Imperialisme-modern
Tetapi,
sesudah syarat-syarat kapitalisme-modern semua selesai terurus, sesudah kredit
nasional kokoh dan sesudah jalan-jalan kereta api, terusan-terusan,
pelabuhan-pelabuhan telah rampung, sesudah kapitalisme modern menjadi subur,
maka kapital surplusnya, mulai ingin orang hendak memasukkannya ke Indonesia,
imperialisme modern lahirlah. Tak berhenti-hentinya kapitalisme modern itu
lantas memukul-mukul di atas pintu gerbang Indonesia yang kurang lekas
dibukakan, tak berhenti-hentinya kampiun-kampiun imperialisme-modern itu dengan
tak sabar lagi menghantam-hantam di atas pintu gerbang itu, tak
berhenti-hentinya penjaga-penjaga pintu itu saban-saban sama gemetar mendengar
dengungnya pekik “naar
vrijheid!” (ke arah liberalisasi), “naar vrijl arbeid” (ke arah bisnis
liberal) dari kaum kapitalisme liberal, yang ingin lekas-lekas dimasukkan. Dan
akhirnya, kira-kira tahun 1870, dibukalah pintu gerbang itu! Sebagai angin yang
makin lama makin keras bertiup, sebagai aliran sungai yang makin lama makin
membanjir, sebagai gemuruh tentara menang yang masuk ke dalam kota yang kalah, –
maka sesudah Undang-undang Agraris dan Undang-undang Tanaman Tebu de Waal di
dalam tahun 1870 diterima baik oleh Staten-Generaal
di negeri Belanda,[24] masuklah, modal partikelir itu
di Indonesia, mengadakan pabrik-pabrik gula di mana-mana, kebun-kebun teh, onderneming-onderneming
tembakau dan sebagainya ditambah lagi modal partikelir yang membuka macam-macam
perusahaan tambang, macam-macam perusahaan kereta-api, trem, kapal, atau
pebrik-pabrik yang lain. Imperialisme tua makin lama makin layu, imperialisme-modern
menggantikan tempatnya, – cara pengedukan harta yang menggali untung bagi
negara Belanda itu, makin lama makin berubah, terdesak oleh cara pengedukan
baru yang mengayakan modal partikelir.
Caranya
pengeduk berubah,- tetapi banyaklah perubahan bagi rakyat Indonesia? Tidak,
tuan-tuan Hakim yang terhormat, – banjir Jakarta yang keluar dari Indonesia
malahan makin besar, “pengeringan” Indonesia malahan makin menghebat!
“Di
dalam perbantahan tentang jajahan tahun 1848-1870 yang menjadi soal semata-mata
ialah kerja paksa dan bisnis liberal; kita lihat berulang dengan sengitnya
perselisihan pendapat dari masa keraguan sesudah jatuhnya Kompeni; juga kini
nyata jelas pendirian kaum kolot dan kesamaran pendirian oposis. Kaum
konservatif tetap menganggap milik jajahan sebagai sumber keuntungan negara,
kaum oposisi jijik dengan eksploitasi tanah jajahan itu sebagai “daerah sumber
keuntungan”. Suci dan penuh kemanusiaan cita-cita mereka hendak mencapai suatu
negeri Hindia yang bekerja merdeka dan diperintahi dengan hati yang bersih,
penuh harapan berkembang; tapi seperti juga pelopor-pelopor mereka yang
terbaik, mereka mempunyai persangkaan salah yang hampir-hampir simpatik,
seolah-olah kapital liberal hanya cukup dimasukkan saja ke negeri Hindia, niscaya
lepaslah negeri ini dari keadaannya menjadi daerah sumber keuntungan. Bukankah,
buat rakyat yang sudah letih itu, hanya ada peralihan pengeduk kekayaan
negerinya? Memang berhentilah kejelekan mencampurbaurkan kapitalisme negara dan
pemerintahan negara, dalam keadaan perhubungan di negeri Belanda, yang tak
memberi hak kepada rakyat untuk ikut bicara; tapi sejarah penjajahan yang lebih
baru telah mengajarkan, bahwa hilangnya cultuurstelsel
hanya berarti kemenangan pengeduk yang satu atas yang lain. Daerah sumber
keuntungan mendapat pemegang-pemegang andil yang baru. Kapital partikelir lebih
besar pengaruhnya kepada negara dan tentunya juga kepada daerah negara yang
dijajah. Dan tidak pernah begitu banyaknya “keuntungan bersih” mengalir justru
seperti di bawah pimpinan si pengeduk baru itu; hanya jalannya lebih tenang”… begitulah
gambaran Stokvis.[25]
Dan
tidaklah “kena” sekali perbandingan Multatuli yang membandingkan cultuurstelsel itu
dengan:
“Suatu
kumpulan pipa-pipa yang bercabang-cabang tidak terhitung banyaknya dan
terbagi-bagi menjadi jutaan pembuluh-pembuluh kecil, semuanya bermuara dalam
dada jutaan orang Jawa, semuanya berhubungan dengan induk pipa yang dipompa
oleh satu pompa kuat yang digerakkan oleh uap; sedangkan dalam pengusahaan
partikelir setiap pengejar untung bisa berhubungan dengan semua pipa dan bisa
mempergunakan mesin pompanya sendiri untuk mengeduk sumber.”[26]
Tidakkah
kena sekali perbandingan itu?
Tuan-tuan
Hakim yang terhormat, dengan dua kutipan ini, maka sifat umum
imperialisme-modern di Indonesia itu sudah cukup tergambar.
Memang,
bagi rakyat Indonesia perubahan sejak tahun 1870 itu hanya perubahan cara
pengedukan rezeki; bagi rakyat Indonesia, imperialisme-tua dan
imperialisme-modern kedua-duanya tinggal imperialisme belaka, kedua-duanya
tinggal pengangkutan rezeki Indonesia keluar, kedua-duanya tinggal drainage![27]
“Peradaban”;
keamanan, tambah penduduk, alat-alat lalu lintas, dan sebagainya.
O,
memang, zaman imperialisme modern mendatangkan “peradaban”, zaman imperialisme
modern mendatangkan peri-kehidupan damai dan “tenteram”, yakni mendatangkan
keamanan. Zaman imperialisme-modern mendatangkan tambahnya jumlah rakyat
yang deras. Zaman imperialisme-modern mendatangkan jalan-jalan yang
menggampangkan perhubungan antara tempat-tempat di Indonesia, mendatangkan
jalan-jalan kereta-api, mendatangkan pelabuhan-pelabuhan dan
perhubungan-perhubungan kapal yang sempurna.
Tetapi,
adakah itu semua dalam hakikatnya, ditinjau dari pergaulan hidup nasional,
suatu kemajuan yang setimbang dengan bencana yang disebarkan oleh usaha-usaha partikelir
itu?
Ah,
Tuan-tuan Hakim, berapakah tidak banyaknya orang yang menjadi silau matanya
oleh banyaknya modal dan hasil-hasil peradaban barat yang masuk di negeri kami
dan lantas mengira bahwa imperialisme-modern itu mendatangkan kemajuan belaka.
Berapakah tidak banyaknya orang yang terbeliak matanya oleh bayangan belakang,
terbeliak matanya oleh sariat keadaan, yang didatangkan oleh
imperialisme-modern itu dan lantas memanggut-manggutkan kepla sambil berkata:
“Memang, memang sekarang sudah lain sekali dengan zaman Kompeni atau Cultuurstelsel!
O,
memang, sariatnya memang memperdayakan. Bayangannya memang membeliakkan mata!
Imperialisme-modern itu, menurut kata Kautsky, adalah: “berlainan dengan
politik tua terhadap jajahan-jajahan perasan, yang hanya melihat dalamnya
barang-barang untuk dirampok, kekayaan untuk dikumpulkan dan diangkut ke negeri
induk sebagai kapital. Sebaliknya imperialisme-modern adalah suatu politik,
yang justru memasukkan kapital-kapital ke tanah jajahan, mendirikan
bangunan-bangunan budaya di negeri-negeri ini. Jadi, nampaknya tidak lagi
membinasakan, tapi justru memajukan budaya”.[28]
Tetapi
hakikatnya, bagaimanakah hakikatnya! “budaya” atau “cultuur” yang didatangkan
imperialisme-modern itu!
Berkata
J.E. Stokvis menutup pemandangannya atas Oost-Indische
Compagnie: “tapi keamanan dan kedamaian itu berarti suatu
perjuangan yang sia-sia, kadang-kadang suatu perjuangan satria… untuk merebut
kemerdekaan nasional; tambahnya jumlah jiwa yang pesat ialah berkembang biaknya
rakyat katulistiwa yang korat-karit dan diperlakukan tidak semena-mena”[29] dan tiap-tiap perkataan dalam
kalimat ini boleh kita pakaikan untuk zaman imperialisme-modern itu. Lagi pula,
tambahnya penduduk tidak selamanya berarti kemakmuran, tambahnya penduduk tidak
selamanya berarti kesejahteraan umum, sebagai diuraikan oleh Peter Maszlow di
dalam bukunya “Die Agrarfrage in Ruszland”.
Di
dalam kalangan kaum proletar di Eropa, tambahnya jumlah manusia lebih besar dan
lebih cepat dari di dalam kalangan kaum pertengahan dan kaum atasan, – adakah
ini berarti bahwa kaum proletar itu lebih nyaman hidupnya dari kaum borjuis?
Bahwasanya, tambahnya penduduk di Indonesia itu tak lain daripada “voortplanting van ontwrichte
en misbruikte tropenvolken”, yakni “ berkembang biaknya rakyat
katulistiwa yang korat-karit dan diperlakukan tidak semena-mena”, sebagai
Stokvis mengatakan tadi!
Dan itu
jalan-jalan lorong, itu jalan-jalan kereta-api, itu perhubungan-perhubungan
kapal, itu pelabukan-pelabuhan, – tidakkah itu bagus sekali bagi rakyat
Indonesia?
O,
memang, kami mengakui faedahnya alat-alat pengangkutan, yakni faedahnya
alat-alat lalu-lintas modern itu, mengakui pengaruhnya yang baik atas
perhubungan dan kemajuan rakyat, kami mengakui bahwa, jikalau umpamanya rakyat
Indonesia itu sekarang kehilangan semua itu, niscaya ia merasa rugi, – tetapi tak dapat disangkal bahwa alat-alat lalu lintas modern itu,
menggampangkan geraknya modal partikelir. Tak dapat disangkal, bahwa alat-alat
lalu lintas itu menggampangkan modal itu jengkelitan di atas padang
perusahaannya, membesarkan diri dan beranak di mana-mana, sehingga rezeki
rakyat menjadi kocar-kacir oleh karenanya!
Karl
Kautsky di dalam bukunya “Sozialismus und Kolonial-politik” (hal. 41) menulis:
“perbaikan alat-alat perhubungan dan alat-alat produksi itu sesungguhnya bisa
memperbesar tenaga produksi negeri-negeri yang terbelakang ekonominya, jikalau
tidak sejalan dengan itu terus-menerus bertambah besar pula bea-bea kemiliteran
dan utang-utang luar negeri. Olah adanya faktor-faktor ini perbaikan itu hanya
menjad jalan untuk memeras lebih banyak dari biasa hasil-hasil dari
negeri-negeri yang miskin, begitu banyaknya sehingga bukan saja produksi
lebih—jika ada—yang lahir dari perbaikan-perbaikan teknis, oleh karenanya
terisap habis, tapi juga begitu banyaknya, sehingga banyaknya hasil-hasil yang
tinggal di dalam negeri untuk keperluan kaum produsen, berkurang. Dalam keadaan
yang demikian itu, kemajuan teknis menjadi suatu jalan untuk pertanian
besar-besaran yang sembrono dan kemiskinan.”
Begitulah
pendapat “kaum merah”. Tetapi juga Kolonial-Direktor Dernburg, pemimpin
imperialisme Jerman sebelum perang besar, seorang yang karena itu bukan kaum
“penghasut”,—Kolonial-Direktor Dernburg yang di muka sudah kami dalilkan
kalimatnya yang begitu terus terang tentang asas-asas penjajahan yang
sebenarnya, – Kolonial-Director Dernburg itu dengan terus terang lagi berkata:
“Tapi
semua bangsa yang mempunyai tanah jajahan, telah mengalami, bahwa daerah-daerah
jajahan yang luas dengan tiada jalan-jalan kereta api, tetap menjadi harta
milik tertutup yang tidak memberikan jaminan keuntungan ekonomi”.[30]
Dan
keadaan di negeri kami? Bukti-bukti di negeri kami?
Bekas
Assisten-Residen Schmalhansen yang terkenal itu menulis:
“Tanah
Jawa mempunyai jalan-jalan kereta api dan trem, banyak sekali tanah-tanah
erfpacht telah dibuka dan diusahakan, banyak pabrik-pabrik gula dan nila sudah
berdiri,… tapi apakah semua ini bisa mencegah keadaan bahwa kesejahteraan
bukannya maju, malah menjadi mundur?”[31]
Dan
Prof. Gonggripj menulis:
“Pelengkapan
Hindia dengan alat-alat lalu lintas yang modern ini adalah suatu keperluan yang
mutlak dalam perkembangan perusahaan partikelir, yang hasil-hasilnya yang
besar-besaran harus didagangkan di pasar-pasar dunia….
Pengaruh
besar dan nyata kelihatan atas kesejahteraan orang banyak dari penduduk
bumiputra, disebabkan oleh alat-alat lalu lintas yang modern itu….belum lagi
ada.”[32]
“Keperluan-keperluan
mutlak” yang lain
“Keperluan
mutlak dalam perkembangan perusahaan partikelir!” Dan berapakah “keperluan
mutlak” yang tidak ditemukan.
Ada
aturan erfpacht
yang bersendi atas “gewetenstopper”[33], domeinverklaring[34] buat onderneming-onderneming
di pegunungan, ada aturan menyewa tanah bagi onderneming
tanah datar yang banyak penduduk; ada aturan kontrak buruh dengan poenale sanctie[35] bagi onderneming-onderneming
yang kekurangan kuli; dan “ketertiban dan keamanan” dan lapangan usaha di
mana-mana dengan “staatsafronding”[36] yang memusnahkan kemerdekaan
negeri-negeri Aceh, Jambi, Kurinci, Lombok, Bali, Bone dan lain-lain; ada
sistem pengajaran yang menghasilkan kaum buruh “halusan”; ada pasal 161 bis
Undang-undang Hukum Pidana yang meniadakan hak mogok, sedang undang-undang
pelindung buruh tidak ada sama sekali, sehingga nasib kaum buruh boleh
dipermainkan semau-maunya, — sungguh benar kapital partikelir tak kekurangan
“keperluan mutlak”, kaum imperialisme-modern berada di surga!
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar