Imperialisme di Indonesia [3]

Diposting oleh poentjak harapan on Minggu, 18 Maret 2012


 Empat sifat imperialisme-modern
Hebatlah melarnya perusahaan imperialisme itu menjadi raksasa yang makin lama makin bertambah tangan dan kepala! Imperialisme-tua yang dulunya terutama hanya sistem mengangkuti bekal-bekal hidup saja, kini sudah melar jadi raksasa imperialisme-modern yang empat macam “shakti”nya:
Pertama : Indonesia tetap menjadi negeri pengambilan bekal hidup
Kedua : Indonesia menjadi negeri pengambilan bekal-bekal untuk pabrik-pabrik di Eropa
Ketiga : Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang-barang hasil dari macam-macam industri asing
Keempat : Indonesia menjadi lapang usaha bagi modal yang ratusan, ribuan-jutaan jumlahnya.
— bukan saja modal Belanda, tetapi sejak adanya “Opendeur-politiek[37] juga modal Inggris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini jadi internasional karenanya.
Terutama “shakti” yang keempat inilah, yakni “prinsip” yang membikin Indonesia menjadi daerah eksploitasi dari kapital-lebih asing, menjadi lapang usaha bagi modal-modal kelebihan dari negeri-negeri asing, adalah yang paling hebat dan makin lama makin bertambah hebatnya!
Dalam tahun 1870 jumlah tanah erfpacht ada 35.000 bahu, dalam tahun 1901 sudah 622.000 bahu, dalam tahun 1928 sudah 2.707.000 bahu,–kalau dijumlahkan juga dengan konsesi-konsesi pertanian, jumlah ini buat tahun 1928 menjadi 4.592.000 bahu! Jumlah tanah yang ditanami karet kini tak kurang dari ± 488.000 bahu, hasil ± 141.000 ton jumlah kebun teh ± 132.000 bahu, hasilnya ± 73.000 ton: jumlah kebun kopi ± 127.000 bahu, hasilnya ± 55.000 ton; jumlah kebun tembakau ± 79.000 bahu, hailnya ± 65.000 ton; jumlah kebun tebu ± 275.000 bahu, hasilnya 2.937.000 ton.[38]
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, jutaan, tidak terbilang milyar rupiah kapital imperialis yang kini mengeduk kekayaan Indonesia!
Dr.F.G. Waller, di muka rapat anggota dari Verbond van Nederlandsche Wetgevers[39], antara lain berpidato demikian:
“Menurut taksiran majelis majikan, keuntungan bersih dari perusahaan-perusahaan Hindia: gula, karet, termbakau, teh, kopi, kina, minyak tanah, hasil tambang, bank-bank, dan beberapa perusahaan kecil yang lain, dalam tahun 1924, 490 juta rupiah, tahun 1925, 540 juta rupiah. Menurut taksiran bolehlah ditentukan, bahwa 70% dari jumlah ini jatuh di tangan pihak Belanda, jadi kira-kira 370 juta rupiah. Kalau kita perhitungkan jumlah ini dengan bunga yang tinggi 9 atau 10%, maka harga perusahaan-perusahaan itu sekarang mencapai angka luar biasa, yakni 3700 hingga 4100 juta rupiah. Angka ini tentu saja bukan angka yang teliti, tapi cukup memberikan gambaran berapa harga milik Belanda di Hindia-Belanda dan kepada saya terbukti, bahwa perhitungan yang dilakukan dengan jalan lain sampai kepada angka yang demikian juga. Kekayaan yang di negeri Belanda terkena pajak kekayaan ialah 12 milyar, sehingga milik kita yang ada di Hindia tidak kurang dari 1/3 kekayaan rakyat kita semua.”
Lebih dari 4000 juta rupiah kapital Belanda saja, Tuan-tuan Hakim yang terhormat, tetapi jumlah semua modal asing yang berusaha di Indonesia adalah lebih besar lagi, – yakni jikalau kita hitung dengan memakai asas perhitungan Dr. Waller itu juga: – kurang lebih 6000 juta rupiah![40]
Enam milyar rupiah dengan untung setahun rata-rata sepuluh persen! Tetapi berapa perusahaan asingkah yang untungnya tidak berlipat-lipat ganda lagi. Berapa perusahaan asingkah yang dividenya sering kali lebih dari 30, 40, ya kadang-kadang sampai lebih dari 100%! Kita mengetahui dividen tembakau Sumatra yang besarnya 35% dalam tahun 1924, kita mengetahui dividen kina yang berlipat-lipat lagi, kita kenal akan dividen-dividen yang sampai 170%! Kami, oleh karenanya, tidaklah heran kalau seorang sebagai Colijn mengatakan, bahwa modal asing harus terus mengerumuni Indonesia itu sebagai semut mengerumuni wadah-gula, sebagai “de mieren den suikerpot”![41]
Ekspor, impor, kelebihan ekspor
Memang milyunan rupiah harganya hasil-hasil perusahaan kapital asing itu yang saban tahun diangkut dari Indonesia, milyunan rupiah besarnya harga pengeluaran hasil-hasil itu saban tahun. Di dalam tahun 1927 pengeluaran kopi adalah seharga f 74.000.000,-; pengeluaran teh f 90.000.000,-; pengeluaran tembakau f 107.000.000,-; pengeluaran minyak f 155.000.000,-; pengeluaran gula f 360.000.000,- (malahan sebelum hebatnya persaingan dari Kuba, kadang-kadang lebih dari f 400.000.000,0); pengeluaran karet f 417.000.000, jumlah semua barang keluar tak kurang dari f 1.600.000.000,-[42]
Pendek kata, saban tahun kekayaan yang diangkut dari Indonesia, sedikit-dikitnya f 1.500.000.000,-!
Dan harga impor? Harga barang-barang yang masuk Indonesia? Tuan-tuan Hakim yang terhormat, Indonesia adalah suatu tanah jajahan, di mana, sebagai tadi telah kami katakan, prinsip imperialisme yang nomor empatlah yang paling hebat. Semua tanah jajahan yang terutama ialah jadi lapangan usaha modal asing yang kelebihan, suatu daerah pengusahaan surplus kapital di luar negeri. Suatu jajahan yang demikian itu, ekspornya selamanya melebihi impor, kekayaannya yang diangkut ke luar selamanya lebih banyak dari harga barang yang dimasukkan.
Inilah yang menjadi sifat rumah tangga kami yang miring itu, kelebihan ekspor, dan bukan kelebihan impor, – lebih banyak kekayaan yang keluar dan bukan lebih banyak barang yang masuk, bahkan bukan pula “les produits se changent contre les produits”, yakni bukan pula barang yang keluar sama dengan barang yang masuk.
Kelebihan ekspor di Indonesia makin lama makin besar. Di dalam tahun delapan puluhan kelebihan ekspor itu = f 25.000.000,-; di dalam tahun sembilan puluhan sudah menjadi ± f 36.000.000,-; di dalam tahun-tahun penghabisan abad ke-19 sudah bertambah menjadi ± f 45.000.000,-; di dalam tahun sekitar 1910 sudah menjadi f 145.000.000,-; di dalam tahun akhir-akhir ini sudah menjadi f 700.000.000,-[43]. Ya, di dalam tahun 1919 mencapai rekor f 1. 426.000.000,-[44]
Bahwasanya, – Indonesia bagi kaum imperialisme adalah suatu surga, suatu surga yang di seluruh dunia tidak ada lawannya, tidak ada bandingan kenikmatannya:
“Kalau kita bandingkan dengan angka-angka internasional…nyatalah bahwa tidak satu negeri lain persentase kelebihan ekspornya begitu tinggi seperti Hindia-Belanda,” begitu Prof, Van Gelderen, kepala Centraal Kantoor voor de statistiek di sini, berkata.
Nasib Rakyat
Dan bangsa Indonesia? Bagaimanakah nasib bangsa Indonesia?
Menjawab Mr. Brooshooft, seorang yang bukan sosialis, di dalam bukunya “De Ethisce Koers in de koloniale Politiek”:
“Jawabnya singkat aja, kita jerumuskan dia ke dalam jurang!” “Kita jerumuskan dia ke dalam lumpur kesengsaraan, yang di dalam pergaulan hidup Barat meneggelamkan jutaan manusia sampai ke batang lehernya: pemerasan orang yang tidak punya apa-apa selain tenaga kerjanya, oleh orang yang memegang kapital, yakni menggenggam kekuasaan.”[45]
Ah, Tuan-tuan hakim, begitu banyak orang bangsa Belanda yang tidak mengetahui kesengsaraan rakyat Indonesia. Begitu banyak bangsa Belanda yang mengira, bahwa rakyat Indonesia itu senang kehidupannya.
Meskipun demikian… tidak kurang pula orang-orang pandai bangsa Belanda yang menunjukkan kesengsaraan ini dalam buku-buku, karangan-karangan atau pidato-pidato, –tidak kurang kaum terpelajar bangsa kulit putih yang mengakuinya! Kesengsaraan rakyat Indonesia harus diakui oleh siapa saja yang mau menyelidikinya dengan hati yang bersih; kesengsaraan rakyat itu bukan “omong-kosong” atau “hasutan kaum penghasut”. Kesengsaraan itu adalah suatu kenyataan atau realiteit yang gampang dibuktikan dengan angka-angka. Lagi pula, tuan-tuan hakim, adanya kelebihan-kelebihan ekspor itu saja, – yang juga bukan “omong-kosong”, melainkan suatu barang yang nyata oleh adanya angka-angka statistik — adanya hal bahwa negeri Indonesia itu lebih banyak diangkuti kekayaan keluar daripada dimasukkan. Adanya hal itu saja,  sudah cukup bagi siapa yang mempunyai sedikit pengetahuan tentang ekonomi, bahwa di sini keadaan adalah “miring”, — bahwa di sni tidak ada “keseimbangan”. Dan bukan saja keadaan itu “miring”, bukan saja ada “tidak seimbang” — tetapi (oleh sebab kelebihan-kelebihan ekspor itu makin lama makin besar), keadaan “miring” itu makin lama juga makin “miring”, “tidak seimbang” itu makin lama juga makin tidak seimbang!
Tatkala membicarakan kelebihan-kelebihan ekspor ini, berkata D.M.G.Koch:
“Tentu saja pengambilan yang teratur dan saban tahun bertambah  besar dari jumlah-jumlah uang dari negeri Hindia, berarti hilangnya kekayaan-kekayaan yang mungkin bisa dipergunakan untuk perkembangan ekonominya.”[46]
Lagi pula tuan-tuan Hakim, tidakkah pemerintah sendiri mengakui adanya “kekurangan kesejahteraan” itu, tidakkah pemerintah sendiri mengakui adanya “mindere welvaart” itu, tatkala pemerintah beberapa tahun yang lalu mengadakan “mindere welvaartscommissie” (komisi untuk menyelidiki kekurangan kesejahteraan). Tidakkah Menteri Idenburg[47] sendiri dua puluh lima tahun yang lalu telah menyebutkan chronischen nood, suatu “kesengsaraan yang terus-menerus”, “yang sekarang berjangkit di sebagian besar tanah Jawa”,
tidakkah menteri itu mengakui pula adanya suatu “kemelaratan yang sudah mendalam”, suatu “ingevreten armoede”,[48] sehingga “keadaan ekonomi dari sebagian besar penduduk, sangat jeleknya”?
Tidakkah menteri jajahan itu juga mengakui pula adanya “penyerotan rezeki keluar”, yakni adanya “drainage”, walaupun ia berpendapat bahwa:
“menunjukkan penyakit ini lebih gampang dari mendapatkan obat untuk menyembuhkannya”?[49]
Dan tidak kurang pula orang-orang Belanda lain yang mengakui keadaan ini pada zaman itu; Tuan Pruys v.d. Hoeven, bekas Anggota Dewan Hindia, di dalam bukunya “Veertig Jaren Indische Dienst”,[50] menulis:
“Nasib orang Jawa dalam empat-puluh tahun yang akhir ini, tidak banyak diperbaiki. Di luar golongan kaum ningrat dan beberapa hamba negeri, masih tetap hanya ada satu kelas saja yang hidupnya sekarang makan besok tidak. Suatu kaum yang agak berada, belum lagi bisa terbentuk, sebaliknya dalam tahun-tahun belakangan ini kita lihat terakhir suatu kelas proletar, yang terdahulu hanya terdapat di ibukota-ibukota.”
H.E.B. Schmalhausen, bekas asisten residen, di dalam bukunya, Over Java en de Javanen, bercerita:
“Saya sudah melihat dengan mata sendiri, bagaimana orang-orang perempuan,–sesudah berjalan beberapa jam lamanya, sampai di tempat yang dituju dan mengalami peristiwa, bahwa mereka tidak bisa ikut mengetam padi, karena kebanyakan pekerja. Maka ada yang menangis tersedu-sedu lalu duduku di tepi jalan, putus asa. Keadaan-keadaan yang demikian itu baru bisa kita mengerti, sesudah hidup lama di pedalaman, itupun kalau kita cukup punya perhatian kepada negeri dan penduduk dan senantiasa membuka mata!” “Kami membikin ……perhitungan…..menurut keterangan-keterangan yang benar dan hasilnya ialah, bahwa harga padi yang mereka terima (sebagai upah) sebanyak-banyaknya f 0.09 sehari.”
Untuk mencari upah 9 sen yang menyedihkan ini dengan kerja berat di panas matahari yang terik, seperti kita katakan tadi, perempuan-perempuan kadang-kadang harus berjam-jam lamanya berjalan kaki  dan kadang-kadang ditolak pula. Kenyataan-kenyataan seperti itu lebih membukakan mata bagi keadaan-keadaan yang sebenarnya dari banyak perslah-perslah dan pidato-pidato yang mengenai luarnya saja.” (hal. 14).
Dan Mr. Brooshooft menulis kalimatnya yang termashur: “Kita jerumuskan dia ke dalam jurang”, Wij duwen hem ini den afgrand”, sedang di dalam Staten-Generraall perkara inzinking (kejatuhan) ini ramai dibicarakan. Terutama van Kol tidak berhenti-hentinya membongkar keadaan-keadaan ini, tidak berhenti-hentinya membicarakan: negeri yang tiada sumsum lagi” atau “uitgemergelde gewesten” itu, tidak berhenti-hentinya menggambarkan nasib “jajahan sengsara” atau noodlijdende kolonie” ini, tidak berhenti-hentinya menangiskan “kemunduran manusia dan ternak” itu. Yakni “physieke achteruitgang van menschen en vee”.[51]
Begitulah keadaan beberapa tahun yang lalu, Adakah keadaan sekarang berbeda? Adakah keadaan hari ini lebih baik?
Tuan-tuan hakim yang terhormat, tadi sudah kami buktikan dengan angka-angka, bahwa drainage Indonesia tidak makin surut, tidak makin kecil, melainkan makin besar, makin membanjir, mendahsatkan, bahwa kelebihan-kelebihan ekspor makin tak berhingga, — bahwa ketidakseimbangan makin menjadi tidak seimbang! Bagi siapa yang mau mengerti, maka tidak boleh tidak, drainage yang makin membanjir itu pasti berarti rakyat makin sengsara, pasti berarti rakyat itu, dengan perkataan Mr. Brooshooft, makin terjerumus ke dalam “jurang”! Jikalau di zaman Pruys v.d. Hoeven kita sudah melihat “suatu kelas proletar, yang dahulu hanya terdapat di ibukota-ibukota”, kalau di zaman Mr. Brooshooft kita sudah melihat “pemerasan orang yang tidak punya apa-apa selain tenaga kerjanya, oleh orang yang memegang kapital”.
Jikalau kita di zaman itu sudah melihat daya yang “memproletarkan”, yakni proletariseeringstendens dengan senyata-nyatanya,– bagaimanakah kerasnya proletariseeringstendens itu di zaman kita sekarang ini, di mana pengedukan kekayaan secara imperialistis itu makin lama makin mengaut, kapital asing makin lama makin bertambah banyak dan bertambah besar “shaktinya”!
Di dalam  buku Dr. Huender “Overzicht van den Econ. Toestand der Inheemsche Bevolking van Java en Madoera”, kita membaca:
“Sedang di tahun 1905 jumlah penduduk dewasa yang bekerja tani, ada 71%, menurut maklumat-maklumat yang akhir di Dewan Rakyat……sekarang ini hanya 52% saja yang semata-mata mempunyai penghasilan dari pertanian”….[52]
dan Prof, van Gelderen dari Centraal Kantoor Voor de Siatistiek menulis:
“Perkembangan perusahaan asing dengan sendirinya cenderung kepada usaha untuk senantiasa dan berangsuur-angsur secara lebihh besar-besaran melaksanakan perbandingan pokok ini: majikan dan kapital, jadi juga keuntungan, bagi bangsa asing; dan kaum buruh, jadi juga upah, bagi bangsa bumiputra. Memang dengan demikian bertambah besar permintaan kepada tenaga buruh dan bertambah besar jumlah penduduk yang mendapat penghasilan berupa upah. Tapi hal ini terjadi secara sangat berat sebelah seperti berikut. Penduduk bumiputra menjadi suatu bangsa yang terdiiri dari kaum buruh belaka dan Hindia menjadi buruh antara bangsa-bangsa.”[53]
“Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka” dan “ menjadi buruh antara bangsa-bangsa”, Tuan-tuan Hakim,—itu bukan nyaman! Itu bukan memberi harapan besar bagi hari kemudian! Itu bukan memberi perspektif pada hari kemudian itu, jikalau terus-terusan begitu! Tidakkah oleh karenanya, wajib tiap-tiap nasionalis mencegah keadaan itu dengan sekuat-kuatnya? Tidakkah hal ini saja sudah cukup buat membenarkan kami punya pergerakan?
“Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka” — amboi, dan berapa besarkah upah yang biasanya diterima oleh Kang Kromo atau Kang Marhaen itu! Berapakah, umpamanya, besarnya upah di dalam perusahaan yang terpenting, yakni perusahaan gula, — perusahaan gula yang terdiri di tengah-tengah pusat pergaulan hidup Bumiputra, di tengah-tengah ulu hati pergaulan hidup itu? Menurut Statistisch Jaaroverzicht : rata-rata hanya f 0,45 seharu bagi orang laki-laki dan f 0,35 sehari bagi perempuan![54]
Sesungguhnya, Dr. Huender tak salah kalau ia menulis:
“Perusahaan gula buat orang Indonesia yang berhak atas tanah, adalah merugikan: upah-upah yang dibayarkan kepada orang-orang Indonesia yang bekerja padanya, jika tidak terlalu rendah untuk menolak maut, setidak-tidaknya adalah upah minimum, yakni upah yang paling rendah”
Dan bukan di dalam perusahaan gula saja kita dapatkan “Upah yang paling rendah” atau “minimumloonen” itu! Upah minimum di Indonesia kita dapat di mana-mana. Selama rumah tangga rakyat Bumiputra masih suatu rumah tangga yang kocar-kacir, selama rakyat Bumiputra masih “minimumlijdstef[55], sebagai dikatakan Dr.Huender selama itu pula upah-upah dimana-mana tentulahberwujud upah-upah minimum, — selama itu maka rakyat yang kelaparan itu tentu terpaksa menerima saja upah-upah yang bagaimanapun juga rendahnya, “buat menolak maut”, “om er het leven bij te houden”.[56] Prof, van Gelderen di dalam bukunya dengan seterang-terangnya menunjukkan perhubungan sebab akibat antara rumah tangga kami yang kocar-kacir ini dengan rendahnya upah-upah di dalam pergaulan hidup kami, — upah-upah di dalam pergaulan hidup kami yang menurut pendapatnya, bukan “Ertragslohn[57] tetapi “Erhaltungslohn[58] yakni upah yang “sekedar supaya jangan sampai mati kelaparan”, — upah yang “sekedar sama dengan ongkos-ongkos hidup yang paling rendah”!
Dan hidupnya, bestaannya rakyat umum? Bagaimanakah hidupnya rakyat umum? Di atas sudah kami katakan, bahwa Dr. Huender menyebut rakyat Bumiputra itu “minimumlijdster” (penderita minimum).
“Yang paling sukar dan paling mengkhawatrikan berhubung dengan keadaan ekonomi di jawa dan madura, ialah bahwa penduduk yang telah dibebani sampai batas kesanggupannya itu rupanya adalah “penderita minimum” dan bagi mereka ternyata beberapa peraturan yang diadakan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan mereka, tidak mempan…[59]
begitulah kesimpulan Dr. Huender. Dan Prof. Boeke di dalam bukunya “Het zakelijke en persoonlijke element in de koloniale welvaartspolitiek”, berkata:
“Si tani kecil, pak tani Jawa yang miskin itu …. bukan saja melarat hidupnya, tapi tidak bisa pula mempengaruhi apa-apa kesejahteraan sekelilingnya; sisa-sisa yang sedikit dari perusahaannya, tidak memungkinkan dia, di luar keperluan-keperluannya yang paling penting sehari-hari, memenuhi keperluan-keperluan lain yang agak berarti juga, yakni keperluan-keperluan yang bisa diadakan oleh lain-lain golongan masyarakat, yang menunggu-nunggu apa yang akan diminta dan ditawarkannya. Yang terutama bisa dikerjakannya dalam masyarakat, ialah menekan tingkat upah.”[60]
“Hidup yang melarat”, “een Ellendig bestaan” Tuan-tuan! Hakim, begitulah pendapat Prof. Boeke, seorang yang toh bukan bolsyewik atau “penghasut”, — melainkan seorang ahli ekonomi yang ternama! Angka-angka, Tuan-tuan Hakim? Menurut perhitungan Dr. Huender, penghasilan seorang kepala rumah tangga marhaen setahun ialah rata-rata  f 161,-, jumlah beban rata-rata/22.50,- jadi bersih penghasilan setahun adalah f 161,- — f 22.50 = f 138.50, (seratus tiga puluh delapan rupiah lima puluh sen!), Tuan-tuan Hakim, di dalam dua belas bulan! Yakni, bleum sampai f 12. – sebulan; yakni belum sampai f 0.40 sehari yakni, kalau dimakan lima orang (besarnya sama rata), belum sampai f 0.08 sehari seorang![61] Sesungguhnya, sejak kalimatnya Pruys v.d. Hoeven yang berbunyi bahwa kebanyakan rakyat hidupnya “sekarang makan besok tidak” sejak perkataannya Mr. Brooshooft bahwa rakyat terjerumus ke dalam “jurang”, sejak dengungnya suara van Kol yang mendakwa atas adanya “negeri-negeri yang tiada sumsum lagi”, atau “jajahan yang sengsara” atau “ kemuduran manusia dan ternak”, — sejak zaman itu tetaplah bangsa kami hidup “sekarang makan besok tidak”, tetaplah bangsa kami hidup dalam “jurang”, tetaplah bangsa kami hidup dalam “jajahan yang sengsara”!
Bahwasanya,–drainage yang kami derita dengan tiada berhentinya itu, tak luput menunjukkan pengaruhnya,–imperialisme-modern tak luput menunjukkan kejahatan shakti-shaktinya!
Orang bisa berkata: “Adakah imperialisme modern itu berkejahatan? Gula “memasukkan” uang ke dalam pergaulan hidup Indonesia dengan upah-upah dan penyewaan tanah; karet, teh, kopi, kina, hanya membuka tanah-tanah hutan yang jauh dari rakyat; minyak tanah keluarnya dari sedalam-dalamnya tanah, — semua memberi “berkah” pada rakyat dan kesempatan berburuh!
O, memang, — memang gula “memasukkan” uang; memang onderneming erfpacht tidak begitu “mengenai” rakyat; memang minyak dibor dari sedalam-dalamnya tanah; — memang semua memberi kesempatan berburuh. Tetapi marilah kita membaca pemandangan Prof. Snouck Hurgronje, bagaimana macamnya “berhak” (kalau ada “berhak”), yang modal asing itu berikan kepada kami dan sebagaimana macamnya kaum modal asing itu “memelihara” kesejahteraan kami:
“Manfaat-manfaat yang diterima oleh penduduk Bumiputra dari modal Eropa itu, hanya sisa-sisa hasil pekerjaan kaum majikan, bukan dimaksud dan sekali-kali tidak dimaksud terutama untuk mereka. Tujuan mereka ialah…..cari duit….. Seandainya “wadah gula’ tadi – untuk memakai perbandingan Colijn –mulai kosong, oleh karena satu atau lebih hasil-hasil bumi mengalami krisis harga, maka segeralah semut-semut itu menyusup lagi ke dalam tanah, dengan tidak memperdulikan sedikit juga nasib rakyat yang 35 atau 50 juta, yang tadinya senantiasa mengisi wadah gula itu. Selama, seperti sekarang ini, semut-semut itu berdesak-desak mengerumuni wadah gula itu, artinya, selama onderneming-onderneming Eropa itu beroleh untung, maka kepentingan-kepentingan orang Bumiputra terhadap usaha mereka yang sewajarnya untuk mencapai untung yang lebih besar lagi, tidak aman, jika tidak ada alat penjagaan yang kuat…. Orang tidak usah seorang antikapitalis untuk mengerti betapa berbahayanya kapital Barat mengancam penduduk Bumiputra dari suatu tanah jajahan.”
Marilah kita juga ingat akan kenyataan, sebagai yang diterangkan oleh Prof. Van Gelderen di dalam bukunya tadi, bahwa tinggi-rendahnya upah itu adalah ditetapkan oleh “tenaga produksi” pergaulan hidup umum,— bahwa jikalau pergaulan hidup itu kocar-kacir, upah pasti kocar-kacir dan serendah-rendahnya pula: — bahwa jikalau pergaulan hidup umum itu suatu “Ernahrungswirtschaft[62] upah pasti hanya “Erhaltungslohn” saja! Marilah kita ingat, bahwa keadaan rakyat Indonesia yang sebenarnya, memang membenarkan kenyataan ini, — yakni, bahwa, di mana rakyat Bumiputra itu umumnya adalah “minimumlijdster”, upah yang biasa diterimanya juga memang hanya “minimumloonen”, “Erhaltungslohnen” belaka! Marilah kita ingat, bahwa industri imperialisme yang cita-citanya membikin untung setinggi-tingginya itu, dan yang karena itu, mempunyai kepentingan atas adanya upah-upah yang serendah-rendahnya (yakni mempunyai kepentingan atas adanya loonen yang “minimumloonen”) – oleh karenanya, mempunyai kepentingan pula atas tetapnya pergaulan hidup kami ini dalam keadaan yang kocar-kacir, mempunyai belang atas tetapnya kami punya rumah tangga atau Wirtschaft itu bersifat “Ernahrungswirtschaft” adanya!
Prof. Van Gelderen menulis:
“Apabila tenaga produksi dari penghasil Bumiputra bertambah besar dan oleh karenanya harga sewa tanahnya jadi lebih tinggi, maka dalam suatu cara perkebunan tertentu dari pengusaha-pengusaha Eropa, bertambah kurang keuntungan perusahaannya. Ini suatu pertentangan kepentingan yang tidak bisa dimungkiri, dan sekali-sekali terasa benar”. “Perbedaan hasil pekerjaan dalam hal dipergunakan pekerjaan orang Bumiputra dan dalam hal dipergunakan pekerjaan orang asing, buat sebagian besar menguntungkan pengusaha asing. Makin kecil perbedaan ini, disebabkan karena tenaga produksi pekerja Bumiputra  dalam lingkungan sendiri bertambah besar (ini pada hakekatnya berarti tenaga produksi dalam pertanian Bumiputra), maka makin kecil pula sumber keuntungan yang lain dari perusahaan besar asing ini.”
Dan di dalam buku Prof. Schrieke “The effect of Western Influence on native civilizations in the Malay Archipelago”, kita membaca kalimat Tuan Meyer-Ranneft yang sekarang menjadi Ketua Dewan Rakyat:
“Jumlah yang diterima oleh kaum modal dan perusahaan industri, menjadi sebanding lebih besar dengan bertambah jeleknya tingkat kehidupan Bumiputra,”
Sedang Prof. Boeke dengan lebih terus-terang lagi berpidato:
“Mereka, — (kaum modal asing, Sk), terutama menjalankan rol ekonomi yang diharapkan oleh dunia dari tanah jajahan, mereka pandai mengeduk kekayaan dari Hindia pada umumnya dan dari bumi Hindia pada khususnya dan membikin negeri itu memberikan keuntungan-keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya, mereka itu terutama menghasilkan barang-barang yang diperlukan di pasar dunia dan mereka mengharap dan menuntut dari Hindia tidak lebih dari tanah yang baik dan tenaga buruh yang murah; penduduk bagi mereka tidak lebih dari suatu alat (ini yang mengenai penduduk tanah Jawa) atau penyakit yang perlu (ini yang mengenai penduduk di tanah seberang)[63]. Buat mereka yang penting hanya… penawaran tenaga buruh dan harga tanah; apa yang menambah banyak penawaran dan menurunkan harga, menguntungkan bagi mereka. Mereka itu adalah, mereka harus jadi, apa yang disebut oleh orang Jerman dengan tepatnya “Real-politiker”, harus mendahulukan kenyataan dan kesoalan, anasir cita-cita dan perseorangan buat mereka itu tidak sehat atau lebih lagi.”
Dengan lain perkataan: Kaum modal partikelir mempunyai kepentingan atas rendahnya tenaga produksi dan rendahnya tingkat pergaulan hidup kami, imperialisme-modern karena itu, mengalang-alangi kemajuan sistem sosial kami itu, imperialisme-modern karena itu suatu rem bagi kami punya kemajuan ekonomi sosial!
Benar sekali, — imperialisme-modern “membikin rakyat Bumiputra menjadi bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan membikin Hindia menjadi si buruh di dalam pergaulan bangsa-bangsa”!
Dan si buruh yang bagaimana, Tuan-tuan Hakim!, — si buruh yang loonen-nya. minimumloonen, si buruh yang Wirtschaft-nya Minimumwirtschaft!, si buruh yang upahnya upah Kokro! Hati nasional tentu berontak atas kejahatan imperialisme-modern yang demikian itu!!
Lagi pula, — siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan Indonesia yang diambil oleh mijnberdrijven partikelir, yakni perusahaan-perusahaan tambang partikelir, sebagai timah, arang batu, minyak! Siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan tambang itu?
Musnah, musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya bagi kami, musnahlah buat selama-lamanya bagi pergaulan hidup Indonesia, masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil belaka![64]
“…Perusahaan hasil tambang, yangblama-kelamaan menghabiskan kekayaan-kekayaan tambang itu,” begitulah Prof, Van Gelderen menulis.
“Juga di dalam hal ini, yang tinggal di dalam negeri hanya ongkos-ongkos produksi saja. Hasil bersihnya jatuh ke tangan pemilik modal asing.
Di dalam hasil bersih ini termasuk bukan saja bunga dan keuntungan pengusaha, tapi juga apa yang dinamakan “bunga pertambangan”, yakni pembayaran bagian monopoli yang tidak bisa diganti, bagian yang ada dalam penghasilan segala perusahaan tambang, yang mempunyai tenaga produksi yang lebih dari ‘batas tenaga produksi’. Dengan jalan penghapusan dan pencadangan julah kapital yang ditanam dalam pertambangan bisa tetap dala tangan si pemilik. Tapi barang yang dikerjakan ini, yakni batu arang, minyak tanah, timah, musnah buat selama-lamanya”!
“Musnah buat selama-lamanya!” “Onkerroepelijk verloren!” Bahwasanya, “bangsa kaum buruh”, “minimumloonen”, “minimumlijdster”, “kemajuan ekonomi sosial direm”, “kekayaan tambang musnah buat selama-lamanya”, semua perkataan-perkataan itu tidak menggembirakan! Dan toh…. apakah hak-hak bangsa kami, yang kiranya boleh jadi “imbangan” dari keadaan ekonomi yang menyedihkan itu? Apakah hak-hak bangsa kami yang boleh dipakai sebagai obat di atas luka hati nasional yang perih itu? Pengajaran? Oh, di dalam “abad kesopanan” ini di dalam “eeuw van beschaving” ini, menurut angka-angka Centraal Kantoor voor dee Sfatistiek, orang laki-laki yang bisa membaca dan menulis belum ada 7%, orang perempuan belum ada… 1/2%. Dan toh, Hollandsch-Inlandsch-Onderwijscommissieee[65] memajukan usul memberhentikan penambahan Hollandsch-Inlandsch-Onderwijs! — Pajak-pajak enteng? Laporan Meyer-Ranneft-Huender menunjukkan, bahwa Kang Marhaen yang pendapatnya setahun rata-rata hanya f 160.— itu, harus membayar pajak sampai kurang lebih 10% dari pendapatannya; bahwa bagi bangsa Eropa pajak yang setinggi itu baru dikenakan kalau pendapatannya tak kurang dari f 8.000,- sampai dengan f 9.000,- setahun!; bahwa pajak yang istimewa mengenai Kang Marhaen, yang pada tahun 1919 sudah mencapai jumlah f 86.900.000,-itu, di bawah pemerintahan Gubernur-Jenderal Fock[66] dinaikkan lagi menjadi f 173.400.000,- setahun!; bahwa teristimewa beban-beban desa sering berat sekali adanya!
Kesehatan rakyat atau hygiene? Di seluruh Indonesia hanya ada 343 rumah sakit gubernemen, kematian bangsa Bumiputra setahun tak kurang dari ±20%, ya, di dalam kota-kota besar sampai kadang-kadang 30, 40, 50%[67], seperti di betawi, di Pasuruan, di Makassar! Kesempatan bekerja di pulau-pulau luar tanah jawa? Soal kontrak dan poenale sanctie, perbudakan  zaman baru atau moderne slavernij itu, seolah-olah takkan habis-habisnya di-“pertimbangkan” dan sekali lagi dipertimbangkan”.
Perlindungan kepentingan kaum buruh? Peraturan yang melindungi kaum buruh tak ada sama sekali, arbeidsinspectie tinggal namanya saja, hak mogok, yang di dalam negeri-negeri yang sopon sudah bukan soal lagi itu, dengan adanya pasal 161 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, musnah sama sekali dari realiteit, terhalimunkan sama sekali menjadi impian belaka!—kemerdekaan cetak-mencetak dan hak berserikat dan berkumpul?…[68]
Tuan-tuan hakim, marilah kita dengan hati yang tenang dan tulus bertanya lagi: Adakah di sini bagi kami bangsa Indonesia  kemerdekaan cetak, adalah disini hak, yang dengan sebenarnya boleh kita namakan hak berserikat dan berkumpul? Amboi, — adakah di sini hak-hak itu, di mana Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih saja berisi itu pasal-pasal mengenai penyebaran — rasa kebencian (haatzaaiartikelen) yang bisa diulur-ulur sebagai karet, itu haatzaaiartikelen yang hampir zonder perubahan diambil dari “gewrocht der duisternis[69] sebagai Thorbecke menyebut peraturan cetak-mencetak, di mana “horribel starfwetartikel[70] 153 bis-ter yang lebih-lebih elastis lagi mengancam keselamatan tiap-tiap pemimpin sebagai kami ini hari, dimana hak pendigulan memberi keuasaan yang hampir tak terhingga kepada pemerintah terhadap tiap-tiap pergerakan dan tiap-tiap manusia yang ia tak sukai? Adakah di sini hak-hak itu, dimana kritik di muka umum gampang sekali mendapat teguran atau sopan, di mana tiap-tiap rapat penuh dengan spion-spion polisi, di mana hampir tiap-tiap pemimpin dibuntuti reserse di dalam gerak-geriknya ke mana-mana, di mana gampang sekali diadakan “larangan berapat”, di mana rahasia surat seringkali dilanggar diam-diam sebagai kami lihat dengan mata sendiri? Adakah di sini hak-hak itu, di mana laporan spion-spion itu saja atau tiap-tiap surat kaleng sudah bisa dianggap cukup buat membikin penggerebekan di mana-mana, mengunci berpuluh-puluh pemimpin di dalam tahanan, yang menjerumuskan pemimpin-pemimpin itu ke dunia pembuangan?
Tuan-tuan Hakim, marilah sekali lagi kita bertanya dengan hati yang tenang dan tulus: adakah di sini bagi bangsaku kemerdekaan cetak-mencetak dan hak berserikat dan berkumpul, di mana menjalankan “kemerdekaan” dan “hak” itu dialang-alangi oleh macam-macam alangan, diranjaui oleh macam-macam ranjau yang demikian itu???
Tidak! Di sini tidak ada hak-hak itu! Dengan macam-macam alangan dan macam-macam ranjau demikian itu, maka “kemerdekaan” itu tinggal namanya saja “kemerdekaan” “hak” itu tinggal namanya saja, “hak”, dengan macam-macam serimpatan yang demikian, maka “kemerdekaan cetak-mencetak” dan “hak berserikat dan berkumpul” itu lantas menjadi suatu omong-kosong, suatu paskwil!  Hampir tiap-tiap jurnalis sudah pernah merasakan tangan besinya hukum, hampir tiap-tiap pemimpin indonesia sudah pernah merasakan bui, hampir tiap bangsa Indonesia yang mengadakan perlawanan radikal lantas saja dipandang “berbahaya bagi keamanan umum”!
Sesungguhnya: Tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyat Indonesia untuk jadi “imbangan” kepada bencana pergaulan hidup dan bencana kerezekian yang ditebar-tebarkan oleh imperialisme-modern itu; tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyat kami yang cukup nikmat dan menggemberikan untuk dijadikan pelipur hati nasional yang mengeluh melihat kerusakan sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh imperialisme-modern itu; tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyatku yang boleh dijadikannya sebagai peganganm sebagai penguat, sebagai sterking untuk memberhentikan kerja imperialisme yang mengobrak-abrik kerezekian dan pergaulan hidup kami itu!

 
Catatan:
                [1] Sir Thomas Stanford Raffles yang pernah menjadi Letnan Gubernur Jenderal selama Inggris berkuasa di Indonesia (1811-1816)  
                [2] Contingenten adalah pajak yang dibayar dengan hasil bumi oleh kepala-kepala
[3] Leverantien adalah kepala-kepada dipastikan setor barang-barang hasil bumi yang dibeli oleh kompeni. Tetapi banyaknya dan harganya barang itu kompenilah yang menetapkan
[4] Prof. Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah sarjana Belanda yang pernah bermukim 2 tahun di Mekah dengan nama samaran Abd-al Gaffar. Sekembalinya dari Mekah, ia bersikap oposan terhadap pemerintah Belanda, tercermin dalam bukunya “Colijn Over Indie”.
[5]  Prof. Colenbrander dalam buku “Kolonial Geschichte” jilid II, hlm. 252.
[6] Prof. J. Pieter Veth (1814-1895) adalag seorang ahli etnologi dan Bahasa Indonesia, dengan karangan utamanya, “Java, Geographisch, Ethnologisch, Historisch”.
[7] Dari buku Kolonial Geschichte II, hlm. 117.
[8] Prof. Kiestra dalam bukunya “De Vestiging Van Her Nederlandsch Gezag in den Indisctieri Archpel” (Membangun Kekuasaan Belanda di Kepulauan Indonesia).
[9] Heiden adalah Penyembah Berhala
[10] Prof Dietrich Schafer dari buku Klonial Geschichte I, hlm. 82.
[11] Snoucck Hurgronje dalam Colijn Over Indie, hlm.32.
[12] tijdvak van den twijfei=masa ragu-ragu
[13] Prof.Gonggrijp dalam bukunya “Economische Nederlandsch Indie” hal.123.
[14] nila= sejenis tanaman yang daunnya dibikin cat warna (disebut juga indigo).
[15] H.J Stokvis dalam bukunya “Van Wingewest naar Zelfbestuur In Nederlandsch Indische” (Dari daerah rampasan ke pemerintah sendiri) hal. 27
[16]  f= rupiah zaman Belanda dulu, disebut juga gulden.
[17] Van den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1830-1833, perencana cultuuralstelsel. Menjadi menteri jajahan 1835-1837.
[18] Prof. Kielstra dalam “De Vestiging”, hal.38
[19] Prof. Veth dalam “Java” II, hal.410.
[20] naweeen=akibat
[21] Henriette Roland Holst, seorang penyair wanita Belanda yang berjuang di sayap sosialis.
[22] Lima puluh, maksudnya di sini adalah tahun 1850.
[23] Yang dimaksud di sini adalah modal lebihan dari keuntungan yang ditanam di Indonesia.
[24] Undang-undang Agraria dan Undang-undang Tanaman Tebu, dibuat oleh Staten General yang berkedudukan di Belanda, bukan oleh Raad van Indie, karena Raad ini baru ada tahun 1918.
[25] Stokvis dalam bukunya “Van Wingewest naar Zelfbestuur” hlm. 92.
[26] Multatuli alias Dowes Dekker dalam bukunya yang terkenal “Max Havelaar yang; dikutip oleh Roland Holst dalam bukunya “Kapitaal en Arbeld in Nederland” hlm. 150
[27] Drainage= penyedotan sampai kering
[28] Karl  Kautsky (1854-1938): Seorang bangsa Austria penganut aliran sosial demokrat, dalam bukunya “Sozialismus und Kolonial-politik” hlm. 43.
[29] J.E. Stokvis dalam bukunya “Van Wingewest naar Zelfbestuur” hlm.12-13
[30] Parvus, dalam bukunya “Die Kolonial Politik und der Zusammenbruch” hlm.15.
[31] H.E.B. Schmalhausen, bekas Asisten Residen di Jawa, dalam bukunya “Over Java en de Javanen” (Tentang Jawa dan orang Jawa) hlm. 169.
[32] Prof.Gonggrijp, dalam bukunya “Ekonomische Geschiedenis Nederlandsch Indie”, hlm.190.
[33] Gewetenstopper= pendiaman tuntutan hati
[34] Domeinverklaring= tanah yang diakui milik negara
[35] Ponale sanctie= mulai berlaku 1881, yaitu peraturan yang membolehkan perusahaan perkebunan menangkap buruh bila keluar sebelum masa kontrak berkahir.
[36] Staatsafronding= pembulatan wilayah jajahan.
[37] Opendeur-politiek= politik pintu terbuka, yang berlaku sejak 1905. Sejak itu masuklah modal asing lainnya, selain Belanda.
[38] Bandingkan statist, Jaaroverz. 1928.
[39] Verbond van Nederlandsche Wetgever, ialah Perkumpulan Pembuat Undang-Undang Belanda, di mana dr.F.G. Waller menyampaikan makalah pada tanggal 30 September 1927, hal. 16.
[40] Di masa itu 1 kg beras = f 0,07 (7 sen).
[41] Hendrikus Colijn (1869-1944): Pernah menjadi letnan dalam perang Aceh, kemudian menjadi Perdana Menteri Belanda tahun 1925-1939. Buku yang dikutip “koloniale vraagstukken van heden en morgen” hal. 124
[42] Bersumber dari “Jaaroverzicht”
[43] Data ini dibuat van Gelderen, kepala Kantor Pusat Statistik di Jakarta dalam bukunya “Voorlezingen”. Ternyata di masa malaise (1930) ekspor dari Indonesia mencapai 700 juta gulden
[44] Ekspor di tahun 1919 mencapai puncak, sebelum datangnya zaman malaise. Data ini diambil dari tulisan D.M.G.Koch “Vakbeweging 1927”, hal. 570. (vakbeweging= gerakan buruh)
[45] Mr. Brooshoft, dalam bukunya “De Etische Koers in de Koloniale Politiek” hal. 65 (Arah etika dalam politik Kolonial).
[46] D.M.G. Koch dalam “Vakbeweging 1927” hal. 570.
[47] Alexander W.F. Idenburg (1861-1935), seorang tokoh dari partai And revolusioner, menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda pada tahun 1909-1916, kemudian menjadi menteri jajahan tahun 1918.
[48] Van kol dallam bukunya “Nederlandsch Indie in de Staten General” hal. 112.
[49] Ibid hal. 1007.
[50] “Veertig Jaren Indische Dienst”= Empat puluh tahun berdinas di Hindia.
[51] Apa yang diuraikan oleh Mr. Brooshooft ini, terdapat juga dalam buku Van Kol “Nederlandsch-indie in de Staten General”
[52] Dr. Huender dalam bukunya “Overzicht van den Economischen Toestand der Inheemsche Bevolking van java en Madoera” (Risalah keadaan ekonomi penduduk pribumi di jawa dan Madura) menulis bahwa tahun 1905 ada 71 petani di antara penduduk. Sekitar tahun 1930 berkurang menjadi 52%. Hal ini akibat banyaknya tanah yang diambil perkebunan asing, selain banyak yang pindah ke kota karena sempitnya tanah garapan.
[53] Prof. Van Gelderen, kepala kantor Pusat Statistik di Jakarta, dalam bukunya “voorlezingen” hal. 116.
[54] Dari statistik tahun 1928 itu diketahui, upah buruh laki-laki satu hari f 0,45, dan upah buruh wanita f 0,35. Bandingkan dengan harga beras waktu itu f 0,07 (7 sen) 1 kg dan upah terendah buruh menurut Pemda Jabar tahun 1982 Rp. 850,- satu hari.
[55] Minimumlijdster = Penderita paling parah.
[56] Bandingkan dengan keadaan masyarakat kita sekarang (1982) karena tidak ada pilihan lain, orang mau saja bekerja di pabrik, walau dengan upah Rp. 200,- sehari (pabrik rokok) atau Rp. 500,- sehari (buruh tani) di jawa.
[57] Ertragslohn = upah terendah.
[58] Erhaltungslohn = upah sekedar tidak sampai mati kelaparan
[59] Walau ada usaha-usaha dan pemerintah Belanda memperbaiki kehidupan kaum tani, tapi perbaikan itu tidak menyentuh perombakan “kemiskinan strukturalnya”.
[60] Prof; Kees Boekc (1884-19):
Seorang ahli pendidikan Belanda yang menulis “Het Zakelijke en persoonlijke element in de koloniale welvaartspolitiek” (hal-hal yang wajar dan bersifat pribadi dalam politik kesejahteraan kolonial).
[61] Bandingkan dengan kehidupan kaum Marhaen tahun 1930 dengan pendapatan 8 sen sehari per jiwa, dengan upah Rp 850,- sehari dengan 5 orang (bapak, istri, dan 3 orang anak) di tahun 1982.
[62] Ernahrungswirtschaft= susunan masyarakat yang kocar-kacir.
[63] Pernyataan Prof.Boeke ini sekaligus membuyarkan teori, bahwa kedatangan orang Eropa ke Indonesia untuk “misi suci”.
[64] Sejak tahun 1931, Bung karno sudah mengingatkan akan musnahnya kekayaan yang tersimpan dalam bumi (tambang, minyak) oleh pengusaha-pengusaha tambang swasta.
[65] Hollandsch-Inlandsch-Onderwijscommissieee= Komisi pengajaran Indonesia Belanda (sekolah-sekolah HIS, MULO dan AMS waktu itu).
[66] Fock, Gubernur Jenderal Hindia belanda, pada tahun 1919 menambah pendapatan bagi kas negara menaikkan lagi pajak, termasuk dari rakyat miskin.
[67] Dikutip dari statistik “Jaaroverzicht” 1928
[68] Negeri-negeri yang sopan dan mengenai paham demokrasi, kesopanan dan kedemokrasiaannya tercermin adanya hak mogok bagi kaum buruh, kemerdekaan berserikat dan kemerdekaan pers.
[69] gewrocht der duisternis= perangkap terselubung
[70] horribel starfwetartikel= pasal-pasal 153 bis, begitu mengerikan, merupakan pasal yang menaikkan bulu roma.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar