Pidato dalam Kongres Persatuan Perjuangan tanggal 4-5 Januari 1946
Pertentangan
itu tergambar pada pembagian dunia kapitalis-kapitalis: the haves and the
have-nots. Berdiri atas pertentangan yang tak boleh didamaikan itu, maka
Volkenbond itu adalah satu badan yang menunggu ajalnya saja. Pertentangan dalam
Volkendbond itu memudahkan Jerman-Nazi menjalankan gerak-cepat. Dengan tidak
perlu menghiraukan Volkenbond itu, maka Jerman bertindak sendiri: Polandia
diserbu, perlawanannya patah dalam beberapa hari saja. Belanda melagakkan
waterlini-nya, tetapi perlawanan Belanda itu tidak sampai 80 tahun. Belanda
boleh berlagak bisa menukar perang 80 tahun yang selalu dibanggakannya itu
menjadi perang 80 jam … Perancis diserang … Kalah dalam tiga minggu saja,
inilah hasil muslihat gerak-cepat dan persiapan lama dan “gruadlich”
(sempurna). Tetapi Jerman sendiri akan dinamakan oleh kekuatan persiapannya
yang mesti grundlich itu. Dia tidak bisa menyesuaikan dirinya dengan cepat pada
keadaan baru, yang tiba-tiba datangnya seperti Napoleon.
Kemenangan
atas Perancis, yang laskarnya dianggap terkuat di dunia itu rupanya melewati
perhitungan strategi Nazi. Kemenangan secepat itu membingungkan pemimpin
militer Nazi. Dengan gerak-cepat menyerang Inggris yang lemah di masa itu, dan
meninggalkan Perancis yang sebenarnya sudah menunggu knock-out saja boleh jadi
Jerman bisa merobohkan Inggris. Mungkin kemudian dengan Armada Jerman,
Perancis, Italia, Inggris, dan Jepang menyerbu ke Amerika yang belum siap itu.
Tetapi gerak-cepat zonder “persiapan grundlich” bukanlah sifatnya strategi
Jerman.
Tentara
Jerman akhirnya tertahan oleh Inggris, karena Inggris mendapat kesempatan 2
bulan buat bersiap. Terhambat di Inggris dan takut pada Beruang Merah, maka
tentara Nazi dengan sekonyong-konyong menyerang Soviet Russia. Tentara Nazi
hampir sampai ke Moskow. Di saat inilah Jepang dibujuk dengan tawaran membagi
dunia “kalau” menang. Jepang juga buntu di masa itu. Mesti pilih mati
perlahan-lahan disebabkan oleh gerilya Tiongkok dan pemboikotan ekonomi dari
pihak ABCD atau menerkam sebelum mati. Dia pilih yang terakhir. Jepang tidak
menunggu referee. Belum lagi ditiup peluit … Armada Jepang … Goal di
Hawai.
Begitulah
keadaan internasional sampai Perang Dunia II. Kita tahu siapa kalah dan siapa
menang. Sekarang sudah damai, tetapi bagaimana sifat United Nations? Apakah
undang-undangnya dapat dijalankan? Apakah kita mesti menggantungkan diri kita
saja kepada United Nations itu?
Satu
aliran di antara kita adalah bersandarkan pada kekuasaan Armada Inggris-Amerika
di masa ini. Kekuasaan itu dianggap seolah-olah kekal, bulat, absolut. Saya
akui kekuasaan Inggris-Amerika itu di masa ini. Tetapi sebagai satu moment dan
penuh pertentangan pula. Seperti semua barang di dunia ini, kekuasaan inipun
adalah relatif, bisa berubah, tidak tetap, absolut. Perhatikan sajalah
perhubungan Amerika dan Inggris. Sekarang Inggris berhutang banyak. Apa Inggris
mau bayar begitu saja? Sesudah Perang Dunia I Inggris ingkar membayar penuh
hutangnya! Awasilah sikap Inggris terhadap hutangnya itu atau janjinya! Nyata
sudah Inggris mau menjajah Indonesia langsung atau dengan perantaraan Belanda.
Apakah Amerika, Tiongkok dan Rusia, apalagi Hindustan akan membiarkan Indonesia
dicaplok buat memperkuat imperialisme Inggris?
Siapakah
di antara mereka yang menang ingin damai bisa membiarkan berdiri terus dunia
“haves and Have-nots”? Ringkasnya antara Amerika dan Inggris tiadalah “koek en
ei” saja, perkoncoan tulen. Begitu juga antara Inggris dan Soviet Rusia.
Perhatikanlah pertentangan Inggris dan Soviet di Eropa Barat di Asia Barat dan
Iran. Bisakah kekal perhubungan Rusia proletaris dengan Amerika kapitalistis?
Ringkasnya
Indonesia tak perlu bertekuk lutut begitu saja pada kekuasaan Amerika-Inggris
itu, karena semata-mata beralasan anggapan kebulatan dan ketetapan perserikatan
Amerika-Inggris itu. Janganlah pula berpangku tangan mengharap-harapkan bantuan
United Nations yang sekarang sesudah Perang Dunia II ini kembali menghadapi
persoalan seperti sesudah Perang Dunia I: Pembagian dunia atas yang kalah dan
yang menang masih ada. Pembagian atas “the haves and haves nots” terus menerus.
Hutang masih perlu dibayar oleh yang kalah. Pertanyaan akan timbul kembali:
“Apakah yang kalah mesti bayar hutangnya dengan uang atau dengan barang?”
Dimana pasar buat bahan dan barang hasil untuk the have-nots”? Cuma si
have-nots bukan lagi 80 juta. Jerman termasuk Austria, tetapi bertambah dengan
40 juta bangsa Italia dan 70 juta bangsa Jepang. Jumlah 190 juta! Yang akan
dihadapi oleh United Nations, ialah persoalan lama sebagai pusaka sistem lama,
satu vicieuse cirkle, seperti “menghasta kain sarung saja”, tak putus-putusnya.
Sekarang
kita memandang ke Indonesia. Kita tahu bagaimana caranya Belanda mengusahakan
koloninya:
“God
schep den Mens naar zijn evenbeeld” (Tuhan menjadikan manusia menyerupai
Dirinya). Jadi sifat dan bentuknya perekonomian Belanda lebih kurang juga
mempengaruhi sifat dan bentuk perekonomian Indonesia.
Bermula
perlu dikemukakan di sini, bahwa negara Belanda itu berdasarkan pertanian dan
perdagangan. Yang dihasilkannya ialah keju, mentega dan bloemollen. Barang ini
dan hasil dari Indonesia diperdagangkannya dengan negara luar. Bukanlah negara
Belanda itu satu negara perindustrian, seperti Belgia ataupun Swedia, Swiss
atau Cekoslovakia.
Di
stasiun Manggarai saya lihat satu lokomotip. Dari jauh kelihatan tulisan pada
lokomotip tadi. Saya hampiri kelihatan tulisan “Amsterdam”. Saya tanya pada
diri saya sendiri: masakan bisa pabrik Belanda mengeluarkan lokomotip. Memang
disamping huruf Amsterdam tadi tertulis: “Made in Manchester”.
Selanjutnya
pula saya baca di-construct di Amsterdam. Cocok dengan mesin kapal atau mesin
lain-lainnya "Made in Chemnitz” atau Manchester tetapi di-construct alias
di pasang di negeri Belanda. Jadi Belanda cuma tukang pasang bagian mesin yang
dibikin di luar negaranya.
Kalau
diperiksa lebih dalam maka nyatalah bahwa Belanda itu tak bisa menjadi negara
Industri. Besi tak ada, minyak tak ada: timah, alumunium, tembaga, karet,
kapas, wol, ya segala-gala tidak. Yang banyak ialah rumput dan sapi. Dengan
begitu maka semangat Belanda bukanlah semangat industrialis. Semangatnya ialah
semangat tani dan dagang, ialah pegadang secara pegadang tulen, pegadang kecil,
bukan pula pedagang industrialis.
Sebab
itulah maka kalau imperialis Belanda memandang ke Indonesia maka ia
mengincarkan matanya sebagai petani dan pedagang, semangat perindustrian dan
kemesinan secara modern tentu tak ada dan tak bisa ada padanya. Apalagi kalau
dipikir bahwa penjajah Belanda itu merasa terpaut ole penjajah Inggris 100
tahun lampau bukanlah Indonesia yang sudah direbut oleh Inggris dari Belanda
itu di masa perang Napoleon dikembalikannya kepada Belanda? Bukankah pula modal
Inggris banyak ditanam di Indonesia? Jadi Belanda terpaut oleh kapitalis
Inggris.
Berhubung
dengan politik “opendeur” Belanda juga terpaut oleh Amerika. Belanda buka pintu
Indonesia buat masuknya kapital asing.
Tetapi
dengan begitu dia sendiri bersama-sama terturut oleh kapitalisme asing itu.
Belanda sudah tentu tak bisa mengadakan industri yang kiranya bertentangan
dengan industri Inggris dan Amerika. Belanda sudah tentu akan dapat teguran
dari Inggris, Amerika atau Industrinya Belanda yang ada di Holland sendiri.
Inilah
sebab kedua maka semangat perindustrian yang sudah tak ada pada Belanda itu tak
pula bisa muncul kalau Belanda berada di Indonesia.
Ada
pula sebab yang lain yang menekan semangat perindustrian itu. Kepintaran buat
membangunkan pabrik ini atau itu tentu bisa diperoleh Belanda dari luar
negaranya. Sendiri atau bersama dengan orang Indonesia dia bisa pergi ke Swiss
buat “mempelajari” membikin lokomotip atau Swedia mempelajari membikin mesin
Diesel, ke Belgia atau Cekoslovakia mempelajari membikin senjata. Memang rakyat
Swiss atau Swedia jauh lebih pintar dari rakyat Belanda tentangan kemesinan.
Kalau Belanda malu akan kebodohannya itu dia bisa pergi lebih dahulu sebagai
murid ke Swiss atau Swedia itu. Kemudian kembali diam-diam ke Indonesia
berlagak menjadi gurunya si Inlander. Tetapi keberatannya nanti ada pula. Si
Inlander ini seperti berbukti pada semua tingkatan sekolah, mungkin lebih
pintar dari Belanda itu. Dia mungkin lebih bisa membikin rencana perindustrian
atau mesin ini dan itu.
Ketika
monok Jepang sudah kelihatan penjajah Belanda terburu-buru mau mengadakan yang
dia katakan, “industrialisasi”. Dalam hal begitu Ter Poorten sendiri di
Australia mengakui bahwa pekerja Indonesia tak kurang dari pekerja manapun
juga, dalam beberapa hal katanya, bahkan melebihi. Sebab pekerja Indonesia
mempunyai sejarah ratusan tahun dan hatinya tetap tenang terikat pada kerjanya.
Dengan pekerjaan otak dan tangan yang siap sedia semacam itu, dengan bahan yang
ada melimpah di Indonesia ini, bukanlah bangsa Indonesia sendiri kelak bisa
membangunkan dan ngurus perindustrian modern?
Tetapi
bukankah pula dengan begitu penjajah Belanda menaruh sak wasangka kelak akan
jatuh sendirinya? Ratusan tahun dahulu seorang ahli politik Italia, Machiavalli
yang terkenal sudah mengatakan:
Barang siapa mengangkat orang lain dia sendiri
merendahkan dirinya.
Pepatah semacam ini memang benar kalau dipandang dengan mata miring dan hati
sempit! Bagaimana pun juga pepatah ini cocok dengan semangat Belanda yang
terkenal ialah semangat “kruindenier”, tauke kecil!
Lantaran
tiga sebab tersebut di ataslah maka Indonesia sesudah 350 tahun diperintahi
Belanda tetap tinggal satu jajahan berdasarkan pertanian belaka. Kita ulang
lagi: pertama sebab semangatnya penjajah Belanda sendiri, bukanlah semangat
industrialis, kedua takut dimarahi boss-nya ialah Inggris-Amerika dan ketiga
karena momok Machiavelli tadi, ialah takut nanti disingkirkan oleh rakyat
Indonesia tadi.
Dicocokkan
dengan keadaan Belanda sendiri, perekonomian dan semangatnya Belanda sendiri,
disesuaikan dengan bumi iklim Indonesia sendiri memangnya pertanianlah yang
oleh imperialisme Belanda mesti dijadikan sendi perekonomian Indonesia. Di
sana-sini bisa dibangunkan tambang ini atau itu asal saja kelak jangan
bertentangan dengan keperluan boss-nya Belanda di London atau New York.
Tambang
minyak tanah itu asal dikuasai atau diawasi oleh Amerika-Inggris tiadalah
berkeberatan.
Tambang
timah, emas, bauxit dan arang, asal tinggal tambang saja tak mengandung bahaya
pada Inggris-Amerika. Asal saja musuhnya Inggris-Amerika itu seperti
kapitalisme Jerman, Jepang bisa disingkirkan.
Perhatian
Belanda dipusatkan kepada pertanian. Pertanian ini dibikin secara modern dan
besar-besaran. Kebun dan pabrik teh, kopi, gula, kina, getah dan sebagainya,
sudah amat dikenal di seluruh dunia. Hasilnya membanjiri dunia dan untungnyapun
membanjiri kantongnya kapitalis Belanda yang tinggal lebih dari 10.000 km
jaraknya itu. Untung, dividen dan bunga buat si Kapitalis, gaji ongkos perlop
dan pensiun buat bujangnya kapitalis, alias “bestuur-ambtenaaren” dan pentolnya
si Kapitalis berupa polisi dan serdadu masyhur besarnya di pelosok dunia ini.
Dibandingkan
dengan gajinya Presiden Amerika yang terkaya itu apalagi dengan gajinya satu
menteri Jepang, maka gajinya G.G. Indonesia adalah “omgekeerd evenredig”
(perbandingan berbalik) dengan jasanya terhadap rakyat. F 450.000.000 se tahun
mengalir kekantongnya Belanda buat diperbungakan di luar negara Belanda,
seperti Amerika dan … Jerman Nazi.
Landbouw-industrilah
puncak kesanggupan imperialisme Belanda di Indonesia ini. Mudah
menyelenggarakan penghasilan semacam itu. Besar pula untungnya. Sesudah itu
tiga bulan saja tebu itu sudah boleh dipotong dan digiling. Hasilnya dikirim ke
semua pelosok dunia dengan perantaraan Bank, perkapalan atau asuransi Belanda.
Cocok dengan semangat tani dan saudagar yang ada pada Belanda. Sisanya dimakan
sendiri!
Satu
perkataan yang menggelikan seorang Amerika, ialah perkataan
"rijsttafel". Kata si Amerika tadi, pertanyaan yang penting buat
seorang Belanda di Indonesia ialah “heb je al gerijstaafeld”? Si Amerika tadi
sudah pernah diundang buat satu “rijttafel” yang mengatasi semua kemewahan.
Daftar
makanan yang panjang, meja yang penuh berupa jenis makanan dan minuman, leret
jongos yang panjang pula buat melayani, lebih menggelikan si Amerika tadi daripada
menggembirakan. Pada kemewahan dalam makanan inilah si Amerika tadi mendapatkan
pecahan soal yang sudah lama tercantum dalam hatinya. Soal itu ialah: Dari mana
timbulnya “stille kracht” di antara Belanda sendiri? Si Amerika tadi
berpendapat, bahwa kalau orang makan terlampau banyak, maka kupingnya bisa
ngelamun mendengarkan yang tidak-tidak. Tidurnya bermimpikan hantu atau setan.
Seperti
si Imperialis Inggris “membunuh” temponya dengan main golf, maka si penjajah
Belanda menghabiskan waktunya dengan ‘rijsttafel”. Sesudah melayani
bermacam-macam hidangan dari sop sampai opor, maka ia berhadapan dengan
berjenis-jenis buah-buahan. Apabila sedikit sudah jauh malam, maka sampailah
temponya buat si Bediende menghidangkan teh, kopi, bier, sampai
schiedammer-nya. Kecuali “Schiedammer” semuanya bisa dibikin di Indonesia.
Pabrik schiedammer pun tak usah didirikan!
Meninjau
kita ke persiapan bahan di Indonesia. Menurut pemeriksaan Ir. Abendanon, di
waktu Perang Dunia ke-I, maka Sulawesi Tengah banyak mengandung besi. Pun pulau
Kalimantan sebelah Timur begitu juga. Logam campuran seperti timah, aluminium
dan bauxit banyak sekali didapat. Kwaliteitnya tinggi pula. Ir. Abendanon
membandingkan besi Sulawesi dan Kalimantan tadi dengan besi di Philipina dan
Cuba yang kesohor itu. Kemenangan banyak terletak pada besi Indonesia itu. Buat
kodrat pergerakan di Sulawesi bisa dipakai listrik air mancur yang turun dari
Danau Towuti. Buat Kalimantan kodrat penggerak itu boleh ditimbulkan dari arang
yang luar biasa banyaknya di dekat tanah logam besi itu. Pekerja mudah pula
didatangkan dari Jawa.
Jadi
menurut persiapan bahan dan tenaga yang ada di Indonesia, maka sepatutnyalah
Indonesia mempunyai perindustrian berat dan enteng.
Cuma
tempo yang dibutuhkan buat pelajaran dan pengalaman. Kalau Amerika bisa melebur
“Majola steel” dari logam-besi yang diperolehnya di Kuba, kenapa Indonesia tak
sanggup mengeluarkan “Towuti steel”? Kalau Amerika mengeluarkan “Ford Motor”
dan lain-lain kenapa Indonesia tak akan bisa mengeluarkan “Soetomo-Motor”,
umpamanya? Cuma tempo yang dibutuhkan dan … kesempatan! Kesempatan tempo itulah
yang tidak bisa diizinkan kepada rakyat Indonesia. Oleh penjajah Belanda tidak,
karena semangatnya dan kesanggupannya tak ada. Lagi pula karena takutnya sama
momok Machiavelli, dan takutnya pada boss-nya Inggris-Amerika. Inggris akan
marah, karena takut besi Manchester atau baja Sheffildnya akan mendapat
persaingan besar dari besi-baja Indonesia.
Amerika
akan melotot matanya sebab Majola-steelnya akan mendapat persaingan hebat dari
Towuti-steel tadi. Ford-motornya lambat laun akan mati kutu oleh
“Soetomo-motor” yang mendapatkan bahan melimpah-ruah di Indonesia ini, seperti
besi, alumunium, timah dan …. getah. Selainnya dari pada itu tenaga yang murah,
cakap dan rajin tak sering mogok, kodrat penggerak yang dekat dan murah ialah
bensin. Di lenakkan oleh “rijstafel” dan ditakuti oleh “boss” Inggris-Amerika
tak mengherankan, kalau besi Indonesia tinggal terpendam saja. Tak pula
mengherankan kita akan kebodohan bangsa asing menghasilkannya, ialah bensin
karena katanya “waardeloos”, tak berharga. Bensin yang berharga sekali buat
penerbangan yang terutama didapat di Palembang itu, lama sekali terpendam dan
perusahaan minyak tanah di sekitar bensin itupun tak bisa diusahakan “van wege
de waardeloze benzine” tadi itulah.
Camkanlah
“kebodohan” imperialisme Belanda itu! Kita memang tidak ingin menghina.
Perkataan itu tidak akan kita keluarkan dari mulut kita, kalau tidak mengenal
hidup dan keamanan kita yang 70 juta. Belanda yang katanya merasa mempunyai
ikhlas, mesti lebih dahulu mengadakan zelf-corektie.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar