SITUASI POLITIK LUAR DAN DALAM NEGERI [3]

Diposting oleh poentjak harapan on Minggu, 18 Maret 2012

Pidato dalam Kongres Persatuan Perjuangan tanggal 4-5 Januari 1946


Pertentangan itu tergambar pada pembagian dunia kapitalis-kapitalis: the haves and the have-nots. Berdiri atas pertentangan yang tak boleh didamaikan itu, maka Volkenbond itu adalah satu badan yang menunggu ajalnya saja. Pertentangan dalam Volkendbond itu memudahkan Jerman-Nazi menjalankan gerak-cepat. Dengan tidak perlu menghiraukan Volkenbond itu, maka Jerman bertindak sendiri: Polandia diserbu, perlawanannya patah dalam beberapa hari saja. Belanda melagakkan waterlini-nya, tetapi perlawanan Belanda itu tidak sampai 80 tahun. Belanda boleh berlagak bisa menukar perang 80 tahun yang selalu dibanggakannya itu menjadi perang 80 jam … Perancis diserang … Kalah dalam tiga minggu saja, inilah hasil muslihat gerak-cepat dan persiapan lama dan “gruadlich” (sempurna). Tetapi Jerman sendiri akan dinamakan oleh kekuatan persiapannya yang mesti grundlich itu. Dia tidak bisa menyesuaikan dirinya dengan cepat pada keadaan baru, yang tiba-tiba datangnya seperti Napoleon.
Kemenangan atas Perancis, yang laskarnya dianggap terkuat di dunia itu rupanya melewati perhitungan strategi Nazi. Kemenangan secepat itu membingungkan pemimpin militer Nazi. Dengan gerak-cepat menyerang Inggris yang lemah di masa itu, dan meninggalkan Perancis yang sebenarnya sudah menunggu knock-out saja boleh jadi Jerman bisa merobohkan Inggris. Mungkin kemudian dengan Armada Jerman, Perancis, Italia, Inggris, dan Jepang menyerbu ke Amerika yang belum siap itu. Tetapi gerak-cepat zonder “persiapan grundlich” bukanlah sifatnya strategi Jerman.
Tentara Jerman akhirnya tertahan oleh Inggris, karena Inggris mendapat kesempatan 2 bulan buat bersiap. Terhambat di Inggris dan takut pada Beruang Merah, maka tentara Nazi dengan sekonyong-konyong menyerang Soviet Russia. Tentara Nazi hampir sampai ke Moskow. Di saat inilah Jepang dibujuk dengan tawaran membagi dunia “kalau” menang. Jepang juga buntu di masa itu. Mesti pilih mati perlahan-lahan disebabkan oleh gerilya Tiongkok dan pemboikotan ekonomi dari pihak ABCD atau menerkam sebelum mati. Dia pilih yang terakhir. Jepang tidak menunggu referee. Belum lagi ditiup peluit … Armada Jepang  … Goal di Hawai.
Begitulah keadaan internasional sampai Perang Dunia II. Kita tahu siapa kalah dan siapa menang. Sekarang sudah damai, tetapi bagaimana sifat United Nations? Apakah undang-undangnya dapat dijalankan? Apakah kita mesti menggantungkan diri kita saja kepada United Nations itu?
Satu aliran di antara kita adalah bersandarkan pada kekuasaan Armada Inggris-Amerika di masa ini. Kekuasaan itu dianggap seolah-olah kekal, bulat, absolut. Saya akui kekuasaan Inggris-Amerika itu di masa ini. Tetapi sebagai satu moment dan penuh pertentangan pula. Seperti semua barang di dunia ini, kekuasaan inipun adalah relatif, bisa berubah, tidak tetap, absolut. Perhatikan sajalah perhubungan Amerika dan Inggris. Sekarang Inggris berhutang banyak. Apa Inggris mau bayar begitu saja? Sesudah Perang Dunia I Inggris ingkar membayar penuh hutangnya! Awasilah sikap Inggris terhadap hutangnya itu atau janjinya! Nyata sudah Inggris mau menjajah Indonesia langsung atau dengan perantaraan Belanda. Apakah Amerika, Tiongkok dan Rusia, apalagi Hindustan akan membiarkan Indonesia dicaplok buat memperkuat imperialisme Inggris?
Siapakah di antara mereka yang menang ingin damai bisa membiarkan berdiri terus dunia “haves and Have-nots”? Ringkasnya antara Amerika dan Inggris tiadalah “koek en ei” saja, perkoncoan tulen. Begitu juga antara Inggris dan Soviet Rusia. Perhatikanlah pertentangan Inggris dan Soviet di Eropa Barat di Asia Barat dan Iran. Bisakah kekal perhubungan Rusia proletaris dengan Amerika kapitalistis?
Ringkasnya Indonesia tak perlu bertekuk lutut begitu saja pada kekuasaan Amerika-Inggris itu, karena semata-mata beralasan anggapan kebulatan dan ketetapan perserikatan Amerika-Inggris itu. Janganlah pula berpangku tangan mengharap-harapkan bantuan United Nations yang sekarang sesudah Perang Dunia II ini kembali menghadapi persoalan seperti sesudah Perang Dunia I: Pembagian dunia atas yang kalah dan yang menang masih ada. Pembagian atas “the haves and haves nots” terus menerus. Hutang masih perlu dibayar oleh yang kalah. Pertanyaan akan timbul kembali: “Apakah yang kalah mesti bayar hutangnya dengan uang atau dengan barang?” Dimana pasar buat bahan dan barang hasil untuk the have-nots”? Cuma si have-nots bukan lagi 80 juta. Jerman termasuk Austria, tetapi bertambah dengan 40 juta bangsa Italia dan 70 juta bangsa Jepang. Jumlah 190 juta! Yang akan dihadapi oleh United Nations, ialah persoalan lama sebagai pusaka sistem lama, satu vicieuse cirkle, seperti “menghasta kain sarung saja”, tak putus-putusnya.
Sekarang kita memandang ke Indonesia. Kita tahu bagaimana caranya Belanda mengusahakan koloninya:
“God schep den Mens naar zijn evenbeeld” (Tuhan menjadikan manusia menyerupai Dirinya). Jadi sifat dan bentuknya perekonomian Belanda lebih kurang juga mempengaruhi sifat dan bentuk perekonomian Indonesia.
Bermula perlu dikemukakan di sini, bahwa negara Belanda itu berdasarkan pertanian dan perdagangan. Yang dihasilkannya ialah keju, mentega dan bloemollen. Barang ini dan hasil dari Indonesia diperdagangkannya dengan negara luar. Bukanlah negara Belanda itu satu negara perindustrian, seperti Belgia ataupun Swedia, Swiss atau Cekoslovakia.
Di stasiun Manggarai saya lihat satu lokomotip. Dari jauh kelihatan tulisan pada lokomotip tadi. Saya hampiri kelihatan tulisan “Amsterdam”. Saya tanya pada diri saya sendiri: masakan bisa pabrik Belanda mengeluarkan lokomotip. Memang disamping huruf Amsterdam tadi tertulis: “Made in Manchester”.
Selanjutnya pula saya baca di-construct di Amsterdam. Cocok dengan mesin kapal atau mesin lain-lainnya "Made in Chemnitz” atau Manchester tetapi di-construct alias di pasang di negeri Belanda. Jadi Belanda cuma tukang pasang bagian mesin yang dibikin di luar negaranya.
Kalau diperiksa lebih dalam maka nyatalah bahwa Belanda itu tak bisa menjadi negara Industri. Besi tak ada, minyak tak ada: timah, alumunium, tembaga, karet, kapas, wol, ya segala-gala tidak. Yang banyak ialah rumput dan sapi. Dengan begitu maka semangat Belanda bukanlah semangat industrialis. Semangatnya ialah semangat tani dan dagang, ialah pegadang secara pegadang tulen, pegadang kecil, bukan pula pedagang industrialis.
Sebab itulah maka kalau imperialis Belanda memandang ke Indonesia maka ia mengincarkan matanya sebagai petani dan pedagang, semangat perindustrian dan kemesinan secara modern tentu tak ada dan tak bisa ada padanya. Apalagi kalau dipikir bahwa penjajah Belanda itu merasa terpaut ole penjajah Inggris 100 tahun lampau bukanlah Indonesia yang sudah direbut oleh Inggris dari Belanda itu di masa perang Napoleon dikembalikannya kepada Belanda? Bukankah pula modal Inggris banyak ditanam di Indonesia? Jadi Belanda terpaut oleh kapitalis Inggris.
Berhubung dengan politik “opendeur” Belanda juga terpaut oleh Amerika. Belanda buka pintu Indonesia buat masuknya kapital asing.
Tetapi dengan begitu dia sendiri bersama-sama terturut oleh kapitalisme asing itu. Belanda sudah tentu tak bisa mengadakan industri yang kiranya bertentangan dengan industri Inggris dan Amerika. Belanda sudah tentu akan dapat teguran dari Inggris, Amerika atau Industrinya Belanda yang ada di Holland sendiri.
Inilah sebab kedua maka semangat perindustrian yang sudah tak ada pada Belanda itu tak pula bisa muncul kalau Belanda berada di Indonesia.
Ada pula sebab yang lain yang menekan semangat perindustrian itu. Kepintaran buat membangunkan pabrik ini atau itu tentu bisa diperoleh Belanda dari luar negaranya. Sendiri atau bersama dengan orang Indonesia dia bisa pergi ke Swiss buat “mempelajari” membikin lokomotip atau Swedia mempelajari membikin mesin Diesel, ke Belgia atau Cekoslovakia mempelajari membikin senjata. Memang rakyat Swiss atau Swedia jauh lebih pintar dari rakyat Belanda tentangan kemesinan. Kalau Belanda malu akan kebodohannya itu dia bisa pergi lebih dahulu sebagai murid ke Swiss atau Swedia itu. Kemudian kembali diam-diam ke Indonesia berlagak menjadi gurunya si Inlander. Tetapi keberatannya nanti ada pula. Si Inlander ini seperti berbukti pada semua tingkatan sekolah, mungkin lebih pintar dari Belanda itu. Dia mungkin lebih bisa membikin rencana perindustrian atau mesin ini dan itu.
Ketika monok Jepang sudah kelihatan penjajah Belanda terburu-buru mau mengadakan yang dia katakan, “industrialisasi”. Dalam hal begitu Ter Poorten sendiri di Australia mengakui bahwa pekerja Indonesia tak kurang dari pekerja manapun juga, dalam beberapa hal katanya, bahkan melebihi. Sebab pekerja Indonesia mempunyai sejarah ratusan tahun dan hatinya tetap tenang terikat pada kerjanya. Dengan pekerjaan otak dan tangan yang siap sedia semacam itu, dengan bahan yang ada melimpah di Indonesia ini, bukanlah bangsa Indonesia sendiri kelak bisa membangunkan dan ngurus perindustrian modern?
Tetapi bukankah pula dengan begitu penjajah Belanda menaruh sak wasangka kelak akan jatuh sendirinya? Ratusan tahun dahulu seorang ahli politik Italia, Machiavalli yang terkenal sudah mengatakan:
Barang siapa mengangkat orang lain dia sendiri merendahkan dirinya. Pepatah semacam ini memang benar kalau dipandang dengan mata miring dan hati sempit! Bagaimana pun juga pepatah ini cocok dengan semangat Belanda yang terkenal ialah semangat “kruindenier”, tauke kecil!
Lantaran tiga sebab tersebut di ataslah maka Indonesia sesudah 350 tahun diperintahi Belanda tetap tinggal satu jajahan berdasarkan pertanian belaka. Kita ulang lagi: pertama sebab semangatnya penjajah Belanda sendiri, bukanlah semangat industrialis, kedua takut dimarahi boss-nya ialah Inggris-Amerika dan ketiga karena momok Machiavelli tadi, ialah takut nanti disingkirkan oleh rakyat Indonesia tadi.
Dicocokkan dengan keadaan Belanda sendiri, perekonomian dan semangatnya Belanda sendiri, disesuaikan dengan bumi iklim Indonesia sendiri memangnya pertanianlah yang oleh imperialisme Belanda mesti dijadikan sendi perekonomian Indonesia. Di sana-sini bisa dibangunkan tambang ini atau itu asal saja kelak jangan bertentangan dengan keperluan boss-nya Belanda di London atau New York.
Tambang minyak tanah itu asal dikuasai atau diawasi oleh Amerika-Inggris tiadalah berkeberatan.
Tambang timah, emas, bauxit dan arang, asal tinggal tambang saja tak mengandung bahaya pada Inggris-Amerika. Asal saja musuhnya Inggris-Amerika itu seperti kapitalisme Jerman, Jepang bisa disingkirkan.
Perhatian Belanda dipusatkan kepada pertanian. Pertanian ini dibikin secara modern dan besar-besaran. Kebun dan pabrik teh, kopi, gula, kina, getah dan sebagainya, sudah amat dikenal di seluruh dunia. Hasilnya membanjiri dunia dan untungnyapun membanjiri kantongnya kapitalis Belanda yang tinggal lebih dari 10.000 km jaraknya itu. Untung, dividen dan bunga buat si Kapitalis, gaji ongkos perlop dan pensiun buat bujangnya kapitalis, alias “bestuur-ambtenaaren” dan pentolnya si Kapitalis berupa polisi dan serdadu masyhur besarnya di pelosok dunia ini.
Dibandingkan dengan gajinya Presiden Amerika yang terkaya itu apalagi dengan gajinya satu menteri Jepang, maka gajinya G.G. Indonesia adalah “omgekeerd evenredig” (perbandingan berbalik) dengan jasanya terhadap rakyat. F 450.000.000 se tahun mengalir kekantongnya Belanda buat diperbungakan di luar negara Belanda, seperti Amerika dan … Jerman Nazi.
Landbouw-industrilah puncak kesanggupan imperialisme Belanda di Indonesia ini. Mudah menyelenggarakan penghasilan semacam itu. Besar pula untungnya. Sesudah itu tiga bulan saja tebu itu sudah boleh dipotong dan digiling. Hasilnya dikirim ke semua pelosok dunia dengan perantaraan Bank, perkapalan atau asuransi Belanda. Cocok dengan semangat tani dan saudagar yang ada pada Belanda. Sisanya dimakan sendiri!
Satu perkataan yang menggelikan seorang Amerika, ialah perkataan "rijsttafel". Kata si Amerika tadi, pertanyaan yang penting buat seorang Belanda di Indonesia ialah “heb je al gerijstaafeld”? Si Amerika tadi sudah pernah diundang buat satu “rijttafel” yang mengatasi semua kemewahan.
Daftar makanan yang panjang, meja yang penuh berupa jenis makanan dan minuman, leret jongos yang panjang pula buat melayani, lebih menggelikan si Amerika tadi daripada menggembirakan. Pada kemewahan dalam makanan inilah si Amerika tadi mendapatkan pecahan soal yang sudah lama tercantum dalam hatinya. Soal itu ialah: Dari mana timbulnya “stille kracht” di antara Belanda sendiri? Si Amerika tadi berpendapat, bahwa kalau orang makan terlampau banyak, maka kupingnya bisa ngelamun mendengarkan yang tidak-tidak. Tidurnya bermimpikan hantu atau setan.
Seperti si Imperialis Inggris “membunuh” temponya dengan main golf, maka si penjajah Belanda menghabiskan waktunya dengan ‘rijsttafel”. Sesudah melayani bermacam-macam hidangan dari sop sampai opor, maka ia berhadapan dengan berjenis-jenis buah-buahan. Apabila sedikit sudah jauh malam, maka sampailah temponya buat si Bediende menghidangkan teh, kopi, bier, sampai schiedammer-nya. Kecuali “Schiedammer” semuanya bisa dibikin di Indonesia. Pabrik schiedammer pun tak usah didirikan!
Meninjau kita ke persiapan bahan di Indonesia. Menurut pemeriksaan Ir. Abendanon, di waktu Perang Dunia ke-I, maka Sulawesi Tengah banyak mengandung besi. Pun pulau Kalimantan sebelah Timur begitu juga. Logam campuran seperti timah, aluminium dan bauxit banyak sekali didapat. Kwaliteitnya tinggi pula. Ir. Abendanon membandingkan besi Sulawesi dan Kalimantan tadi dengan besi di Philipina dan Cuba yang kesohor itu. Kemenangan banyak terletak pada besi Indonesia itu. Buat kodrat pergerakan di Sulawesi bisa dipakai listrik air mancur yang turun dari Danau Towuti. Buat Kalimantan kodrat penggerak itu boleh ditimbulkan dari arang yang luar biasa banyaknya di dekat tanah logam besi itu. Pekerja mudah pula didatangkan dari Jawa.
Jadi menurut persiapan bahan dan tenaga yang ada di Indonesia, maka sepatutnyalah Indonesia mempunyai perindustrian berat dan enteng.
Cuma tempo yang dibutuhkan buat pelajaran dan pengalaman. Kalau Amerika bisa melebur “Majola steel” dari logam-besi yang diperolehnya di Kuba, kenapa Indonesia tak sanggup mengeluarkan “Towuti steel”? Kalau Amerika mengeluarkan “Ford Motor” dan lain-lain kenapa Indonesia tak akan bisa mengeluarkan “Soetomo-Motor”, umpamanya? Cuma tempo yang dibutuhkan dan … kesempatan! Kesempatan tempo itulah yang tidak bisa diizinkan kepada rakyat Indonesia. Oleh penjajah Belanda tidak, karena semangatnya dan kesanggupannya tak ada. Lagi pula karena takutnya sama momok Machiavelli, dan takutnya pada boss-nya Inggris-Amerika. Inggris akan marah, karena takut besi Manchester atau baja Sheffildnya akan mendapat persaingan besar dari besi-baja Indonesia.
Amerika akan melotot matanya sebab Majola-steelnya akan mendapat persaingan hebat dari Towuti-steel tadi. Ford-motornya lambat laun akan mati kutu oleh “Soetomo-motor” yang mendapatkan bahan melimpah-ruah di Indonesia ini, seperti besi, alumunium, timah dan …. getah. Selainnya dari pada itu tenaga yang murah, cakap dan rajin tak sering mogok, kodrat penggerak yang dekat dan murah ialah bensin. Di lenakkan oleh “rijstafel” dan ditakuti oleh “boss” Inggris-Amerika tak mengherankan, kalau besi Indonesia tinggal terpendam saja. Tak pula mengherankan kita akan kebodohan bangsa asing menghasilkannya, ialah bensin karena katanya “waardeloos”, tak berharga. Bensin yang berharga sekali buat penerbangan yang terutama didapat di Palembang itu, lama sekali terpendam dan perusahaan minyak tanah di sekitar bensin itupun tak bisa diusahakan “van wege de waardeloze benzine” tadi itulah.
Camkanlah “kebodohan” imperialisme Belanda itu! Kita memang tidak ingin menghina. Perkataan itu tidak akan kita keluarkan dari mulut kita, kalau tidak mengenal hidup dan keamanan kita yang 70 juta. Belanda yang katanya merasa mempunyai ikhlas, mesti lebih dahulu mengadakan zelf-corektie.

 

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar