SEKILAS TENTANG KEADAAN EKONOMI DAN POLITIK INDONESIA

Diposting oleh poentjak harapan on Sabtu, 17 Maret 2012



Untuk menetapkan apakah kewajiban front buruh Indonesia di tengah-tengah perjuangan seluruh Rakyat Indonesia untuk mencapai perbaikan nasib, mencapai kemerdekaan nasional dan untuk menjamin perdamaian dunia yang abadi, tidak bisa dipisahkan daripada meninjau hubungannya dengan keadaan ekonomi dan politik Indonesia dewasa ini.
Di zaman penjajahan Belanda ekonomi Indonesia adalah ekonomi kolonial. Ini berarti bahwa kedudukan ekonomi Indonesia ketika itu ialah: 1) sebagai sumber bahan mentah; 2) sebagai sumber tenaga buruh yang murah; 3) sebagai pasar buat menjual hasil-hasil produksi negeri-negeri kapitalis; 4) sebagai tempat investasi (penanaman) modal asing. Ini berarti bahwa Indonesia tergantung dari export bahan-bahan mentah (timah, bauksit, karet, dll. hasil perkebunan, dsb.) dan import barang keperluan hidup (textil, sepatu, sepeda, dsb.).
Susunan ekonomi kolonial mengakibatkan Indonesia tidak mempunyai industri sendiri yang bisa mengerjakan bahan mentahnya guna memenuhi kebutuhan Indonesia. Ini berarti bahwa di lapangan ekonomi Indonesia tergantung dari luar negeri, dan dengan demikian tidak mungkin ada perkembangan modal nasional dan industri nasional.
Ekonomi kolonial ini dipertahankan oleh imperialis Belanda dengan bantuan penanam modal asing lainnya di Indonesia dengan suatu politik kolonial yang dalam prakteknya bersifat setengah-fasis. Politik kolonial ini ditujukan untuk menindas gerakan Rakyat yang menuntut kemerdekaan sebagai jaminan guna penyusunan ekonomi nasional. Terutama gerakan buruh dan Partai Komunis Indonesia, sebagai partainya klas buruh, mendapat rintangan yang paling besar dari pemerintah kolonial. Bagi pemimpin-pemimpin gerakan melawan imperialis Belanda disediakan rumah penjara dan konsentrasi kamp Digul.
Menurut perhitungan tahun 1930 (statistik Hindia Belanda), penduduk Indonesia yang hidup dari upah berjumlah lebih kurang 6.000.000 (enam juta). Dalam jumlah ini sudah dimasukkan buruh musiman (seizoen arbeiders) yang sangat besar jumlahnya dan bekerja di perkebunan-perkebunan atau di pabrik-pabrik gula. Buruh musiman ini umumnya terdiri dari buruh tani dan tani miskin, yaitu penduduk desa yang sama sekali tidak mempunyai tanah garapan atau mempunyai tanah tetapi sangat sedikit. Di antara 6 juta kaum buruh itu, antara lain terdapat setengah juta buruh modern terdiri dari: 316.200 buruh transport, 153.100 buruh pabrik dan bengkel, 36.400 buruh tambang timah kepunyaan pemerintah dan partikulir, 17.100 buruh tambang batubara kepunyaan pemerintah dan partikulir, 29.000 buruh tambang minyak, 6.000 buruh tambang emas dan perak kepunyaan pemerintah dan partikulir. Selainnya adalah buruh pabrik gula, buruh perkebunan, berbagai golongan pegawai negeri (termasuk polisi dan tentara), buruh industri kecil, buruh lepas dsb. Perlu diterangkan bahwa yang terbesar ialah jumlah buruh industri kecil (2.208.900) dan buruh lepas (2.003.200). Dari angka-angka ini jelaslah bagi kita, bahwa baru bagian yang sangat kecil dari buruh Indonesia (setengah juta) yang sudah berhubungan dengan alat-alat produksi modern, sedangkan bagian terbesar belum berhubungan dengan alat-alat produksi modern dan masih erat hubungannya dengan pertanian.
Pemerintah Hindia Belanda telah sangat menekan perkembangan gerakan buruh. Ini kelihatan antara lain dari kenyataan sbb.: statistik tahun 1940 menunjukkan, bahwa dari berjuta-juta kaum buruh Indonesia hanya 110.370 yang terorganisasi (dalam 77 serikat buruh). Politik memecah dari kaum reaksi ketika itu kelihatan dari kenyataan, bahwa 77 serikat buruh yang ada itu tergabung dalam 11 gabungan serikat buruh. Umumnya serikat buruh dan gabungan serikat buruh ini adalah di bawah pimpinan kaum reformis dan reaksioner. Oleh karena itu tidak mengherankan, bahwa menurut kantor urusan perburuhan Hindia Belanda dalam tahun 1940 hanya terjadi pemogokan di 42 perusahaan (di antaranya 30 perusahaan tekstil di Jawa Barat) dan hanya diikuti oleh 2.115 kaum buruh. Sedangkan jumlah buruh dari 42 perusahaan itu ada 7.949. Pemogokan-pemogokan ini tidak besar akibatnya bagi majikan, ia hanya berakibat hilangnya 32 hari kerja. Tetapi, tidak adanya aksi-aksi kaum buruh secara besar-besaran sama sekali tidak berarti bahwa tindasan terhadap Rakyat dan kaum buruh Indonesia ketika itu kurang kejam. Kekejaman terhadap kaum buruh antara lain kelihatan dari upah buruh yang sangat rendah dan perlakuan sewenang-wenang dari majikan. Menurut statistik tahun 1940 tercatat, bahwa rata-rata upah buruh pabrik gula Rp. 0.28 sehari buat laki-laki dan Rp. 0.23 sehari buat perempuan. Dalam tahun 1940 tercatat 407 pengaduan kaum buruh yang dapat pukulan dari administratur, asisten-asisten dan mandor-mandor perkebunan. Kejengkelan yang sudah tidak tertahan lagi dari buruh perkebunan dinyatakan dengan adanya serangan-serangan buruh perkebunan pada pengawas-pengawas perkebunan. Demikianlah dalam tahun 1940 telah tercatat 51 serangan buruh perkebunan atas pengawas-pengawas perkebunan, dimana 2 pengawas tewas karena serangan tersebut.
Tindasan Belanda terhadap seluruh Rakyat Indonesia, yang kemudian dilakukan dengan lebih kejam lagi oleh fasisme Jepang, telah membangunkan seluruh Rakyat untuk berjuang bersama-sama guna menggulingkan kekuasaan kolonial dan fasis. Salah satu puncak dari perlawanan Rakyat ialah Revolusi Rakyat tahun 1945. Revolusi ini meletus dengan tujuan yang positif dari Rakyat Indonesia, yaitu dengan tujuan agar Indonesia menjadi negara yang benar-benar merdeka, dimana ekonominya tidak tergantung dari luar negeri, dimana industri nasional bisa berkembang sebagai syarat terpenting bagi kemakmuran seluruh Rakyat, dimana nasib Rakyat banyak yang celaka bisa menjadi baik dan dimana kemerdekaan politik dijamin sepenuhnya bagi seluruh Rakyat.
Tujuan positif dari Revolusi Rakyat tahun 1945 menemui jalan buntu setelah oleh pemerintah Indonesia (kabinet Hatta) diadakan persetujuan dengan pemerintah Belanda, yaitu persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB), pada permulaan tahun 1950. Revolusi Rakyat (1945-1948) telah melemparkan beban kolonial dari pundak Rakyat, sebaliknya persetujuan KMB telah merestorasi (menghidupkan kembali) susunan ekonomi kolonial di Indonesia. Memang dengan persetujuan KMB di seluruh Indonesia, kecuali di Irian Barat, sekarang sudah dibentuk suatu pemerintah dan alat-alat negara yang pimpinannya dipegang oleh orang-orang Indonesia, tetapi ini sama sekali tidak berarti bahwa beban kolonial yang lama sudah lepas dari pundak Rakyat Indonesia. Oleh karena itu, persetujuan KMB (atau persetujuan-persetujuan lain yang isinya sama dengan persetujuan KMB) tidak lain daripada kolonialisme dengan baju baru.
Persetujuan KMB telah mewajibkan Rakyat Indonesia membayar hutang yang sangat berat Bulan Januari 1950 hutang tersebut berjumlah lebih dari 4 milyar, dan dalam bulan Januari 1951 jumlah hutang seluruhnya menjadi lebih dari 6 milyar. Jadi dalam satu tahun hutang sudah bertambah dengan 2 milyar.
Persetujuan KMB telah mengembalikan semua pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, tambang-tambang dan cabang-cabang industri vital lainnya kepada pemiliknya yang lama, yaitu modal besar asing. Ini berarti bahwa sumber-sumber pokok dari kekayaan Indonesia tidak masuk kas negara, tetapi ditumpuk oleh modal besar asing dan diangkut keluar negeri. Sebagai contoh, menurut laporan Mr. Teuku Hassan, Ketua seksi perekonomian parlemen Sementara RI (1951), bukti-bukti menunjukkan bahwa dari pertambangan minyak saja kekayaan Indonesia dikuras, berupa keuntungan yang terang, oleh BPM dan kongsi-kongsi minyak lainnya sejumlah Rp. 4.000.000.000. (empat milyar) saban tahun, yang berarti Indonesia kehilangan kira-kira hampir sama dengan 50 % dari anggaran belanja negara untuk satu tahun. Atau jika kehilangan kekayaan ini kita bagi rata di antara Rakyat Indonesia (75 juta), maka berartilah bahwa oleh pertambangan minyak saja dari semua orang, mulai dari bayi sampai orang-orang tua, telah dicuri kekayan sebesar kira-kira Rp. 53,-. Jika kehilangan kekayaan ini kita bagi rata di antara kaum buruh Indonesia (6 juta), maka berartilah bahwa oleh pertambangan minyak saja dari setiap buruh telah dicuri kekayaan sebesar Rp. 4.000.000.000,- : 6.000.000, atau Rp. 667.-. Menurut peraturan pertambangan kolonial yang hingga sekarang masih berlaku, Indonesia mendapat penghasilan dari hak tetap, bea ekspor, accijns, dan pajak NV atas kongsi-kongsi minyak hanya sebanyak Rp. 315 juta, jadi tidak sampai ... 10% dari keuntungan yang terang. Pengembalian kepada modal besar asing ini berlaku juga untuk tanah-tanah yang sudah diduduki oleh kaum tani selama revolusi.
Politik yang dijalankan oleh pemerintah sekarang ialah politik yang mengembalikan kedudukan ekonomi Indonesia sebagai kedudukan di zaman jajahan, yaitu kedudukan sebagai sumber bahan mentah, sebagai sumber tenaga buruh yang murah, sebagai pasar dan sebagai tempat penanaman modal. Dalam keadaan politik sekarang kedudukan ekonomi Indonesia, dibanding dengan zaman penjajahan Belanda, lebih tergantung dari luar negeri. Kedudukan ekonomi Indonesia sekarang begitu tergantungnya sehingga praktis pemerintah Indonesia sekarang diinstruksi oleh kekuasaan asing (Amerika) dari mana Indonesia mesti membeli sesuatu barang dan kemana Indonesia boleh menjual barangnya (misalnya dengan adanya pinjaman Eximbank, adanya Embargo, Frisco, MSA, dsb.). Berangsur-angsur dan makin lama makin nyata, dalam persiapan perang dunia oleh Amerika sekarang, Indonesia dijadikan salah satu sumber ekonomi perang yang terpenting. Keadaan-keadaan ini pula yang membikin Indonesia makin lama makin dalam masuk perangkap politik perang Amerika, yang membikin Indonesia tidak hanya tergantung dalam soal ekonomi, tetapi juga mendapat instruksi-instruksi politik dan militer dari Belanda dan Amerika (Univerband, Irian, Nederlands Militaire Missie, pangkalan-pangkalan perang, Eximbank, Embargo, Frisco, MSA, dsb.).
Akibat dari politik pemerintah yang menggantungkan diri pada luar negeri ini, teranglah bahwa stabilisasi ekonomi tidak mungkin tercapai. Industrialisasi tidak mungkin dijalankan dan modal nasional tidak mungkin dibangun karena ini bertentangan dengan kepentingan modal besar asing. Industrialisasi dan pembangunan modal nasional di Indonesia adalah merupakan saingan bagi industri dan modal dari negeri-negeri penanam modal. Industrialisasi dan pembangunan modal nasional adalah bertentangan dengan kepentingan ekonomi perang dari negeri-negeri imperialis. Kaum buruh dan kaum tani yang merupakan lebih dari 80% Rakyat Indonesia, dan yang merupakan tenaga produktif dan konsumen yang terbesar, praktis tak mengalami perbaikan di dalam hidupnya, artinya tenaga produktifnya maupun kekuatan membelinya tidak bertambah.
Walaupun bagaimana, selama pemerintah Indonesia masih menjalankan politik yang menggantungkan diri pada negeri-negeri penanam modal besar asing seperti Belanda, Amerika dan Inggris, pemerintah Indonesia tetap akan menjalankan ekonomi export dan import yang dulu dilakukan oleh Hindia Belanda, yaitu ekonomi yang terus-menerus diombang-ambingkan oleh konjungtur (turun-naiknya keadaan) dan pasar dunia yang dikuasai oleh dollar dan sterling. Pemerintah yang demikian sudah tentu tidak akan mungkin membangunkan dan menyelamatkan ekonomi nasional yang merdeka, sebagai jaminan pokok untuk kemerdekaan nasional yang sejati.
Untuk memperbaiki nasibnya yang buruk Rakyat Indonesia, terutama kaum buruh dan kaum tani Inlonesia, telah mengadakan tuntutan-tuntutan dan aksi-aksi terhadap majikan modal besar asing dan terhadap pemerintah "nasional". Aksi-aksi kaum buruh seperti pemogokan-pemogokan buruh perkebunan, buruh kendaraan bermotor, buruh percetakan, buruh minyak, buruh daerah otonomi, dll. telah memberi dorongan dan keberanian pada golongan-golongan lain dari Rakyat untuk juga bangun dan berjuang membela nasibnya. Di berbagai tempat aksi-aksi kaum tani mendapat sukses-sukses yang menimbulkan kegembiraan berjuang pada massa kaum tani. Dimana-mana, tumbuh kekuatan Rakyat dalam melawan ofensif reaksi yang ganas. Kaum buruh senantiasa menjadi pelopor dan pemberi inspirasi dalam tiap-tiap perlawanan. Disinilah pentingnya kedudukan front buruh sebagai bagian yang paling maju dan paling konsekwen daripada seluruh front persatuan nasional Rakyat Indonesia. 
SUMBER: KEWAJIBAN FRONT PERSATUAN BURUH BAB: 1
Penerbit Yayasan “Pembaruan”
Jakarta, Juli 1952.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar