Gejolak
sosial dan politik di Thailand mencapai klimaksnya dengan pembentukan barikade
di Bangkok pada awal Maret 2010, dimana puluhan ribu demonstran kaos-merah
menduduki area pusat Bangkok. Dua bulan perjuangan yang sengit berakhir dengan
serangan militer pada tanggal 19 Mei yang akhirnya berhasil menghancurkan basis
kamp Kaos Merah. 85 orang mati dan ribuan lainnya terluka. Ofensif konter
revolusioner meraih kemenangan, tetapi Thailand tidak akan pernah sama lagi.
Sebuah perang kelas telah dimulai. Di Rajprasong, mereka bernyanyi: “Ini adalah perang kelas yang
akan menyapu otokrasi”. Berikut ini adalah analisa yang ditulis
pada hari penyerangan militer terhadap kamp kaos merah (19/5).
Di
Rajprasong, mereka bernyanyi: “Ini
adalah perang kelas yang akan menyapu otokrasi”
Selama
berbulan-bulan jalanan di Bangkok pusat telah diambil alih oleh sebuah gerakan
demonstrasi massa yang diorganisasi oleh UDD (United Front for Democracy Against Dictatorship,
Front Persatuan Untuk Demokrasi Melawan Kediktaturan), yang lebih dikenal
sebagai Kaos Merah. Gerakan massa kaum miskin dan terlantar ini telah
menggoncang struktur kekuasaan dari elit penguasa dan mengancam masa depan
kerajaan Thai. Banyak dari mereka adalah pendukung mantan perdana menteri
Thaksin Shinawatra, yang tersingkirkan dalam sebuah kudeta hampir empat tahun
yang lalu.
Perdana
menteri yang sekarang, Abhisit Vejjajiva, mengeluh mengenai “kekacauan” dan
“anarki”, tetapi dia enak saja lupa bahwa dia naik ke tampuk kekuasaan dengan
cara yang sama. Pemerintahannya dibentuk oleh militer, dan adalah produk dari
sebuah kudeta militer pada tahun 2006 dan berbagai kudeta yuridis. Antara tahun
2006 dan 2008, preman-preman berkaos kuning dari Partai Demokrat memboikot
pemilu dimana Thaksin diprediksikan akan menang. Ini mengakibatkan
dibatalkannya hasil pemilu. Lalu ketika sebuah periode transisi militer gagal
untuk menyingkirkan pendukung Thaksin dari kekuasaan, massa monarkis reaksioner
memblokade gedung-gedung pemerintah dan bandara Bangkok guna memberikan preteks
untuk sebuah kudeta.
Perebutan
kekuasaan oleh Abhisit adalah negasi dari demokrasi, tetapi ini dengan mudah
diabaikan oleh negara-negara Barat. Tuntutan untuk pemilu yang baru adalah
sebuah tuntutan demokratis yang fundamental. Tetapi ini tidak dapat diterima
oleh kaum oligarki Thailand. Sikap dari para demokrat di Washington dan London
terhadap kediktaturan ditentukan oleh kepentingan kelas mereka.
Pemerintah
Abhisit mewakili kaum penguasa oligarki, monarki Thai yang reaksioner, dan
militer. Ini sangat cocok dengan negara-negara Barat, karena ini tampak
memberikan jaminan yang kuat untuk investasi mereka di Bangkok – salah satu
ekonomi terpenting di Asia. Orang-orang munafik yang sama ini juga mendukung
apa yang disebut Revolusi Oranye di Ukraina, dan terus-menerus mengutuk “rejim
otokrasi” Hugo Chavez. Tetapi mereka menanggapi gerakan demontrasi demokratis
di Thailand dengan kebungkaman.
Kaos Merah
Kaum
Kaos Merah, sebuah koalisi anti-pemerintah yang longgar, melihat Thaksin
sebagai titik referensi. Thaksin, seorang milyader, yang sekarang ada di
pengasingan yang nyaman di Montenegro, bukanlah seorang pemimpin revolusi. Para
kritikus merujuk pada pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di bawah
pemerintahannya. Tetapi dia juga menjalankan sejumlah kebijakan untuk
kepentingan kaum miskin, terutama kaum miskin di pedesaan bagian utara
Thailand.
Karena
tidak memiliki sebuah kepemimpinan yang jelas, sebuah partai atau program, maka
massa melihat ke pemimpin-pemimpin individual yang tampak mewakilkan aspirasi
mereka. Para petani miskin sangat membenci elit penguasa urban yang
mendominasi, mengeksploitasi, dan menindas mereka. Nama Thaksin menjadi sebuah
titik yang menyatukan oposisi terhadap rejim yang sekarang ini, terutama kaum
tani miskin yang mendapatkan sejumlah keuntungan dari pemerintah Thaksin dulu.
Namun, dalam kenyataannya, dia adalah seorang figur yang kebetulan saja, seperti halnya
Pastor Gapon di Revolusi Rusia 1905 atau Kerensky di Revolusi Rusia 1917.
Beberapa
kaum intelektual kelas menengah dari Barat mengakui bahwa mereka tidak dapat
mengerti mengapa ribuan orang miskin memilih untuk berjuang dan mati di
jalan-jalan Bangkok demi seorang milyader. Beberapa orang bahkan mengkarakterisasi
gerakan ini sebagai “fasis”. Ini menunjukkan sebuah ketidakpahaman. Sebaliknya,
laporan-laporan dari Giles Ji Ungpakorn, seorang intelektual kiri dan
pembangkang, yang dalam pengasingan di Thailand, telah menyediakan sebuah
gambaran yang sangat akurat dan benar mengenai gerakan ini.
Rakyat
yang berjuang dan mati di jalan-jalan Bangkok tidak melakukan ini untuk
mendukung satu politisi borjuis melawan yang lainnya. Mereka berjuang untuk
sebuah perubahan fundamental di dalam masyarakat. Mungkin mereka tidak tahu
dengan jelas apa yang mereka inginkan. Tetapi mereka tahu dengan jelas apa yang
tidak mereka inginkan. Mereka tidak menginginkan kemiskinan, kelaparan, dan
pengangguran. Mereka tidak menginginkan kekuasaan oligarki yang korup dan reaksioner.
Dan mereka tidak menginginkan pemerintahan Abhisit.
Tuntutan
untuk pemilu yang baru adalah sebuah titik awal yang wajar bagi protes mereka.
Tetapi segera setelah rakyat bergerak, gerakan ini memperoleh sebuah dinamika
yang baru. Partisipasi buruh, kaum muda revolusioner, dan kaum miskin kota
telah mengubah gerakan ini, yang tidak dapat dikatakan sebagai sebuah gerakan
kaum tani yang bodoh, seperti yang ingin digambarkan oleh kaum reaksioner.
Dalam
minggu-minggu belakangan ini, pengaruh Thaksin Shinawatra tampak telah
terdorong ke latar belakang. Kaum buruh dan tani miskin yang tertindas mulai
menemukan sebuah suara dan mengekspresikan kemarahan mereka yang terpendam,
bukan hanya terhadap pemerintahan sekarang tetapi terhadap seluruh sistem yang
secara fundamentail tidak adil. Inilah mengapa massa rakyat telah menunjukkan
begitu besar kebulatan tekad yang revolusioner dan keteguhan untuk berjuang dan
berkorban.
Namun,
kebulatan tekad yang sama tidak ditunjukkan oleh para pemimpin mereka. Para
pemimpin ini bukanlah kaum buruh dan tani miskin yang tidak punya apa-apa
selain nyawa mereka, tetapi mereka adalah kaum intelektual kelas menengah yang
menghendaki demokrasi yang lebih luas dan ingin mengurangi pengaruh militer di
dalam politik. Mereka bersandar pada gerakan massa untuk menekan pemerintah
supaya memberikan konsesi. Mereka terus-menerus menyerukan negosiasi. Tetapi
mereka telah mengerakkan sebuah kekuatan yang sulit mereka kendalikan. Gerakan
massa sekarang telah mendapatkan jiwanya sendiri.
Para
demonstran segera mendapati perasaan akan kekuatan mereka sendiri. Walaupun
tidak memiliki program yang jelas (atau mungkin karena itu), gerakan ini
menarik ke panjinya seluruh sektor masyarakat yang tertindas dan tereksploitasi
di Thailand. Keteguhan dan militansi para demonstran bertambah besar, dan
dengannya, sebuah harapan untuk sebuah perubahan radikal di dalam masyarakat
yang jauh melebihi penggantian perdana menteri. Ini sekarang adalah sebuah perjuangan antara kaum
kaya dan miskin – sebuah perjuangan kelas.
Perjuangan untuk Demokrasi
Kaum
oligarki takut akan kekuatan yang telah tergerak oleh gerakan pro-demokrasi,
yang telah menarik ke sisinya kaum buruh, kaum muda, tani, dan sektor-sektor
tertindas di kota dan desa: dalam kata lain, semua kekuatan hidup di dalam
masyarakat Thailand. Melawan mereka adalah seluruh kekuatan reaksioner yang
korup, bangkrut, dan kuno.
Ini
adalah sebuah perjuangan antara kaum kaya dan miskin, antara yang berpunya dan
yang-tak-berpunya. Kaum kaos-merah digambarkan sebuah gerakan “pro-demokrasi”,
dan ini ada benarnya. Ada sebuah keinginan yang membakar untuk demokrasi, yang
terekspresikan di dalam sebuah kebencian yang dalam terhadap pemerintahan
Abhisit. Mulai dengan tuntutan-tuntutan demokrasi, mereka akan mulai
menghubungkan ketidakadilan politik dengan ketidakadilan sosial. Bagi buruh dan
tani, kedua hal tersebut tak terpisahkan.
Gerakan
ini memang dimulai sebagai pertikaian antara dua kelompok politisi, tetapi
sekarang gerakan ini telah dipenuhi dengan elemen kelas yang revolusioner.
Segera setelah mereka berdiri, massa rakyat secara tak terelakkan mulai
mengekspresikan tuntutan mereka sendiri. Tugas mendesak dari revolusi ini
(karena ini adalah sebuah revolusi) adalah demokratis dalam karakter. Tetapi
perjuangan untuk demokrasi, bila ingin berhasil, harus menuju ke penyapuan
seluruh struktur politik Thailand.
Di mata
rakyat, perjuangan untuk demokrasi diidentifikasikan dengan perjuangan yang
lebih luas untuk keadilan sosial dan persamaan hak. Ini dipahami oleh kaum
reaksioner dan elemen-elemen yang paling teguh di dalam gerakan protes ini.
Seperti biasa, di tengah mereka adalah mereka yang berpikir bahwa semua ini
dapat diselesaikan dengan damai, melalui negosiasi dan perjanjian. Tetapi ini
mustahil.
Tidak
ada ruang untuk kompromi di dalam situasi ini. Dan kaum “tengah”, seperti yang
sering kita lihat di dalam sejarah, akan tersapu ke pinggiran oleh perjuangan
kelas yang bangkit. Gerakan ini hanya dapat berhasil bila ia dipimpin oleh
elemen-elemen yang paling teguh: mereka yang siap untuk berjuang sampai garis
akhir.
Kebangkitan Massa
Para
demonstran kaos-merah berkumpul di Bangkok pada tanggal 14 Maret, dan selama
dua bulan mereka melumpuhkan ibu kota ini, memprotes penolakan dari pemerintah
Abhisit untuk mundur dan mengadakan pemilu yang baru. Pemerintah yang tidak
terpilih ini terus berkuasa. Tetapi pemerintahan ini telah kehilangan kendali
jalan-jalan di Bangkok. Majalah The
Economist (16 Mei) menggambarkan situasi di Bangkok:
“Ribuan
demonstran, banyak dari mereka datang dari pedesaan, tidur di bawah rendang
hotel-hotel mewah dan mal-mal. [...] Selama satu bulan terakhir ini mereka
telah menduduki sebuah area luas di Bangkok pusat untuk memaksa perdana
menteri, Abhisit Vejjajiva, membubarkan parlemen dan menyelenggarakan pemilu
yang baru. Pemerintah, bisnis dan banyak penduduk Bangkok ingin agar kaum
kaos-merah ini keluar. Ancaman dan hukum darurat tidak berhasil. Negosiasi
tampak menghasilkan sesuatu, tetapi segera gagal.”
Kelas
penguasa semakin kawatir akan kebangkitan massa di jalan-jalan ibu kota.
Pemerintah tampak tak berdaya, terserang oleh sebuah kelumpuhan semangat yang
aneh. Situasi menjadi semakin serius setiap hari, dan hampir setiap jam. Ada
elemen-elemen kekuasaan ganda. Dengan perlawanan mereka, massa rakyat menyampaikan
sebuah tantangan langsung kepada pemerintah: “siapa yang berkuasa, kalian atau
kami?”
Awalnya
pemerintah berusaha menjinakkan situasi ini dengan menawarkan konsensi. Abhisit
menawarkan pemilu awal bulan Nopember sebagai bagian dari perjanjian untuk mengakhiri
konfrontasi ini. Tampaknya beberapa pemimpin protes siap untuk pulang ke rumah.
Tetapi bagi mayoritas demonstran ini tidak cukup dan terlalu terlambat. Mereka
menuntut sebuah tanggal yang pasti untuk pembubaran parlemen dan mengatakan
bahwa mereka akan melanjutkan protes mereka.
Abhisit
ditekan oleh kaum garis-keras untuk menggunakan kekerasan guna menghancurkan
protes ini. Ketika para pemimpin kaos-merah mengubah tuntutan mereka,
pemerintah segera menarik mundur tawaran mereka. Bagi pemerintah, tawaran
pemilu baru adalah terlalu banyak, sedangkan bagi massa rakyat, yang telah
terradikalisasi oleh gerakan, ini terlalu kecil. Dalam kata-kata majalah The Economist:
“Mereka
tidak mempercayai para pemimpin yang berbicara mengenai kompromi setelah banyak
darah yang telah tertumpah. Lebih baik tetap berjuang dan meneruskan tekanan
pada pemerintah. Para demonstran kaos-merah garis keras tidak akan menyerah
begitu mudah.”
Reaksi Bersiap-Siap
Pemerintah
Thailand sengaja membesar-besarkan kekerasan dari gerakan Kaos Merah yang
membakar ban-ban mobil dan menembakkan roket buatan-rumah, berulang-ulang
menggambarkan mereka sebagai “teroris” yang mempersiapkan sebuah pemberontakan
bersenjata, guna membenarkan penggunaan penembak jitu yang mematikan dan
penghancuran gerakan ini dengan militer. Uji kekuatan yang pertama datang pada
tanggal 10 April, dimana 25 orang terbunuh dan ratusan lainnya terluka ketika
pasukan militer berusaha untuk menyingkirkan para demonstran dari Bangkok. Pada
saat itu, beberapa prajurit mati, rupanya oleh penembak berpakaian hitam dengan
senjata dari angkatan bersenjata.
Penumpasan
berdarah pada tanggal 10 April menunjukkan kemunafikan di balik “jalan”
perdamaian Abhisit. Dia tidak memiliki keinginan untuk mengembalikan demokrasi
di Thailand. Hanya ada dua jalan keluar: rakyat menumbangkan pemerintahan ini –
dan monarki reaksioner yang ada di belakangnya – atau reaksi militer akan
mengembalikan “ketertiban” dengan peluru dan bayonet.
Kelas
menengah yang sejahtera di Bangkok marah karena kehidupan mereka terganggu,
jalan mereka diduduki, dan mal-mal mewah mereka terganggu. Kaum kaos-kuning
Royalis mengancam akan meneruskan protes mereka dan mendukung penggunaan
hukum-hukum represif dan kekerasan untuk melawan gerakan massa rakyat.
Prospek
pertikaian berdarah sangatlah jelas bagi semua orang. Duta-duta besar menutup
pintu mereka, dan beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, memperingatkan
penduduk mereka untuk tidak berkunjung ke Bangkok. Departemen Luar Negeri
menganjurkan kepada rakyat Amerika untuk memikirkan ulang perjalanan mereka ke
Thailand karena “kekacauan politik dan pemberontakan sipil yang meluas di
Bangkok dan beberapa tempat lainnya.”
Semua
ini mengindikasikan bahwa angkatan bersenjata Thailand sedang mempersiapkan
ofensif final. Namun, pemerintah masih bimbang. Angkatan bersenjata menghindari
konfrontasi langsung dan sebaliknya mencoba mencekik gerakan Kaos Merah
perlahan-lahan. Tentara membangun barikade dan kawat berduri di semua jalan
menuju kamp protes, memblokade jalur suplai, dan menutup semua jalan keluar.
Mereka
mendeklarasi dua daerah kota Bangkok, yakni Din Daeng dan Bon Kai, sebagai
“zona tembak”. Jendral-jendral senior mengancam bahwa siapapun yang masuk ke
zona ini akan langsung ditembak. Respon dari Kaos Merah adalah meluaskan
teritori yang mereka kontrol, dan cepat-cepat membangun barikade-barikade baru
dari ban dan mobil, dan bila terancam mereka membakar barikade tersebut.
Beberapa rumah juga terbakar, dan ada laporan bahwa toko-toko dan gedung-gedung
yang terletak di antara barikade Kaos Merah dan tentara diserang.
Perpecahan di dalam Angkatan Bersenjata
Perjuangan
kelas di Thailand sekarang telah mencapai tingkat yang teramat tinggi. Bila ada
kepemimpinan yang memadai, gerakan massa ini sudah tentu bisa menumbangkan
kekuasaan oligarki. Rejim ini dapat merasakan tanah pijakan mereka bergetar. Di
satu pihak, gerakan massa revolusioner berkembang dengan pesat, di pihak yang
lain jelas ada perpecahan di dalam tubuh angkatan bersenjata dan polisi. Ada
banyak laporan mengenai fraternisasi antara rakyat dan tentara, atau bahkan
demonstran yang menduduki barak tentara.
Sayangnya,
para pemimpin protes goyah dan menunjukkan bahwa mereka tidak siap untuk
berjuang sampai akhir. Ini memungkinkan kekuatan konter-revolusioner untuk
mengambil kembali inisiatif.
Angkatan
bersenjata jelas takut berkonfrontasi langsung dengan Kaos Merah. Buktinya,
sampai pagi ini (19 Mei) mereka belum merebut teritori dari Kaos Merah, dan
justru mencoba mencekik para demonstran dengan memotong suplai makanan dan air,
listrik, dan komunikasi. Tetapi ini tidak cukup untuk mengakhiri protes. Cepat
atau lambat mereka harus meluncurkan serangan akhir yang bengis untuk
menyingkirkan para demonstran.
Tetapi
ada masalah. Tentara bawahan selalu ragu untuk menembak rakyat yang tidak
bersenjata. Ini seratus kali benar untuk tentara wajib, yang kebanyakan datang
dari keluarga tani miskin. Para perwira oleh karena itu menggunakan penembak
jitu yang bersembunyi di gedung-gedung tinggi untuk menembak para demonstran.
Salah
satu korbannya adalah Khattiya Sawasdipol, mantan jendral angkatan bersenjata
Thailand, yang menjadi pemimpin milisi kaos-merah. Dia dengan tegas menentang
“perjanjian damai” yang membawa Abhisit ke kekuasaan. Pada malam 13 Mei, sebuah
peluru dari penembak jitu menerjangnya. Dia mati di rumah sakit. Angkatan
bersenjata menyangkal keterlibatan mereka, tetapi tidak ada yang percaya ini.
Kaum kaos-merah tetap mempertahankan posisi mereka dengan keberanian yang
mengagumkan, walaupun tentara menembaki mereka dengan peluru sungguhan, yang
menyebabkan banyak orang mati dan terluka.
Pembunuhan
berdarah dingin terhadap Khattiya Sawasdipil membuat marah para pendukungnya
dan memercikkan gelombang pertikaian yang baru di sekitar perimeter lokasi
protes, yang meluas ke tempat lain. Seluruh distrik Bangkok lumpuh, dan
kekacauan semakin menguat di luar Bangkok. Keadaan gawat darurat diumumkan di
lima propinsi pada hari Sabtu (15 Mei), membawa jumlah propinsi yang sekarang
ada di dalam keadaan gawat darurat menjadi 22, yakni hampir sepertiga negeri
Thailand [Thailand memiliki 75 propinsi – penerjemah].
Ada
foto-foto di internet yang menunjukkan sekelompok massa gusar yang merebut truk
tentara, sementara para prajurit tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan
mereka. Para demonstran merebut truk dan senjata, dan lalu berteriak: “Hidup
rakyat! Jatuhkan kediktaturan!” Pada tanggal 28 April, ada laporan bahwa:
“Kaos
Merah telah menangkap beberapa prajurit yang mencoba menginfiltrasi demonstrasi
di Rajprasong. Tampaknya mereka diperintahkan untuk menembak para pemimpin Kaos
Merah. Tawanan ini diperlakukan dengan baik.”
Pemerintah
mengumumkan jam malam. Ini membawa gelombang kemarahan dari para demonstran.
Akan tetapi, angkatan bersenjata kemudian membatalkan niat tersebut, mengatakan
bahwa jam malam tersebut “tidak dibutuhkan”. Jelas bahwa pemerintah dan
angkatan bersenjata masih ragu sebelum menghantarkan serangan akhir yang fatal.
Kita juga tahu bahwa keraguan ini bukanlah karena pertimbangan sentimental atau
kemanusiaan, tetapi karena rasa takut.
Ofensif Kontre-Revolusioner
Ini
adalah situasi yang tidak bisa berlangsung terus menerus. Di satu pihak,
pemerintah telah kehilangan kontrol di jalan-jalan, dan telah kehilangan
keberanian mereka. Di pihak lain, para pemimpin kaos-merah tidak mampu
mengumpulkan keberanian untuk menyerukan pemogokan umum dan bergerak untuk
merebut kekuasaan. Tidak adanya inisiatif yang tegas dari para pemimpin protes
telah memungkinkan Abhisit untuk mendapatkan kembali keberaniannya. Pada
akhirnya, pemerintah, ditekan oleh kaum reaksioner, memutuskan untuk melakukan
ofensif.
Abhisit
mengungkapkan keputusannya untuk mengakhiri protes ini dan memberikan
peringatan bahwa pengorbanan “harus diterima”. Ini berarti bahwa lampu hijau
telah diberikan kepada angkatan bersenjata untuk menumpas para demonstran –
tidak peduli korban jiwa. Tentara telah mengelilingi lokasi protes. Para
demonstran diminta untuk pergi, dengan prioritas diberikan kepada wanita,
anak-anak, dan orang tua. Mereka yang tinggal menghadapi nasib yang tidak
jelas.
Situasi
yang dihadapi oleh para demonstran sangatlah sulit. Suplai makanan dan air
semakin berkurang, dan demonstran bantuan dari luar dicegah untuk masuk ke
lokasi protes. Tentara memiliki keunggulan yang jelas dalam hal persenjataan
yang superior dan disiplin. Tetapi massa rakyat memiliki satu senjata yang jauh
lebih serius: kesediaan mereka untuk mati. Keteguhan yang keras ini memberikan
rasa takut pada tentara bawahan dan membuat mereka ragu.
Pada
tanggal 13 Mei, pemerintah melancarkan sebuah serangan terhadap demonstran kaos
merah. Awalnya mereka berhati-hati, gelisah akan hasil serangan ini, dan ragu
akan kesetiaan tentara mereka. Jurnalis-jurnalis Barat melaporkan bahwa para
tentara tampak gelisah, bahkan takut. Mereka menembak ke udara dan melemparkan
gas air mata. Kaum kaos merah tidak terintimidasi, tetapi membalasnya dengan
membangun barikade, melempar batu, menembak ketapel dan roket buatan rumah, dan
melempar bom Molotov.
Pertanyaan
yang utama adalah: apa hasil dari konfrontasi langsung ini? Dari sudut pandang
militer, pertanyaan ini menjawab dirinya sendiri. Tidak mungkin barikade dan
roket buatan-rumah dapat melawan kedisiplinan dan kekuataan persenjataan
moderen. Tetapi ini bukan hanya masalah militer. Pertama-tama, di belakang tank
dan senjata berdiri manusia, yang dapat dipengaruhi bila melihat rakyat yang
bangkit. Kesatuan tentara bukanlah satu hal yang dapat diabaikan.
Satu
laporan dari Internet menyatakan:
“Benturan-benturan
sporadik terjadi di Bangkok dan propinsi-propinsi. Pemerintah berusaha sekuat
mungkin untuk mempertahankan kekuasaan dengan membunuh para demonstran
pro-demokrasi. Perpecahaan
tampak di tubuh pasukan bersenjata, dimana ada laporan bahwa beberapa polisi
dan unit tentara menembaki pasukan yang maju. Sungguh ini adalah sebuah situasi
perang saudara dan Pemerintah tidak bisa mengendalikan situasi.”
(Penekanan oleh saya, AW)
Apakah mediasi memungkinkan?
Sayangnya,
para pemimpin demonstran tidak memiliki perspektif yang tepat. Mereka
menyerukan negosiasi di bawah pengawasan PBB. Ini tidak ada mungkin berhasil.
Di dalam peperangan antara kaum kaya dan miskin, tidak akan ada wasit atau
arbitrase. Tidak ada aturan di dalam peperangan ini. Satu-satunya aturan, pada
akhirnya, adalah satu kelas harus menang dan kelas yang lain harus kalah.
Pemerintah
menolak semua tawaran negosiasi, dengan mengatakan bahwa negosiasi hanya dapat
dimulai bila para demonstran meninggalkan barikade mereka di Bangkok. Pada hari
Minggu (16 Mei), pemerintah Thai menolak permintaan oleh Kaos Merah untuk
mengadakan gencatan senjata dan negosiasi di bawah lindungan PBB. PBB sendiri
belum merespon permintaan ini.
Berbicara
di televisi di seluruh channel Thailand, Abhisit mengatakan:
“Selama
protes Kaos Merah masih berlangsung, teroris bersenjata akan tetap ada dan
melukai rakyat dan pihak otoritas. Ancaman dan kekerasan akan meningkat. Saya
menekankan bahwa mengakhiri protes ini adalah satu-satunya cara untuk
menghindari korban.
“Kita
tidak boleh membiarkan elemen-elemen kriminal menawan Bangkok. Kita tidak akan
membiarkan sebuah kelompok bersenjata yang tidak senang dengan pemerintah untuk
menyerang dan melukai pihak otoritas. Tidak akan ada titik balik dalam usaha
kita untuk mempertahankan negara legal. Korban harus ditanggung. Ini satu-satunya
cara menuju kebenaran.”
Korban
dari kekerasan konter revolusi adalah para demonstran tak bersenjata.
Pemerintah mengatakan bahwa tentara punya hak untuk melindungi dirinya sendiri.
Tetapi saksi mata melaporkan tentara yang menembak tanpa ragu-ragu dan penembak
jitu di atap-atap gedung. Abhisit membela aksi tentara: “Pemerintah harus terus
maju,” katanya.
“Kita
tidak bisa mundur karena kita sedang melakukan hal yang menguntungkan seluruh
negeri. Bila kita ingin melihat akhir dari jatuhnya korban, satu-satunya cara
adalah memaksa para demonstran untuk mengakhiri protes mereka.”
Pemerintah
bermain-main dengan para pemimpin protes, tampak memberikan konsesi sementara
di belakang secara sistematis mempersiapkan serangan akhir yang penuh darah.
Guna mengalihkan perhatian publik dan internasional dari rencana ini, Abhisit
menawarkan pemilu yang baru – tetapi hanya di bulan Nopember, dan dengan syarat
bahwa protes massa harus diakhiri. Bahkan bila pemilu Nopember diselenggarakan,
mengapa kita percaya bahwa kaum royalis tidak akan membatalkan hasil pemilu
yang tidak mereka setujui, dengan politik jalanan atau hakim korup?
Merasakan
bahwa ini adalah perangkap, para pemimpin Kaos Merah tidak memberikan jawaban
tegas. Perdana Menteri Abhisit segera mengumumkan bahwa tawaran dia telah
ditolak, menarik mundur “rencana” pemilu, dan memerintahkan tentara untuk
terlibat. Ini sudah merupakan rencananya sejak awal.
Kepahlawanan Para Demonstran
Pertempuran
jalanan yang mematikan antara pasukan keamanan dan demonstran kaos-merah tidak
menunjukkan tanda akan mereda. Sebaliknya, benturan-benturan telah menyebar ke
bagian lain ibukota, dan juga propinsi-propinsi. Juga tembakan tidak hanya
datang dari satu arah. Wartawan melaporkan pemuda-pemuda dengan penutup muka
hitam dan bersenjata menembaki pasukan tentara. Beberapa laporan lainnya (yang
belum terkonfirmasi) mengatakan bahwa beberapa tentara dan polisi menembaki
pasukan tentara. Koran Sydney
Morning Herald menggambarkan situasi di lapangan:
“Tetapi
di jalan-jalan, ada rasa takut. Rasa takut di mata pasukan Kaos Merah yang
berdiri teguh, tetapi gelisah, di jalan masuk ke kamp yang terbarikade.
“Penuh
dengan keberanian, Annan mendemonstrasikan ketapelnya, menarik karet ketapel,
membidik penembak jitu, sungguhan atau imajiner, di gedung-gedung sekitarnya.
Di dekat kakinya adalah setumpuk batu untuk dilemparkan ke pasukan yang
mendekat. Di kantong belakangnya adalah sebuah peluncur roket buatan rumah yang
dibuat dari bambu dan besi tua, untuk menembak kembang api ke tentara dan helikopter
polisi. Senjata ini adalah seperti tusukan jarum terhadap senapan dan M-16 dari
tentara yang berlindung di belakang tumpukan karung pasir dan kawat berduri
ratusan meter jauhnya.
“Barikade
dimana Annan berdiri di belakangnya, yang dibangun selama berminggu-minggu
protes, adalah sebuah tembok besar dari ban-ban mobil dan bambu runcing,
setinggi empat meter. Barikade ini berbau bensin. Bersiap-siap menghadapi
tentara yang akan menyerang dalam waktu dekat, para demonstran kaos merah
mengisi barikade mereka dengan bensin, siap membakar kota mereka sebelum
menyerahkannya.
“ ‘Kami
sedang dibunuhi. Kami semua takut, tapi kami tetap bertahan.’ ”
“Tetapi
rasa takut juga tertulis di wajah para prajurit di jalan Rama IV, di bagian
selatan zona Kaos Merah. Lewat megaphonne, mereka meminta para demonstran untuk
berdamai. ‘Kami adalah tentara rakyat. Kami hanya melaksanakan tugas kami untuk
bangsa. Saudara saudari, mari kita berbicara.’ Harapannya kecil untuk itu.”
Di
bawah kondisi seperti ini, sangatlah mengejutkan untuk melihat keberanian dan
keteguhan yang mengagumkan dari rakyat jelata: anak petani, penjaga toko kecil,
buruh, ibu-ibu – semua berdiri bersama menghadapi peluru dan tank. Ini adalah
jawaban terhadap semua skeptik, penakut, dan pengkhianat yang meragukan
kemampuan kelas pekerja untuk mengubah masyarakat.
Walaupun
dalam kesulitan yang teramat besar, kaum kaos merah berdiri teguh, menatap
kematian di depan mata tanpa rasa takut. Sebuah laporan internet dari seorang
aktivis Thailand yang tinggal di London mengatakan: “Deputi dari Serikat Buruh
Listrik Metropolitan Bangkok telah membawa para buruh untuk bergabung dengan
protes Kaos Merah di Rajprason” --- Pemimpin Kaos Merah baru mengatakan bahwa
“Kita adalah seperti Spartacus!!!”
Kelemahan Kepemimpinan
Angka
korban yang mati dari empat hari pertempuran jalanan telah naik ke 67 dan
ratusan lainnya terluka. Angkatan bersenjata meminta anak-anak dan perempuan
untuk meninggalkan area protes. Tetapi kemarin, kecuali sekelompok kecil
perempuan tua dan beberapa anak-anak, tawaran ini ditolak. Para demonstran siap
untuk bertahan hingga akhir. Di Rajprasong, mereka bernyanyi “Ini adalah sebuah perang kelas
untuk menyapu otokrasi.”
Sayangnya,
keberanian yang sama tidak ditunjukkan oleh kepemimpinan. Beberapa pemimpin Kaos
Merah mengindikasikan bahwa mereka siap kembali ke meja negosiasi, tetapi hanya
bila tentara segera ditarik mundur dari jalan-jalan dan PBB dibawa masuk untuk
menengahi: “Kami ingin PBB untuk menengahi ini karena kami tidak percaya
siapapun. Tidak ada kelompok di Thailand yang netral,” kata Nattawut Saikua,
salah satu pemimpin utama protes. Ini adalah kenaifan yang ekstrim.
Situasi
sekarang telah melewati batasan institusi parlemen dan legal, yang hanya mampu
berhasil pada taraf tertentu bila mayoritas rakyat mengakuinya. Tetapi dalam
analisa terakhir, semua masalah fundamental akan diselesaikan di luar parlemen:
di jalan-jalan dan pabrik, dan di barak tentara. Jurnalis Australia Walker dan
Farrelly menulis:
“Kesalahan
utama Thailand adalah kehilangan kepercayaannya pada proses elektoral.
Kehilangan kepercayaan ini membuka jalan bagi elemen garis-keras untuk mengejar
alternatif kekerasan. Kekerasan dari semua pihak adalah tercela, tetapi ingat,
mereka yang mengutuk provokasi Kaos Merah adalah mereka yang telah secara
konsisten menyangkal legitimasi pernyataan damai mereka di kotak suara.”
Pemerintah
menanggapi tuntutan intervensi PBB dengan kebencian: “Bila mereka benar-benar
ingin berbicara, mereka tidak boleh meminta syarat seperti meminta kami untuk
menarik mundur tentara,” kata Korbsak Sabhavasu, sekjen Perdana Menteri. Tidak
ada prospek mediasi sama sekali. Di belakang tes kekuatan dan tekad ada
benturan antara kepentingan yang saling bertentangan. Pemerintah bertekad untuk
menyingkirkan para demonstran, dan para demonstran bertekad mempertahankan
posisi mereka.
Abhisit
memperingatkan bahwa pemerintahan dia tidak akan “menyerah pada demonstran”,
dan tentara akan maju meremukkan para demonstran. Menteri luar negeri Thailand,
Kasit Piromya, mengeritik diplomat-diplomat asing yang berkomunikasi dengan
kaum kaos merah, yang dia sebut sebagai “teroris”. Ini adalah suara sejati dari
kelas penguasa Thailand. Ini adalah suara dari sebuah kelas yang siap berjuang
sampai akhir demi melindungi hak-hak istimewa kelasnya.
Tetapi
bagaimana dengan para pemimpin protes? Dari awal para pemimpin Kaos Merah telah
berulang-ulang menawarkan negosiasi dengan pemerintah, dimana semuanya ditolak.
Pemerintah mengerti apa yang tidak dimengerti oleh para pemimpin protes ini:
bahwa gerakan ini merupakan ancaman fundamental bagi kelas penguasa, yang hanya
dapat dihadapi dengan kekerasan.
Anggota
kaos merah di bawah siap berjuang. Tetapi di menit-menit terakhir, kepemimpinan
UDD mengumumkan dari panggung bahwa mereka akan menyerahkan diri mereka ke
polisi dan mengakhiri demonstrasi karena mereka “tidak tahan melihat lebih
banyak korban”. Dengan menunjukkan kelemahan, para pemimpin ini memberikan
lampu hijau kepada tentara untuk menyerang, karena tentara tahu bahwa mereka
tidak akan menemukan perlawanan.
Ini
akan memberikan efek demoralisasi yang dalam pada gerakan massa. Pemimpin yang
sebelumnya telah mendorong mereka untuk melawan sekarang memerintahkan mereka
untuk menyerah. Laporan-laporan dari Bangkok mengatakan bahwa para anggota di bawah
sangatlah marah mengenai keputusan ini. Ini tidaklah mengejutkan. Sejarah
perjuangan kelas menunjukkan bahwa lebih baik kalah dalam perjuangan daripada
menyerah tanpa melawan.
Perjuangan untuk Demokrasi
Pencapaian
demokrasi sejati tidak akan mungkin tanpa menumbangkan oligarki. Tetapi
penumbangan oligarki tidak akan mungkin tanpa menumbangkan monarki Thai. Raja
Bhumibol Adulyadej sekarang sudah berusia 82 dan dalam kondisi kesehatan yang
buruk. Tetapi dia adalah titik persatuan dari seluruh kekuatan reaksioner.
Tendensi
Marxis Internasional (International Marxist Tendency, IMT) menyatakan dukungan
penuhnya untuk gerakan revolusioner rakyat Thailand. Kami mendukung tuntutan
pembubaran pemerintahan Abhisit dan penyelenggaraan pemilu yang bebas dan
demokratis. Kami membela semua hak-hak demokratis, dan terutama hak rakyat
untuk berorganisasi, berdemonstrasi, dan mogok. Guna menjamin hak-hak ini, kami
menuntut diselenggarakannya sebuah majelis konstituante untuk merancang sebuah
konstitusi demokratis yang sejati, dimana poin utamanya adalah penghapusan
monarki.
Orang
bilang bahwa monarki Thai adalah sebuah institusi terhormat, yang direstui oleh
agama dan kekuataan tradisi yang lama. Tetapi hal yang sama juga benar untuk
dinasti Romanov di Rusia Tsar. Namun yang dibutuhkan hanyalah sebuah
pertempuran berdarah pada tanggal 9 Januari 1905 dimana semua prasangka
monarkis tersapu dari kesadaran rakyat Rusia. Apapun hasil dari
benturan-benturan yang sekarang terjadi di jalan-jalan Bangkok, efek yang sama
akan terjadi.
Kebencian
mendalam terhadap pemerintahan kaum kaya akan secara tak terelakkan tersalurkan
ke sumbernya, yakni kerajaan Thai. Tuntutan untuk sebuah Republik akan tumbuh,
menyatukan lapisan masyarakat yang luas. Dan dengan setiap langkah ke depan
yang diambil oleh rakyat, akan menjadi semakin jelas bahwa satu-satunya jalan
ke depan adalah melalui sebuah pemerintah buruh dan tani miskin.
Seperti
halnya di semua negara, seperti juga di Thailand, institusi monarki bukanlah
hanya sebuah sisa-sisa masalalu yang tidak penting, sebuah anakronisme yang
penuh warna tetapi pada esensinya tidak penting, sesuatu untuk dikagumi oleh
turis-turis. Monarki Thai adalah sumber reaksi, sebuah simbol properti,
kekuasaan, kekayaan, dan privilese, sebuah titik persatuan bagi semua kekuatan
konter revolusi. Ia harus disapu bila revolusi ingin maju.
Pada
saat yang sama artikel ini ditulis, nasib gerakan massa di Bangkok sedang
ditentukan. Karena kapitulasi kepemimpinan, sangat mungkin sekali kalau babak
pertama dari perjuangan ini akan berakhir dengan kekalahan. Tetapi ledakan
perjuangan kelas ini akan memiliki konsekuensi yang dalam. Thailand tidak akan
pernah sama lagi. Pemerintahan apapun yang keluar dari kekacauan ini secara
fundamental tidak akan stabil. Tidak akan ada penyelesaian yang tahan lama.
Kebangkitan-kebangkitan yang baru tidak akan terelakkan.
Gerakan
demokratis revolusioner telah diisi dengan perjuangan kelas. Ini akan melewati
batasan yang pada awalnya ditentukan oleh kepemimpinan gerakan ini. Kelas
pekerja Thai punya kepentingan untuk berjuang demi tuntutan-tuntutan demokratis
yang paling maju. Hanya dengan menyapu bersih semua sampah feodalisme maka kaum
buruh dapat mencapai kondisi yang dibutuhkan untuk mengembangkan perjuangan
kelas. Namun kaum buruh harus berjuang untuk demokrasi dengan senjata kelas
mereka: kelas buruh harus menyerukan pemogokan umum untuk menjatuhkan
pemerintah!
Sebuah
pemogokan umum, yang diorganisir melalui komite-komite aksi, adalah
satu-satunya cara untuk mengacaukan kekuatan konter revolusi dan memberikan
bentuk organisasi dan kesatuan untuk gerakan massa revolusioner. Pencapaian
demokrasi membutuhkan rekonstruksi
revolusioner menyeluruh di dalam masyarakat Thailand dari atas hingga bawah.
Dan tujuan ini hanya dapat dicapai bila kelas pekerja menempatkan dirinya di
garda depan masyarakat untuk menumbangkan oligarki yang dibenci, dengan
mengikuti contoh dari buruh dan tani Rusia pada tahun 1917.
London,
19 Mei 2010
Diterjemahkan dari “Revolution and Counter-Revolution in Thailand”, Alan Woods, 19 Mei 2010
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar