mempunyai tambang arang dan tambang besi sendiri. Dia sudah bisa membikin baja dan besi. Malah sudah bisa membikin kereta dan mesin. Maskapai Tata juga meliputi perusahaan listrik di seluruh Hindustan. Semua perusahaan sudah dipusatkan pada Bank-Tata yang kokoh kuat.
Pendeknya perindustrian bumi-putera sudah sampai ke tingkat yang tinggi sekali, sudah nasional cocok dengan aliran zaman.
Tetapi bagaimanakah keadaan perindustrian bumi putera Indonesia?
Kita di Indonesia sudah bangga dengan pabrik rokok kretek. Memang pabrik rokok kretek itu sudah mempunyai modal besar. Pekerjanya sudah sampai ribuan. Pabrik rokok itu baik buat mengepul-ngepulkan asap ke udara. Tetapi letaknya terpencar-pencar belum disatukan oleh Bank Nasional. Pabrik atau perindustrian bumi-putera yang meliputi seluruhnya Indonesia, seperti Maskapai Tata di Hindustan itu belum kelihatan tunasnya.
Semangat kapitalis bumi-putera juga bukan semangat kapitalis modern. Untung yang diperoleh itu tiadalah selalu terus-menerus, melainkan ditukarkan dengan emas atau perak.
Rupanya kapitalis kita belum berapa bedanya dengan kapitalis yang lokek-kedekut. Kita ingat akan ceritanya seorang lokek-kedekut itu, bernama Harpagen, karangan Kokiere yang terkenal itu. Seperti si Harpagen itu kapitalis kita mengumpul-ngumpulkan emas atau perak. Malam hari dalam waktu sunyi dideringkannya emas itu ke telinganya. Inilah rupanya kesenangannya ialah mendengarkan deringan uang emas di telinganya.
Matanya dilipurnya dengan uang perak atau tembaga yang ditempelkannya ke dinding atau rumahnya. Memajukan perindustrian itu supaya sampai ke industri berat dan nasional, belumlah termasuk ke dalam sikap dan tindakannya kapitalis bumi-putera.
Memang susah buat membangunkan perindustrian bumi-putera di abad ke 20 ini. Kerajinan setingkat manifactur, seperti berada di pintu gerbangnya zaman industri di Eropa, seperti kerajinan pertenunan, pemintalan, pembikin perkakas dan senjata, pembikin alat rumah dan sebagainya terlanjur lenyap disaingi oleh barang hasil pabrik Eropa selama penjajahan Belanda.
Perkapalan bumi-putera Indonesia itu mati terpukul oleh politik monopolinya imperialisme. Sedikit sekali sisa perekonomian yang berarti modal dan majikan yang bsia menahan tamparan. Imperialisme yang berupa monopoli, kulturstelsel dan vrijhandel itu. Sisa itu tak cukup kuat buat bangun kembali di abad ke 20 melawan kapitalisme modern. Maka kapitalisme modern ini sudah terpusat pada Badan seperti syndicaat dan ondernemersbond. Keduanya mendapat tunjangan politik yang sepenuhnya dari semua Departemen pemerintah Belanda di Jakarta dan dari sarang Birokrasi yang terkenal bersama Algemene Secretaris.
Borjuis berupa kapitalis aktif, modern, memang belum ada di Indonesia! Hal ini merugikan tetapi ada pula menguntungkan kita. Karena tak ada kelas-tengah yang kuat maka Murba Indonesia tak banyak mendapat rintangan buat mengadakan “tindakan-sosialis”. Keadaan ini tak berapa bedanya dengan keadaan di Russia sebelumnya Revolusi Bolsyewik. Kaum tengah Russia tak berdaya melawan persatuan buruh dan tani yang sangat revolusioner tersusun dan terdisiplin itu.
Lantaran tak ada perindustrian bumi-putera yang modern serta kokoh kuat itu, maka intelligensia Indonesia selalu saja diombang-ambingkan oleh haluan radikal atau moderate, revolusioner atau evolusioner, keras atau lembek, coorperasi atau non-coorperasi. Lebih dari 20 tahun lampau haluan terpelajar kita yang terombang ambing itu sudah saya peringatkan.
Saya sudah peringatkan pula dalam beberapa brosure bahwa baik politik cooperasi atau non-cooperasi di Indonesia kita ini niscaya akan gagal.
Memang di Hindustan haluan non-cooperasi bisa sedikit membawa hasil. Pemboikotan barang pabrik Inggris yang dimasukkan ke Hindustan itu bisa dilaksanakan. Karena Bombay dan Ahmedabad bisa mengadakan sebagian dari barang yang dibutuhkan oleh Rakyat Hindustan yang hampir 400 juta itu:
Kain umpamanya. Perusahaan memintal benang dan menenun kain yang dilakukan di rumah atas anjuran Kongres itu, bisa memenuhi sebagian dari yang kurang. Jadi pemboikotan barang Inggris itu memang menguntungkan perusahaan bumi-putera yang sudah tinggi derajatnya itu.
Karena itu tiadalah mengherankan kalau Kongres Hindustan mendapat sokongan uang dan politik dari Hartawan Hindustan.
Bukanlah begitu keadaan di Indonesia. Tingkat perindustrian bumi-putera dan persatuan di antara kaum-tengah Indonesia belum cukup kuat buat mengadakan pemboikotan terhadap perindustrian Barat di Indonesia yang sudah sampai ke tingkat monopoli dan trust yang modern yang bersifat Internasional pula. Kapiltaisme asing di Indonesia sudah mempunyai organisasi seperti Suikersyndicaat, BPM, Ondernemersbond dan sebagainya. Semuanya badan yang bersifat monopoli ini mempunyai pengaruh yang besar sekali atas haluan dan jalannya politik jajahan di Indonesia. Tak mungkin perindustrian tengah bumi-putera yang cerai-berai itu yang dipimpin oleh intelligensia yang serba bimbang itu bisa melawan trust dan monopoli asing yang mendapat bantuan penuh dari birokrasi jajahan pula.
Haluan non-cooperasi di Indonesia itu juga tak pernah bisa mengadakan aksi seperti pemboikotan Tiongkok atau non-cooperasi di Hindustan.
Begitu juga hasil pekerjaan cooperasi di Volksraad tak ada sama sekali. Tak ada hasil yang nyata (positif) yang direbut oleh wakil bumi-putera dalam Volksraad itu. Dalam politik, ekonomi dan sosial Indonesia sebagai jajahan belum lagi sampai ke tingkat yang paling bawah. Di antara 61 anggota itu cuma dua tiga anggota bumi-putera yang betul-betul mewakili rakyat.
Seandainya 61 anggota itu semuanya bumi-putera, mereka tak akan bisa membikin undang-undang yang merugikan kapital internasional di Indonesia.
Seandainya mereka bisa membikin undang-undang mereka tak pula akan diizinkan oleh kapital internasional menjalankan undang-undang yang merugikan kapital internasional itu. Di belakang Volksraad berada tentara Belanda. Di belakang tentara Belanda ada pula bantuan kapital internasional tadi. Tetapi Volksradd sama sekali belum sampai ke tingkat mempunyai 100% wakil rakyat Indonesia atau berhak membikin Undang-undang apalagi menjalankan undang-undang yang semata-mata menguntungkan rakyat Indonesia. Volksraad, sampai Belanda bertekuk lutut kepada Jepang cuma mempunyai hak buat memberi nasehat saja.
Nasehat itu biasanya ditaruh di bawah telapak sepatunya kapitalis Belanda. Borjuis Indonesia yang sebagian mengandung kekuatan bukanlah borjuis industri ataupun dagang, melainkan borjuis ambtenaar. Borjuis ambtnaar ini adalah borjuis “oleh” Belanda dan “untuk” Belanda. Mereka dididik dalam sekolah istimewa, yang kita kenal dengan nama MOSVIA. Untuk undang-undang yang mereka mesti pelajari dan hafalkan buat dijalankan dengan tak boleh banyak “rewel” ialah undang-undang yang melindungi kepentingan kapitalis Belanda dan saudara tuanya, Inggris, Amerika. Dididik saja tentu belum cukup buat membikin, menggodok dan memasak B.B Ambtenaar yang kita kenal.
Mereka mesti mempunyai dasar sosial yang kokoh. Dasar itu ialah keningratan. Kaum ningrat, yang di zaman Indonesia Merdeka bekerja pada raja di dalam jajahan Belanda diterima sebagai pegawai penungkat jajahan itu. Mereka yang sudah berpengalaman banyak tentangan pimpin-memimpin, dan gertak-menggertak bangsanya sendiri, ialah “orang kecil” oleh Belanda dipakai buat keperluan Belanda. Mereka dipakai sebagai tengkulak antara imperialis Belanda dengan Rakyat Indonesia.
Karena tak ada perindustrian bumi-putera yang kuat buat tempat bersandarnya kaum intelligensia kita, maka mereka ini bimbang terus-menerus di antara Rakyat Murba yang bersifat radikal itu dan yang berkuasa disini. Umpamanya mereka betul tidak senang di bawah perintahnya bangsa asing. Pergerakan nasionalisme di seluruh Asia membangunkan paham nasionalisme yang teguh di kalangan mereka. Tetapi mereka curiga saja akan kekuatan dan hasrat murba yang sebenarnya. Mereka enggan mencemplungkan diri ke dalam Murba.
Apabila tentara Jepang masuk maka dengan tak sangsi lagi sebagian mereka tampil bernaung ke bawah bendera imperialisme Jepang. Imperialisme Jepang dengan cerdik licik selangkah demi selangkah menarik kaum intelligensia ke bawah telapak pengabdian baru; berkerek ke Tokyo.
Kepulauan Jepang amat miskin dalam hal semua bahan yang penting buat industri modern. Tanah-logamnya besi diambil di Malaka dan diangkut ke Jepang. Di sana tanah logam tadi dilebur menjadi besi dan di tempa menjadi baja. Seterusnya dibikin menjadi mesin minyak tanah dibeli dari luar Negara pula. Arang, timah, getah, makanan dan lain-lain didatangkan dari dan mesti dibeli di luar Negara. Buat pembeli Jepang mesti menjual barang, ialah hasil-pabrik. Tetapi kalau sebentar saja terganggu pesawatnya jual-beli itu maka terganggulah pula seluruhnya perekonomian Jepang.
Maka demikianlah timbulnya hasrat segolongan Rakyat Jepang buat memonopoli pasar di luar Jepang terutama di Asia. Pada keadaan beginilah beruratnya imperialisme Jepang. Dengan menguasai Mancuria lebih dahulu, kelak Jepang berharap bisa menguasai Tiongkok Utara, Tengah, Selatan, Indonesia, Hindustan berturut-turut. Dengan menguasai Asia, Jepang dan Amerika berturut-turut.
Pengikut rencana “si Cebol hendak mencapai bulan ini” tidak saja berada di Jepang tetapi juga di luarnya.
Kepercayaan istimewa pada diri sendiri itu adalah berurat dalam pada masyarakat dan kepercayaan Jepang.
Rakyat Jepang kecuali beberapa orang masih percaya pada dongeng yang tingginya sederajat dengan dongeng Indonesia sebelum Islam. Katanya ada dua Dewa laki istri yang membentuk dan menguasai Jepang ialah Dewa Izatagi-O-Mikoto dan Izanagi-O-Mikoto. Seorang dari turunannya itu ialah Amaterasu-O-Mikami menguasai Matahari. Salah seorang turunannya, bernama Jimmu turun dari matahari ke kepulauan Jepang. Tiadalah dibilangkan dengan apa dia turun. Tetapi Rakyat Jepang, ialah turunan Dewa pula (kecuali beberapa orang) percaya, bahwa Maharaja Jepang yang dianggap Tuhan itu, ialah turunan Dewa Amaterasu tadi. Sebagai Tuhan, maka dia, yang oleh “umatnya” di Indonesia biasa ditulis dengan huruf besar, menguasai bumi dan langit, menguasai politik Rakyat Jepang dan strategi Tentara Jepang.
Tentara ini ialah tentara Maharaja Tuhan Jepang dan tak bisa kalah. Karena memangnya tentara itu kepunyaan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang belum pernah kalah, dan belum pernah terputus kekuasannya semenjak 2600 tahun …. Katanya sebelum kalah!
Kepercayaan bulat-buta terhadap seorang manusia yang laku di Jepang, sebagai hasilnya masyarakat dan sejarah Jepang tentulah tak begitu saja bisa disuruh telan bulat-bulat kepada Rakyat Islam di Indonesia, yang sudah nasionalisme pula. Tentara Jepang yang menyerbu ke Indonesia perlu memakai “catch-words” sebagai semboyan pemancing. Berhubung dengan itu kita sering dengar perkataan “bushido” Ksatria, “Hakko Ichiu”, keluarga sedunia dan lain-lain buat kemakmuran bersama di Asia Timur Raya.
Ketika saya di Singapura tanggal 8 bulan 12, tahun 1941, belum lagi wasit membunyikan peluitnya tentara Jepang tiba-tiba menyerang Inggris di Malaya dan … Goal! Ini artinya bushido ialah “mencido” alias berkhianat. Kalau Jepang berkenalan dengan orang lain maka dia ucapkan, "haijimete o meni nakarimasu". Artinya kira-kira "saya memperamati wajah tan hamba sambil melayang di udara". Biasanya diucapkan dengan muka tersenyum. Tetapi kakinya si Jepang tadi siap buat menyewet kaki kenalannya tadi, apalagi kalau si Kenalan tadi ialah seorang “genjumin bagero”. Benar pula kalau si Kenalan tadi sudah terlentang, karena bushidonya si Jepang, maka si Jepang memang berada tinggi di udara memperamati kekayaan si Indonesia yang sudah jatuh terlentang tadi. Berapa banyaknya pelayan yang jadi mangsanya politik sekeluarga dunia. Tentara Jepang perlu heiho Indonesia, kempei-ho Indonesia dan lain-lain. Mereka perlu buat pembantu tentara Jepang di luar Indonesia, dan kelak sehabis perang alias musuh Jepang di dalam Indonesia. Semua “ho” alias pembantu itu lebih “bagus” kalau dididik dari kecil.
Lebih “bagus” pula kalau anak didikan itu mempunyai darah “Yamato”, ialah keturunan Jepang. Entah berapa ribu banyaknya tentara Jepang memperoleh “turunan” di Indonesia selama dia berada di Indonesia.
Buat melakukan kemakmuran bersama dalam Asia Timur Raya itu dari Putera, ke Hokookai dan akhirnya ke “janji” Merdeka di kelak di kemudian hari.
Kemerdekaan itu ialah buat “kelak kemudian” hari. Kemerdekaan itu berbahaya buat Jepang, kalau Indonesia yang kaya-raya dalam hal bahan dan tenaga itu betul bahan yang ada di tanah dan lautnya, sudahlah tentu barang yang dibikin di Jepang dari bahan yang mesti didatangkan dari jauh itu akan lebih mahal dari barang dibikin di Indonesia. Kalau Pemerintah Indonesia betul pula nasionalistis bisa kehilangan Indonesia. Apa yang ditakutkan Belanda terhadap Indonesia akan ditakuti pula oleh Jepang. Karena itu Indonesia mesti dikebiri lebih dahulu. Ilmu dan teknik Indonesia mesti perpuncak dari Jepang Tenno “kecil” Indonesia mesti menyembah ke Tokyo.
Perkara ilmu dan teknik mudah diselenggarakan. “Csamu Seire” sebegini-begitu bisa membentuk didikan yang dicocoki oleh tentara Jepang. Dua tiga orang Kempei-Tai bisa menjaga supaya undang-undang Jepang itu dijalankan. Tenno kecil-pun mudah dibikin. Tetapi yang tiada mudah ialah menimbulkan rasa takut-cinta terhadap Tenno Indonesia dan Tenno Jepang. Apalagi kalau dipikirkan, bahwa Islam adalah bertentangan dengan kepercayaan Jepang itu dan sudah mendalam di Indonesia ini. Semua didikan dan sistem pelajaran mesti lebih lama berlaku, umpamanya satu-turunan 20 atau 25 tahun.
Tetapi apakah bisa tentara Jepang menunggu 20 atau 25 tahun ini?
Di salah satu tempat bersembunyi dekat Jakarta saya coba dengan bisik-bisik dan dengan kiasan pula menerangkan bahwa, kalau Jepang tak bisa hancurkan Amerika sebelum hasil industri Amerika memuncak, ialah di pertengahan tahun 1944, maka Jepang sendiri akan hancur. Pada masa itu Jepang paling banyak bisa menghasilkan 1000 pesawat terbang dalam sebulan, sedangkan Amerika saja sudah 100.000. Walaupun yang berbisik itu bukan memakai nama Tan Malaka, tetapi Sang Polisi datang juga menggeledah rumah dan barang saya. Begitulah lemahnya Jepang dalam perindustrian! Tak mengherankan ketakutan Jepang atas kebenaran tentang kekuatannya yang sebenarnya. Sang Tempo adalah musuh besarnya Jepang. Makin lama berperang makin baik buat musuhnya dan makin celaka buat dirinya sendiri. Dia tergesa-gesa dalam segala-gala. Belum lagi wasit meniupkan puputnya, dia mesti menyerbu. Akhirnya belum lagi tenno-kecilnya, sistem sosial, ekonomi dan kebudayaannya siap di Indonesia, dia sudah disuruh oleh Sekutu bersiap meniggalkan Indonesia.
Tahun yang lalu, 14 Agustus, Jepang menyerah. Indonesia masih dikangkangi Tentara Jepang. Tetapi mulutnya Tentara Jepang sudah disumbat dan tangannya dibelenggu. Sekutu yang mau menduduki Indonesia belum tiba katanya, sebagai penerima warisan perang, pada waktu ini atas dorongan Rakyat dan Pemuda Indonesia, Republik ditabalkan.
Rakyat Indonesia berhak penuh atas kemerdekaannya baik menurut teori atau prakteknya Negara sopan di seluruh dunia ini.
Rakyat Indonesia tak perlu sangai akan hak kemerdekaan itu. Hak itu ialah hak-alam, hak yang diwarisi, oleh Rakyat Indonesia dari Alam Indonesia, ialah geboorte-recht, birthright.
Kemerdekaan itu mestinya 100 %. Baru bisa kelak Indonesia merdeka mengambil semua tindakan yang bisa memperlindungi kemakmuran dirinya dari serangan asing. Baru kelak Indonesia Merdeka bisa mengadakan kemakmuran yang cocok dengan bahan dan tenaganya serta kebudayaan yang cocok dengan jiwanya. Turunan yang sekarang mendapat kesempatan buat mempertahankan kemerdekaan 100 % itu.
Janganlah hendaknya kita gagal mempertahankan kemerdekaan 100 % itu.
Marilah kita bersiap menjaga, supaya kita jangan di dorong kembali kepada status yang bukan merdeka 100 %. Dengan hasrat dan kemauan merdeka 100 % itulah hendaknya kita menghadapi maksud dan tipu muslihatnya musuh kita yang gagas dan licik ular itu. Di kiri kanan kita sekarang mendengar desas-desusnya cadangan automnomie terhadap pemerintah Republik. Usul semacam ini bisa cocok kalau kita dalam hakekatnya masih mengakui, bahwa Belanda berhak atas dunia, seperti seorang Tuan di jaman purbakala berhak atas seorang budak belian. Usul semacam itu sama sekali bertentangan dengan arti tulisan dari lisan lahir dan batin Republik Indonesia yang berdiri semenjak 17 Agustus 1945 itu. Usul semacam itu sama sekali tidak cocok lagi dengan kemauan 70 juta rakyat Indonesia.
Kalau seandainya usul autonomie itu diterima maka kita akan berada kembali dalam sebelum penjajah Belanda lari ketika melihat tentara Jepang. K.P.M Syndicat ini dan itu, serta ondernemersbond akan kembali berurat-berakar disini.
Kapital asing akan lebih merajalela disini. Mungkin semua kapital asing akan bersatu menghadapi rakyat Indonesia dan menekan serta menghisap rakyat Indonesia. Tetapi mungkin pula kapital asing akan berpisah mengadakan “Invloedsfeer”, daerah pengaruh masing-masing. Hal ini akan lebih mencelakakan Indonesia yang rakyatnya lebih miskin dari sudah-sudah itu. Indonesia yang berdiri dari ratusan pulau itu, oleh politik “Invloedsfeer” itu mungkin akan lebih berpecah-belah dari yang sudah-sudah. Keadaan di Tiongkok sebelum perang dunia ini akan seperti surga kalau dibandingkan dengan neraka ciptaan autonomie itu. Autonomie itu boleh jadi berupa Commenwealth atau gemenebest tetapi akibatnya buat rakyat Indonesia tentulah “Gemenepest”.
Janganlah Indonesia autonomie berharap akan bisa menimbulkan perindustrian yang akan sanggup mengadakan kemakmuran yang berbahagia buat rakyat jelata dan kelak bisa mengadakan perlawanan terhadap serangan dari luar, “Indonesia autonomie” itu tetap akan tinggal Indonesia miskin buat “Murba” dan “Indonesia bulan-bulanan buat imperialisme asing”.
Rakyat Indonesia mesti tolak semua cadangan yang berarti autonomie, commonwealth, Dominion, Free State itu. Rakyat Indonesia tak boleh membiarkan pemerintahannya berunding atas dasar yang kurang dari “Merdeka 100 %” itu. Tetapi ada pula mereka yang bertanya: Apakah kita bisa Merdeka 100 %? Lihatlah pesawat terbang Inggris! Lihatlah kapal perang serta tank raksasanya? Jawab kita: Lihatlah akibatnya “Bambu runcing”, berapa senapan, pelor, tommygun, meriam, tank, bahkan kapal perang dan pesawat terbang yang direbut dengan bambu runcing. Bambu runcing dan alat perang yang semulanya direbut dengan bambu runcing itulah yang menahan Inggris, Nica di kota Surabaya.
Bambu runcing mengusir Inggris, Gurkha, Nica dan Jepang dari Magelang dan mendesak ke Semarang. Bambu runcinglah pada akhirnya yang memberi kesempatan rakyat di garis belakang. Bambu runcing itulah pula yang memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia memikirkan membikin senjata baru modern atau membelinya dari pihak manapun juga.
Kata si Lemas tulang punggung yang tak mau kalah berjuang dengan lidah itu pula. “Lihatlah rakyat kita yang terlantar atau mati karena menentang Inggris itu!”
Jawab kita: “Sebab niat “menjajah kembali” dari pihak Nica itulah kita sudah puluhan ribu rakyat dan pahlawan kita mati”.
Sebab penjajah Jepanglah maka antara tiga empat juta rakyat Indonesia melayang jiwanya sebagai romusha dan heiho. Sekarang kita mau tanya pula: Apakah kita sesudah pengorbanan lebih kurang 4 juta dalam belum lagi 4 tahun itu, kita mau kembali dijajah lagi. Kembali lagi miskin melarat, hilang lenyap dan segala kelemahan pula kelak menghadapi kemungkinan pernag dunia ketiga.
Si Lemas tulang punggung memang banyak alasannya. Dia lari lagi kepada United Nations. Katanya Inggris ini disuruh ke Indonesia oleh United Nations itu. Tanya kita pula: Apakah kita masih takluk pada putusan satu badan yang tiada mendengarkan suara kita dan menerima ataupun meminta wakil kita? Apakah kita mesti begitu saja ikut putusan yang diambil buat kita, tetapi tidak degan kita (Overens, maar zonder ons)?
Kalau perlu kita tak akan menghiraukan putusan United Nations itu, kalau ia kembali bersifat Volkenbond, ialah perserikatan kaum penjajah yang mau menetapkan penjajahan!
Si Lemas tulang punggung tak mau tahu akan hasilnya diplomasi bambu runcing yang sudah dijalankan oleh Rakyat Murba lebih kurang tiga bulan ini. Siapakah akan mengira bahwa perkara Kemerdekaan Indonesia Rakyat Amerika memaksa majelis rendah dan tingginya mengambil sikap yang pasti? Mencela Inggris dan Belanda mengadakan paksaan terhadap Indonesia Merdeka?
Pemerintah, tentara, rakyat dan terutama buruh Australia tetangga kita yang arif-bijaksana serta mulia itu membantu kita baik pun lahir atau pun batin.
Pemerintah Ceylon terus terang mengakui Republik kita dan menunjukkan simpatinya terhadap perjuangan Kemerdekaan kita.
Para pemimpin Hindustan dan Arab, Birma dan Philipina tak pula segan-segan memperlihatkan persetujuan dengan Republik Indonesia.
Buruh Inggris dan Belanda sedang bergerak menentang politik Imperialisme yang dilakukan oleh pemerintahnya. Persoalan Indonesia adalah persoalan yang amat penting dalam politiknya pemerintah Inggris dan Belanda.
Di atas segala-gala, adalah sikap Tiongkok dan Rusia, dua Republik terbesar dan muda remaja membantu dengan terang-terangan kemerdekaan Indonesia yang muda remaja yang sedang berjuang dengan gagah-perkasa menghadapi musuh yang berpengalaman dan bersenjata modern dan lengkap itu.
Tak mengherankan kalau persoalan pengakuan atas Kemerdekaan Indonesia itu pada masa ini adalah satu persoalan yang hangat di kalangan pemerintah negara besar di dunia ini, di kalangan rakyat Murba di Asia dan Afrika serta di kalangan buruh di dunia.
Semua perhatian dunia itu ialah akibatnya diplomasi bambu runcing.
Tetapi lebih dari siapa saja kami juga insyaf akan kelemahan kita sendiri.
Kami tahu akan pertentangan malah percekcokan antara satu kumpulan rakyat dengan satu kumpulan rakyat yang lain, satu isme dan isme yang lain.
Kejadian pada masa ini di daerah Pekalongan yang kabarnya sudah menjalar ke Cirebon dan ke Priangan Timur amat mengerikan kami. Kami juga ngeri melihat perbedaan kemauan rakyat dan kemauan Pemerintah. Lebih mengerikan pula tindakan yang diambil oleh tentara keamanan rakyat terhadap rakyat yang sebenarnya berkorban terus membela Republik, seperti di Jawa Barat dan lain tempat.
Berhubung dengan semuanya percekcokan dan kekalutan ini pada pihak kita, dan ketetapan hati musuh menjajah kita kembali, maka kami tergopoh-gopoh mengusulkan “PERSATUAN PERJUANGAN” ini. Bukan persatuan buat merebut kursi Parlemen dan mencari pangkat, melainkan persatuan yang berdasarkan perjuangan mempertahankan Kemerdekaan 100 %. Persatuan bersendi atas “MINIMUM PROGRAM” yang kelak akan dibentangkan …
Kita sedang memperjuangkan Kemerdekaan kita, Suara berjuang inilah yang sekarang mendengung ke luar negara!
Dahulu dunia luar mengenal kita orang Indonesia sebagai seorang bercawat dengan panah duduk di bawah pohon kelapa. Inilah gambarnya bangsa Indonesia di mata orang Eropa dan Amerika. Di mata mereka tercantum bangsa Indonesia sebagai orang biadab dan malas. Kalau yang sudah berpakaian maka orang Indonesia itu digambarkannya sebagai jongos kapal yang rajin, puntang-panting menyediakan makanan atau minuman, kalau dipanggil tuannya.
Jadi kita orang tak ber-inisiatif, lesu-malas, biadab. Tetapi bukan selamanya dan bukan seluruhnya bangsa Indonesia malas dan biadab. Kalau orang mau membaca sejarah bangsa Indonesia yang sebenarnya, kembalilah ke masa 2500 lampau saja. Menurut para ahli Barat di masa itu orang Indonesia mengarungi Samudera Hindia sampai ke Afrika. Ke Timur ia mengarungi Samudera Teduh sampai Amerika Tengah. Benar sejarahnya bangsa Indonesia di masa itu tak berteriak keras, tetapi berlaku: berjuang, berdagang, bersawah-ladang.
Tenang-hening sejarah memperamati perahu ramping menuju ke Barat!
Sayup-sayup tepuk air dipecahkan dayung Cadik namanya sebagai sayap di kiri-kanan perahu ramping menjamin keamanan penumpangnya terhadap ombak-gelombang sering setinggi bukit. cuma bintang di langit dan pengetahuan atas peredarannya musim yang dijadikan pedoman oleh nakhodanya. Tetapi semangat merantau dan hati tetap tabahlah yang menjadi jaminan sesungguhnya.
Walaupun demikian dunia tak mengenal bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang bersatu, membikin sejarah. Demikianlah sejarah Indonesia berdiam diri, ratusan malah puluh ratusan tahun sampai alam Indonesia bersuara.
Krakatau meletus menyemburkan batu dan lahar, merusakkan sekitarnya. Tetapi juga membagi bahagia kepada manusia, karena menyemburkan abu yang menambah subur dan makmurnya tanah. Tetapi sekarang bukan alam Indonesia yang meletus melainkan jiwa rakyatnya yang lama terhimpit dan tertindas itu.
Jadi rakyat Indonesia-lah yang meletus melemparkan imperialis! 
Moga-moga akan bangunlah dunia yang adil, makmur dan sentosa buat semua negara, semua bangsa dan tiap-tiap manusia.

 

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar