Dan
bukan saja di dalam dua macam itu imperialisme bisa kita bagikan, — imperialisme
juga bisa kita bagikan dalam imperialisme-tua dan imperialisme-modern. Bukankah
besar bedanya imperialisme-tua bangsa Portugis dan Spanyol atau East India
Company Inggris atau Oost Indische Compagnie Belanda dalam abad ke-16, 17 dan
18 — dengan imperialisme-modern yang kita lihat dalam abad ke-19 atau 20,
imperialisme-modern yang mulai menjalar ke mana-mana sesudah kapitalisme-modern
bertakhta kerajaan di benua Eropa dan di benua Amerika Utara?
Imperialisme-modern,
— imperialisme-modern yang kini merajalela di seluruh benua dan kepulauan Asia
dan yang kini kami musuhi itu,–imperilisme-modern itu adalah anak
kapitalisme-modern. Imperialisme-modern pun sudah mempunyai perpustakaan, — tetapi
belum begitu terkenal di dalam arti-artinya dan rahasia-rahasianya sebagai soal
kapitalisme. Imperialisme-modern itu, oleh karenanya, Tuan-tuan Hakin, mau kami
dalilkan artinya agak lebar sedikit dari buku-buku satu dua. Kami tidak akan
mendalilkan buku Sternberg “Der-Imperialismus” yang walau sangat menarik hati
dan tinggi ilmu toh roda “kering” untuk mendengarkannya, — kami mendalilkan Mr.
Pieter Jalles Troelstra, pemimpin Belanda yang baru wafat, yang menulis: [1]
“Yang
saya artikan dengan imperialisme ialah kejadian, bahwa kapital besar sesuatu
negeri yang sebagian besar dikuasai bank-bank, mempergunakan politik luar
negeri dari negeri itu untuk kepentingannya sendiri.
Perkembangan
ekonomi yang cepat dalam abad kesembilanbelas itu, menimbulkan suatu persaingan
hebat di lapangan pertanian dan industri.
Salah
satu akibat persaingan ini, ialah bahwa pada penghabisan abad itu, politik
proteksi (melindungi negara sendiri) dengan cepat menjadi pegangan.
Lahirlah
industri besar yang medern, tenaga produksi industri besar itus angat
diperbesar, tapi
kemungkinan-kemungkinan untuk menjualkan di negeri sendiri terbatas dan
timbullah kemustian mencari pasar di luar batas negeri sendiri.
Caranya
industri besar mengatur kesukaran ini dengan tidak mengurangi untungnya ialah:
meninggikan harga di pasar dalam negeri yang dilindungi dan menjalankan taktik
dumping di luar negeri (yakni menjual barang-barang dengan harga yang leibh
murah dari harga biasa di situ).
Politik
“perlindungan yang agresif” ini saja sudah membikin tambah panasnya perhubungan
internasional. DI samping itu dengan cepat bertambah subur bank-bank yang
besar, kapitalnya tambah besar dan industri dan perdagangan dalam negeri tidak
cukup lagi untuk menanamkan kapital itu.
Akibatnya
mengalirlah kapital itu keluar, istimewa ke negeri-negeri yang belum maju
ekonominya dan miskin akan modal.
(Misalnya aliran kapital Prancis dan Inggris ke Rusia dan kapital Belanda ke
Timur).
Aliran
kapital keluar ini tidak hanya berupa uang saja. Negeri-negeri yang
mengeluarkan kapital itu juga mengirimkan mesin-mesin, mendirikan
pabrik-pabrik, membikinkan jalan-jalan kereta-api dan pelabuhan-pelabuhan, dll.
Dalam
banyak hal bagi penanam modal lebih menguntungkan memasukkan uangnya dalam
onderneming-onderneming di negeri-negeri yang terkebelakang ekonominya, di mana
tenaga buruh murah dan keuntungan tidak dibatasi oleh undang perburuhan dsb.”
Begitulah
keterangan Mr. Pieter Jalles Troelstra. Marilah kita sekarang mendengarkan
seorang sosialis lain, yakni H. N. Brailsford, pengarang Inggris yang termashur
itu.[2]
“Di
dalam zaman sekarang, yang dinamakan kekayaan itu ialah pertama-tama kesempatan
menanamkan modal dengan untung luar biasa. Penaklukan dalam pengertian yang
lama sudah tidak berlaku lagi… Memburu konsesi-konsesi di luar negeri dan
membuka kekayaan-kekayaan terpendam dari negara-negara yang lemah dan
kerajaan-kerajaan yang setengah mati, makin menjadi suatu pekerjaan resmi,
suatu peristiwa nasional.
Dalam
fase ini bagi kaum berkuasa jadi lebih penting dan menarik hati mengalirkan
modal keluar negeri dari mengekspor barang-barang.
Imperialisme
adalah semata-mata penglahiran politik dari kecenderungan yang bertambah besar
dari modal, yang bertimbun-timbun di negeri-negeri yang lebih maju industrinya,
untuk diperusahakan ke negeri-negeri yang kurang maju dan kurang penduduk”.
Bukankah
dengan dua contoh ini nyata dengan sejelas-jelasnya, bahwa sangkaan
imperialisme itu kaum amtenar, atau bangsa kulit putih, atau pemerintah, atau
“gezag” apada umumnya, adalah salah sama sekali? Tapi marilah kita mendengarkan
satu kali lagi uraian seorang sosialis lain, yakni Otto Bauer[3] yang termashur itu, yang
melihat di dalam imperialisme-modern itu, suatu politik meluaskan daerah, suatu
expansiepolitiek[4] yang “Senantiasa mengusahakan
tercapainya maksud menjamin supaya kapital mendapat lapangan menanaman dan
pasar-pasar penjualan. Di dalam perekonomian negeri kapitalis setiap waktu
sebagian dari modal uang perusahaan ditarik dari peredaran kapital pabrik…
Jadinya, setiap waktu sebagian dari modal perusahaan dibekukan, setiap waktu
menjadi ‘bero’ (Jawa, maksudnya tanah kosong yang tidak dimanfaatkan).
Apabila
banyak modal uang dibekukan, apabila pecahan-pecahan kapital yang lepas ini
hanya lambat mengalirnya kembali ke perusahaan-perusahaan produksi, maka yang
pertama-tama berkurang ialah permintaan kepada alat-alat produksi dan
tenaga-tenaga kerja. Ini berarti segera merosotnya harga-harga dan
keuntungan-keuntungan dalam industri alat-alat produksi, bertambah beratnya
perjuangan serikat sekerja, turunnya upah-upah kaum buruh. Tapi kedua peristiwa
itu berpengaruh pula atas industri-industri, yang membikin barang-barang
keperluan sehari-hari. Permintaan kepada barang-barang yang langsung dibutuhkan
untuk memenuhi keperluan orang, berkurang, pertama oleh karena kaum kapitalis
yang mendapat enghasilannya dari industri-industri alat produksi, lebih sedikit
mendapat untung, dan kedua karena bertambah besarnya pengangguran dan turunnya
upah-upah, mengurangi tenaga pembeli golongan buruh. Oleh karena itu, juga
dalam perusahaan-perusahaan barang-barang keperluan hidup, harga-harga,
keuntungan-keutungan, upah-upah buruh merosot pula; demikianlah penarikan
sebagian besar dari modal uang dari peredaran kapital dalam industri umum, berakibat
merosotnya harga-harga, keuntungan-keuntungan, upah-upah, serta bertambah
banyaknya pengangguran. Maka pengetahuan ini buat maksud kita penting sekali,
sebab sekaranglah baru bisa kita mengerti maksud-maksud politik kapitalis untuk
menguasai (negeri lain). Politik ini bergiat mencari lapangan untuk menanaman
kapital dan pasar-pasar buat penjualan barang-barang. Sekarang mengertilah kita
bahwa ini bukan soal-soal yang berdiri sendiri-sendiri, tapi, pada hakekatnya
adalah satu soal saja”.
Apabila
banyak modal uang dibekukan, apabila pecahan-pecahan kapital yang lepas ini
hanya lambat mengalirnya kembali ke perusahaan-perusahaan produksi, maka yang
pertama-tama berkurang ialah permintaan kepada alat-alat produksi dan
tenaga-tenaga kerja. Ini berarti segera merosotnya harga-harga dan
keuntungan-keuntungan dalam industri alat-alat produksi, bertambah beratnya
perjuangan serikat sekerja, turunnya upah-upah kaum buruh. Tapi kedua peristiwa
itu berpengaruh pula atas industri-industri, yang membikin barang-barang
keperluan sehari-hari. Permintaan kepada barang-barang yang langsung dibutuhkan
untuk memenuhi keperluan orang, berkurang, pertama oleh karena kaum kapitalis
yang mendapat enghasilannya dari industri-industri alat produksi, lebih sedikit
mendapat untung, dan kedua karena bertambah besarnya pengangguran dan turunnya
upah-upah, mengurangi tenaga pembeli golongan buruh. Oleh karena itu, juga
dalam perusahaan-perusahaan barang-barang keperluan hidup, harga-harga,
keuntungan-keutungan, upah-upah buruh merosot pula; demikianlah penarikan
sebagian besar dari modal uang dari peredaran kapital dalam industri umum,
berakibat merosotnya harga-harga, keuntungan-keuntungan, upah-upah, serta
bertambah banyaknya pengangguran. Maka pengetahuan ini buat maksud kita penting
sekali, sebab sekaranglah baru bisa kita mengerti maksud-maksud politik
kapitalis untuk menguasai (negeri lain). Politik ini bergiat mencari lapangan
untuk menanaman kapital dan pasar-pasar buat penjualan barang-barang. Sekarang
mengertilah kita bahwa ini bukan soal-soal yang berdiri sendiri-sendiri, tapi,
pada hakekatnya adalah satu soal saja”.
Sekianlah
dalil-dalil kami tentang arti kata imperialisme, dari pena orang-orang
sosialis. Marilah kita sekarang mendengarkan keterangan orang yang bukan sosialis,
yakni keterangan Dr. J. S. Bartstra di dalam bukunya “Geschiedenis vn het moderne imperialism”[5], di mana nanti akan tampak
juga kebenaran perkataan kami, bahwa imperialisme itu bukan pemerintahan, bukan
sesuatu anggota pemerintah, bukan sesuatu bangsa asing, — tetapi suatu
kehausan, suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa
lain atau negeri lain. Berkata Dr. Bartstra:
“Perkataan
“imperialisme” pertama sekali dipakai di Inggris kira-kira tahun 1880. Yang
dimaksud orang dengan perkataan itu, ialah usaha untuk mengeratkan kembali
perhubungan dengan Inggris dari daerah-daerah jajahan yang memerintah sendiri[6] dan pertaliannya dengan negeri
induknya sudah agak kendur dalam “masa liberal” yang lampau. Yang menarik hati
ialah bahwa perkataan itu sudah hilang sama sekali maknanya yang mula-mula
itu”.
…
lama-kelamaan perkataan itu mendapat isi-pengertian yang lain: maknanya
sekarang ialah usaha bangsa Inggris, yang hendak memberi kepada “kerajaan”
pengluasan daerah jajahan yang lebih besar, baik dengan jalan menaklukkan
negeri-negeri yang oleh karena letaknya dalam ilmu bumi mungkin membahayakan
jika berada dalam tangan saingan, manapun dengan jalan merampas daerah-daerah,
yang bisa dijadikan pasar penjualan yang baik atau tepat-tempat orang bisa
mendapakan bahan-bahan pokok untuk pertukangan dalam negeri, yang justru waktu
itu mulai makin menderita oleh saingan luar negeri”.
“Dalam
arti pengluasan daerah jajahan dengan tidak berbatas, pengertian itu segera
juga menjadi umum….”
Maka
sesudah itu, Dr. Bartstra lalu memberi keterangan lebih lanjut tentang
penglihatan kaum sosialis terhadap imperialisme itu, demikian:
“Sebabnya
perkataan itu menjadi sangat populer, ialah karena propaganda kaum
sosial-demokrat, yang menganggap peristiwa itu sebagai konsekuensi dari sistem
produksi kapitalis. Memang yang memberikan perkataan itu pengertian yang lebih
dalam dan luas ialah pengarang-pengarang Marxis, seperti Rudolf Hilferding[7], Karl Renner dan juga H. N.
Brailsford yang terkenal itu. Menurut mereka, imperialisme itu adalah politik
luar negeri yang tidak bisa dielakkan dari negara-negara yang mempunyai
“kapitalisme keliwat matang”. Yang dimaksud mereka ialah suatu kapitalisme yang
pemusatan perusahaan-perusahaan dari bank-bank yang dijalankan sampai
sejauh-jauhnya. Oleh karena itu, dan tidak sedikit pula oleh karena fungsi
proteksionisme yang sudah berubah — dulu suatu cara untuk mempertahankan diri
terhadap luar negeri, sekarang menjadi “sistem dumping”[8] — maka imperialisme itu tidak
puas lagi dengan pikiran-pikiran liberal yang tradisionil mengenai tidak ikut
campurnya negara (dengan urusan partikulir), persaingan bebas dan pasifisme.
Paham-paham
kemudian ini seolah-olah sudah terbalik menjadi yang sebaliknya, yakni menjadi
usaha mempergunakan alat-alat kekuasaan negara yang melulu bersifat politik
untuk maksud-maksud ekonomi, yakni: mempengaruhi dan merampas daerah-daerah
pasaran dan daerah-daerah bahan pokok, pun juga menjamin pembayaran rente
kapital-kapital yang ditanam di negeri-negeri terkebelakang ekonominya.
Mengenai
soal belakangan ini, yakni yang disebut “ekspor kapital”, oleh
pengarang-pengarang tersebut istimewa istimewa sekali ditunjukkan betapa
pentingnya. Disebabkan karena usaha kerajinan lebih sungguh-sungguh dikerjakan,
oleh pemusatan-pemusatan bank-bank dan oleh “sistem dumping”, maka — demikian
kata mereka — bukan main banyaknya kapital tertimbun-timbun, yang seringkali di
dalam negeri tidak cukup bisa dipergunakan. Itulah sebabnya maka makin lama
makin terasa perlunya untuk menanam kapital besar-besar di negeri-negeri yang
terkebelakang ekonominya, tentu saja dengan bunga yang setinggi-tingginya. Lagi
pula dengan demikian didapatlah pesanan-pesanan besar jalan kereta-api,
mesin-mesin, dll. pada industri sendiri. Akibat segalanya itu pula: perhubungan
dengan luar negeri menjadi runcing, bahaya perang, ekspedisi-ekspedisi militer,
“daerah-daerah pengaruh” di daerah-daerah seberang lautan, pengawasan atas uang
masuk dan uang keluar dari negeri-negeri asing oleh perkumpulan-perkumpulan
bankir Eropa, pemburuan mencari jajahan. Itulah imperialisme!
Akhirnya
Dr. Bartstra sekali lagi mengatakan dengan saksama apa yang disebutnya
imperialisme-modern, katanya:
“Yang
disebut imperialisme-modern ialah usaha meluaskan milik jajahan dengan tidak
berbatas, seperti cita-cita demikian itu menjadi pendorong dalam masa ± 1880
sampai sekarang bagi politik luar negeri hampir semua negeri-negeri kebudayaan
yang besar, terutama untuk keuntungan industri dan kapital bank mereka sendiri[9].
Imperialisme
bukan sekali-kali satu-satunya tenaga penggerak, bahkan tidak setiap saat yang
paling kena dari tenaga-tenaga penggerak yang sangat beragam-ragam dari jangka
waktu itu, tapi dalam akibat-akibatnya itulah salah satu yang menjadi sangat
penting, oleh karena panggung sejarah bertambah luas karenanya, buat
pertamakali dan buat selama-lamanya, di seluruh muka bumi”.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar