SITUASI POLITIK LUAR DAN DALAM NEGERI [1]

Diposting oleh poentjak harapan on Minggu, 18 Maret 2012


Pidato dalam Kongres Persatuan Perjuangan tanggal 4-5 Januari 1946


Lebih dahulu saya minta pada saudara sekalian sejenak berdiri, memperingati arwahnya rakyat dan pahlawan Indonesia, yang sudah meninggalkan kita dalam perjuangan yang maha dahsyat ini, dan memberikan warisan kepada kita supaya meneruskan pekerjaanya.
Pokok pembicaraan sekarang ialah: situasi politik luar dan dalam Indonesia. Saudara sekalian!
Jikalau kita mau menanam satu pohon, maka lebih dahulu kita cari bibit yang bagus, tanah yang cocok dan hawa yang sesuai. Bibit yang sebaik-baiknya pun kalau tidak disertai oleh tanah yang cocok dan iklim yang sesuai, tidak akan tumbuh menjadi pohon.
Demikian juga haluan kita!
Kalau haluan itu tidak cocok dengan keadaan di dalam dan di luar maka ia akan patah di tengah jalan atau gagal sama sekali. Haluan kita serta cara kita bekerja, mesti kita ukur dengan kekuatan kita, baik dari dalam ataupun dari luar. Kemudian keadaan luar dan dalam itu kita cocokkan dengan haluan kita; yaitu: kemerdekaan. Demikianlah kita membentuk persatuan yang kita butuhkan dan organisasi yang cocok dengan keadaan di dalam dan di luar negeri. Apabila organisasi kita, persatuan kita dan haluan kita sudah cocok dengan keadaan di dalam dan di luar negeri kita, maka barulah kita berharap, bahwa kelak usaha kita akan berhasil.
Dengan iman yang teguh tegap hati yang tetap tenang kita boleh melaksanakan haluan kita tadi. Tidak ada manusia yang adil akan menyesali paham dan perbuatan kita. Tak ada pula sesuatu kodrat yang akan merintangi kelangsungannya usaha kita. Anak cucu kita kelak akan mewarisi apa yang akan kita tinggalkan itu, sempurna atau sebagian jaya, dengan iman yang lebih walaupun kita sudah insyaf akan segala-gala meskipun sudah bersatu padu atas satu organisasi yang berdisiplin laksana baja, tetapi baru sampai di tengah jalan kita sudah patah hati dan pecah belah, maka akan sia-sialah semua pekerjaan kita selama itu tadi. Anak cucu kita akan mengutuki kita sebagai penghianat paham dan negara kita sendiri atau sedikitnya akan menjauhi kita sebagai manusia yang lemah tak berwatak.
Semuanya ini adalah keyakinan saya sendiri. Saya pikir keyakinan ini boleh dibuktikan dengan sejarah negara manapun juga dalam waktu manapun juga.
Kembali saya sekarang kepada pokok perkara ialah menguraikan situasi politik luar dan dalam negara. Saya mulai dengan suasana politik luar negara. Bukankah negara kita ini bagian dari dunia luar? Bukankah pula dunia luar itu lebih besar dari negara kita? Bukankah akhirnya politik dunia itu bisa sama sekali menghambat atau menghalang-halangi politik negara kita sendiri?
Hari depan kita adalah bergantung kepada keadaan sekarang. Seterusnya pula, keadaan sekarang berseluk beluk dengan keadaan lampau.
Marilah kita tinjau! Marilah kita sedikit surut ke belakang sejarah! Ke tahun 1918, ialah perjanjian Versailes.
Pada waktu itu dunia sedang gemuruh. Satu negara besar dan baru dalam di segala-gala timbul, ialah Soviet Rusia. Pada zaman itu saya masih muda, masih berlajar di Eropa Barat. Dalam usia “Sturm und Drangperiode” itu, dalam usia sedang bergelora itu saya di londong topan yang bertiup dari Eropa Timur itu. Dunia Barat sendiri pada masa itu seakan-akan mengikuti Soviet Rusia.
Dari dunia Eropa Timur itulah saya mendapatkan semua ilham dan petunjuk yang saya rasa perlu buat perjuangan politik, ekonomi, dan sosial kita.
Walaupun pasang revolusi yang dari Timur mengalir ke Barat Eropa itu lambat laun susut kembali sampai ke negara Rusia saja, tetapi tiadalah padam-padamnya ilham dan petunjuk yang saya peroleh dari Rusia di mana usia bergelora tadi.
Berdasarkan petunjuk yang saya peroleh dari Soviet Rusia itulah saya sekarang melangkahi sejarah dengan kecepatan raksasa. Dari tahun 1918-1923, lebih kurang dalam 5 tahun itu, keadaan politik-ekonomi dan sosial dunia kapitalisme seakan-akan tak bisa diperbaiki lagi.
Seakan-akan kapitalisme dunia itu mau roboh.
Tetapi dari tahun 1924-1929, kurang lebih dalam 5 tahun pula, dunia kapitalis mulai bangun kembali. Mulanya perlahan-lahan. Kemudian cepat demi cepat sampai produksi itu bisa di puncak. Tiba-tiba timbullah krisis, lebih hebat dari yang sudah-sudah.
Dahulu kita musimnya krisis itu dianggap sekali 10 tahun. Tetapi rupanya karena kodrat mesin menghasilkan sudah berlipat ganda maka musim itu kembali sekali 5 tahun saja.
Sebabnya timbul krisis itu boleh saya ringkaskan:
Dalam dunia kapitalistis cuma beberapa biji manusia yang memiliki harta pencaharian, yang berupa tanah, pabrik dan tambang serta mengurus hasil buat masyarakat seluruhnya. “Makin banyak saya menghasilkan” demikianlah pikirannya si Kapitalis, “makin murah” jualan barang saya. Ini berarti makin lekas dapat saya gulingkan saingan saya, yang tak bisa menjual barangnya semurah barang saya. Tetapi kapitalis lain ialah teman seperjuangannya berpendapat sedemikian pula. Begitulah tiba-tiba saja barang membanjiri pasar, melimpah di pasar dan jatuh harganya sampai jatuh di bawah ongkos. Karena jualan tiada lagi menutupi ongkos, maka tuan pabrik seorang demi seorang terpaksa menutup pabriknya. Dengan begitu kaum pekerja terpaksa disuruh pulang. Pengangguran bersimarajalela dan krisis mengamuk kiri kanan.
Demikianlah ringkasnya gambaran dunia pada tahun 1929. Negara kapitalis mulai goncang lagi sampai ke tiang dan dasarnya.
Negara Amerika pun yang luas serta kaya-raya dalam hal bahan pabrik, tambang, mesin dan tenaga pun tiadalah luput dari genggamannya krisis yang mulai timbul pada tahun 1929 itu. Meskipun Amerika menghasilkan lebih kurang 70 % barang penting dari industri berat, seperti besi, baja, mesin minyak dan lain-lain walaupun pembeli dalam negaranya banyak dan kaya-raya, walaupun lebih dari 90 % jumlah mas di dunia tertumpuk di country of the free “Negara Mereka” itu, namun tahun krisis itu tak terbendung juga.
11 juta pekerja menganggur di Amerika bukan karena malas atau bodohnya sendiri. Melainkan karena salahnya sistem kapitalisme. Seandainya tiap-tiap pekerja cuma menanggung seorang istri dan seorang anak saja, maka di antara 140 juta warga Amerika itu adalah 33 juta yang melarat atau lebih kurang ¼ penduduk yang jatuh ke lembah kesengsaraan. Sewaktu-waktu mereka terancam oleh kelaparan dan senantiasa mereka dihitung sebagai golongan pengemis.
Bagaimana pula kedudukan negara Inggris?
Luasnya negara Inggris ini adalah kurang dari 100.000 mil persegi. Tetapi di Asia dan Afrika Inggris mempunyai jajahan yang luasnya lebih kurang 12.000.000 mil persegi, jadi kira-kira 150 kali seluas negaranya sendiri. Inggris berpenduduk kurang dari 50 juta, tetapi penduduk jajahannya adalah lebih kurang 500.000.000 atau lebih kurang 10 kali sebesar cacah jiwa negaranya sendiri.
Ditilik dari penjuru ini maka tiap-tiap 1 orang Inggris dilayani oleh 10 orang kulit berwarna. Tetapi dalam negara Inggris sendiri mereka yang memiliki perkakas menghasilkan dan mengurus produksi itu, bertitel Lord ataupun tidak, kalau kita katakan ada 1000 jumlahnya, masih melebihi taksiran. Sehingga tak jauh dari kebenaran kalau kita katakan kalau dibelakangnya seorang kapitalis Inggris berada dan bekerja ½ juta kuli hitam dan putih. Begitulah juga di Inggris di antara tahun 1929 dan 1932 krisis mengamuk dengan hebatnya. Tak berapa bedanya angka kurban krisis di Inggris itu dari pada 2 juta orang. Tanah luasnya hampir 1/6 maka bumi buat penduduk belum 1/44 jumlah penduduk dunia, yakni kalau buruh Inggris dihitung sebagai bangsa tuan, tiadalah bisa meluputkan Inggris dari marabahaya krisis.
Tahun 1929-1932! Dimasa tiga tahun itu sekalian ahli politik – ekonomi – sosial di seluruh dunia memutar-mutar otaknya untuk mendapatkan sistem ekonomi yang kiranya bisa menghindarkan krisis. Pada waktu ini di seluruh dunia hanyalah satu negara yang terhindar dari krisis ialah negaranya proletar, Soviet Rusia. Di sana kaum pekerja memiliki mata pencaharian hidup dan mengatur hasil buat keperluan bersama, bukanlah buat diperjual-belikan. Banyaknya hasil tiadalah diombang-ambingkan oleh pedoman laba-rugi, melainkan ditetapkan oleh kebutuhan pasti.
Pabrik tidak ditutup karena untung kurang. Sebaliknya pabrik senantiasa kekurangan tangan karena selalu saja meluas dan mendalam disebabkan pula oleh kenaikan takaran-hidup (standard of life) setahun demi setahun.
Dengan mulut dunia kapitalisme mencela politik dan sistemnya Soviet. Tetapi dalam kalbunya mereka cemburu akan keamanan dan kemajuan Rusia.
Mereka sama tertarik oleh rencana ekonomi. Baik negara fasis ataupun demokrasi mencoba mengadakan rencana dan menjalankan rencana ekonomi. Mereka gagal lantaran pertentangan hebat di antara satu negara kapitalis dengan negara kapitalis lainnya.
Marilah sekarang kita tinjau keadaan di negeri Jerman! Kita kenal orang Jerman pukul rata, orang yang pintar, berani, kuat dan rajin. Tetapi dia kalah perang 1914–1918! Kalau satu negara kalah perang maka ia mesti tunduk pada undang-undang perang. Jerman diharuskan membayar hutang kepada yang menang ialah Inggris, Perancis dan Amerika. Panjangnya angka hutang itu barangkali dari Purwokerto ini sampai ke Bogor.
Tanya Jerman: “Dengan apa akan saya bayar hutang itu?” Kita tahu bahwa kereta-api dan kapal Jerman di sita oleh musuhnya. Uang kertas Jerman amatlah merosot harganya. Musuhnya tentu tak mau menerima kertas Jerman yang tak berharga di luar negaranya itu.
Apakah boleh Jerman membayar hutangnya dengan barang?
Inipun tiada mungkin dilakukan dengan tidak banyak menderita bermacam halangan. Besi buat bahan tak cukup di Jerman. Minyak tanah cuma bisa disaring dari arang saja. Timah, kapas, getah, dan lain-lain tak ada pula. Semuanya ini di pasarnya “si Haves” ada bertimbun-timbun. Tetapi bahan ini tidak bisa dibeli dengan uang kertas Jerman. Jerman bisa beli dengan jual barang pabriknya tetapi barang pabrik ini membutuhkan bahan pula. Demikianlah persoalan berputar-putar saja dari ujung ke pangkal. Si Haves sebenarnya tak sudi memberi kelonggaran kepada Jerman yang mencari barang bahan di jajahannya itu. Mereka takut akan barang Jerman. Takut akan persaingan barang Jerman yang murah dan baik itu. Bukankah kacau dunia semacam itu? Jerman disuruh membayar hutang. Dengan uang tidak bisa dibayar dan dengan barang pun tidak. Sedangkan yang berpiutang terus menagihnya.
Inilah yang membikin dunia kacau sesudahnya perang dunia ke I. Pokok kekacauan itu terdapat dalam Perjanjian Versailles. Dalam Perjanjian inilah seluruhnya Rakyat Jerman yang dengan Austria 80 juta itu diharuskan membayar hutang perang, pengganggu keamanan dunia dan oleh sebab itu diharuskan membayar hutang, dilucuti senjatanya dan ditindas gerak politiknya. Tiadalah kita mau dan bisa mendalamkan persoalan salah atau benarnya Jerman terhadap Perang Dunia ke-I itu.
Cuma kita mau kemukakan, bahwa keadaan di Jerman itu memberi kesempatan kepada seorang pemimpin ber-kaliber Hitler dan satu partai bercorak Nazi. Nama Hitler mulai didengar semenjak tahun 1922, ketika krisis Jerman sedang memuncak. Bagaimana Hitler mengadakan organisasi dan merebut kekuasaan bulat tiadalah perlu kita uraikan di sini. Cuma kita tahu bahwa Hitler dan partainya cukup mendapat kekuatan buat membentuk Jerman-Nazi yang akan melakukan politik kontra-revolusioner terhadap ke dalam Jerman dan politik imperialisme terhadap ke luar. Yang akan kita kemukakan disini ialah kekuasaan penuh dan kepercayaan penuh dari pada rakyat buat suatu pemerintah.
Kalau satu negara belum mempunyai kekuasaan penuh dan kepercayaan penuh dari pihak rakyat, maka pemerintah itu akan mudah saja diobrak-abrik dari luar ataupun dari dalam. Kita tidak memuji aturan fasisme Jerman itu. Kita hanya memajukan satu bukti betapa hebatnya kekuatan rakyat itu di bawah pimpinan yang mendapat kepercayaan penuh serta kekuasaan penuh dari rakyatnya. Marilah sebentar kita arahkan uraian kita terhadap ekonomi Jerman di bawah pimpinan partai Nazi. Yang menjadi alternatif (pilihan) dalam ekonomi Jerman di masa itu, ialah: kalau gaji buruh naik maka harga barang, hasil pabrik tidak bisa bersaingan di pasar luar negeri; kalau gaji buruh diturunkan maka jumlah gaji buruh yang sudah turun itu tak bisa menghabiskan hasil pabrik dalam negara. Padahal Jerman harus menjual barang ke luar negara untuk dapat membeli bahan mentah. Sedangkan dalam perdagangan bahan-bahan mentah ini Inggris yang berkuasa, tapi ia yang enggan menolong Jerman. Itulah artinya berkoloni, itulah pula enaknya orang mempunyai jajahan! Tetapi tidak enak bagi yang lain.
Maka sebab itu dunia terus cekcok saja!
Sekarang kalau gaji yang diturunkan, maka pasar dalam negeri yang menjadi kurus. Sebab, dalam negeri kapitalis tulen seperti Jerman adalah lebih kurang ¾ dari pada jumlah kaum buruh yang hidup dari gajinya. 
Maka bagaimana mereka itu bisa membeli, kalau gajinya semakin diturunkan? Jadi: ke mari salah, ke sana salah!

 

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar