Zaman
Kompeni
Tuan-tuan
Hakim yang terhormat, begitulah gambar imperialisme di Asia diluar Indonesia.
Dan
keadaan di Indonesia? Ah, Tuan-tuan Hakim, kita mengetahuinya semua. Kita
mengetahui bagaimana didalam abad-abad ke-17 dan ke-18 Oos-Indische Compagnie (VOC),
terdorong oleh persaingan hebat dengan bangsa-bangsa Inggris, Portugis dan
Spanyol, menanam sistem monopolinya. Kita mengetahui, bagaimana di Kepulauan
Maluku ribuan jiwa manusia dibinasakan, kerajaan-kerajaan dihancurkan, jutaan
tanaman-tanaman cengkeh dan pala saban tahun dibasmi (hongitochten). Kita
mengetahui, bagaimana, untuk menjaga monopoli di kepulauan Maluku itu, kerajaan
Makassar ditaklukkan, perdagangannya dipadamkan, sehingga penduduk Makassar itu
ratusan, ribuan yang kehilangan pencarian-rezekinya dan terpaksa menjadi bajak
laut yang merampok ke mana-mana. Kita mengetahui, bagaimana ditanah Jawa dengan
politik “devide et
empera”, yakni dengan politik “memecah belah”, seperti dikatakan
Prof. Veth atau Clive Day atau Raffles[1], kerajaan-kerajaannya
satu persatu diperhamba, ekonomi rakyat oleh sistem monopoli, contingenten[2] dan leverantien[3] sama sekali disempitkan, ya
sama sekali didesak dan dipadamkan. Kita mengetahui….tetapi cukup Tuan-tuan
Hakim yang terhormat!
Caranya
Oost-Indische
Compagnie menanamkan monopolinya, caranya Oost-Indische Compagnie
mengekal monopolinya, caranya Oost-Indische
Compagnie memperteguh monopolinya, tidak asing lagi bagi siapa yang
suka membaca.
Tetapi
, maafkanlah Tuan-tuan Hakim, bahwa kami disini mau bercerita sedikit lebar
tentang zaman Oost-Indische
Compagnie itu dan juga tentang zaman cultuurstelsel, yakni oleh karena
bekas-bekas VOC dan cultuurstelsel
itu sampai kini hari masih tampak didalam susunan pergaulan hidup Indonesia,
sehingga sifat-sifat PNI terpengaruh pula oleh karenanya.
Maafkanlah
jika terhubung dengan itu kami sependapat dengan Prof. Snouck Hurgronje yang
menulis:[4]
“Orang
bisa berkata, bahwa tidak ada gunanya membongkar-bongkar dosa lama yang bukan
salahnya keturunannya sekarang, tapi…..akibat dua abad pemerintahan yang jelek
itu atas sikap jiwa rakyat bumiputra terhadap dunia Barat, sama sekali tidak
boleh diabaikan dalam menyelediki soal-soal itu”.
Oleh
karena itu, sekali lagi, maafkanlah berhubung dengan cultuurstelsel itu,
kami mengulangi pendapat-pendapat satu dua kaum intelektual Eropa yang ternama:
“Kompeni
itu mengusai raja-raja dan kaum bangsawan dan membebaninya dengan
kewajiban-kewajiban, yang oleh mereka itu dijatuhkannya lagi diatas pundak
rakyat. Kompeni itu lebih rendah serakah daripada kejam, tetapi akibatnya
adalah sama: Penindasan!”, begitulah
Prof. Colenbrander menulis[5] dan Prof. Veth berkata:
“Kekejaman
tidak menjadi sifat jeleknya yang biasa tetapi……keserakahannya yang picik
barangkali lebih banyak merusak daripada kekejamannya. Bahkan kebuasan Nero
hanya mencelakakan sedikit orang yang berdekatana dengan dia, kesejahteraan
propinsi-propinsi tidak diganggu-gugatnya; tapi suatu pemerintahan yang jelek
peraturannya, adalah suatu bencana umum[6]
Jadi,
tidak selamanya “kejam”, tidak selamanya “wreed”
? Tetapi toh sering kejam dan buas.
Marilah
kita bacakan lagi Colenbrander tentang penaman monopoli di Ambon dan Banda:
“Coen
(Jan Pieterszoon Coen, Sk.) didalam seluruh perkara ini, yang menodai namanya,
telah bertindak dengan kelemahan yang meluar batas kemanusiaan, kekejaman yang
kelewatan bahkan dalam mata hamba-hamba Kompeni sendiri…….
Sampai-sampai
Kuasa-kuasa Kompeni pun sama terkejut membaca cerita-cerita hukuman mati yang
diceritakan dengan tenang oleh Coen di dalam surat-suratnya….”Itu benar
membikin takut, tapi tidak menerbitkan kasih”……..
demikianlah
kata mereka sendiri, yang untuk keperluan labanya, suatu bangsa yang
makmur…….hampir tumpas sama sekali[7]
“Monopoli
dagang itu harus diperjuangkan oleh orang-orang kita dan apabila sudah didapat,
maka dengan tidak pikir panjang, dipergunakan tiap cara untuk
mempertahankannya. Kepentingan-kepentingan penduduk sama sekali tidak
diperdulikan oleh kuasa-kuasa kita; kaum Islam dan kaum heiden[9] dalam mata orang Kristen
kurang harganya; menurut faham-faham zaman itu, mereka–orang gemar memakai
istilah Injil–adalah keturunan yang palsu dan sesat” yang apabila berani
melawan kompeni, jika perlu boleh dibinasakan”.
Lagi
satu dalil dari seorang Jerman, Prof. Dietrich Schafer, yang berbunyi:
“Percobaan-percobaan
mereka, memasukkan juga pulau-pulau Australia yang dekat-dekat ke dalam
lingkungan kegiatannya, sudah kami ceritakan. Tatkala ternyata, bahwa di sini
tidak ada hasil apa-apa untuk perusahaan mereka waktu yang sudah dikenal lebih
dulu. Caranya hal ini terjadi, bukan tidak beralasan orang menyebutnya yang
paling kejam dalam riwayat penjajah[10] Sebagai penutup, pemandangan
Prof. Snouck Hurgronje, yang berkata:
“Bagian
pertama dari duka cita Hindia-Belanda, namanya Kompeni dan mulai hampir sama
dengan abad ke-17. Pelakon-pelakon utamanya berhak atas rasa hormat kita,
karena energinya yang hebat, tapi maksud yang mereka kejar dan cara-cara yang mereka
pergunakan, demikian rupa, sehingga seringkali kita sukar menahan-nahan rasa
jijik kita, meskipun kita mengingat sepenuhnya akan kaidah, harus mengukur laku
perbuatan mereka dengan ukuran zaman mereka. ‘Percobaan’ itu mulai dengan
perkenalan penduduk Hindia dengan kotoran dari bangsa Belanda, yang
memperlakukan penduduk asli itu dengan penghinaan yang sangat besar, yang
mungkin mereka tanggungkan; kewajiban mereka ialah berusaha sekuat tenaga untuk
memperkaya suatu golongan pemegang andil di negeri Belanda. Ambetenaar-ambetenaar
kompeni ini, yang oleh majikan-majikannya digaji sangat sedikit, tapi tidak
kurang dari majikannya juga suka sekali beroleh laba, memperlihatkan suatu
masyarakat penuh korupsi, yang melebihi kejelekan sejelek-jeleknya yang dituduhkan
kepada bangsa-bangsa Timur[11]
Zaman
Cultuurstelsel
Begitulah
gambaran imperialisme-tua dari Oost-Indische Compagnie. Sesudah Oost-Indische
Compagnie pada kira-kira tahun 1800 mati, maka tidak ikut mati sistem monopoli,
tidak ikut mati sistem mengaut untung bersendi pada paksaan. Malahan… sesudah
habis zaman komisi-komisi dan pemerintahan Inggris, yang mengisi tahun-tahun
1800-1830; sesudah habis zaman “tergoyang-goyang” antara ideologi-tua dan
ideologi-baru, sebagai yang disebar-sebarkan oleh revolusi Prancis; sesudah
habis “tijdvak van
den twijfel”[12] ini, maka datanglah sistem
kerja paksa yang lebih kejam lagi, lebih mengungkung lagi, lebih memutuskan
nafas lagi, – yakni sistem kerja paksa dari cultuurstelsel,
yang sebagai cambuk jatuh diatas pundak dan belakangnya rakyat kami! Juga cultuurstelsel ini,
Tuan-tuan Hakim, tidak usah kami beberkan panjang lebar kekejamannya; juga cultuurstelsel ini
sudah diakui jahatnya oleh hampir setiap kaum yang mengalaminya dan oleh kaum
terpelajar yang mempelajarinya riwayatnya.
Tetapi,
juga tentang cultuurstelsel
ini, yang bekas-bekasnya sampai hari ini belum juga hilang dan mempengaruhi
susunan PNI itu (sebagai nanti akan kami uraikan), marilah kami ulangi satu dua
pendapat ahli-ahli itu.
“Pemerasan
penduduk, yang tiada batasnya lagi selain tahan tidaknya badannya, berjalan
dengan tiada alangan apa-apa,” begitu kata Prof. Gonggrijp[13].
Dan di
lain tempat pujangga ini menulis pula:
“Jadi
sistem ini tidak hanya bersendikan paksaan; paksaan itu, di dalam dua puluh
tahun pertama yang gelap dari jangka waktu yang dibicarakan di sini, lebih
berat dari beban contingenten
yang penagihannya terutama diserahkan kepada Kepala-kepala Bumiputra. Cultuurstelsel
menjadi lebih berat oleh kegiatan Ambtenaar
Eropa: ini berarti bertambah beratnya tekanan sistem itu dan
berarti pula perbaikan teknis dan keuntungan besar.”
“Tidak
ada tanaman yang begitu menjadi gangguan seperti nila[14].Tatkala nila ini akan dalam
tahun 1830 dengan cara yang sembrono dimasukkan di tanah Priangan, maka tanaman
itu sungguh-sungguh menjadi bencana bagi penduduk. Di dalam distrik Simpur di
daerah itu, orang laki-laki dari beberapa desa dipaksa mengerjakan kebun-kebun
nila, 7 bulan lamanya dengan tidak putus-putusnya, jauh dari rumahnya; dan
selama itu mereka harus mencari makanannya sendiri. Tatkala mereka kembali ke
rumahnya, didapatinya tanaman padinya sudah rusak. Selama lima bulan yang
pertama dari tahun 1831, 5000 orang laki-laki dan 3000 kerbau dari distrik itu
juga, dipaksa mengerjakan tanah untuk suatu pabrik yang telah didirikan.
Sesudah pekerjaan itu selesai, batang-batang nila tidak ada. Dua bulan
kemudian, sesudah alang-alang, rumput yang ditakuti itu, tumbuh di atas
lapangan yang telah dikerjakan itu, baru diterima untuk mengolah sekali lagi
ladang-ladang itu. Kerap kali terjadi bahwa perempuan-perempuan yang hamil
melahirkan anak waktu bekerja keras”………
Dan
Stokvis menceritakan:[15]
“Sampai-sampai
tahun 1886 masih ada daerah-daerah, dimana si penanam kopi mendapat 4-5 sen
sehari, sedang ia memerlukan 30 sen buat hidup. Di dalam perkebunan nila kerap
kali dibayarkan f8[16] setahun… Di dalam perkebunan
kopi ada pembayaran f4,50 setahun buat satu keluarga,jadi 90 sen buat satu
orang…. ”Penulis (Vitalis) itu juga melihat di tanah Priangan orang-orang
tersebut kelaparan seperti kerangka kurusnya terhuyung-huyung sepanjang jalan.
Beberapa orang begitu letih, sehingga mereka tidak bisa makan makanan yang
diberikan kepada mereka sebagai persekot; mereka meninggal….”
…”pengungsian
penduduk banyak juga kejadian di perkebunan-perkebunan itu dan dengan cara
besar-besaran. Inilah jalan satu-satunya untuk keluar dari kesengsaraan. “Pukulan
dengan pentungan dan labrakan dengan cambuk terjadi sehari-hari dan di banyak
ladang nila biasa saja orang melihat tiang-tiang untuk menyiksa orang.” “Di
sini kita melihat suatu bangsa yang tidak secara undang-undang hidup dalam
perbudakan tapi secara kenyataan. Ketakutan kepada para bangsawannya telah
merasuk ke dalam jiwa mereka; para bangsawan itu belajar pula takut kepada kaum
penjajah. Segala keberanian dan semangat merdeka yang tadinya masih hidup
dalam hati sanubari bangsa Jawa, kini hilang lenyap oleh laku Kompeni yang
kasar dan kesalahan yang fatal dari Van den Bosch[17] ialah, bahwa ia menghisap lagi
rakyat yang sudah rusak itu, penghisapan yang pada hakikatnya sama betul dengan
sistem Kompeni. Malahan lebih jahat dan lebih salah lagi! Kompeni tidak harus
memikul tanggungjawab dan tidak pernah mau memikul tanggungjawab itu, Kompeni
berdagang dengan cara-cara orang dagang yang keras. Van den Bosch mewakili
negara sendiri, negara induk, yang begitu banyak masih yang harus
diperbaikinya. Segala cara yang membikin perhubungan jajahan lebih memuakkan
lagi dari yang sudah menjadi sifatnya, telah dipergunakan olehnya dan oleh
penggantinya-penggantinya. Memaksakan suatu cara produksi Barat, jadi suatu
cara produksi yang lebih banyak syarat-syaratnya, kepada suatu masyarakat
negeri panas yang hidup bertani, sudah merupakan suatu tekanan, tapi lebih
berat lagi dukacita yang dibawa oleh nafsu kuasa si bangsa asing”…
Dua
dalil lagi, Tuan-tuan Hakim, lantas kami tutup kami punya dalil-dalil berhubung
dengan cultuurstelsel
ini: dua dalil lagi dari Prof. Kielstra dan Prof. Veth:
“Di
negeri Belanda orang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahwa di Hindia
semua pengeluaran buat pengajaran, pekerjaan umum, polisi dan sebagainya itu,
selalu dikecilkan sampai-minimum yang paling kecil, supaya “keuntungan bersih”
bisa bertambah besar; dan, yang lebih jahat lagi, oleh paksaan yang dibebankan
kepada mereka, penduduk begitu terhalang-alangi dalam memelihara sawah dan
ladangnya sendiri, sehingga dalam beberapa daerah timbul kemiskinan dan
kesengsaraan, bahaya kelaparan dan pengungsian[18], dan “bahkan buat mereka yang
melihat dalam cultuurstelsel
itu suatu kebaikan buat Jawa dan juga buat negeri Belanda; – buat Jawa oleh
karena mengajar orang Jawa bekerja, buat negeri Belanda oleh karena kas negeri
jadi berisi – , bahkan buat mereka saya kira kemunafikan yang menjadi alasan
untu memasukkannya, mestinya menjijikkan,[19] begitulah kedua profesor itu
menulis.
Tuan-tuan
Hakim yang terhormat! Oost-Indische
Compagnie mengcoar-ngacirkan rumah tangga Indonesia, cultuurstelsel
mengoar-ngacirkan rumah tangga Indonesia. Tuan-tuan barangkali bisa juga lantas
mempunyai pikiran: “Benar VOC dan cultuurstelsel
jahat, benar VOC dan cultuurstelsel
memasukkan rakyat Indonesia ke dalam kesengsaraan dan kehinaan, tetapi buat apa
membongkar-bongkar hal-hal yang sudah kuno?”
Betul
Tuan-tuan Hakim, kejahatan VOC dan kejahatan cultuurstelsel
adalah kejahatan kuno, tetapi hati-nasional tak gampang melupakannya.
‘Ingatan
orang kepada kelaliman yang dideritanya lama hilangnya; kelaliman yang orang
lakukan, lekas lupa olehnya,”
Begitulah
Sanders berkata. Lagi pula, sebagai tadi telah kami katakan, sebagai pula telah
dikatakan oleh Prof. Snouck Hurgronje yang kami kutip tadi, – akibat-akibat VOC
dan cultuurstelsel
itu, naweeen[20] VOC dan cultuurstelsel itu,
yang keduanya bersistem monopoli, sampai ini hari belum hilang, sampai ini hari
masih terbayang dalam wujud susunan pergaulan hidup Indonesia, sehingga politik
dan gerakan Partai Nasional Indonesia, sebagai nanti akan kami terangkan,
terpengaru oleh karenanya!
Pada
pertengahan abad ke-19 “kapitalisme-modern” yang bersendi kepada “bisnis
liberal” dan “persaingan liberal”, di negeri Belanda mulai timbul. Toh……cultuurstelsel yang
bersendi kepada “kerja paksa” dan yang terutama memberi untung kepada negara
Belanda itu, yang telah begitu menggemukkan kantong kapitalis Belanda
partikelir itu, cultuurstelsel
itu tidak lekas-lekas dihapuskan. Bukan oleh karena negara Belanda tak
mempedulikan kepentingan kaum pemodal partikelirnya, bukan oleh karena
kepentingan negara itu lebih ditinggikan dari kepentingan borjuis, tetapi tak
lain tak bukan ialah karena borjuis Belanda pada masa itu butuh pada cultuurstelsel itu
sebagai pembayar segala yang perlu diadakan lebih dulu bagi suburnya
kapitalisme di negeri Belanda sendiri! Henriette Roland Holst[21] di dalam bukunya “Kapital en
Arbeid in Nederland” menuliskan seperti berikut:
“Perbuatan
kaum borjuis disekitar tahun lima puluh[22] adalah praktis dan menunjukkan
kesadaran kelas yang sehat, yakni perbuatan mereka tidak melemparkan cultuurstelsel ke
sudut, sebelum mereka mengambil daripadanya segala yang bisa diambilnya…..Ada
bahaya, bahwa orang-orang yang tidak sabar dan lekas mau maju, terlalau lekas
mau memberikan orang Jawa berkah-berkah pekerjaan liberal dan menggantikan cultuurstelsel,
warisan otokrasi itu, dengan inisiatif pertikelir. Tetapi mungkin beberapa
orang berpendapat demikian, – borjuis pada umumnya mengetahui. Sebagai golongan,
mereka itu terutama merasa berkepentingan dalam hal, pertama, pelunasan utang.
Kedua, liberalisasi perdagangan dan perusahaan dengan mengurangi bea-bea dan
pajak-pajak, yang hanya bisa terlaksana oleh yang tersebut dibawah! Ketiga,
pembikinan jalan-jalan kereta-api dan jalan-jalan airm dengan tidak membebani
rakyat dengan ongkos-ongkos yang besar, suatu hal yang tentu akan mengobarkan
semangat konsevatisme pada orang-orang Belanda yang selalu hemat itu. Semua ini
perlu, sebelum bisa dimulai eksploitasi pertikelir di Hindia, sebab kredit
nasional, jalan-jalan kereta-api dan pelabuhan-pelabuhan di negeri Belanda,
harus menjadi tumpuan eksploitasi itu. Semua hal yang baik-baik itu didapat
dari keuntungan-keuntungan Hindia, jadi keuntungan-keuntungan Hindia buat
sementara harus tetap ada.”[23]
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar