Untuk menetapkan apakah kewajiban front buruh Indonesia di tengah-tengah perjuangan seluruh Rakyat Indonesia untuk mencapai perbaikan nasib, mencapai kemerdekaan nasional dan untuk menjamin perdamaian dunia yang abadi, tidak bisa dipisahkan daripada meninjau hubungannya dengan keadaan ekonomi dan politik Indonesia dewasa ini.
Di
zaman penjajahan Belanda ekonomi Indonesia adalah ekonomi kolonial. Ini berarti
bahwa kedudukan ekonomi Indonesia ketika itu ialah: 1) sebagai sumber bahan
mentah; 2) sebagai sumber tenaga buruh yang murah; 3) sebagai pasar buat
menjual hasil-hasil produksi negeri-negeri kapitalis; 4) sebagai tempat
investasi (penanaman) modal asing. Ini berarti bahwa Indonesia tergantung dari
export bahan-bahan mentah (timah, bauksit, karet, dll. hasil perkebunan, dsb.)
dan import barang keperluan hidup (textil, sepatu, sepeda, dsb.).
Susunan
ekonomi kolonial mengakibatkan Indonesia tidak mempunyai industri sendiri yang
bisa mengerjakan bahan mentahnya guna memenuhi kebutuhan Indonesia. Ini berarti
bahwa di lapangan ekonomi Indonesia tergantung dari luar negeri, dan dengan
demikian tidak mungkin ada perkembangan modal nasional dan industri nasional.
Ekonomi
kolonial ini dipertahankan oleh imperialis Belanda dengan bantuan penanam modal
asing lainnya di Indonesia dengan suatu politik kolonial yang dalam prakteknya
bersifat setengah-fasis. Politik kolonial ini ditujukan untuk menindas gerakan
Rakyat yang menuntut kemerdekaan sebagai jaminan guna penyusunan ekonomi
nasional. Terutama gerakan buruh dan Partai Komunis Indonesia, sebagai
partainya klas buruh, mendapat rintangan yang paling besar dari pemerintah
kolonial. Bagi pemimpin-pemimpin gerakan melawan imperialis Belanda disediakan
rumah penjara dan konsentrasi kamp Digul.
Menurut
perhitungan tahun 1930 (statistik Hindia Belanda), penduduk Indonesia yang
hidup dari upah berjumlah lebih kurang 6.000.000 (enam juta). Dalam jumlah ini
sudah dimasukkan buruh musiman (seizoen
arbeiders) yang sangat besar jumlahnya dan bekerja di
perkebunan-perkebunan atau di pabrik-pabrik gula. Buruh musiman ini umumnya
terdiri dari buruh tani dan tani miskin, yaitu penduduk desa yang sama sekali
tidak mempunyai tanah garapan atau mempunyai tanah tetapi sangat sedikit. Di
antara 6 juta kaum buruh itu, antara lain terdapat setengah juta buruh modern terdiri dari:
316.200 buruh transport, 153.100 buruh pabrik dan bengkel, 36.400 buruh tambang
timah kepunyaan pemerintah dan partikulir, 17.100 buruh tambang batubara kepunyaan
pemerintah dan partikulir, 29.000 buruh tambang minyak, 6.000 buruh tambang
emas dan perak kepunyaan pemerintah dan partikulir. Selainnya adalah buruh
pabrik gula, buruh perkebunan, berbagai golongan pegawai negeri (termasuk
polisi dan tentara), buruh industri kecil, buruh lepas dsb. Perlu diterangkan
bahwa yang terbesar ialah jumlah buruh industri kecil (2.208.900) dan buruh
lepas (2.003.200). Dari angka-angka ini jelaslah bagi kita, bahwa baru bagian
yang sangat kecil dari buruh Indonesia (setengah juta) yang sudah berhubungan
dengan alat-alat produksi modern, sedangkan bagian terbesar belum berhubungan
dengan alat-alat produksi modern dan masih erat hubungannya dengan pertanian.
Pemerintah
Hindia Belanda telah sangat menekan perkembangan gerakan buruh. Ini kelihatan
antara lain dari kenyataan sbb.: statistik tahun 1940 menunjukkan, bahwa dari
berjuta-juta kaum buruh Indonesia hanya 110.370 yang terorganisasi (dalam 77
serikat buruh). Politik memecah dari kaum reaksi ketika itu kelihatan dari kenyataan,
bahwa 77 serikat buruh yang ada itu tergabung dalam 11 gabungan serikat buruh.
Umumnya serikat buruh dan gabungan serikat buruh ini adalah di bawah pimpinan
kaum reformis dan reaksioner. Oleh karena itu tidak mengherankan, bahwa menurut
kantor urusan perburuhan Hindia Belanda dalam tahun 1940 hanya terjadi
pemogokan di 42 perusahaan (di antaranya 30 perusahaan tekstil di Jawa Barat)
dan hanya diikuti oleh 2.115 kaum buruh. Sedangkan jumlah buruh dari 42
perusahaan itu ada 7.949. Pemogokan-pemogokan ini tidak besar akibatnya bagi
majikan, ia hanya berakibat hilangnya 32 hari kerja. Tetapi, tidak adanya
aksi-aksi kaum buruh secara besar-besaran sama sekali tidak berarti bahwa
tindasan terhadap Rakyat dan kaum buruh Indonesia ketika itu kurang kejam. Kekejaman
terhadap kaum buruh antara lain kelihatan dari upah buruh yang sangat rendah
dan perlakuan sewenang-wenang dari majikan. Menurut statistik tahun 1940
tercatat, bahwa rata-rata upah buruh pabrik gula Rp. 0.28 sehari buat laki-laki
dan Rp. 0.23 sehari buat perempuan. Dalam tahun 1940 tercatat 407 pengaduan
kaum buruh yang dapat pukulan dari administratur, asisten-asisten dan
mandor-mandor perkebunan. Kejengkelan yang sudah tidak tertahan lagi dari buruh
perkebunan dinyatakan dengan adanya serangan-serangan buruh perkebunan pada
pengawas-pengawas perkebunan. Demikianlah dalam tahun 1940 telah tercatat 51
serangan buruh perkebunan atas pengawas-pengawas perkebunan, dimana 2 pengawas
tewas karena serangan tersebut.
Tindasan
Belanda terhadap seluruh Rakyat Indonesia, yang kemudian dilakukan dengan lebih
kejam lagi oleh fasisme Jepang, telah membangunkan seluruh Rakyat untuk
berjuang bersama-sama guna menggulingkan kekuasaan kolonial dan fasis. Salah
satu puncak dari perlawanan Rakyat ialah Revolusi Rakyat tahun 1945. Revolusi
ini meletus dengan tujuan yang positif dari Rakyat Indonesia, yaitu dengan
tujuan agar Indonesia menjadi negara yang benar-benar merdeka, dimana
ekonominya tidak tergantung dari luar negeri, dimana industri nasional bisa
berkembang sebagai syarat terpenting bagi kemakmuran seluruh Rakyat, dimana
nasib Rakyat banyak yang celaka bisa menjadi baik dan dimana kemerdekaan
politik dijamin sepenuhnya bagi seluruh Rakyat.
Tujuan
positif dari Revolusi Rakyat tahun 1945 menemui jalan buntu setelah oleh
pemerintah Indonesia (kabinet Hatta) diadakan persetujuan dengan pemerintah
Belanda, yaitu persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB), pada permulaan tahun
1950. Revolusi Rakyat (1945-1948) telah melemparkan beban kolonial dari pundak
Rakyat, sebaliknya persetujuan KMB telah merestorasi (menghidupkan kembali)
susunan ekonomi kolonial di Indonesia. Memang dengan persetujuan KMB di seluruh
Indonesia, kecuali di Irian Barat, sekarang sudah dibentuk suatu pemerintah dan
alat-alat negara yang pimpinannya dipegang oleh orang-orang Indonesia, tetapi
ini sama sekali tidak berarti bahwa beban kolonial yang lama sudah lepas dari
pundak Rakyat Indonesia. Oleh karena itu, persetujuan KMB (atau
persetujuan-persetujuan lain yang isinya sama dengan persetujuan KMB) tidak
lain daripada kolonialisme dengan baju baru.
Persetujuan
KMB telah mewajibkan Rakyat Indonesia membayar hutang yang sangat berat Bulan
Januari 1950 hutang tersebut berjumlah lebih dari 4 milyar, dan dalam bulan
Januari 1951 jumlah hutang seluruhnya menjadi lebih dari 6 milyar. Jadi dalam
satu tahun hutang sudah bertambah dengan 2 milyar.
Persetujuan
KMB telah mengembalikan semua pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan,
tambang-tambang dan cabang-cabang industri vital lainnya kepada pemiliknya yang
lama, yaitu modal besar asing. Ini berarti bahwa sumber-sumber pokok dari
kekayaan Indonesia tidak masuk kas negara, tetapi ditumpuk oleh modal besar
asing dan diangkut keluar negeri. Sebagai contoh, menurut laporan Mr. Teuku
Hassan, Ketua seksi perekonomian parlemen Sementara RI (1951), bukti-bukti
menunjukkan bahwa dari pertambangan minyak saja kekayaan Indonesia dikuras,
berupa keuntungan yang terang, oleh BPM dan kongsi-kongsi minyak lainnya
sejumlah Rp. 4.000.000.000. (empat milyar) saban tahun, yang berarti Indonesia
kehilangan kira-kira hampir sama dengan 50 % dari anggaran belanja negara untuk
satu tahun. Atau jika kehilangan kekayaan ini kita bagi rata di antara Rakyat
Indonesia (75 juta), maka berartilah bahwa oleh pertambangan minyak saja dari
semua orang, mulai dari bayi sampai orang-orang tua, telah dicuri kekayan
sebesar kira-kira Rp. 53,-. Jika kehilangan kekayaan ini kita bagi rata di
antara kaum buruh Indonesia (6 juta), maka berartilah bahwa oleh pertambangan
minyak saja dari setiap buruh telah dicuri kekayaan sebesar Rp. 4.000.000.000,-
: 6.000.000, atau Rp. 667.-. Menurut peraturan pertambangan kolonial yang
hingga sekarang masih berlaku, Indonesia mendapat penghasilan dari hak tetap,
bea ekspor, accijns, dan pajak NV atas kongsi-kongsi minyak hanya sebanyak Rp.
315 juta, jadi tidak sampai ... 10% dari keuntungan yang terang. Pengembalian
kepada modal besar asing ini berlaku juga untuk tanah-tanah yang sudah diduduki
oleh kaum tani selama revolusi.
Politik
yang dijalankan oleh pemerintah sekarang ialah politik yang mengembalikan
kedudukan ekonomi Indonesia sebagai kedudukan di zaman jajahan, yaitu kedudukan
sebagai sumber bahan mentah, sebagai sumber tenaga buruh yang murah, sebagai
pasar dan sebagai tempat penanaman modal. Dalam keadaan politik sekarang
kedudukan ekonomi Indonesia, dibanding dengan zaman penjajahan Belanda, lebih
tergantung dari luar negeri. Kedudukan ekonomi Indonesia sekarang begitu
tergantungnya sehingga praktis pemerintah Indonesia sekarang diinstruksi oleh
kekuasaan asing (Amerika) dari mana Indonesia mesti membeli sesuatu barang dan
kemana Indonesia boleh menjual barangnya (misalnya dengan adanya pinjaman
Eximbank, adanya Embargo, Frisco, MSA, dsb.). Berangsur-angsur dan makin lama
makin nyata, dalam persiapan perang dunia oleh Amerika sekarang, Indonesia
dijadikan salah satu sumber ekonomi perang yang terpenting. Keadaan-keadaan ini
pula yang membikin Indonesia makin lama makin dalam masuk perangkap politik
perang Amerika, yang membikin Indonesia tidak hanya tergantung dalam soal
ekonomi, tetapi juga mendapat instruksi-instruksi politik dan militer dari
Belanda dan Amerika (Univerband, Irian, Nederlands Militaire Missie,
pangkalan-pangkalan perang, Eximbank, Embargo, Frisco, MSA, dsb.).
Akibat
dari politik pemerintah yang menggantungkan diri pada luar negeri ini,
teranglah bahwa stabilisasi ekonomi tidak mungkin tercapai. Industrialisasi
tidak mungkin dijalankan dan modal nasional tidak mungkin dibangun karena ini
bertentangan dengan kepentingan modal besar asing. Industrialisasi dan
pembangunan modal nasional di Indonesia adalah merupakan saingan bagi industri
dan modal dari negeri-negeri penanam modal. Industrialisasi dan pembangunan
modal nasional adalah bertentangan dengan kepentingan ekonomi perang dari
negeri-negeri imperialis. Kaum buruh dan kaum tani yang merupakan lebih dari
80% Rakyat Indonesia, dan yang merupakan tenaga produktif dan konsumen yang
terbesar, praktis tak mengalami perbaikan di dalam hidupnya, artinya tenaga
produktifnya maupun kekuatan membelinya tidak bertambah.
Walaupun
bagaimana, selama pemerintah Indonesia masih menjalankan politik yang
menggantungkan diri pada negeri-negeri penanam modal besar asing seperti
Belanda, Amerika dan Inggris, pemerintah Indonesia tetap akan menjalankan
ekonomi export dan import yang dulu dilakukan oleh Hindia Belanda, yaitu
ekonomi yang terus-menerus diombang-ambingkan oleh konjungtur (turun-naiknya
keadaan) dan pasar dunia yang dikuasai oleh dollar dan sterling. Pemerintah
yang demikian sudah tentu tidak akan mungkin membangunkan dan menyelamatkan
ekonomi nasional yang merdeka, sebagai jaminan pokok untuk kemerdekaan nasional
yang sejati.
Untuk
memperbaiki nasibnya yang buruk Rakyat Indonesia, terutama kaum buruh dan kaum
tani Inlonesia, telah mengadakan tuntutan-tuntutan dan aksi-aksi terhadap majikan modal besar asing dan terhadap
pemerintah "nasional". Aksi-aksi kaum buruh seperti pemogokan-pemogokan buruh
perkebunan, buruh kendaraan bermotor, buruh percetakan, buruh minyak, buruh
daerah otonomi, dll. telah memberi dorongan dan keberanian pada
golongan-golongan lain dari Rakyat untuk juga bangun dan berjuang membela
nasibnya. Di berbagai tempat aksi-aksi kaum tani mendapat sukses-sukses yang
menimbulkan kegembiraan berjuang pada massa kaum tani. Dimana-mana, tumbuh
kekuatan Rakyat dalam melawan ofensif reaksi yang ganas. Kaum buruh senantiasa
menjadi pelopor dan pemberi inspirasi dalam tiap-tiap perlawanan. Disinilah
pentingnya kedudukan front buruh sebagai bagian yang paling maju dan paling
konsekwen daripada seluruh front persatuan nasional Rakyat Indonesia.
SUMBER: KEWAJIBAN FRONT PERSATUAN BURUH BAB: 1
Penerbit
Yayasan “Pembaruan”
Jakarta,
Juli 1952.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar