Empat
sifat imperialisme-modern
Hebatlah
melarnya perusahaan imperialisme itu menjadi raksasa yang makin lama makin
bertambah tangan dan kepala! Imperialisme-tua yang dulunya terutama hanya
sistem mengangkuti bekal-bekal hidup saja, kini sudah melar jadi raksasa
imperialisme-modern yang empat macam “shakti”nya:
Pertama : Indonesia tetap menjadi
negeri pengambilan bekal hidup
Kedua : Indonesia menjadi negeri
pengambilan bekal-bekal untuk pabrik-pabrik di Eropa
Ketiga : Indonesia menjadi negeri pasar
penjualan barang-barang hasil dari macam-macam industri asing
Keempat : Indonesia menjadi lapang
usaha bagi modal yang ratusan, ribuan-jutaan jumlahnya.
—
bukan saja modal Belanda, tetapi sejak adanya “Opendeur-politiek”[37] juga modal Inggris, juga modal
Amerika, juga modal Jepang, juga modal lain-lain, sehingga imperialisme di
Indonesia kini jadi internasional karenanya.
Terutama
“shakti” yang keempat inilah, yakni “prinsip” yang membikin Indonesia menjadi
daerah eksploitasi dari kapital-lebih asing, menjadi lapang usaha bagi
modal-modal kelebihan dari negeri-negeri asing, adalah yang paling hebat dan
makin lama makin bertambah hebatnya!
Dalam
tahun 1870 jumlah tanah erfpacht
ada 35.000 bahu, dalam tahun 1901 sudah 622.000 bahu, dalam tahun 1928 sudah
2.707.000 bahu,–kalau dijumlahkan juga dengan konsesi-konsesi pertanian, jumlah
ini buat tahun 1928 menjadi 4.592.000 bahu! Jumlah tanah yang ditanami karet
kini tak kurang dari ± 488.000 bahu, hasil ± 141.000 ton jumlah kebun teh ±
132.000 bahu, hasilnya ± 73.000 ton: jumlah kebun kopi ± 127.000 bahu, hasilnya
± 55.000 ton; jumlah kebun tembakau ± 79.000 bahu, hailnya ± 65.000 ton; jumlah
kebun tebu ± 275.000 bahu, hasilnya 2.937.000 ton.[38]
Tuan-tuan
Hakim yang terhormat, jutaan, tidak terbilang milyar rupiah kapital imperialis
yang kini mengeduk kekayaan Indonesia!
Dr.F.G.
Waller, di muka rapat anggota dari
Verbond van Nederlandsche Wetgevers[39], antara lain berpidato demikian:
“Menurut
taksiran majelis majikan, keuntungan bersih dari perusahaan-perusahaan Hindia:
gula, karet, termbakau, teh, kopi, kina, minyak tanah, hasil tambang,
bank-bank, dan beberapa perusahaan kecil yang lain, dalam tahun 1924, 490 juta
rupiah, tahun 1925, 540 juta rupiah. Menurut taksiran bolehlah ditentukan,
bahwa 70% dari jumlah ini jatuh di tangan pihak Belanda, jadi kira-kira 370
juta rupiah. Kalau kita perhitungkan jumlah ini dengan bunga yang tinggi 9 atau
10%, maka harga perusahaan-perusahaan itu sekarang mencapai angka luar biasa,
yakni 3700 hingga 4100 juta rupiah. Angka ini tentu saja bukan angka yang
teliti, tapi cukup memberikan gambaran berapa harga milik Belanda di
Hindia-Belanda dan kepada saya terbukti, bahwa perhitungan yang dilakukan
dengan jalan lain sampai kepada angka yang demikian juga. Kekayaan yang di
negeri Belanda terkena pajak kekayaan ialah 12 milyar, sehingga milik kita yang
ada di Hindia tidak kurang dari 1/3 kekayaan rakyat kita semua.”
Lebih
dari 4000 juta rupiah kapital Belanda saja, Tuan-tuan Hakim yang terhormat,
tetapi jumlah semua modal asing yang berusaha di Indonesia adalah lebih besar
lagi, – yakni jikalau kita hitung dengan memakai asas perhitungan Dr. Waller
itu juga: – kurang lebih 6000 juta rupiah![40]
Enam
milyar rupiah dengan untung setahun rata-rata sepuluh persen! Tetapi berapa
perusahaan asingkah yang untungnya tidak berlipat-lipat ganda lagi. Berapa
perusahaan asingkah yang dividenya sering kali lebih dari 30, 40, ya
kadang-kadang sampai lebih dari 100%! Kita mengetahui dividen tembakau Sumatra
yang besarnya 35% dalam tahun 1924, kita mengetahui dividen kina yang
berlipat-lipat lagi, kita kenal akan dividen-dividen yang sampai 170%! Kami,
oleh karenanya, tidaklah heran kalau seorang sebagai Colijn mengatakan, bahwa
modal asing harus terus mengerumuni Indonesia itu sebagai semut mengerumuni
wadah-gula, sebagai “de
mieren den suikerpot”![41]
Ekspor,
impor, kelebihan ekspor
Memang
milyunan rupiah harganya hasil-hasil perusahaan kapital asing itu yang saban
tahun diangkut dari Indonesia, milyunan rupiah besarnya harga pengeluaran
hasil-hasil itu saban tahun. Di dalam tahun 1927 pengeluaran kopi adalah
seharga f 74.000.000,-; pengeluaran teh f 90.000.000,-; pengeluaran tembakau f
107.000.000,-; pengeluaran minyak f 155.000.000,-; pengeluaran gula f
360.000.000,- (malahan sebelum hebatnya persaingan dari Kuba, kadang-kadang
lebih dari f 400.000.000,0); pengeluaran karet f 417.000.000, jumlah semua
barang keluar tak kurang dari f 1.600.000.000,-[42]
Pendek
kata, saban tahun kekayaan yang diangkut dari Indonesia, sedikit-dikitnya f
1.500.000.000,-!
Dan
harga impor? Harga barang-barang yang masuk Indonesia? Tuan-tuan Hakim yang terhormat,
Indonesia adalah suatu tanah jajahan, di mana, sebagai tadi telah kami katakan,
prinsip imperialisme yang nomor empatlah yang paling hebat. Semua tanah jajahan
yang terutama ialah jadi lapangan usaha modal asing yang kelebihan, suatu
daerah pengusahaan surplus kapital di luar negeri. Suatu
jajahan yang demikian itu, ekspornya selamanya melebihi impor, kekayaannya yang
diangkut ke luar selamanya lebih banyak dari harga barang yang dimasukkan.
Inilah
yang menjadi sifat rumah tangga kami yang miring itu, kelebihan ekspor, dan
bukan kelebihan impor, – lebih banyak kekayaan yang keluar dan bukan lebih
banyak barang yang masuk, bahkan bukan pula “les
produits se changent contre les produits”, yakni bukan pula barang
yang keluar sama dengan barang yang masuk.
Kelebihan
ekspor di Indonesia makin lama makin besar. Di dalam tahun delapan puluhan
kelebihan ekspor itu = f 25.000.000,-; di dalam tahun sembilan puluhan sudah
menjadi ± f 36.000.000,-; di dalam tahun-tahun penghabisan abad ke-19 sudah
bertambah menjadi ± f 45.000.000,-; di dalam tahun sekitar 1910 sudah menjadi f
145.000.000,-; di dalam tahun akhir-akhir ini sudah menjadi f 700.000.000,-[43]. Ya, di dalam tahun 1919
mencapai rekor f 1. 426.000.000,-[44]
Bahwasanya,
– Indonesia bagi kaum imperialisme adalah suatu surga, suatu surga yang di
seluruh dunia tidak ada lawannya, tidak ada bandingan kenikmatannya:
“Kalau
kita bandingkan dengan angka-angka internasional…nyatalah bahwa tidak satu
negeri lain persentase kelebihan ekspornya begitu tinggi seperti
Hindia-Belanda,” begitu Prof, Van Gelderen, kepala Centraal Kantoor voor de statistiek di
sini, berkata.
Nasib
Rakyat
Dan bangsa Indonesia?
Bagaimanakah nasib bangsa Indonesia?
Menjawab
Mr. Brooshooft, seorang yang bukan sosialis, di dalam bukunya “De Ethisce Koers
in de koloniale Politiek”:
“Jawabnya
singkat aja, kita jerumuskan dia ke dalam jurang!” “Kita jerumuskan dia ke dalam
lumpur kesengsaraan, yang di dalam pergaulan hidup Barat meneggelamkan jutaan
manusia sampai ke batang lehernya: pemerasan orang yang tidak
punya apa-apa selain tenaga kerjanya, oleh orang yang memegang kapital, yakni
menggenggam kekuasaan.”[45]
Ah,
Tuan-tuan hakim, begitu banyak orang bangsa Belanda yang tidak mengetahui
kesengsaraan rakyat Indonesia. Begitu banyak bangsa Belanda yang mengira, bahwa
rakyat Indonesia itu senang kehidupannya.
Meskipun
demikian… tidak kurang pula orang-orang pandai bangsa Belanda yang menunjukkan
kesengsaraan ini dalam buku-buku, karangan-karangan atau pidato-pidato, –tidak
kurang kaum terpelajar bangsa kulit putih yang mengakuinya! Kesengsaraan rakyat
Indonesia harus diakui oleh siapa saja yang mau menyelidikinya dengan hati yang
bersih; kesengsaraan
rakyat itu bukan “omong-kosong” atau “hasutan kaum penghasut”. Kesengsaraan itu
adalah suatu kenyataan atau realiteit yang gampang dibuktikan dengan angka-angka.
Lagi pula, tuan-tuan hakim, adanya kelebihan-kelebihan ekspor itu saja, – yang
juga bukan “omong-kosong”, melainkan suatu barang yang nyata oleh adanya
angka-angka statistik — adanya hal bahwa negeri Indonesia itu lebih banyak
diangkuti kekayaan keluar daripada dimasukkan. Adanya hal itu saja, sudah
cukup bagi siapa yang mempunyai sedikit pengetahuan tentang ekonomi, bahwa di
sini keadaan adalah “miring”, — bahwa di sni tidak ada “keseimbangan”. Dan
bukan saja keadaan itu “miring”, bukan saja ada “tidak seimbang” — tetapi (oleh
sebab kelebihan-kelebihan ekspor itu makin lama makin besar), keadaan “miring”
itu makin lama juga makin “miring”, “tidak seimbang” itu makin lama juga makin
tidak seimbang!
Tatkala
membicarakan kelebihan-kelebihan ekspor ini, berkata D.M.G.Koch:
“Tentu
saja pengambilan yang teratur dan saban tahun bertambah besar dari
jumlah-jumlah uang dari negeri Hindia, berarti hilangnya kekayaan-kekayaan yang
mungkin bisa dipergunakan untuk perkembangan ekonominya.”[46]
Lagi
pula tuan-tuan Hakim, tidakkah pemerintah sendiri mengakui adanya “kekurangan
kesejahteraan” itu, tidakkah pemerintah sendiri mengakui adanya “mindere welvaart”
itu, tatkala pemerintah beberapa tahun yang lalu mengadakan “mindere welvaartscommissie”
(komisi untuk menyelidiki kekurangan kesejahteraan). Tidakkah Menteri Idenburg[47] sendiri dua puluh lima tahun
yang lalu telah menyebutkan chronischen nood, suatu “kesengsaraan yang
terus-menerus”, “yang sekarang berjangkit di sebagian besar tanah Jawa”,
tidakkah
menteri itu mengakui pula adanya suatu “kemelaratan yang sudah mendalam”, suatu
“ingevreten armoede”,[48] sehingga “keadaan ekonomi dari
sebagian besar penduduk, sangat jeleknya”?
Tidakkah
menteri jajahan itu juga mengakui pula adanya “penyerotan rezeki keluar”, yakni
adanya “drainage”,
walaupun ia berpendapat bahwa:
“menunjukkan
penyakit ini lebih gampang dari mendapatkan obat untuk menyembuhkannya”?[49]
Dan
tidak kurang pula orang-orang Belanda lain yang mengakui keadaan ini pada zaman
itu; Tuan Pruys v.d. Hoeven, bekas Anggota Dewan Hindia, di dalam bukunya
“Veertig Jaren Indische Dienst”,[50] menulis:
“Nasib
orang Jawa dalam empat-puluh tahun yang akhir ini, tidak banyak diperbaiki. Di
luar golongan kaum ningrat dan beberapa hamba negeri, masih tetap hanya ada
satu kelas saja yang hidupnya sekarang makan besok tidak. Suatu kaum yang agak
berada, belum lagi bisa terbentuk, sebaliknya dalam tahun-tahun belakangan ini
kita lihat terakhir suatu kelas proletar, yang terdahulu hanya terdapat di
ibukota-ibukota.”
H.E.B.
Schmalhausen, bekas asisten residen, di dalam bukunya, Over Java en de Javanen,
bercerita:
“Saya
sudah melihat dengan mata sendiri, bagaimana orang-orang perempuan,–sesudah
berjalan beberapa jam lamanya, sampai di tempat yang dituju dan mengalami
peristiwa, bahwa mereka tidak bisa ikut mengetam padi, karena kebanyakan
pekerja. Maka ada yang menangis tersedu-sedu lalu duduku di tepi jalan, putus
asa. Keadaan-keadaan yang demikian itu baru bisa kita mengerti, sesudah hidup
lama di pedalaman, itupun kalau kita cukup punya perhatian kepada negeri dan
penduduk dan senantiasa membuka mata!” “Kami membikin ……perhitungan…..menurut
keterangan-keterangan yang benar dan hasilnya ialah, bahwa harga padi yang
mereka terima (sebagai upah) sebanyak-banyaknya f 0.09 sehari.”
Untuk
mencari upah 9 sen yang menyedihkan ini dengan kerja berat di panas matahari
yang terik, seperti kita katakan tadi, perempuan-perempuan kadang-kadang harus
berjam-jam lamanya berjalan kaki dan kadang-kadang ditolak pula.
Kenyataan-kenyataan seperti itu lebih membukakan mata bagi keadaan-keadaan yang
sebenarnya dari banyak perslah-perslah dan pidato-pidato yang mengenai luarnya
saja.” (hal. 14).
Dan Mr.
Brooshooft menulis kalimatnya yang termashur: “Kita jerumuskan dia ke dalam
jurang”, Wij duwen
hem ini den afgrand”, sedang di dalam Staten-Generraall perkara inzinking
(kejatuhan) ini ramai dibicarakan. Terutama van Kol tidak berhenti-hentinya
membongkar keadaan-keadaan ini, tidak berhenti-hentinya membicarakan: negeri
yang tiada sumsum lagi” atau “uitgemergelde gewesten” itu, tidak
berhenti-hentinya menggambarkan nasib “jajahan sengsara” atau noodlijdende
kolonie” ini, tidak berhenti-hentinya menangiskan “kemunduran manusia dan
ternak” itu. Yakni “physieke achteruitgang van menschen en vee”.[51]
Begitulah
keadaan beberapa tahun yang lalu, Adakah
keadaan sekarang berbeda? Adakah keadaan hari ini lebih baik?
Tuan-tuan
hakim yang terhormat, tadi sudah kami buktikan dengan angka-angka, bahwa drainage Indonesia
tidak makin surut, tidak makin kecil, melainkan makin besar, makin membanjir,
mendahsatkan, bahwa kelebihan-kelebihan ekspor makin tak berhingga, — bahwa
ketidakseimbangan makin menjadi tidak seimbang! Bagi siapa yang mau mengerti,
maka tidak boleh tidak, drainage
yang makin membanjir itu pasti berarti rakyat makin sengsara, pasti
berarti rakyat itu, dengan perkataan Mr. Brooshooft, makin terjerumus ke dalam
“jurang”! Jikalau di zaman Pruys v.d. Hoeven kita sudah melihat “suatu kelas
proletar, yang dahulu hanya terdapat di ibukota-ibukota”, kalau di zaman Mr.
Brooshooft kita sudah melihat “pemerasan orang yang tidak punya apa-apa selain tenaga
kerjanya, oleh orang yang memegang kapital”.
Jikalau
kita di zaman itu sudah melihat daya yang “memproletarkan”, yakni proletariseeringstendens
dengan senyata-nyatanya,– bagaimanakah kerasnya proletariseeringstendens itu di zaman
kita sekarang ini, di mana pengedukan kekayaan secara imperialistis itu makin
lama makin mengaut, kapital asing makin lama makin bertambah banyak dan
bertambah besar “shaktinya”!
Di
dalam buku Dr. Huender “Overzicht van den Econ. Toestand der Inheemsche
Bevolking van Java en Madoera”, kita membaca:
“Sedang
di tahun 1905 jumlah penduduk dewasa yang bekerja tani, ada 71%, menurut
maklumat-maklumat yang akhir di Dewan Rakyat……sekarang ini hanya 52% saja yang
semata-mata mempunyai penghasilan dari pertanian”….[52]
dan
Prof, van Gelderen dari Centraal
Kantoor Voor de Siatistiek menulis:
“Perkembangan
perusahaan asing dengan sendirinya cenderung kepada usaha untuk senantiasa dan
berangsuur-angsur secara lebihh besar-besaran melaksanakan perbandingan pokok
ini: majikan dan kapital, jadi juga keuntungan, bagi bangsa asing; dan kaum
buruh, jadi juga upah, bagi bangsa bumiputra. Memang dengan demikian bertambah
besar permintaan kepada tenaga buruh dan bertambah besar jumlah penduduk yang
mendapat penghasilan berupa upah. Tapi hal ini terjadi secara sangat berat
sebelah seperti berikut. Penduduk bumiputra menjadi suatu bangsa yang terdiiri
dari kaum buruh belaka dan Hindia menjadi buruh antara bangsa-bangsa.”[53]
“Bangsa
yang terdiri dari kaum buruh belaka” dan “ menjadi buruh antara bangsa-bangsa”,
Tuan-tuan Hakim,—itu bukan nyaman! Itu bukan memberi harapan besar bagi hari
kemudian! Itu bukan memberi perspektif pada hari kemudian itu, jikalau
terus-terusan begitu! Tidakkah oleh karenanya, wajib tiap-tiap nasionalis
mencegah keadaan itu dengan sekuat-kuatnya? Tidakkah hal ini saja sudah cukup
buat membenarkan kami punya pergerakan?
“Bangsa
yang terdiri dari kaum buruh belaka” — amboi, dan berapa besarkah upah yang
biasanya diterima oleh Kang Kromo atau Kang Marhaen itu! Berapakah, umpamanya,
besarnya upah di dalam perusahaan yang terpenting, yakni perusahaan gula, —
perusahaan gula yang terdiri di tengah-tengah pusat pergaulan hidup Bumiputra,
di tengah-tengah ulu hati pergaulan hidup itu? Menurut Statistisch Jaaroverzicht
: rata-rata hanya f 0,45 seharu bagi orang laki-laki dan f 0,35 sehari bagi
perempuan![54]
Sesungguhnya,
Dr. Huender tak salah kalau ia menulis:
“Perusahaan
gula buat orang Indonesia yang berhak atas tanah, adalah merugikan: upah-upah
yang dibayarkan kepada orang-orang Indonesia yang bekerja padanya, jika tidak
terlalu rendah untuk menolak maut, setidak-tidaknya adalah upah minimum, yakni
upah yang paling rendah”
Dan
bukan di dalam perusahaan gula saja kita dapatkan “Upah yang paling rendah”
atau “minimumloonen”
itu! Upah minimum di Indonesia kita dapat di mana-mana. Selama rumah tangga
rakyat Bumiputra masih suatu rumah tangga yang kocar-kacir, selama rakyat
Bumiputra masih “minimumlijdstef”[55], sebagai dikatakan Dr.Huender
selama itu pula upah-upah dimana-mana tentulahberwujud upah-upah minimum, — selama
itu maka rakyat yang kelaparan itu tentu terpaksa menerima saja upah-upah yang
bagaimanapun juga rendahnya, “buat menolak maut”, “om er het leven bij te houden”.[56] Prof, van Gelderen di dalam
bukunya dengan seterang-terangnya menunjukkan perhubungan sebab akibat antara
rumah tangga kami yang kocar-kacir ini dengan rendahnya upah-upah di dalam
pergaulan hidup kami, — upah-upah di dalam pergaulan hidup kami yang menurut
pendapatnya, bukan “Ertragslohn”[57] tetapi “Erhaltungslohn”[58] yakni upah yang “sekedar
supaya jangan sampai mati kelaparan”, — upah yang “sekedar sama dengan
ongkos-ongkos hidup yang paling rendah”!
Dan
hidupnya, bestaannya
rakyat umum? Bagaimanakah hidupnya rakyat umum? Di atas sudah kami katakan,
bahwa Dr. Huender menyebut rakyat Bumiputra itu “minimumlijdster” (penderita minimum).
“Yang
paling sukar dan paling mengkhawatrikan berhubung dengan keadaan ekonomi di
jawa dan madura, ialah bahwa penduduk yang telah dibebani sampai batas
kesanggupannya itu rupanya adalah “penderita minimum” dan bagi mereka ternyata
beberapa peraturan yang diadakan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan mereka,
tidak mempan…[59]
begitulah
kesimpulan Dr. Huender. Dan Prof. Boeke di dalam bukunya “Het zakelijke en
persoonlijke element in de koloniale welvaartspolitiek”, berkata:
“Si
tani kecil, pak tani Jawa yang miskin itu …. bukan saja melarat hidupnya, tapi
tidak bisa pula mempengaruhi apa-apa kesejahteraan sekelilingnya; sisa-sisa
yang sedikit dari perusahaannya, tidak memungkinkan dia, di luar
keperluan-keperluannya yang paling penting sehari-hari, memenuhi
keperluan-keperluan lain yang agak berarti juga, yakni keperluan-keperluan yang
bisa diadakan oleh lain-lain golongan masyarakat, yang menunggu-nunggu apa yang
akan diminta dan ditawarkannya. Yang terutama bisa dikerjakannya dalam
masyarakat, ialah menekan tingkat upah.”[60]
“Hidup
yang melarat”, “een Ellendig
bestaan” Tuan-tuan! Hakim, begitulah pendapat Prof. Boeke, seorang
yang toh bukan bolsyewik atau “penghasut”, — melainkan seorang ahli ekonomi
yang ternama! Angka-angka, Tuan-tuan Hakim? Menurut perhitungan Dr. Huender,
penghasilan seorang kepala rumah tangga marhaen setahun ialah rata-rata f
161,-, jumlah beban rata-rata/22.50,- jadi bersih penghasilan setahun adalah f
161,- — f 22.50 = f 138.50, (seratus tiga puluh delapan rupiah lima puluh
sen!), Tuan-tuan Hakim, di dalam dua belas bulan! Yakni, bleum sampai f 12. –
sebulan; yakni belum sampai f 0.40 sehari yakni, kalau dimakan lima orang
(besarnya sama rata), belum sampai f 0.08 sehari seorang![61] Sesungguhnya, sejak kalimatnya
Pruys v.d. Hoeven yang berbunyi bahwa kebanyakan rakyat hidupnya “sekarang
makan besok tidak” sejak perkataannya Mr. Brooshooft bahwa rakyat terjerumus ke
dalam “jurang”, sejak dengungnya suara van Kol yang mendakwa atas adanya
“negeri-negeri yang tiada sumsum lagi”, atau “jajahan yang sengsara” atau “
kemuduran manusia dan ternak”, — sejak zaman itu tetaplah bangsa kami hidup
“sekarang makan besok tidak”, tetaplah bangsa kami hidup dalam “jurang”,
tetaplah bangsa kami hidup dalam “jajahan yang sengsara”!
Bahwasanya,–drainage yang kami
derita dengan tiada berhentinya itu, tak luput menunjukkan
pengaruhnya,–imperialisme-modern tak luput menunjukkan kejahatan
shakti-shaktinya!
Orang
bisa berkata: “Adakah imperialisme modern itu berkejahatan? Gula “memasukkan”
uang ke dalam pergaulan hidup Indonesia dengan upah-upah dan penyewaan tanah;
karet, teh, kopi, kina, hanya membuka tanah-tanah hutan yang jauh dari rakyat;
minyak tanah keluarnya dari sedalam-dalamnya tanah, — semua memberi “berkah”
pada rakyat dan kesempatan berburuh!
O,
memang, — memang gula “memasukkan” uang; memang onderneming erfpacht tidak
begitu “mengenai” rakyat; memang minyak dibor dari sedalam-dalamnya tanah; —
memang semua memberi kesempatan berburuh. Tetapi marilah kita membaca
pemandangan Prof. Snouck Hurgronje, bagaimana macamnya “berhak” (kalau ada
“berhak”), yang modal asing itu berikan kepada kami dan sebagaimana macamnya
kaum modal asing itu “memelihara” kesejahteraan kami:
“Manfaat-manfaat
yang diterima oleh penduduk Bumiputra dari modal Eropa itu, hanya sisa-sisa
hasil pekerjaan kaum majikan, bukan dimaksud dan sekali-kali tidak dimaksud
terutama untuk mereka. Tujuan mereka ialah…..cari duit….. Seandainya “wadah gula’ tadi –
untuk memakai perbandingan Colijn –mulai kosong, oleh karena satu atau lebih
hasil-hasil bumi mengalami krisis harga, maka segeralah semut-semut itu
menyusup lagi ke dalam tanah, dengan tidak memperdulikan sedikit juga nasib
rakyat yang 35 atau 50 juta, yang tadinya senantiasa mengisi wadah gula itu.
Selama, seperti sekarang ini, semut-semut itu berdesak-desak mengerumuni wadah
gula itu, artinya, selama onderneming-onderneming
Eropa itu beroleh untung, maka kepentingan-kepentingan orang Bumiputra terhadap
usaha mereka yang sewajarnya untuk mencapai untung yang lebih besar lagi, tidak
aman, jika tidak ada alat penjagaan yang kuat…. Orang tidak usah seorang
antikapitalis untuk mengerti betapa berbahayanya kapital Barat mengancam
penduduk Bumiputra dari suatu tanah jajahan.”
Marilah
kita juga ingat akan kenyataan, sebagai yang diterangkan oleh Prof. Van
Gelderen di dalam bukunya tadi, bahwa tinggi-rendahnya upah itu adalah
ditetapkan oleh “tenaga produksi” pergaulan hidup umum,— bahwa jikalau
pergaulan hidup itu kocar-kacir, upah pasti kocar-kacir dan serendah-rendahnya
pula: — bahwa jikalau pergaulan hidup umum itu suatu “Ernahrungswirtschaft”[62] upah pasti hanya
“Erhaltungslohn” saja! Marilah kita ingat, bahwa keadaan rakyat Indonesia yang
sebenarnya, memang membenarkan kenyataan ini, — yakni, bahwa, di mana rakyat
Bumiputra itu umumnya adalah “minimumlijdster”,
upah yang biasa diterimanya juga memang hanya “minimumloonen”, “Erhaltungslohnen”
belaka! Marilah kita ingat, bahwa industri imperialisme yang cita-citanya
membikin untung setinggi-tingginya itu, dan yang karena itu, mempunyai
kepentingan atas adanya upah-upah yang serendah-rendahnya (yakni mempunyai
kepentingan atas adanya loonen
yang “minimumloonen”)
– oleh karenanya, mempunyai kepentingan pula atas tetapnya pergaulan hidup kami
ini dalam keadaan yang kocar-kacir, mempunyai belang atas tetapnya kami punya
rumah tangga atau Wirtschaft
itu bersifat “Ernahrungswirtschaft”
adanya!
Prof.
Van Gelderen menulis:
“Apabila tenaga
produksi dari penghasil Bumiputra bertambah besar dan oleh karenanya harga sewa
tanahnya jadi lebih tinggi, maka dalam suatu cara perkebunan tertentu dari
pengusaha-pengusaha Eropa, bertambah kurang keuntungan perusahaannya. Ini suatu
pertentangan kepentingan yang tidak bisa dimungkiri, dan sekali-sekali terasa
benar”. “Perbedaan hasil pekerjaan dalam hal dipergunakan pekerjaan orang
Bumiputra dan dalam hal dipergunakan pekerjaan orang asing, buat sebagian besar
menguntungkan pengusaha asing. Makin kecil perbedaan ini, disebabkan karena
tenaga produksi pekerja Bumiputra dalam lingkungan sendiri bertambah
besar (ini pada hakekatnya berarti tenaga produksi dalam pertanian Bumiputra),
maka makin kecil pula sumber keuntungan yang lain dari perusahaan besar asing
ini.”
Dan di
dalam buku Prof. Schrieke “The effect of Western Influence on native
civilizations in the Malay Archipelago”, kita membaca kalimat Tuan
Meyer-Ranneft yang sekarang menjadi Ketua Dewan Rakyat:
“Jumlah
yang diterima oleh kaum modal dan perusahaan industri, menjadi sebanding lebih
besar dengan bertambah jeleknya tingkat kehidupan Bumiputra,”
Sedang
Prof. Boeke dengan lebih terus-terang lagi berpidato:
“Mereka,
— (kaum modal asing, Sk), terutama menjalankan rol ekonomi yang diharapkan oleh
dunia dari tanah jajahan, mereka pandai mengeduk kekayaan dari Hindia pada
umumnya dan dari bumi Hindia pada khususnya dan membikin negeri itu memberikan
keuntungan-keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya, mereka itu terutama
menghasilkan barang-barang yang diperlukan di pasar dunia dan mereka mengharap
dan menuntut dari Hindia tidak lebih dari tanah yang baik dan tenaga buruh yang
murah; penduduk bagi mereka tidak lebih dari suatu alat (ini yang mengenai
penduduk tanah Jawa) atau penyakit yang perlu (ini yang mengenai penduduk di tanah
seberang)[63]. Buat mereka yang penting
hanya… penawaran tenaga buruh dan harga tanah; apa yang menambah banyak
penawaran dan menurunkan harga, menguntungkan bagi mereka. Mereka itu adalah,
mereka harus jadi, apa yang disebut oleh orang Jerman dengan tepatnya “Real-politiker”,
harus mendahulukan kenyataan dan kesoalan, anasir cita-cita dan perseorangan
buat mereka itu tidak sehat atau lebih lagi.”
Dengan
lain perkataan: Kaum modal partikelir mempunyai kepentingan atas rendahnya
tenaga produksi dan rendahnya tingkat pergaulan hidup kami, imperialisme-modern
karena itu, mengalang-alangi kemajuan sistem sosial kami itu,
imperialisme-modern karena itu suatu rem bagi kami punya kemajuan ekonomi
sosial!
Benar
sekali, — imperialisme-modern “membikin rakyat Bumiputra menjadi bangsa yang
terdiri dari kaum buruh belaka dan membikin Hindia menjadi si buruh di dalam
pergaulan bangsa-bangsa”!
Dan si
buruh yang bagaimana, Tuan-tuan Hakim!, — si buruh yang loonen-nya. minimumloonen, si
buruh yang Wirtschaft-nya
Minimumwirtschaft!,
si buruh yang upahnya upah Kokro!
Hati nasional tentu berontak atas kejahatan imperialisme-modern yang demikian
itu!!
Lagi
pula, — siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan Indonesia
yang diambil oleh mijnberdrijven
partikelir, yakni perusahaan-perusahaan tambang partikelir, sebagai timah,
arang batu, minyak! Siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi
kekayaan-kekayaan tambang itu?
Musnah,
musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya bagi kami, musnahlah buat
selama-lamanya bagi pergaulan hidup Indonesia, masuk ke dalam kantong beberapa
pemegang andil belaka![64]
“…Perusahaan
hasil tambang, yangblama-kelamaan menghabiskan kekayaan-kekayaan tambang itu,”
begitulah Prof, Van Gelderen menulis.
“Juga
di dalam hal ini, yang tinggal di dalam negeri hanya ongkos-ongkos produksi
saja. Hasil bersihnya jatuh ke tangan pemilik modal asing.
Di
dalam hasil bersih ini termasuk bukan saja bunga dan keuntungan pengusaha, tapi
juga apa yang dinamakan “bunga pertambangan”, yakni pembayaran bagian monopoli
yang tidak bisa diganti, bagian yang ada dalam penghasilan segala perusahaan
tambang, yang mempunyai tenaga produksi yang lebih dari ‘batas tenaga
produksi’. Dengan jalan penghapusan dan pencadangan julah kapital yang ditanam
dalam pertambangan bisa tetap dala tangan si pemilik. Tapi barang yang
dikerjakan ini, yakni batu arang, minyak tanah, timah, musnah buat
selama-lamanya”!
“Musnah
buat selama-lamanya!” “Onkerroepelijk
verloren!” Bahwasanya, “bangsa kaum buruh”, “minimumloonen”, “minimumlijdster”, “kemajuan
ekonomi sosial direm”, “kekayaan tambang musnah buat selama-lamanya”, semua
perkataan-perkataan itu tidak menggembirakan! Dan toh…. apakah hak-hak bangsa
kami, yang kiranya boleh jadi “imbangan” dari keadaan ekonomi yang menyedihkan
itu? Apakah hak-hak bangsa kami yang boleh dipakai sebagai obat di atas luka
hati nasional yang perih itu? Pengajaran? Oh, di dalam “abad kesopanan” ini di
dalam “eeuw van
beschaving” ini, menurut angka-angka Centraal Kantoor voor dee Sfatistiek,
orang laki-laki yang bisa membaca dan menulis belum ada 7%, orang perempuan belum
ada… 1/2%. Dan toh, Hollandsch-Inlandsch-Onderwijscommissieee[65] memajukan usul memberhentikan
penambahan Hollandsch-Inlandsch-Onderwijs!
— Pajak-pajak enteng? Laporan Meyer-Ranneft-Huender menunjukkan, bahwa Kang
Marhaen yang pendapatnya setahun rata-rata hanya f 160.— itu, harus membayar
pajak sampai kurang lebih 10% dari pendapatannya; bahwa bagi bangsa Eropa pajak
yang setinggi itu baru dikenakan kalau pendapatannya tak kurang dari f 8.000,-
sampai dengan f 9.000,- setahun!; bahwa pajak yang istimewa mengenai Kang
Marhaen, yang pada tahun 1919 sudah mencapai jumlah f 86.900.000,-itu, di bawah
pemerintahan Gubernur-Jenderal Fock[66] dinaikkan lagi menjadi f
173.400.000,- setahun!; bahwa teristimewa beban-beban desa sering berat sekali
adanya!
Kesehatan
rakyat atau hygiene? Di seluruh Indonesia hanya ada 343 rumah sakit gubernemen,
kematian bangsa Bumiputra setahun tak kurang dari ±20%, ya, di dalam kota-kota
besar sampai kadang-kadang 30, 40, 50%[67], seperti di betawi, di
Pasuruan, di Makassar! Kesempatan bekerja di pulau-pulau luar tanah jawa? Soal
kontrak dan poenale
sanctie, perbudakan zaman baru atau moderne slavernij itu,
seolah-olah takkan habis-habisnya di-“pertimbangkan” dan sekali lagi
dipertimbangkan”.
Perlindungan
kepentingan kaum buruh? Peraturan yang melindungi kaum buruh tak ada sama
sekali, arbeidsinspectie
tinggal namanya saja, hak mogok, yang di dalam negeri-negeri yang sopon sudah
bukan soal lagi itu, dengan adanya pasal 161 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
musnah sama sekali dari realiteit,
terhalimunkan sama sekali menjadi impian belaka!—kemerdekaan cetak-mencetak dan
hak berserikat dan berkumpul?…[68]
Tuan-tuan
hakim, marilah kita dengan hati yang tenang dan tulus bertanya lagi: Adakah di
sini bagi kami bangsa Indonesia kemerdekaan cetak, adalah disini hak,
yang dengan sebenarnya boleh kita namakan hak berserikat dan berkumpul? Amboi,
— adakah di sini hak-hak itu, di mana Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih
saja berisi itu pasal-pasal mengenai penyebaran — rasa kebencian (haatzaaiartikelen)
yang bisa diulur-ulur sebagai karet, itu haatzaaiartikelen
yang hampir zonder perubahan diambil dari “gewrocht der duisternis”[69] sebagai Thorbecke menyebut
peraturan cetak-mencetak, di mana “horribel
starfwetartikel”[70] 153 bis-ter yang lebih-lebih
elastis lagi mengancam keselamatan tiap-tiap pemimpin sebagai kami ini hari,
dimana hak pendigulan memberi keuasaan yang hampir tak terhingga kepada
pemerintah terhadap tiap-tiap pergerakan dan tiap-tiap manusia yang ia tak
sukai? Adakah di sini hak-hak itu, dimana kritik di muka umum gampang sekali
mendapat teguran atau sopan, di mana tiap-tiap rapat penuh dengan spion-spion
polisi, di mana hampir tiap-tiap pemimpin dibuntuti reserse di dalam
gerak-geriknya ke mana-mana, di mana gampang sekali diadakan “larangan
berapat”, di mana rahasia surat seringkali dilanggar diam-diam sebagai kami
lihat dengan mata sendiri? Adakah di sini hak-hak itu, di mana laporan
spion-spion itu saja atau tiap-tiap surat kaleng sudah bisa dianggap cukup buat
membikin penggerebekan di mana-mana, mengunci berpuluh-puluh pemimpin di dalam
tahanan, yang menjerumuskan pemimpin-pemimpin itu ke dunia pembuangan?
Tuan-tuan
Hakim, marilah sekali lagi kita bertanya dengan hati yang tenang dan tulus:
adakah di sini bagi bangsaku kemerdekaan cetak-mencetak dan hak berserikat dan
berkumpul, di mana menjalankan “kemerdekaan” dan “hak” itu dialang-alangi oleh
macam-macam alangan, diranjaui oleh macam-macam ranjau yang demikian itu???
Tidak!
Di sini tidak ada hak-hak itu! Dengan macam-macam alangan dan macam-macam
ranjau demikian itu, maka “kemerdekaan” itu tinggal namanya saja “kemerdekaan”
“hak” itu tinggal namanya saja, “hak”, dengan macam-macam serimpatan yang
demikian, maka “kemerdekaan cetak-mencetak” dan “hak berserikat dan berkumpul”
itu lantas menjadi suatu omong-kosong, suatu paskwil!
Hampir tiap-tiap jurnalis sudah pernah merasakan tangan besinya hukum, hampir
tiap-tiap pemimpin indonesia sudah pernah merasakan bui, hampir tiap bangsa
Indonesia yang mengadakan perlawanan radikal lantas saja dipandang “berbahaya
bagi keamanan umum”!
Sesungguhnya:
Tidak ada hak-hak yang orang berikan pada rakyat Indonesia untuk jadi
“imbangan” kepada bencana pergaulan hidup dan bencana kerezekian yang
ditebar-tebarkan oleh imperialisme-modern itu; tidak ada hak-hak yang orang
berikan pada rakyat kami yang cukup nikmat dan menggemberikan untuk dijadikan
pelipur hati nasional yang mengeluh melihat kerusakan sosial dan ekonomi yang
disebabkan oleh imperialisme-modern itu; tidak ada hak-hak yang orang berikan
pada rakyatku yang boleh dijadikannya sebagai peganganm sebagai penguat,
sebagai sterking
untuk memberhentikan kerja imperialisme yang mengobrak-abrik kerezekian dan
pergaulan hidup kami itu!
Catatan:
[1] Sir Thomas Stanford Raffles yang pernah menjadi Letnan
Gubernur Jenderal selama Inggris berkuasa di Indonesia (1811-1816)
[2] Contingenten adalah pajak yang dibayar dengan hasil bumi
oleh kepala-kepala
[3]
Leverantien adalah kepala-kepada dipastikan setor barang-barang hasil bumi yang
dibeli oleh kompeni. Tetapi banyaknya dan harganya barang itu kompenilah yang
menetapkan
[4]
Prof. Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah sarjana Belanda yang pernah bermukim
2 tahun di Mekah dengan nama samaran Abd-al Gaffar. Sekembalinya dari Mekah, ia
bersikap oposan terhadap pemerintah Belanda, tercermin dalam bukunya “Colijn
Over Indie”.
[5] Prof. Colenbrander dalam buku “Kolonial
Geschichte” jilid II, hlm. 252.
[6]
Prof. J. Pieter Veth (1814-1895) adalag seorang ahli etnologi dan Bahasa
Indonesia, dengan karangan utamanya, “Java, Geographisch, Ethnologisch,
Historisch”.
[7]
Dari buku Kolonial Geschichte II, hlm. 117.
[8]
Prof. Kiestra dalam bukunya “De Vestiging Van Her Nederlandsch Gezag in den
Indisctieri Archpel” (Membangun Kekuasaan Belanda di Kepulauan Indonesia).
[9]
Heiden adalah Penyembah Berhala
[10]
Prof Dietrich Schafer dari buku Klonial Geschichte I, hlm. 82.
[11]
Snoucck Hurgronje dalam Colijn Over Indie, hlm.32.
[13]
Prof.Gonggrijp dalam bukunya “Economische Nederlandsch Indie” hal.123.
[14]
nila= sejenis tanaman yang daunnya dibikin cat warna (disebut juga indigo).
[15]
H.J Stokvis dalam bukunya “Van Wingewest naar Zelfbestuur In Nederlandsch
Indische” (Dari daerah rampasan ke pemerintah sendiri) hal. 27
[16] f= rupiah zaman Belanda dulu, disebut juga gulden.
[17]
Van den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1830-1833, perencana
cultuuralstelsel. Menjadi menteri jajahan 1835-1837.
[18]
Prof. Kielstra dalam “De Vestiging”, hal.38
[19]
Prof. Veth dalam “Java” II, hal.410.
[20]
naweeen=akibat
[21]
Henriette Roland Holst, seorang penyair wanita Belanda yang berjuang di sayap
sosialis.
[22]
Lima puluh, maksudnya di sini adalah tahun 1850.
[23]
Yang dimaksud di sini adalah modal lebihan dari keuntungan yang ditanam di
Indonesia.
[24] Undang-undang Agraria dan Undang-undang Tanaman Tebu,
dibuat oleh Staten
General yang berkedudukan di Belanda, bukan oleh Raad van Indie,
karena Raad
ini baru ada tahun 1918.
[25]
Stokvis dalam bukunya “Van Wingewest naar Zelfbestuur” hlm. 92.
[26]
Multatuli alias Dowes Dekker dalam bukunya yang terkenal “Max Havelaar yang;
dikutip oleh Roland Holst dalam bukunya “Kapitaal en Arbeld in Nederland” hlm.
150
[27]
Drainage=
penyedotan sampai kering
[28]
Karl Kautsky (1854-1938): Seorang bangsa Austria penganut aliran sosial
demokrat, dalam bukunya “Sozialismus und Kolonial-politik” hlm. 43.
[29]
J.E. Stokvis dalam bukunya “Van Wingewest naar Zelfbestuur” hlm.12-13
[30]
Parvus, dalam bukunya “Die Kolonial Politik und der Zusammenbruch” hlm.15.
[31]
H.E.B. Schmalhausen, bekas Asisten Residen di Jawa, dalam bukunya “Over Java en
de Javanen” (Tentang Jawa dan orang Jawa) hlm. 169.
[32]
Prof.Gonggrijp, dalam bukunya “Ekonomische Geschiedenis Nederlandsch Indie”,
hlm.190.
[33] Gewetenstopper= pendiaman tuntutan hati
[34]
Domeinverklaring=
tanah yang diakui milik negara
[35]
Ponale sanctie=
mulai berlaku 1881, yaitu peraturan yang membolehkan perusahaan perkebunan
menangkap buruh bila keluar sebelum masa kontrak berkahir.
[36]
Staatsafronding=
pembulatan wilayah jajahan.
[37]
Opendeur-politiek= politik
pintu terbuka, yang berlaku sejak 1905. Sejak itu masuklah modal asing lainnya,
selain Belanda.
[38]
Bandingkan statist, Jaaroverz. 1928.
[39]
Verbond van
Nederlandsche Wetgever, ialah Perkumpulan Pembuat Undang-Undang
Belanda, di mana dr.F.G. Waller menyampaikan makalah pada tanggal 30 September
1927, hal. 16.
[40]
Di masa itu 1 kg beras = f 0,07 (7 sen).
[41]
Hendrikus Colijn (1869-1944): Pernah menjadi letnan dalam perang Aceh, kemudian
menjadi Perdana Menteri Belanda tahun 1925-1939. Buku yang dikutip “koloniale
vraagstukken van heden en morgen” hal. 124
[42]
Bersumber dari “Jaaroverzicht”
[43]
Data ini dibuat van Gelderen, kepala Kantor Pusat Statistik di Jakarta dalam
bukunya “Voorlezingen”. Ternyata di masa malaise (1930) ekspor dari Indonesia
mencapai 700 juta gulden
[44]
Ekspor di tahun 1919 mencapai puncak, sebelum datangnya zaman malaise. Data ini
diambil dari tulisan D.M.G.Koch “Vakbeweging 1927”, hal. 570. (vakbeweging=
gerakan buruh)
[45] Mr. Brooshoft, dalam bukunya “De Etische Koers in de
Koloniale Politiek” hal. 65 (Arah etika dalam politik Kolonial).
[46]
D.M.G. Koch dalam “Vakbeweging 1927” hal. 570.
[47]
Alexander W.F. Idenburg (1861-1935), seorang tokoh dari partai And revolusioner,
menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda pada tahun 1909-1916, kemudian menjadi
menteri jajahan tahun 1918.
[48]
Van kol dallam bukunya “Nederlandsch Indie in de Staten General” hal. 112.
[49]
Ibid hal. 1007.
[50]
“Veertig Jaren Indische Dienst”= Empat puluh tahun berdinas di Hindia.
[51]
Apa yang diuraikan oleh Mr. Brooshooft ini, terdapat juga dalam buku Van Kol
“Nederlandsch-indie in de Staten General”
[52]
Dr. Huender dalam bukunya “Overzicht van den Economischen Toestand der
Inheemsche Bevolking van java en Madoera” (Risalah keadaan ekonomi penduduk
pribumi di jawa dan Madura) menulis bahwa tahun 1905 ada 71 petani di antara
penduduk. Sekitar tahun 1930 berkurang menjadi 52%. Hal ini akibat banyaknya
tanah yang diambil perkebunan asing, selain banyak yang pindah ke kota karena
sempitnya tanah garapan.
[53]
Prof. Van Gelderen, kepala kantor Pusat Statistik di Jakarta, dalam bukunya
“voorlezingen” hal. 116.
[54] Dari statistik tahun 1928 itu diketahui, upah buruh
laki-laki satu hari f 0,45, dan upah buruh wanita f 0,35. Bandingkan dengan
harga beras waktu itu f 0,07 (7 sen) 1 kg dan upah terendah buruh menurut Pemda
Jabar tahun 1982 Rp. 850,- satu hari.
[55]
Minimumlijdster = Penderita
paling parah.
[56]
Bandingkan dengan keadaan masyarakat kita sekarang (1982) karena tidak ada
pilihan lain, orang mau saja bekerja di pabrik, walau dengan upah Rp. 200,-
sehari (pabrik rokok) atau Rp. 500,- sehari (buruh tani) di jawa.
[57]
Ertragslohn = upah
terendah.
[58]
Erhaltungslohn = upah
sekedar tidak sampai mati kelaparan
[59]
Walau ada usaha-usaha dan pemerintah Belanda memperbaiki kehidupan kaum tani,
tapi perbaikan itu tidak menyentuh perombakan “kemiskinan strukturalnya”.
[60]
Prof; Kees Boekc (1884-19):
Seorang ahli pendidikan Belanda yang menulis “Het
Zakelijke en persoonlijke element in de koloniale welvaartspolitiek” (hal-hal
yang wajar dan bersifat pribadi dalam politik kesejahteraan kolonial).
[61]
Bandingkan dengan kehidupan kaum Marhaen tahun 1930 dengan pendapatan 8 sen
sehari per jiwa, dengan upah Rp 850,- sehari dengan 5 orang (bapak, istri, dan
3 orang anak) di tahun 1982.
[62]
Ernahrungswirtschaft=
susunan masyarakat yang kocar-kacir.
[63] Pernyataan Prof.Boeke ini sekaligus membuyarkan teori,
bahwa kedatangan orang Eropa ke Indonesia untuk “misi suci”.
[64]
Sejak tahun 1931, Bung karno sudah mengingatkan akan musnahnya kekayaan yang
tersimpan dalam bumi (tambang, minyak) oleh pengusaha-pengusaha tambang swasta.
[65]
Hollandsch-Inlandsch-Onderwijscommissieee=
Komisi pengajaran Indonesia Belanda (sekolah-sekolah HIS, MULO dan
AMS waktu itu).
[66]
Fock, Gubernur Jenderal Hindia belanda, pada tahun 1919 menambah pendapatan
bagi kas negara menaikkan lagi pajak, termasuk dari rakyat miskin.
[67]
Dikutip dari statistik “Jaaroverzicht” 1928
[68]
Negeri-negeri yang sopan dan mengenai paham demokrasi, kesopanan dan
kedemokrasiaannya tercermin adanya hak mogok bagi kaum buruh, kemerdekaan
berserikat dan kemerdekaan pers.
[69]
gewrocht der
duisternis= perangkap terselubung
[70]
horribel
starfwetartikel= pasal-pasal 153 bis, begitu mengerikan, merupakan
pasal yang menaikkan bulu roma.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar