Dua puluh tahun yang lalu
Tembok Berlin runtuh dan kaum borjuis di dunia Barat sangat gembira,
bersukacita akan “jatuhnya komunisme”. Setiap tahun kaum kapitalis merayakannya
seperti halnya rejim Orde Baru yang merayakan persitiwa 30 September dengan
mesin propaganda mereka. Akan tetapi, dua puluh tahun kemudian situasi terlihat
sangat berbeda dimana kapitalisme memasuki krisisnya yang paling parah semenjak
1929. Sekarang mayoritas rakyat di bekas Jerman Timur memilih partai kiri dan
mengingat kembali keuntungan dari ekonomi terencana. Setelah menolak
Stalinisme, mereka sekarang telah mencicipi kapitalisme, dan kesimpulan yang
mereka ambil adalah bahwa sosialisme lebih baik daripada kapitalisme.
Tahun
2009 adalah sebuah tahun yang dipenuhi dengan banyak hari peringatan, termasuk
hari peringatan pembunuhan Luxemburg dan Liebknecht, dibentuknya Komunis
Internasional, dan Komune Austria. Tidak satupun dari peringatan-peringatan ini
yang menemukan gaungnya di pers kapitalis. Tetapi ada satu hari peringatan yang
tidak pernah mereka lupakan: pada tanggal 9 November 1989, perbatasan yang
memisahkan Jerman Barat dan Timur dibuka.
Runtuhnya
Tembok Berlin di dalam sejarah telah menjadi sebuah sinonim untuk runtuhnya
“komunisme”. Dalam 20 tahun semenjak peristiwa besar ini, kita telah
menyaksikan sebuah ofensif ideologi yang luar biasa besar untuk melawan ide-ide
Marxisme dalam skala dunia. Peristiwa ini dijunjung tinggi sebagai bukti
matinya Komunisme, Sosialisme, dan Marxisme. Tidak lama yang lalu, ini bahkan
dianggap sebagai akhir sejarah. Tetapi semenjak itu roda sejarah telah berputar
berkali-kali.
Argumen
bahwa sistem kapitalisme adalah satu-satunya alternatif untuk kemanusiaan telah
terbukti hampa. Kebenaran yang ada sangatlah berbeda. Pada 20 tahun peringatan
runtuhnya Stalinisme, kapitalisme mengalami krisis yang paling dalam semenjak
Depresi Hebat. Jutaan rakyat dihadapi dengan masa depan yang dipenuhi dengan
pengangguran, kemiskinan, pemotongan anggaran sosial, dan penghematan.
Selama
periode ini kampanye anti-komunis ditingkatkan. Alasannya tidaklah sulit untuk
dipahami. Krisis kapitalisme yang mendunia ini telah menyebabkan rakyat secara
umum mempertanyakan “ekonomi pasar”. Ada kebangkitan rasa ketertarikan pada
Marxisme, yang mengkuatirkan kaum borjuis. Kampanye fitnah yang baru ini adalah
sebuah refleksi ketakutan mereka.
Karikatur Sosialisme
Yang
gagal di Rusia dan Eropa Timur bukanlah komunisme atau sosialisme seperti yang
dimengerti oleh Marx dan Lenin, tetapi sebuah karikatur birokratisme dan
totalitarianisme. Lenin menjelaskan bahwa gerakan menuju sosialisme membutuhkan
kontrol demokratis terhadap industri, masyarakat, dan negara oleh kaum
proletar. Sosialisme yang sejati tidaklah kompatibel dengan kekuasaan elit
birokrasi yang memiliki hak-hak istimewa, yang niscaya akan ditemani dengan
korupsi yang besar, nepotisme, manajemen yang penuh pemborosan, dan kembalinya
kapitalisme.
Pada
tahun 1980an, Uni Soviet memiliki lebih banyak ilmuwan daripada jumlah seluruh
ilmuwan di AS, Jepang, Inggris, dan Jerman; akan tetapi USSR tetap tidak dapat
mencapai hasil yang sama seperti di Barat. Dalam aspek-aspek penting seperti
produktivitas dan standar hidup, Uni Soviet tertinggal di belakang
negara-negara Barat. Sebab utamanya adalah beban yang teramat besar terhadap
ekonomi Soviet yang disebabkan oleh kaum birokrasi – jutaan birokrat yang tamak
dan korup yang menjalankan Uni Soviet tanpa kontrol dari kelas pekerja.
Kekuasaan
birokrasi yang mencekik ini akhirnya menyebabkan penurunan tajam tingkat
pertumbuhan USSR. Sebagai akibatnya, Uni Soviet tertinggal di belakang
negara-negara Barat. Biaya untuk mempertahankan pengeluaran militer yang tinggi
dan biaya untuk mempertahankan kekuasaannya di Eropa Timur semakin menekan
ekonomi Soviet. Munculnya seorang pemimpin Soviet yang baru, Mikhail Gorbachev,
pada tahun 1985 menandai sebuah perubahan yang besar.
Gorbachev
mewakili sayap birokrasi Soviet yang ingin mengadakan reformasi dari atas guna
mempertahankan rejim tersebut secara keseluruhan. Akan tetapi, situasi di Uni
Soviet menjadi lebih parah di bawah Gorbachev. Ini niscaya menyebabkan sebuah
krisis, yang segera mempengaruhi Eropa Timur, dimana krisis Stalinisme
diperparah oleh masalah kebangsaan.
Gejolak di Eropa Timur
Pada
tahun 1989, dari satu ibukota ke ibukota yang lain, sebuah gelombang
pemberontakan menyebar, menjatuhkan satu persatu rejim-rejim Stalinis. Di
Rumania, Ceausescu [Sekjen Partai Komunis Polandia dan Presiden Polandia sampai
tahun 1989 – Ed.] ditumbangkan oleh sebuah revolusi dan dieksekusi oleh skuad
penembak mati. Satu faktor kunci dalam kesuksesan pemberontakan popular ini
adalah krisis di Rusia. Di masa lalu, Moskow mengirim Tentara Merah untuk
meremukkan pemberontakan-pemberontakan di Jerman Timur (1953), Hungaria (1956),
dan Cekoslovakia (1968). Tetapi Gorbachev paham bahwa pilihan ini sudah tidak
mungkin lagi.
Pemogokan-pemogokan
massa di Polandia pada paruh pertama 1980an adalah sebuah ekspresi awal dari
kebuntuan rejim tersebut. Bila gerakan yang besar ini dipimpin oleh kaum Marxis
sejati, ini dapat mempersiapkan sebuah dasar untuk revolusi politik, bukan
hanya di Polandia tetapi di seluruh Eropa Timur. Tetapi dengan absennya
kepemimpinan seperti itu, maka gerakan ini dibajak oleh elemen-elemen
konter-revolusioner seperti Lech Walesa.
Awalnya,
kaum Stalinis Polandia mencoba untuk menghentikan gerakan ini dengan represi,
tetapi pada akhirnya Solidaritas
[Serikat Buruh Independen Polandia – Ed.] mendapatkan status legal dan
diijinkan untuk berpartisipasi di pemilu tanggal 4 Juni 1989. Yang terjadi
selanjutnya adalah sebuah gempa politik. Kandidat-kandidat Solidaritas
memenangi semua kursi yang mereka ikuti. Ini memiliki sebuah pengaruh yang
besar pada negara-negara tetangga.
Di
Hungaria, Janos Kadar – untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi – telah
disingkirkan dari posisi Sekjen Partai Komunis pada tahun 1988, dan rejim ini
telah mengadopsi sebuah “paket demokrasi”, termasuk pengadaan pemilu.
Cekoslovakia segera terpengaruh dan pada tanggal 20 November 1989 jumlah
demonstran yang berkumpul di Prague meningkat dari 200 ribu ke 500 ribu. Sebuah
mogok umum 2-jam diluncurkan pada tanggal 27 November.
Peristiwa-peristiwa
dramatis ini menandai sebuah titik-tolak besar di dalam sejarah. Selama hampir
setengah abad setelah Perang Dunia Kedua kaum Stalinis telah memerintah Eropa
Timur dengan tangan besi. Rejim-rejim di Eropa Timur adalah negara-negara
satu-partai yang kejam, yang didukung oleh aparatus represi yang kuat, dengan
tentara, polisi, agen polisi rahasia, dan mata-mata di setiap blok perumahan,
sekolah, universitas, dan pabrik. Tampaknya hampir tidak mungkin pemberontakan
popular bisa menang melawan kekuasaan sebuah negara totaliter dan polisi-polisi
rahasianya. Tetapi pada momen yang menentukan rejim-rejim yang tampak tak
terkalahkan ini ternyata hanyalah raksasa dengan kaki dari tanah liat.
Jerman Timur
Dari
semua rejim di Eropa Timur, Republik Demokratik Jerman (GDR) adalah salah satu
yang paling maju industri dan teknologinya. Standar hidup disana tinggi, walaupun
tidak setinggi Jerman Barat. Tidak ada pengangguran, dan semua orang memiliki
akses ke perumahan murah, kesehatan gratis, dan pendidikan yang berstandar
tinggi.
Akan
tetapi kekuasaan dari negara satu-partai yang totaliter, dengan polisi
rahasianya (atau yang dikenal dengan nama Stasi)
yang ada dimana-mana dan mata-matanya, korupsi para pejabat, dan kekayaan para
elit, adalah sumber ketidakpuasan. Sebelum dibangunnya Tembok Berlin pada tahun
1961, sekitar 2.5 juta penduduk Jerman Timur beremigrasi ke Jerman Barat,
banyak yang melalui perbatasan antara Berlin Timur dan Barat. Untuk
menghentikan ini, rejim Jerman Timur membangun Tembok Berlin.
Tembok
ini dan pembatas-pembatas lainnya sepanjang 1380 kilometer perbatasan yang
memisahkan Berlin Barat dan Timur berhasil memangkas emigrasi tersebut.
Tindakan ini mungkin membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di GDR. Tetapi
ini menyebabkan penderitaan dan kesukaran bagi keluarga-keluarga yang
terpisahkan dan ini adalah sebuah hadiah propaganda untuk negara kapitalis
Barat, yang memberikan satu lagi contoh “tirani Komunis”.
Pada
akhir 1980an situasi di GDR penuh dengan gejolak. Kaum Stalinis tua Erich
Honecker [Sekjen Partai Komunis Jerman Timur] menentang dengan keras segala
bentuk reformasi. Rejim dia bahkan melarang peredaran publikasi-publikasi
“subversif” dari Uni Soviet. Pada tanggal 6 dan 7 Oktober, Gorbachev
mengunjungi Jerman Timur dalam rangka ulang tahun Republik Demokratik Jerman
yang ke 40, dan dia memberikan tekanan kepada kepemimpinan Jerman Timur untuk
melakukan reformasi. Dia dikutip mengatakan: “Wer zu spät kommt, den bestraft das Leben”
(Dia yang terlalu telat akan dihukum oleh hidup).
Sementara
itu rakyat Jerman Timur sudah menjadi lebih memberontak secara terbuka.
Gerakan-gerakan oposisi mulai berjamuran. Ini termasuk Neues Forum (Forum
Baru), Demokratischer
Aufbruch (Kebangkitan Demokrasi), dan Demokratie Jetzt (Demokrasi Sekarang).
Gerakan oposisi terbesar terbentuk melalui sebuah pelayanan gereja Protestan di
Leipzig di gereja Nikolaikirche,
bahasa Jerman untuk gereja Santo Nicholas, dimana setiap Senin setelah
pelayanan penduduk berkumpul di luar menuntut perubahan di Jerman Timur. Akan
tetapi, gerakan-gerakan ini tidak punya arah dan naif secara politik.
Sebuah
gelombang demonstrasi massa sekarang menyapu seluruh kota-kota Jerman Timur,
terutama sangat kuat di Leipzig. Ratusan ribu rakyat bergabung di demo-demo
ini. Rejim ini memasuki krisis yang menyebabkan tersingkirnya pemimpin Stalinis
garis-keras, Erick Honecker, dan mundurnya seluruh kabinet. Di bawah tekanan
gerakan massa, pemimpin partai yang baru, Egon Krenz, menyerukan pemilu yang
demokratis. Tetapi reformasi-reformasi yang diusulkan oleh rejim ini terlalu
kecil dan terlalu terlambat.
Para
pemimpin “komunis” ini mempertimbangkan untuk menggunakan kekerasan tetapi
merubah pikiran mereka (dengan sedikit desakan dari Gorbachev). Situasi
sekarang berputar di luar kendali. Hari-hari selanjutnya hampir seperti anarki:
toko-toko buka sepanjang hari, paspor GDR menjadi tiket gratis untuk transportasi
publik. Dalam kalimat seorang pengamat: “secara umum tidak ada peraturan pada
saat itu”. Kekuasaan
ada di jalanan, tetapi tidak ada yang memungutnya.
Dihadapi
dengan pemberontakan massa, negara Jerman Timur yang tampak kuat ini runtuh
begitu saja. Pada tanggal 9 November 1989, setelah beberapa minggu gejolak
massa, pemerintahan Jerman Timur mengumumkan bahwa seluruh penduduk GDR dapat
mengunjungi Jerman Barat dan Berlin Barat. Ini adalah sinyal untuk sebuah
ledakan massa yang baru. Secara spontan, kerumunan rakyat Jerman Timur
memanjati Tembok Berlin untuk menemui rakyat Jerman Barat di seberang.
Konter Revolusi
Tembok
Berlin adalah sebuah simbol dan titik utama dari semua yang dibenci di rejim
Jerman Timur. Pembongkaran Tembok ini dimulai cukup spontan. Selama beberapa
minggu kemudian, beberapa bagian dari Tembok ini mulai dihancurkan. Kemudian
mesin-mesin industri digunakan untuk merobohkan seluruh tembok yang tersisa.
Ada atmosfer perayaan, sebuah perasaan sukacita, yang tampak lebih seperti sebuah
karnival daripada sebuah revolusi. Tetapi ini benar untuk semua tahap awal dari
setiap revolusi yang megah, seperti halnya revolusi 1789.
Pada
bulan November 1989, penduduk GDR dipenuhi dengan perasaan emosional – sebuah
perasaan pembebasan, dipenuhi dengan perasaan sukacita secara umum. Seperti
seluruh bangsa mengalami kemabukan, dan oleh karena itu rentan terhadap
saran-saran dan impuls-impuls spontan. Menumbangkan rejim yang lama ini
ternyata lebih mudah daripada yang diperkirakan oleh semua orang. Tetapi,
setelah menumbangkan rejim ini, apa yang akan menggantikannya. Rakyat yang
telah menumbangkan rejim lama ini mengetahui dengan pasti apa yang tidak mereka inginkan,
tetapi mereka tidak mengetahui dengan jelas apa yang mereka inginkan, dan tidak
ada seorangpun yang menawarkan sebuah jalan keluar.
Semua
kondisi objektif untuk sebuah revolusi politik sekarang tersedia. Mayoritas
populasi tidak menginginkan restorasi kapitalisme. Mereka menginginkan
sosialisme, tetapi dengan hak-hak demokrasi, tanpa Stasi, tanpa birokrat-birokrat yang
korup, dan tanpa sebuah negara satu-partai yang diktatorial. Bila sebuah
kepemimpinan Marxis yang sejati ada pada saat itu, sebuah revolusi politik
sudah pasti akan terjadi dan demokrasi buruh akan terbentuk.
Akan
tetapi, jatuhnya Tembok Berlin tidak menghasilkan sebuah revolusi politik
tetapi konter-revolusi dalam bentuk unifikasi dengan Jerman Barat. Tuntutan ini
(unifikasi dengan Jerman Barat) bukanlah tuntutan utama pada awal demonstrasi.
Tetapi tanpa adanya sebuah program yang jelas, tuntutan ini dikedepankan dan
perlahan-lahan menempati peran utama.
Kebanyakan
pemimpin oposisi tidak memiliki program, kebijakan, atau perspektif yang jelas,
selain sebuah harapan untuk demokrasi dan hak sipil. Seperti halnya alam,
politik membenci vakum. Keberadaan sebuah negara kapitalis yang kuat dan kaya
di seberang oleh karena itu memainkan sebuah peran yang menentukan untuk
mengisi vakum ini.
Kanselir
Jerman Barat Helmut Kohl adalah seorang wakil imperialisme yang agresif. Dia
menggunakan penyuapan yang paling tidak tahu malu untuk membujuk rakyat Jerman
Timur untuk setuju dengan unifikasi segera, dengan menawarkan menukarkan mata
uang Ostmark dengan Deutschmark dengan nilai tukar satu-untuk-satu. Tetapi yang
Kohl tidak katakan kepada rakyat Jerman Timur adalah bahwa unifikasi tidak
berarti mereka akan menikmati standar hidup Jerman Barat.
Pada
bulan Juli 1990, halangan terakhir untuk unifikasi Jerman tersingkirkan ketika
Gorbachev setuju untuk menjatuhkan keberatan Uni Soviet terhadap unifikasi
Jerman di bawah NATO, sebagai imbalannya adalah bantuan ekonomi yang cukup bear
dari Jerman kepada Uni Soviet. Unifikasi Jerman secara formal selesai pada
tanggal 3 Oktober 1990.
Rakyat Tertipu
Rakyat
Jerman Timur telah tertipu. Mereka tidak diberitahu bahwa introduksi ekonomi
pasar akan berarti pengangguran besar-besaran, penutupan pabrik, dan
penghancuran hampir seluruh basis industri di GDR, atau peningkatan harga
barang, dan demoralisasi kaum muda, atau bahwa mereka akan dianggap sebagai
penduduk kelas-dua di negara mereka sendiri. Mereka tidak diberitahukan hal-hal
tersebut tetapi mereka telah mengetahuinya dari pengalaman pahit.
Reunifikasi
Jerman menyebabkan anjloknya PDB per kapita Jerman Timur, 15.6% pada tahun 1990
dan 22.7% pada tahun 1991, total sepertiga penurunan PDB. Jutaan lapangan
pekerjaan hilang. Banyak pabrik-pabrik Jerman Timur yang dibeli oleh kompetitor
Barat dan ditutup. Dari tahun 1992, Jerman Timur mengalamai 4 tahun pemulihan
ekonomi, tetapi ini diikuti dengan stagnasi.
Sebelum
Perang Dunia Kedua, PDB per kapita Jerman bagian timur sedikit lebih tinggi
dari rata-rata Jerman, dan Jerman bagian timur pada saat itu lebih kaya dari
negara-negara Eropa Timur lainnya. Tetapi 20 tahun setelah unifikasi, standar
hidup Jerman Timur masih tertinggal di belakang Jerman Barat. Tingkat
pengangguran 2 kali lipat lebih tinggi daripada Jerman Barat, dan upah jauh
lebih rendah.
Di GDR
tidak ada pengganguran. Tetapi dari tahun 1989-1992 lapangan kerja menurun 3.3
juta. PDB Jerman Timur tidak pernah meningkat lebih dari tingkat PDB tahun
1989, dan lapangan kerja hanya sekitar 60% dari level 1989. Sekarang, tingkat
pengangguran di Jerman secara keseluruhan adalah sekitar 8%, tetapi di Jerman
Timur sebesar 12.3%. Akan tetapi, perkiraan tidak-resmi memberikan figur
setinggi 20%, dan di antara kaum muda 50%.
Perempuan,
yang telah mendapatkan persamaan yang tinggi di GDR, seperti di negara-negara
Eropa Timur lainnya, sekarang paling menderita. Data dari Panel Sosio-Ekonomi
Jerman untuk pertengahan tahun 1990an menemukan bahwa 15 persen perempuan
Jerman Timur dan 10 persen laki-laki menggangur.
Pada
bulan Juli 1990, “kanselir persatuan”, Helmut Kohl, menjanjikan: “Dengan usaha
bersama kita akan segera merubah [daerah Jerman Timur] Mecklenburg-Vorpommern dan
Saxony-Anhalt, Brandenburg, Saxony dan Thuringia menjadi daerah yang
sejahtera.” 15 tahun kemudian, sebuah laporan dari BBC mengakui bahwa
“statistik sangatlah suram.” Walaupun kapital sebesar 1.25 trillion Euro telah
diinjeksi, tingkat pengganguran di Jerman Timur masih 18.5% pada tahun 2005
(sebelum resesi sekarang ini) dan di banyak daerah tingkat pengangguran lebih
dari 25%.
Halle
di Saxony-Anhalt, yang dulunya adalah sebuah pusat industri kimia yang penting
dengan lebih dari 315.000 orang, telah kehilangan hampir 1/5 penduduknya.
Sebelum Tembok Berlin jatuh pada tahun 1989, “segitiga kimia”
Leuna-Halle-Bitterfield menyediakan 100 ribu pekerjaan – sekarang hanya 10,000
yang tertinggal. Gera dulu memiliki industri tekstil dan pertahanan yang besar,
dan beberapa pertambangan uranium. Mereka telah hilang, dan hal-hal yang serupa
terjadi di banyak industri-industri milik negara sejak 1989.
PBD per
kapita Jerman Timur meningkat dari 49% PDB barat pada tahun 1991 hingga 66%
pada tahun 1995, dan semenjak itu tidak ada peningkatan lagi. Ekonomi tumbuh
sekitar 5,5% per tahun, tetapi ini tidak menciptakan banyak lapangan pekerjaan.
Sebagai akibatnya banyak penduduk yang meninggalkan Jerman Timur. Semenjak
unifikasi sekitar 1,4 juta orang telah pindah ke Barat, kebanyakan dari mereka
masih muda dan berpendidikan tinggi. Emigrasi dan penurunan tajam kesuburan
telah menyebabkan jumlah populasi Timur menurun setiap tahun semenjak
unifikasi.
Adalah
sebuah ironi sejarah bahwa 20 tahun setelah unifikasi orang-orang meninggalkan
Jerman Timur, bukan untuk lari dari Stasi,
tetapi untuk lari dari tingkat pengganguran yang tinggi. Tentu saja beberapa
orang hidupnya sangat baik. Laporan BBC mengatakan: “Rumah-rumah borjuasi yang
megah, yang dulu dipenuhi lubang-lubang peluru dari Perang Dunia Kedua sampai
tahun 1989, telah dikembalikan ke kemegahan mereka yang dulu.”
Marxisme Bangkit Kembali
Seperti
banyak orang Jerman Timur lainnya, Ralf Wulff mengatakan bahwa dia gembira
dengan jatuhnya Tembok Berlin dan gembira melihat kapitalisme menggantikan
komunisme. Tetapi kesukacitaan ini tidak bertahan lama. “Hanya butuh beberapa
minggu saja untuk melihat apa sesungguhnya ekonomi pasar bebas ini,” kata
Wulff. “Ini adalah materialisme dan eksploitasi besar-besaran. Manusia
kehilangan arah. Kita tidak memiliki kenyamanan materi tetapi komunisme
memiliki banyak hal.” (Laporan Reuters)
Hans-Juergen
Schneider, seorang insinyur berumur 49 telah menggangur semenjak Januari 2004.
Dia telah mengirim 286 lamaran kerja semenjak itu, tanpa sukses. “Ekonomi pasar
tidak dapat menyelesaikan masalah kami,” katanya, “bisnis besar hanya meraup
untung tanpa mengambil tanggungjawab.” Dia tidak sendirian. Sebuah survey oleh Der Spiegel
menyatakan bahwa 73% rakyat Jerman Timur percaya bahwa kritik Karl Marx terhadap
kapitalisme masihlah valid.
Survey
lainnya yang dipublikasikan pada bulan Oktober 2008 di majalah Super Illus
menyatakan bahwa 52% orang di Jerman Timur menganggap ekonomi pasar “tidak
berguna” dan “tidak dapat berfungsi”. 43% memilih sistem ekonomi sosialis,
karena “sistem ini melindungi orang-orang kecil dari krisis finansial dan
ketidakadilan lainnya”. 55% menolak bailout bank oleh negara.
Dari
orang-orang muda (18 sampai 29 tahun), yang tidak pernah tinggal di GDR, atau
hanya sebentar saja, 51% menginginkan sosialisme. Angka untuk orang berumur 30
sampai 49 tahun adalah 35%. Tetapi untuk mereka yang lebih dari 50 tahun adalah
46%. Penemuan ini dikonfirmasikan di wawancara-wawancara dengan puluhan rakyat
Jerman Timur. “Kita membaca mengenai ‘horor kapitalisme’ di sekolah. Mereka
benar. Karl Marx sungguh benar,” kata Thomas Pivitt, seorang pekerja IT berumur
46 dari Berlin Timur. Das
Kapital laku terjual untuk penerbit Karl-Dietz-Verlag, terjual
lebih dari 1.500 kopi pada tahun 2008, tiga kali lipat dari tahun 2007, dan 100
kali lipat semenjak 1990.
“Semua
orang berpikir bahwa tidak akan ada lagi permintaan untuk Das Kapital,” kata
direktur manajemen Joern Schuetrumpf kepada Reuters. “Bahkan para bankir dan
manejer sekarang membaca Das Kapital untuk mencoba memahami apa yang terjadi.
Marx sekarang popular,” katanya.
Krisis
kapitalisme telah meyakinkan banyak rakyat Jerman, baik Timur maupun Barat,
bahwa sistem ini telah gagal. “Saya dulu mengira komunisme adalah buruh, tetapi
kapitalisme bahkan lebih parah,” kata Hermann Haibel, tukang besi berumur 76
yang sudah pensiun. “Pasar bebas sungguhlah brutal. Kaum kapitalis ingin
memeras keuntungan lebih, lebih, dan lebih,” katanya. “Saya memiliki kehidupan
yang baik sebelum Tembok runtuh,” dia menambahkan. “Tidak ada yang kawatir
mengenai uang karena uang tidaklah penting. Kau memiliki pekerjaan bahkan jika
kau tidak menginginkannya. Ide komunis tidaklah buruk.”
“Saya
pikir kapitalisme bukanlah sistem yang tepat bagi kita,” kata Monika Weber,
seorang pegawai kota berumur 46. “Distribusi kekayaan tidaklah adil. Kita
melihat itu sekarang. Orang kecil seperti saya harus membayar mahal untuk
kekacauan finansial ini dengan pajak yang lebih tinggi karena para bankir yang
tamak.”
Yang
lebih penting dari survey-survey ini adalah hasil pemilu Jerman baru-baru ini.
Partai Kiri meraih kemajuan yang penting, mendapatkan hampir 30% suara di
Timur. Di Timur sekarang tidak ada mayoritas untuk partai-partai borjuis. Apa
yang jelas ditunjukkan disini adalah bahwa rakyat Jerman Timur tidak
menginginkan kapitalisme, tetapi menginginkan sosialisme – bukan karikatur
birokratik totaliter dari sosialisme yang mereka miliki sebelumnya, tetapi
sebuah sosialisme demokratis yang sejati – sosialismenya Marx, Engels,
Liebknecht, dan Luxemburg.
London,
19 Oktober, 2009
{ 1 komentar... read them below or add one }
KOMUNISME BANGKRUT.
Posting Komentar