Imperialisme-tua
dalam hakekatnya tak beda
Begitulah
artinya imperialisme-modern.
Dan
artinya imperialisme-tua?
Imperialisme-tua,
sebagai yang kita alami dalam abad-abad sebelum bagian kedua abad ke – 19, — imperialisme-tua
dalam hakekatnya adalah sama dengan imperialisme-modern: nafsu, keinginan,
cita-usaha, kecenderungan, sistem untuk menguasai atau mempengaruhi rumah
tangga negeri lain atau bangsa lain, nafsu untuk melancarkan tangan keluar
pagar negeri sendiri. Sifatnya lain, azas-azasnya lain, penglahirannya lain, — tapi
hakekatnya sama!
Di
dalam abad-abad yang pertama atau di dalam abad ke-19, di dalam abad ke-16 atau
ke-20, — kedua-duanya adalah imperialisme! Imperialisme, — begitulah kami
katakan tadi—, terdapat pada semua zaman! Ya, sebagai Prof. Jos. Schumpeter
katakan:
“sama
tuanya dengan dunia,–nafsu yang tiada berhingga dari suatu negara untuk
meluaskan daerahnya dengan kekerasan keluar batas-batasnya menurut alam”[10].
Imperialisme
mana juga yang kita ambil, imperialisme-tua atau imperialisme-modern,–bagaimana
juga kita bulak-balikkan, dari mana juga kita pandang, — imperialisme tetap
suatu faham, suatu nafsu, sesuatu sistem, — dan bukan amtenar B.B., bukan
pemerintahan, bukan gezag, bukan bangsa Belanda, bukan bangsa asing manapun
juga,–pendek kata bukan badan, bukan manusia, bukan benda atau materi!
Azas imperialisme itu urusan rezeki
Nafsu,
kecenderungan, keinginan atau sistem ini sejak zaman purbakala sudah
menimbulkan politik luar negeri, menimbulkan perseteruan dengan negeri lain,
menimbulkan perlengkapan senjata darat dan senjata armada, menimbulkan
perampasan-perampasan negeri asing, menimbulkan jajahan-jajahan yang mengambil
rezekinya, — dalam di dalam zaman modern ia menimbulkan “Bezugländer”, yakni
tempat mengambil bekal industri, menimbulkan daerah-daerah pasaran bagi
hasil-hasil industri itu, menimbulkan lapangan bergerak bagi modal yang
tertimbun-timbun…, menimbulkan “daerah pengaruh”, menimbulkan
“protektorat-protektorat”, menimbulkan “negeri-negeri mandat” dan “tanah
jajahan” dan bermacam-macam “lapangan usaha” yang lain, sehingga imperialisme
adalah juga bahaya bagi negeri-negeri yang merdeka[11].
Baik
“daerah-daerah pengaruh”, maupun “negeri-negeri mandat”, baik “protektorat”
maupun “tanah jajahan”, — semua terjadinya begitu, sebagai ternyata pula dari
dalil-dalil kami tadi, untuk mencari rezeki atau untuk menjaga penarian rezeki,
semuanya ialah hasil keharusan-keharusan ekonomi. Partai Nasional Indonesia
menolak semua teori yang mengatakan, aha asal-asal penjajahan dalam hakekatnya
bukan pencarian rezeki, menolak semua teori yang mengajarkan, bahwa sebab-sebab
rakyat Eropa dan Amerika mengembara di seluruh dunia dan mengadakan tanah-tanah
jajahan di mana-mana itu, ialah oleh keinginan mencari kemashuran, atau oleh
keinginan kepada segala yang asing, atau oleh keinginan menyebarkan kemajuan
dan kesopanan. Teori Gustav Klemm yang mengajarkan, bahwa menyebarnya “bangsa menang”
ke mana-mana itu selain oleh nafsu mencari kekayaan ialah didorong pula oleh
“nafsu mencari kemashuran”, “nafsu mencari keakuran”, “nafsu melihat negeri
asing”, “nafsu mengembara merdeka”, atau teori Prof. Thomas Moon yang
mengatakan, bahwa imperialisme itu selain berazas ekonomi juga adalah berazas
nasionalisme dll., sebagai diutarakan dalam bukunya “Imperialism and
World-politics”[12], — teori-teori itu buat
sebagian besar kami tolak sama sekali. Tidak! Bagi Partai Nasional Indonesia
penjajahan itu asal-asalnya yang dalam dan azasi, ialah nafsu mencari benda,
nafsu mencari rezeki belaka.
“Asal
penjajahan yang pertama-tama hampir selalu ialah tambah sempitnya keadaan
penghidupan di negeri sendiri”,
Begitu
Prof. Dietrich Schäfer menulis[A] [13]
dan Dernburg,
Kolonialdirektor negeri Jerman sebelum perang, dengan terus terang mengakui
pula:
“Penjajahan
ialah usaha mengolah tanah, mengolah harta-harta di dalam tanh, mengolah
tanam-tanaman, mengolah hewan-hewan dan terutama mengolah penduduk, untuk
keuntungan keperluan ekonomi dari bangsa yang menjajah”…..[B]
O
memang, Tuan-tuan Hakim, penjajahan membawa pengetahuan, penjajahan membawa
kemajuan, penjajahan mebawa kesopanan. Tetapi yang sedalam-dalamnya ialah urusan
rezeki, atau sebagai Dr. Abraham Kuyper menulis dalam bukunya “Antirevolutionaire staatkunde”:
— “suatu urusan perdagangan”, “een
mercantiele betrekking”!
“Jajahan-jajahan
dengan tiada pembentukan keluarga sendiri yang menetap, memberi kesempatan menyuburkan
penghasilan negeri bumi-putera, menggali tambang-tambang, menjualkan barang
kita di situ dan sebaliknya mencarikan pasar di negeri-negeri kita buat
barang-barang dari tanah jajahan itu, tapi perhubungan adalah tetap perhubungan
ekonomi. Yang dipentingkan ialah pembukaan tambang-tambang, pembikinan
barang-barang, perhubungan pasar dan perdagangan seberang lautan, tapi bahkan
dalam hal bahasa dan adat istiadat, dan terutama dalam hal agama, bangsa yang
menjajah itu bisa mengasingkan diri sama sekali dari rakyat yang dijajahnya.
Perhubungan adalah perhubungan perdagangan dan tetap demikian sifatnya, yang
mengayakan negeri yang menjajah dan tidak jarang membikin miskin negeri yang
dijajah”.[14]
“Imperialisme
itu telah memahatkan sejarahnya yang indah tentang keberanian dan kehebatannya
dalam hal organisasi di dalam kulit bumi sendiri, dari Siberia yang ditutupi es
sampai ke gurun-gurun pasir di Afrika-Selatan.
Tapi hadiah-hadiah
pendidikan, rangsang-rangsang kecendikiaan dan pemerintahan yang lebih
berperikemanusiaan yang turut dibawanya, senantiasa hanyalah barang-barang sisa
dari kegiatannya yang angkara murka. Menganugerahkan hadian-hadiah ini,
jarang-jarang, barangkali juga tidak pernah, menjadi alasan pioner-pionernya
yang kuat-kuat itu. Kalaupun mereka itu mempunyai sesuatu alasan, yang agak
luhur dari keuntungan kebendaan, maka alasan itu ialah untuk kemuliaan dan
kebesaran negeri induk.
Tapi
nafsu yang mendorong mereka pergi ke “tempat-tempat yang bermandikan cahaya
matahari” itu, biasanya ialah keinginan untuk memohopoli suatu pasar
bahan-bahan mentah, atau perhitungan yang lebih rendah lagi, bahwa di situ
banyak terdapat tenaga buruh yang murah dan tidak tersusun dalam organisasi,
sedia untuk dipergunakan. Kalau bukan semua ini yang menjadi alasan, maka yang
menjadi alasan ialah perhitungan yang bersumber kepada saling pengaruh antara
kepentingan kebendaan dan keadaan-keadaan ilmu bumi… Kesopanan menghasilkan suatu
keenakan, yang jelas sekali mengabdi kepada maksud-maksud kita sendiri”.
Tidakkah
karena itu, benar sekali kalau Prof. Anton Menger menulis:
“Tujuan
penjajahan yang sesungguhnya iala memeras keuntungan dari suatu bangsa, yang
lebih rendah tingkat kemajuannya; di masa orang rajin beramal ibadat tujuan ini
dibungkus dengan perkataan untuk “Agama Kristen” dan di zaman kemajuan dengan
perkataan untuk “kesopanan” orang Inlander”, atau kalau Friedrich Engels
bersenda gurau:
“Bangsa
Inggris selamanya mengatakan Agama Kristen, tapi maksudnya ialah kapas”?
Nafsu
akan rezeki. Tuan-tuan Hakim, nafsu akan rezekilah yang menjadi pendorong
Colombus menempuh samudera Atlantik yang luas itu; nafsu akan rezekilah yang
menyuruh Bartholomeus Diaz dan Vasco da Gama menentang hebatnya gelombang
samudera Hindia; pencarian rezekilah yang menjadi “noordster” dan “kompas”nya[C] Admiraal Drake, Magelhaens,
heemskerck atau Cornelis de Houtman. Nafsu akan rezekilah yang menjadi nyawanya
kompeni di dalam abad ke-17 dan ke-18; nafsu akan rezekilah pula yang menjadi
sendi-sendinya balapan cari jajahan dalam abad ke-19, yakni sesudah kapitalisme-modern
menjelma di Eropa dan Amerika.
Lapangan imperialisme-tua
Sebelum
zaman kapitalisme-modern itu, bahasa Inggris sudah menguasai sebagian dari
Amerika, sebagian dari India, sebagian dari Australia dan lain-lain, yakni
sudah menaruh sendi-sendi “British Empire” nantinya, — sudahlah bangsa Prancis
menguasai sebagian pula dari Amerika dan sebagian juga dari India, — sudahlah
bangsa Portugis mengibarkan benderanya di Amerika Selatan dan di beberapa
tempat di seluruh Asia,–sudahlah bangsa Spanyol menguasai Amerika Tengah dan
kepulauan Filipina, — sudahlah bangsa Belanda menduduki Afrika Selatan,
beberapa bagian kepulauan Indonesia, terutama Maluku, Jawa, Sulawesi Selatan
dan Sumatera. Sudahlah di zaman itu kita melihat hebatnya tenaga berusaha dari
nafsu mencari rezeki tadi, yakni tenaga berbuat yang kuat dari
imperialisme-tua!
Balapan cari jajahan di zaman imperialisme-modern
Dan
tatkala kapitalisme-modern beranak imperialisme-modern, maka kita menjadi saksi
atas “balapan cari jajahan” yang seolah-olah tiada berhingga! Kini orang
Inggris sudah bisa mengusir bangsa Prancis dan Protunis dan Belanda dari India.
Tiada musuh besar-besar lagi yang menghalang-halangi menjalarnya
imperialismenya, tiada hingganya lagi bendera Inggris ditanam di mana-mana,
tidak puas-puasnya kehausan kapitalisme Inggris mencari dan meminum
sumber-sumber kekayaan di luar pagar dari “the Empire” sendiri, tiada suatu
benua yang tak mendengar dengungnya pekik perjuangan imperialisme Inggris:
“Tatkala Inggris demi sabda Gusti
Menjelma dari samudera biru
Itu memanglah haknya negeri
Dan bidadari menyanyikan lagu:
Perintahlah, Inggris, Perintahlah
ombak!
Bangsa Inggris tak kan menjadi budak!”
India
takluk, Singapur dan Malaka diduduki, Tiongkok direbut haknya menetapkan beya
dan hak-hak exterritorial, dan dibikin “daerah pengaruh” dengan jalan keras dan
jalan “halus”, Mesir “dilindungi”, Mesopotamia “dimandati”,–Hongkong, kepulauan
Fiji, India Barat, kepulauan Falkland, Gibraltar, Malta, Cyprus, Afrika… Imperialisme
Inggris seolah-olah tidak puas-puasnya! Dan negeri-negeri lain? Negeri-negeri
lain pun ikut dalam balapan ini:
Prancis
menjejakkan kakinya di Afrika Utara, di Indo-China, di Martinique, di
Guadeloupe, di Reunion, di Guyana, di Somali, di Nieuw Caledonia, — Amerika
merebut Cuba, Portoriko, Filipina, Hawaii, dll., — Jerman melancar-lancarkan
tangan imperialisme ke pulau Marshall, ke Afrika Barat-Timur, ke Togo, ke
Kamerun, ke pulau-pulau Karolina, ke Kiautsjau, ke kepulauan Mariana, geer
perkara Marokko dll., — Italia sibuk memperusahakan daerah pendudukannya Assab
dekat selat Bab El Mandeb, mengatur kekuasaannya di Afrika Utara, mengambil
Kossala, mencoba menaklukkan Abessinia, mengaut-ngaut di Tripoli dll. pula.
Bahwasanya,
balapan mencari jajahan yang ktia alami dalam zaman kapitalisme-modern itu,
yang mengaut-ngaut ke kiri dan ke kanan dan memasang mulut serta
mengulur-ngulur kukunya sebagai Maha-Kala yang angkara murka,–balapan mencari
jajahan ini tidak ada bandingannya di seluruh riwayat manusia.
Jepang
Dan di
Asia sendiri pun, imperialisme-modern itu membuktikan asal-turunannya:
asal-turunan dari kehausan-kehausan ekonomi, anak dari kapitalisme, yang di
dalam lingkungan rumah tangga sendiri kekurangan lapang usaha. Di atas sudah
kami katakan, bahwa imperialisme itu bukan tabeat bangsa kulit putih saja,
bukan “kejahatan hati” kulit putih saja: — Bukan saja imperialisme-modern, tapi
juga imperialisme-tua kita dapati pada bangsa manapun juga. Kita ingat akan
imperialisme bangsa Tartar yang di dalam abad ke-13 dan ke-14 sebagai “angin
simun” menaklukkan sebagian besar benua Asia; kita ingat akan imperialisme
bangsa-bangsa Aria, Machmud Gazni dan Barber yang memasuki negeri India; kita
ingat akan imperialisme Sriwijaya yang menaklukkan pulau-pulau sekelilingnya;
kita ingat akan imperialisme Majapahit, yang menguasai hampir semua kepulauan
Indonesia beserta Malaka. Tetapi imperialisme-modern Asia baru kita lihat pada
negeri Jepang tempo akhir-akhir ini; imperialisme-modern di Asia adalah suatu
“barang baru”, suatu unicum, suatu nieuwigheid; memang hanya negeri Jepang saja
dari negeri-negeri Asia yang sudah masuk ke dalam kapitalisme-modern itu.
Kapitalisme-modern Jepang yang butuh akan minyak tanah dan arang batu,
kapitalisme-modern Jepang yang juga membangkitkan tambahnya penduduk yang deras
sekali sehingga melahirkan nafsu mencari negeri-negeri emigrasi[16], –kapitalisme-modern Jepang
itu membikin rakyat Jepang lupa akan kesatriaannya dan menanamkan kuku-kuku
cengkramannya di semenanjung Sachlin dan Korea dan Mancuria.
Nama
“kampiunnya bangsa-bangsa Asia yang diperbudak”, nama itu adalah suatu barang
bohong, suatu barang dusta, suatu impian kosong bagi nasionalis-nasionalis
kolot, yang mengira bahwa Jepanglah yang akan membentak imperialisme Barat
dengan dengungan suara: “Berhenti!”—Bukan membentak “Berhenti!”, tetapi dia
sendirilah ikut menjadi belorong imperialisme yang angkara murka! Dia sendirilah
yang ikut menjadi hantu yang mengancam keselamatan negeri Tiongkok, dia
sendirilah yang nanti di dalam pergaulan mahahebat dengan belorong-belorong
imperialisme Amerika dan Inggris ikut membahayakan keamanan dan keselamatan
negeri-negeri sekeliling Lautan Teduh, dia sendirilah salah satu belorong yang
nanti akan perang tanding di dalam perang Pasifik!
Wujud balapan sekarang
“Wujud
cari jajahan” di dalam bagian kedua dari abad ke-19, mula-mula adalah suatu
balapan antara negeri-negeri Eropa saja. Tetapi sesudah di dalam balapan ini
negeri Inggris menjadi yang paling depan, susudah kapitaisme Inggris di dalam
imperialismenya bisa membelakangkan sekalian musuh-musuhnya, sesudah John Bull
boleh berjanji “Perintahlah, Inggris, perintahlah ombak”, sesudah itu masuklah
dua kampiun baru di dalam gelanggang imperialisme dan menjadilah balapan ini di
dalam abad ke-20 suatu balapan baru antara Inggris, Amerika dan Jepang, suatu
balapan baru untuk mengejar kekuasaan di atas negeri mahakaya yang sampai
sekarang belum bisa “terbuka” seluas-luasnya itu, yakni negeri Tiongkok!
Perebutan
kekuasaan di Tiongkok inilah kini menjadi nyawa persaingan antara
belorong-belorong imperialisme yang tiga itu, perebutan kekuasaan di Tiongkok
kini menjadi pokok politik luar negeri Jepang, Amerika dan Inggris. Siapa kuasa
di Tiongkok, dialah akan kuasa pula seluruh daerah Pasifik. Siapa yang
menggenggam rumah tangga Tiongkok, dialah yang akan menggenggam pula segala
urusan rumah tangga seluruh dunia Timur, baik tentang ekonomi maupun tentang
militer. Oleh karena itu, Tuan-tuan Hakim, negeri Tiongkok itu akan
diperebutkan mati-matian oleh belorong-belorong tadi, diperjuangkan mati-matian
di peperangan Lautan Teduh!
Tentang
propaganda kami berhubung dengan bahaya perang Lautan Teduh itu, akan kami
uraikan lebih lebar di lain tempat.
*)
Diambil dari
Risalah “Indonesia Menggugat”, yaitu Pidato Pembelaan Bung Karno di depan
pengadilan kolonial (landraad) di Bandung, 1930.
Catatan:
[1] Gedenkschriften III, hal. 258.
[2]
De Oorlog van Staal en Goud, salinan van Revestein, hal. 22, 51, 68.
[3]
Nationalitätenfrage, hal. 461. dst.
[4]
Expansie, meluaskan daerah.
[5] Dr. J.S Bartstra, penulis buku “Gescheiedenis van het
modern imperialisme” (Sejarah Imperialisme Modern).
[6]
Kanada, Australia, yang waktu itu dikenal dengan pemerintahan sendiri di bawa
lindungan Inggris, atau sering disebut Dominion Status.
[7]
Rudolf Hilferding dalam buku “Das Finanzkapital, eine studie uber die jeugste
envolklung der kapitalismus”.
[8]
Sistime dumping adalah menjual barang di dalam negeri lebih mahal daripada di
luar negeri. Ini pertama kali dilakukan oleh Jepang pada waktu menghadapi
persaingan dari kapitalis-kapitalis Eropa dan Amerika.
[9]
Perkembangan industri yang semakin maju di Eropa sekitar tahun 1880 itu,
mendorong sesama negara Eropa meluaskan daerah jajahan, yang nantinya terbentur
dan melahirkan Perang Dunia I pada tahun 1914-1918.
[10] Prof. Jos Schumpeter, penulis buku “Zur Sosiologie der
Imperialismus”.
[11]
Perang terbuka (perang dunia) atau perang lokal yang diprakarsai oleh
negara-negara imperialis itu menjurus ke penguasaan daerah dan negara lain
dengan cara seperti protektorat oleh Inggris terhadap Mesir dari tahun
1923-1952, Mesopotamia lewat Volkenbond dijadikan daerah mandat bagi Inggris.
[12]
Seperti lazimnya, kaum imperialis itu menyediakan ahli-ahli yang membela
tindak-tanduk mereka, termasuklah Gustav Klemm, yang menyatakan bahwa
imperialisme itu bertujuan memperbaiki nasib rakyat jajahan.
[13]
Prof Dietrich Schafer dalam “Kolonial Geshichte” (Risalah Penjajahan), hlm 12.
[14]
Dr Abraham Kupyer “Antirevolusionaire staatkunde” yang dikutip oleh Snouck
Horgronje dalam bukunya “Colijn over Indie” (Colijn tentang Indonesia).
[15]
Brailsford dalam buku “Hoe long nog?” (berapa lama lagi?) hal 221 dst.
[16] Emigrasi, pemindahan rakyat.
[A] Kolonial Geschichte hal. 12.
[B]
Buku Douwes Dekker, Koloniaal Ideaal.
[C]
Perkataan Mr. de Louter.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar