Pidato dalam Kongres Persatuan Perjuangan tanggal 4-5 Januari 1946
Selainnya,
daripada keinginan hendak memajukan rakyat Indonesia itu, Belanda pemimpin
Indonesia itu, haruslah lebih dahulu memeriksa kesanggupannya buat memimpin
itu. Bukankah satu pemimpin itu yang pertama sekali mesti mempunyai sifat
“verzienheid” ialah kesanggupan memandang ke depan. Dengan begitu bisa
mengadakan payung sebelum hujan. 8 Maret 1942 memberi bukti senyata-nyatanya
bahwa sifat itu sama sekali tak ada pada pemimpin Belanda.
Apakah
pengalaman 350 tahun belum cukup lagi buat kita rakyat Indonesia yang 70 juta
ini akan sekali lagi diserahkan kepada macan kalah, kelak akan kembali dipimpin
oleh “kruidenier” dari Belanda?
Bagaimanakah
keadaan perekonomian bumi-putera di Indonesia? Buat mendalamkan arti penerangan
kita marilah sebentar kita menengok ke luar Indonesia ke Hindustan umpamanya.
Walaupun
imperialisme Inggris sudah kita kenal rakus dan galak, tetapi namun
perindustrian bumi-putera di Hindustan bisa juga timbul tumbuh. Maskapai
bumi-putera yang terkenal ialah Maskapai-Tata di Hindustan, sudah cukup
mendalam dan meluas, sudah cukup terpusat.
Maskapai-Tata
di Hindustan, mempunyai tambang arang dan tambang besi sendiri. Dia sudah bisa
membikin baja dan besi. Malah sudah bisa membikin kereta dan mesin. Maskapai
Tata juga meliputi perusahaan listrik di seluruh Hindustan. Semua perusahaan
sudah dipusatkan pada Bank-Tata yang kokoh kuat.
Pendeknya
perindustrian bumi-putera sudah sampai ke tingkat yang tinggi sekali, sudah
nasional cocok dengan aliran zaman.
Tetapi
bagaimanakah keadaan perindustrian bumi putera Indonesia?
Kita di
Indonesia sudah bangga dengan pabrik rokok kretek. Memang pabrik rokok kretek
itu sudah mempunyai modal besar. Pekerjanya sudah sampai ribuan. Pabrik rokok
itu baik buat mengepul-ngepulkan asap ke udara. Tetapi letaknya
terpencar-pencar belum disatukan oleh Bank Nasional. Pabrik atau perindustrian
bumi-putera yang meliputi seluruhnya Indonesia, seperti Maskapai Tata di
Hindustan itu belum kelihatan tunasnya.
Semangat
kapitalis bumi-putera juga bukan semangat kapitalis modern. Untung yang
diperoleh itu tiadalah selalu terus-menerus, melainkan ditukarkan dengan emas
atau perak.
Rupanya
kapitalis kita belum berapa bedanya dengan kapitalis yang lokek-kedekut. Kita
ingat akan ceritanya seorang lokek-kedekut itu, bernama Harpagen, karangan Kokiere
yang terkenal itu. Seperti si Harpagen itu kapitalis kita mengumpul-ngumpulkan
emas atau perak. Malam hari dalam waktu sunyi dideringkannya emas itu ke
telinganya. Inilah rupanya kesenangannya ialah mendengarkan deringan uang emas
di telinganya.
Matanya
dilipurnya dengan uang perak atau tembaga yang ditempelkannya ke dinding atau
rumahnya. Memajukan perindustrian itu supaya sampai ke industri berat dan
nasional, belumlah termasuk ke dalam sikap dan tindakannya kapitalis
bumi-putera.
Memang
susah buat membangunkan perindustrian bumi-putera di abad ke 20 ini. Kerajinan
setingkat manifactur, seperti berada di pintu gerbangnya zaman industri di
Eropa, seperti kerajinan pertenunan, pemintalan, pembikin perkakas dan senjata,
pembikin alat rumah dan sebagainya terlanjur lenyap disaingi oleh barang hasil
pabrik Eropa selama penjajahan Belanda.
Perkapalan
bumi-putera Indonesia itu mati terpukul oleh politik monopolinya imperialisme.
Sedikit sekali sisa perekonomian yang berarti modal dan majikan yang bsia
menahan tamparan. Imperialisme yang berupa monopoli, kulturstelsel dan
vrijhandel itu. Sisa itu tak cukup kuat buat bangun kembali di abad ke 20
melawan kapitalisme modern. Maka kapitalisme modern ini sudah terpusat pada
Badan seperti syndicaat dan ondernemersbond. Keduanya mendapat tunjangan
politik yang sepenuhnya dari semua Departemen pemerintah Belanda di Jakarta dan
dari sarang Birokrasi yang terkenal bersama Algemene Secretaris.
Borjuis
berupa kapitalis aktif, modern, memang belum ada di Indonesia! Hal ini
merugikan tetapi ada pula menguntungkan kita. Karena tak ada kelas-tengah yang
kuat maka Murba Indonesia tak banyak mendapat rintangan buat mengadakan
“tindakan-sosialis”. Keadaan ini tak berapa bedanya dengan keadaan di Russia
sebelumnya Revolusi Bolsyewik. Kaum tengah Russia tak berdaya melawan persatuan
buruh dan tani yang sangat revolusioner tersusun dan terdisiplin itu.
Lantaran
tak ada perindustrian bumi-putera yang modern serta kokoh kuat itu, maka
intelligensia Indonesia selalu saja diombang-ambingkan oleh haluan radikal atau
moderate, revolusioner atau evolusioner, keras atau lembek, coorperasi atau
non-coorperasi. Lebih dari 20 tahun lampau haluan terpelajar kita yang
terombang ambing itu sudah saya peringatkan.
Saya
sudah peringatkan pula dalam beberapa brosure bahwa baik politik cooperasi atau
non-cooperasi di Indonesia kita ini niscaya akan gagal.
Memang
di Hindustan haluan non-cooperasi bisa sedikit membawa hasil. Pemboikotan barang
pabrik Inggris yang dimasukkan ke Hindustan itu bisa dilaksanakan. Karena
Bombay dan Ahmedabad bisa mengadakan sebagian dari barang yang dibutuhkan oleh
Rakyat Hindustan yang hampir 400 juta itu:
Kain
umpamanya. Perusahaan memintal benang dan menenun kain yang dilakukan di rumah
atas anjuran Kongres itu, bisa memenuhi sebagian dari yang kurang. Jadi
pemboikotan barang Inggris itu memang menguntungkan perusahaan bumi-putera yang
sudah tinggi derajatnya itu.
Karena
itu tiadalah mengherankan kalau Kongres Hindustan mendapat sokongan uang dan
politik dari Hartawan Hindustan.
Bukanlah
begitu keadaan di Indonesia. Tingkat perindustrian bumi-putera dan persatuan di
antara kaum-tengah Indonesia belum cukup kuat buat mengadakan pemboikotan
terhadap perindustrian Barat di Indonesia yang sudah sampai ke tingkat monopoli
dan trust yang modern yang bersifat Internasional pula. Kapiltaisme asing di
Indonesia sudah mempunyai organisasi seperti Suikersyndicaat, BPM,
Ondernemersbond dan sebagainya. Semuanya badan yang bersifat monopoli ini
mempunyai pengaruh yang besar sekali atas haluan dan jalannya politik jajahan
di Indonesia. Tak mungkin perindustrian tengah bumi-putera yang cerai-berai itu
yang dipimpin oleh intelligensia yang serba bimbang itu bisa melawan trust dan monopoli
asing yang mendapat bantuan penuh dari birokrasi jajahan pula.
Haluan
non-cooperasi di Indonesia itu juga tak pernah bisa mengadakan aksi seperti
pemboikotan Tiongkok atau non-cooperasi di Hindustan.
Begitu
juga hasil pekerjaan cooperasi di Volksraad tak ada sama sekali. Tak ada hasil
yang nyata (positif) yang direbut oleh wakil bumi-putera dalam Volksraad itu.
Dalam politik, ekonomi dan sosial Indonesia sebagai jajahan belum lagi sampai
ke tingkat yang paling bawah. Di antara 61 anggota itu cuma dua tiga anggota
bumi-putera yang betul-betul mewakili rakyat.
Seandainya
61 anggota itu semuanya bumi-putera, mereka tak akan bisa membikin
undang-undang yang merugikan kapital internasional di Indonesia.
Seandainya
mereka bisa membikin undang-undang mereka tak pula akan diizinkan oleh kapital
internasional menjalankan undang-undang yang merugikan kapital internasional
itu. Di belakang Volksraad berada tentara Belanda. Di belakang tentara Belanda
ada pula bantuan kapital internasional tadi. Tetapi Volksradd sama sekali belum
sampai ke tingkat mempunyai 100% wakil rakyat Indonesia atau berhak membikin
Undang-undang apalagi menjalankan undang-undang yang semata-mata menguntungkan
rakyat Indonesia. Volksraad, sampai Belanda bertekuk lutut kepada Jepang cuma
mempunyai hak buat memberi nasehat saja.
Nasehat
itu biasanya ditaruh di bawah telapak sepatunya kapitalis Belanda. Borjuis
Indonesia yang sebagian mengandung kekuatan bukanlah borjuis industri ataupun
dagang, melainkan borjuis ambtenaar. Borjuis ambtnaar ini adalah borjuis “oleh”
Belanda dan “untuk” Belanda. Mereka dididik dalam sekolah istimewa, yang kita
kenal dengan nama MOSVIA. Untuk undang-undang yang mereka mesti pelajari dan
hafalkan buat dijalankan dengan tak boleh banyak “rewel” ialah undang-undang yang
melindungi kepentingan kapitalis Belanda dan saudara tuanya, Inggris, Amerika.
Dididik saja tentu belum cukup buat membikin, menggodok dan memasak B.B
Ambtenaar yang kita kenal.
Mereka
mesti mempunyai dasar sosial yang kokoh. Dasar itu ialah keningratan. Kaum
ningrat, yang di zaman Indonesia Merdeka bekerja pada raja di dalam jajahan
Belanda diterima sebagai pegawai penungkat jajahan itu. Mereka yang sudah
berpengalaman banyak tentangan pimpin-memimpin, dan gertak-menggertak bangsanya
sendiri, ialah “orang kecil” oleh Belanda dipakai buat keperluan Belanda.
Mereka dipakai sebagai tengkulak antara imperialis Belanda dengan Rakyat
Indonesia.
Karena
tak ada perindustrian bumi-putera yang kuat buat tempat bersandarnya kaum
intelligensia kita, maka mereka ini bimbang terus-menerus di antara Rakyat
Murba yang bersifat radikal itu dan yang berkuasa disini. Umpamanya mereka
betul tidak senang di bawah perintahnya bangsa asing. Pergerakan nasionalisme
di seluruh Asia membangunkan paham nasionalisme yang teguh di kalangan mereka.
Tetapi mereka curiga saja akan kekuatan dan hasrat murba yang sebenarnya.
Mereka enggan mencemplungkan diri ke dalam Murba.
Apabila
tentara Jepang masuk maka dengan tak sangsi lagi sebagian mereka tampil
bernaung ke bawah bendera imperialisme Jepang. Imperialisme Jepang dengan
cerdik licik selangkah demi selangkah menarik kaum intelligensia ke bawah
telapak pengabdian baru; berkerek ke Tokyo.
Kepulauan
Jepang amat miskin dalam hal semua bahan yang penting buat industri modern.
Tanah-logamnya besi diambil di Malaka dan diangkut ke Jepang. Di sana tanah
logam tadi dilebur menjadi besi dan di tempa menjadi baja. Seterusnya dibikin
menjadi mesin minyak tanah dibeli dari luar Negara pula. Arang, timah, getah,
makanan dan lain-lain didatangkan dari dan mesti dibeli di luar Negara. Buat
pembeli Jepang mesti menjual barang, ialah hasil-pabrik. Tetapi kalau sebentar
saja terganggu pesawatnya jual-beli itu maka terganggulah pula seluruhnya
perekonomian Jepang.
Maka
demikianlah timbulnya hasrat segolongan Rakyat Jepang buat memonopoli pasar di
luar Jepang terutama di Asia. Pada keadaan beginilah beruratnya imperialisme
Jepang. Dengan menguasai Mancuria lebih dahulu, kelak Jepang berharap bisa
menguasai Tiongkok Utara, Tengah, Selatan, Indonesia, Hindustan berturut-turut.
Dengan menguasai Asia, Jepang dan Amerika berturut-turut.
Pengikut
rencana “si Cebol hendak mencapai bulan ini” tidak saja berada di Jepang tetapi
juga di luarnya.
Kepercayaan
istimewa pada diri sendiri itu adalah berurat dalam pada masyarakat dan
kepercayaan Jepang.
Rakyat
Jepang kecuali beberapa orang masih percaya pada dongeng yang tingginya
sederajat dengan dongeng Indonesia sebelum Islam. Katanya ada dua Dewa laki
istri yang membentuk dan menguasai Jepang ialah Dewa Izatagi-O-Mikoto dan Izanagi-O-Mikoto.
Seorang dari turunannya itu ialah Amaterasu-O-Mikami menguasai Matahari. Salah
seorang turunannya, bernama Jimmu turun dari matahari ke kepulauan Jepang.
Tiadalah dibilangkan dengan apa dia turun. Tetapi Rakyat Jepang, ialah turunan
Dewa pula (kecuali beberapa orang) percaya, bahwa Maharaja Jepang yang dianggap
Tuhan itu, ialah turunan Dewa Amaterasu tadi. Sebagai Tuhan, maka dia, yang
oleh “umatnya” di Indonesia biasa ditulis dengan huruf besar, menguasai bumi
dan langit, menguasai politik Rakyat Jepang dan strategi Tentara Jepang.
Tentara
ini ialah tentara Maharaja Tuhan Jepang dan tak bisa kalah. Karena memangnya
tentara itu kepunyaan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang belum pernah kalah, dan belum
pernah terputus kekuasannya semenjak 2600 tahun …. Katanya sebelum kalah!
Kepercayaan
bulat-buta terhadap seorang manusia yang laku di Jepang, sebagai hasilnya
masyarakat dan sejarah Jepang tentulah tak begitu saja bisa disuruh telan
bulat-bulat kepada Rakyat Islam di Indonesia, yang sudah nasionalisme pula.
Tentara Jepang yang menyerbu ke Indonesia perlu memakai “catch-words” sebagai
semboyan pemancing. Berhubung dengan itu kita sering dengar perkataan “bushido”
Ksatria, “Hakko Ichiu”, keluarga sedunia dan lain-lain buat kemakmuran bersama
di Asia Timur Raya.
Ketika
saya di Singapura tanggal 8 bulan 12, tahun 1941, belum lagi wasit membunyikan
peluitnya tentara Jepang tiba-tiba menyerang Inggris di Malaya dan … Goal! Ini
artinya bushido ialah “mencido” alias berkhianat. Kalau Jepang berkenalan
dengan orang lain maka dia ucapkan, "haijimete o meni nakarimasu".
Artinya kira-kira "saya memperamati wajah tan hamba sambil melayang di
udara". Biasanya diucapkan dengan muka tersenyum. Tetapi kakinya si Jepang
tadi siap buat menyewet kaki kenalannya tadi, apalagi kalau si Kenalan tadi
ialah seorang “genjumin bagero”. Benar pula kalau si Kenalan tadi sudah
terlentang, karena bushidonya si Jepang, maka si Jepang memang berada tinggi di
udara memperamati kekayaan si Indonesia yang sudah jatuh terlentang tadi. Berapa
banyaknya pelayan yang jadi mangsanya politik sekeluarga dunia. Tentara Jepang
perlu heiho Indonesia, kempei-ho Indonesia dan lain-lain. Mereka perlu buat
pembantu tentara Jepang di luar Indonesia, dan kelak sehabis perang alias musuh
Jepang di dalam Indonesia. Semua “ho” alias pembantu itu lebih “bagus” kalau
dididik dari kecil.
Lebih
“bagus” pula kalau anak didikan itu mempunyai darah “Yamato”, ialah keturunan
Jepang. Entah berapa ribu banyaknya tentara Jepang memperoleh “turunan” di
Indonesia selama dia berada di Indonesia.
Buat
melakukan kemakmuran bersama dalam Asia Timur Raya itu dari Putera, ke Hokookai
dan akhirnya ke “janji” Merdeka di kelak di kemudian hari.
Kemerdekaan
itu ialah buat “kelak kemudian” hari. Kemerdekaan itu berbahaya buat Jepang,
kalau Indonesia yang kaya-raya dalam hal bahan dan tenaga itu betul bahan yang
ada di tanah dan lautnya, sudahlah tentu barang yang dibikin di Jepang dari
bahan yang mesti didatangkan dari jauh itu akan lebih mahal dari barang dibikin
di Indonesia. Kalau Pemerintah Indonesia betul pula nasionalistis bisa
kehilangan Indonesia. Apa yang ditakutkan Belanda terhadap Indonesia akan
ditakuti pula oleh Jepang. Karena itu Indonesia mesti dikebiri lebih dahulu.
Ilmu dan teknik Indonesia mesti perpuncak dari Jepang Tenno “kecil” Indonesia
mesti menyembah ke Tokyo.
Perkara
ilmu dan teknik mudah diselenggarakan. “Csamu Seire” sebegini-begitu bisa
membentuk didikan yang dicocoki oleh tentara Jepang. Dua tiga orang Kempei-Tai
bisa menjaga supaya undang-undang Jepang itu dijalankan. Tenno kecil-pun mudah
dibikin. Tetapi yang tiada mudah ialah menimbulkan rasa takut-cinta terhadap
Tenno Indonesia dan Tenno Jepang. Apalagi kalau dipikirkan, bahwa Islam adalah
bertentangan dengan kepercayaan Jepang itu dan sudah mendalam di Indonesia ini.
Semua didikan dan sistem pelajaran mesti lebih lama berlaku, umpamanya
satu-turunan 20 atau 25 tahun.
Tetapi
apakah bisa tentara Jepang menunggu 20 atau 25 tahun ini?
Di
salah satu tempat bersembunyi dekat Jakarta saya coba dengan bisik-bisik dan
dengan kiasan pula menerangkan bahwa, kalau Jepang tak bisa hancurkan Amerika
sebelum hasil industri Amerika memuncak, ialah di pertengahan tahun 1944, maka
Jepang sendiri akan hancur. Pada masa itu Jepang paling banyak bisa
menghasilkan 1000 pesawat terbang dalam sebulan, sedangkan Amerika saja sudah
100.000. Walaupun yang berbisik itu bukan memakai nama Tan Malaka, tetapi Sang
Polisi datang juga menggeledah rumah dan barang saya. Begitulah lemahnya Jepang
dalam perindustrian! Tak mengherankan ketakutan Jepang atas kebenaran tentang
kekuatannya yang sebenarnya. Sang Tempo adalah musuh besarnya Jepang. Makin
lama berperang makin baik buat musuhnya dan makin celaka buat dirinya sendiri.
Dia tergesa-gesa dalam segala-gala. Belum lagi wasit meniupkan puputnya, dia
mesti menyerbu. Akhirnya belum lagi tenno-kecilnya, sistem sosial, ekonomi dan
kebudayaannya siap di Indonesia, dia sudah disuruh oleh Sekutu bersiap
meniggalkan Indonesia.
Tahun
yang lalu, 14 Agustus, Jepang menyerah. Indonesia masih dikangkangi Tentara
Jepang. Tetapi mulutnya Tentara Jepang sudah disumbat dan tangannya dibelenggu.
Sekutu yang mau menduduki Indonesia belum tiba katanya, sebagai penerima
warisan perang, pada waktu ini atas dorongan Rakyat dan Pemuda Indonesia,
Republik ditabalkan.
Rakyat
Indonesia berhak penuh atas kemerdekaannya baik menurut teori atau prakteknya
Negara sopan di seluruh dunia ini.
Rakyat
Indonesia tak perlu sangai akan hak kemerdekaan itu. Hak itu ialah hak-alam,
hak yang diwarisi, oleh Rakyat Indonesia dari Alam Indonesia, ialah
geboorte-recht, birthright.
Kemerdekaan
itu mestinya 100 %. Baru bisa kelak Indonesia merdeka mengambil semua tindakan
yang bisa memperlindungi kemakmuran dirinya dari serangan asing. Baru kelak
Indonesia Merdeka bisa mengadakan kemakmuran yang cocok dengan bahan dan
tenaganya serta kebudayaan yang cocok dengan jiwanya. Turunan yang sekarang
mendapat kesempatan buat mempertahankan kemerdekaan 100 % itu.
Janganlah
hendaknya kita gagal mempertahankan kemerdekaan 100 % itu.
Marilah
kita bersiap menjaga, supaya kita jangan di dorong kembali kepada status yang
bukan merdeka 100 %. Dengan hasrat dan kemauan merdeka 100 % itulah hendaknya
kita menghadapi maksud dan tipu muslihatnya musuh kita yang gagas dan licik
ular itu. Di kiri kanan kita sekarang mendengar desas-desusnya cadangan
automnomie terhadap pemerintah Republik. Usul semacam ini bisa cocok kalau kita
dalam hakekatnya masih mengakui, bahwa Belanda berhak atas dunia, seperti
seorang Tuan di jaman purbakala berhak atas seorang budak belian. Usul semacam
itu sama sekali bertentangan dengan arti tulisan dari lisan lahir dan batin
Republik Indonesia yang berdiri semenjak 17 Agustus 1945 itu. Usul semacam itu
sama sekali tidak cocok lagi dengan kemauan 70 juta rakyat Indonesia.
Kalau
seandainya usul autonomie itu diterima maka kita akan berada kembali dalam
sebelum penjajah Belanda lari ketika melihat tentara Jepang. K.P.M Syndicat ini
dan itu, serta ondernemersbond akan kembali berurat-berakar disini.
Kapital
asing akan lebih merajalela disini. Mungkin semua kapital asing akan bersatu
menghadapi rakyat Indonesia dan menekan serta menghisap rakyat Indonesia.
Tetapi mungkin pula kapital asing akan berpisah mengadakan “Invloedsfeer”,
daerah pengaruh masing-masing. Hal ini akan lebih mencelakakan Indonesia yang
rakyatnya lebih miskin dari sudah-sudah itu. Indonesia yang berdiri dari
ratusan pulau itu, oleh politik “Invloedsfeer” itu mungkin akan lebih
berpecah-belah dari yang sudah-sudah. Keadaan di Tiongkok sebelum perang dunia
ini akan seperti surga kalau dibandingkan dengan neraka ciptaan autonomie itu.
Autonomie itu boleh jadi berupa Commenwealth atau gemenebest tetapi akibatnya
buat rakyat Indonesia tentulah “Gemenepest”.
Janganlah
Indonesia autonomie berharap akan bisa menimbulkan perindustrian yang akan
sanggup mengadakan kemakmuran yang berbahagia buat rakyat jelata dan kelak bisa
mengadakan perlawanan terhadap serangan dari luar, “Indonesia autonomie” itu
tetap akan tinggal Indonesia miskin buat “Murba” dan “Indonesia bulan-bulanan
buat imperialisme asing”.
Rakyat
Indonesia mesti tolak semua cadangan yang berarti autonomie, commonwealth,
Dominion, Free State itu. Rakyat Indonesia tak boleh membiarkan pemerintahannya
berunding atas dasar yang kurang dari “Merdeka 100 %” itu. Tetapi ada pula
mereka yang bertanya: Apakah kita bisa Merdeka 100 %? Lihatlah pesawat terbang
Inggris! Lihatlah kapal perang serta tank raksasanya? Jawab kita: Lihatlah
akibatnya “Bambu runcing”, berapa senapan, pelor, tommygun, meriam, tank,
bahkan kapal perang dan pesawat terbang yang direbut dengan bambu runcing.
Bambu runcing dan alat perang yang semulanya direbut dengan bambu runcing
itulah yang menahan Inggris, Nica di kota Surabaya.
Bambu
runcing mengusir Inggris, Gurkha, Nica dan Jepang dari Magelang dan mendesak ke
Semarang. Bambu runcinglah pada akhirnya yang memberi kesempatan rakyat di
garis belakang. Bambu runcing itulah pula yang memberi kesempatan kepada rakyat
Indonesia memikirkan membikin senjata baru modern atau membelinya dari pihak
manapun juga.
Kata si
Lemas tulang punggung yang tak mau kalah berjuang dengan lidah itu pula.
“Lihatlah rakyat kita yang terlantar atau mati karena menentang Inggris itu!”
Jawab
kita: “Sebab niat “menjajah kembali” dari pihak Nica itulah kita sudah puluhan
ribu rakyat dan pahlawan kita mati”.
Sebab
penjajah Jepanglah maka antara tiga empat juta rakyat Indonesia melayang
jiwanya sebagai romusha dan heiho. Sekarang kita mau tanya pula: Apakah kita
sesudah pengorbanan lebih kurang 4 juta dalam belum lagi 4 tahun itu, kita mau
kembali dijajah lagi. Kembali lagi miskin melarat, hilang lenyap dan segala
kelemahan pula kelak menghadapi kemungkinan pernag dunia ketiga.
Si
Lemas tulang punggung memang banyak alasannya. Dia lari lagi kepada United
Nations. Katanya Inggris ini disuruh ke Indonesia oleh United Nations itu.
Tanya kita pula: Apakah kita masih takluk pada putusan satu badan yang tiada
mendengarkan suara kita dan menerima ataupun meminta wakil kita? Apakah kita
mesti begitu saja ikut putusan yang diambil buat kita, tetapi tidak degan kita
(Overens, maar zonder ons)?
Kalau
perlu kita tak akan menghiraukan putusan United Nations itu, kalau ia kembali
bersifat Volkenbond, ialah perserikatan kaum penjajah yang mau menetapkan
penjajahan!
Si
Lemas tulang punggung tak mau tahu akan hasilnya diplomasi bambu runcing yang
sudah dijalankan oleh Rakyat Murba lebih kurang tiga bulan ini. Siapakah akan
mengira bahwa perkara Kemerdekaan Indonesia Rakyat Amerika memaksa majelis
rendah dan tingginya mengambil sikap yang pasti? Mencela Inggris dan Belanda
mengadakan paksaan terhadap Indonesia Merdeka?
Pemerintah,
tentara, rakyat dan terutama buruh Australia tetangga kita yang arif-bijaksana
serta mulia itu membantu kita baik pun lahir atau pun batin.
Pemerintah
Ceylon terus terang mengakui Republik kita dan menunjukkan simpatinya terhadap
perjuangan Kemerdekaan kita.
Para
pemimpin Hindustan dan Arab, Birma dan Philipina tak pula segan-segan
memperlihatkan persetujuan dengan Republik Indonesia.
Buruh
Inggris dan Belanda sedang bergerak menentang politik Imperialisme yang
dilakukan oleh pemerintahnya. Persoalan Indonesia adalah persoalan yang amat
penting dalam politiknya pemerintah Inggris dan Belanda.
Di atas
segala-gala, adalah sikap Tiongkok dan Rusia, dua Republik terbesar dan muda
remaja membantu dengan terang-terangan kemerdekaan Indonesia yang muda remaja
yang sedang berjuang dengan gagah-perkasa menghadapi musuh yang berpengalaman
dan bersenjata modern dan lengkap itu.
Tak
mengherankan kalau persoalan pengakuan atas Kemerdekaan Indonesia itu pada masa
ini adalah satu persoalan yang hangat di kalangan pemerintah negara besar di
dunia ini, di kalangan rakyat Murba di Asia dan Afrika serta di kalangan buruh
di dunia.
Semua
perhatian dunia itu ialah akibatnya diplomasi bambu runcing.
Tetapi
lebih dari siapa saja kami juga insyaf akan kelemahan kita sendiri.
Kami
tahu akan pertentangan malah percekcokan antara satu kumpulan rakyat dengan
satu kumpulan rakyat yang lain, satu isme dan isme yang lain.
Kejadian
pada masa ini di daerah Pekalongan yang kabarnya sudah menjalar ke Cirebon dan
ke Priangan Timur amat mengerikan kami. Kami juga ngeri melihat perbedaan
kemauan rakyat dan kemauan Pemerintah. Lebih mengerikan pula tindakan yang
diambil oleh tentara keamanan rakyat terhadap rakyat yang sebenarnya berkorban
terus membela Republik, seperti di Jawa Barat dan lain tempat.
Berhubung
dengan semuanya percekcokan dan kekalutan ini pada pihak kita, dan ketetapan
hati musuh menjajah kita kembali, maka kami tergopoh-gopoh mengusulkan
“PERSATUAN PERJUANGAN” ini. Bukan persatuan buat merebut kursi Parlemen dan
mencari pangkat, melainkan persatuan yang berdasarkan perjuangan mempertahankan
Kemerdekaan 100 %. Persatuan bersendi atas “MINIMUM PROGRAM” yang kelak akan
dibentangkan …
Kita
sedang memperjuangkan Kemerdekaan kita, Suara berjuang inilah yang sekarang
mendengung ke luar negara!
Dahulu
dunia luar mengenal kita orang Indonesia sebagai seorang bercawat dengan panah
duduk di bawah pohon kelapa. Inilah gambarnya bangsa Indonesia di mata orang
Eropa dan Amerika. Di mata mereka tercantum bangsa Indonesia sebagai orang
biadab dan malas. Kalau yang sudah berpakaian maka orang Indonesia itu
digambarkannya sebagai jongos kapal yang rajin, puntang-panting menyediakan
makanan atau minuman, kalau dipanggil tuannya.
Jadi
kita orang tak ber-inisiatif, lesu-malas, biadab. Tetapi bukan selamanya dan
bukan seluruhnya bangsa Indonesia malas dan biadab. Kalau orang mau membaca
sejarah bangsa Indonesia yang sebenarnya, kembalilah ke masa 2500 lampau saja.
Menurut para ahli Barat di masa itu orang Indonesia mengarungi Samudera Hindia
sampai ke Afrika. Ke Timur ia mengarungi Samudera Teduh sampai Amerika Tengah.
Benar sejarahnya bangsa Indonesia di masa itu tak berteriak keras, tetapi
berlaku: berjuang, berdagang, bersawah-ladang.
Tenang-hening
sejarah memperamati perahu ramping menuju ke Barat!
Sayup-sayup
tepuk air dipecahkan dayung Cadik namanya sebagai sayap di kiri-kanan perahu
ramping menjamin keamanan penumpangnya terhadap ombak-gelombang sering setinggi
bukit. cuma bintang di langit dan pengetahuan atas peredarannya musim yang
dijadikan pedoman oleh nakhodanya. Tetapi semangat merantau dan hati tetap
tabahlah yang menjadi jaminan sesungguhnya.
Walaupun
demikian dunia tak mengenal bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang bersatu,
membikin sejarah. Demikianlah sejarah Indonesia berdiam diri, ratusan malah
puluh ratusan tahun sampai alam Indonesia bersuara.
Krakatau
meletus menyemburkan batu dan lahar, merusakkan sekitarnya. Tetapi juga membagi
bahagia kepada manusia, karena menyemburkan abu yang menambah subur dan
makmurnya tanah. Tetapi sekarang bukan alam Indonesia yang meletus melainkan
jiwa rakyatnya yang lama terhimpit dan tertindas itu.
Jadi
rakyat Indonesia-lah yang meletus melemparkan imperialis!
Moga-moga
akan bangunlah dunia yang adil, makmur dan sentosa buat semua negara, semua
bangsa dan tiap-tiap manusia.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar