Di
dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara
Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.
Tetapi
kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya “Weltanschauung” itu? Bukan di
dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja,
kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, “Weltanschauung” ini,
dapat menjelma dengan dia punya “Munchener Putch”, tetapi gagal. Di dalam 1933
barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara
diletakkan oleh beliau di atas dasar “Weltanschauung” yang telah dipropagandakan
berpuluh-puluh tahun itu.
Maka
demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka, Paduka
tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah “Weltanschauung” kita, untuk
mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme?
Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh
doctor Sun Yat Sen?
Di
dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi
“Weltanschauung”nya telah diikhtiarkan tahun 1885, kalau saya tidak salah,
dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The three people’s principles” San Min
Chu I, Mintsu, Minchuan, Min Sheng, nasionalisme, demokrasi, sosialisme, telah
digambarkan oleh doctor Sun Yat Sen. Weltanschauung itu, baru dalam tahun 1912
beliau mendirikan negara baru di atas “Weltanschauung” San Min Chu I itu, yang
telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita
hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas “Weltanschauung” apa?
Nasional-sosialisme-kah? Marxisme-kah, San Min Chu-I-kah, atau “Weltanschauung”
apakah?
Saudara-saudara
sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah
dikemukakan, macam-macam, tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman,
perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari
persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische
grondslag, mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju: Saya katakana
lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar
setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang
saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari modus. Tuan Yamin,
ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita
bersama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya:
Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang untuk
sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja
Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk
memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada
satu golongan bangsawan?
Apakah
maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum
kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam,
semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya
tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu
orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang
kaya, tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti
akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa,
bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosaki
ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang
baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
Kita
mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.
Saya
minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain:
Maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi
saya minta kepada saudara-saudara. Janganlah saudara-saudara salah faham
jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan.
Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya
menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di
Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu nationale staat Indonesia bukan
berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakana kemarin,
maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuan pun orang Indonesia, nenek
tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang
dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara
Indonesia.
Satu Nationale
Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar
di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan
lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa?
Apakah syaratnya bangsa?
Menurut
Rena syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu” perlu orang-orang yang merasa
diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest
Renan menyebut syarat bangsa: “le, desir d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan
bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu
gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau
kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya
“Die Nationalitatenfrage”, di situ ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan
jawabnya ialah “Eine Nation ist eine aus Schiksalgemeinschaft erwachsene
Charaktergemeinschaft”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah
satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi
kemarin pun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan,
maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata “verouderd”, “sudah tua”. Memang
tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua.
Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan
definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu
belum timbul satu wetenchap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin,
kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau tuan Moenandar,
mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang
dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang
dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang
ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat
orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft”nya dan perasaan orangnya,
“I’ame et le desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat karakter,
tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu.
Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu
kesatuan. Allah SWT, membuat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana
“kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta
dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan.
Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara
2 lautan yang besar lautan Pacific dan lautan Hindia, dan di antara 2 benua,
yaitu benuar Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan
bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil,
Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya adalah satu kesatuan. Demikian
pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau
Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia adalah “golbreker” atau
pengadang gelombang lautan Pacific adalah satu kesatuan.
Anak
kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia
Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang
anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.
Griekenland
atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh
Allah SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia
saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang
lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka
manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut
geopolitik, maka Indonesialah tanah-air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa
saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon
saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT
menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah-air
kita!
Maka
jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan
buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto
Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto
Bauer “aus Schiksalgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” itu. Maaf
saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa Indonesia,
yang paling ada “desir d’etre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya
kira-kira 2,5 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi
Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil daripada
satu kesatuan! Penduduk Jogja pun adalah merasa “le desir d’etre ensemble”,
tetapi Jogja pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan. Di Jawa Barat
rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sunda pun
hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan.
Pendek
kata, bahasa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang
yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti
Minangkabau, atau Madura, atau Jogja, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa
Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah
ditentukan oleh Allah SWT tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia
dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! Karena antara manusia
70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah terjadi,
Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia
jumlah orangnya adlah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi
satu-satu, sekali lagi satu! (tepuk tangan hebat)
Ke
sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas
kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak
ada satu golongan di antara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun
golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju
semuanya.
Saudara-saudara,
jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale
staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Saksen adalah nationale staat,
tetapi seluruh Jerman ialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil,
bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh
semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pegunungan Alpen,
adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar, dan Orissa,
tetapi seluruh segitiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian
pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di zaman dahulu,
adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di
zaman Sriwijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu, kita tidak mengalami
nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja
dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanjokrokoesoemo,
bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan national staat. Dengan perasaan hormat
kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtajasa
saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten meskipun merdeka, bukan satu
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hassanuddin di Sulawesi
yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata bahwa tanah Bugis yang
merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale
staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan
Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau
tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang
pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan
kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi,
Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi
dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan
kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan
Fuku Kaityoo, Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan”.
Tuan
Lim Koem Hian: Bukan begitu! Ada sambungannya lagi.
Tuan
Soekarno: Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan
Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga
orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka
memeluk faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada
bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme,
sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak da bangsa
Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya “mensch
heid”, “peri kemanusiaan”. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran
kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu
saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya
dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran
kepada saya, katanya: Jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa
kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi
pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, Alhamdulillah, ada orang lain yang
memperingatkan saya, – ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya “San Min Chu
I” atau “The Three People’s Principles”, saya mendapat pelajaran yang
membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu.
Dalam
hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh “The Three
People’s Principles” itu, Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa
menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa Bung Karno juga
seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa
berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, – masuk ke lobang kabur. (anggota-anggota
Tionghoa bertepuk tangan)
Saudara-saudara,
Tetapi… tetapi… menentang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah
mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism, sehingga berfaham
“Indonesia Uber Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu,
merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita
Indonesia hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal itu!
Gandhi
berkata: “Saya seorang nasionalisme, tetapi kebangsan saya adalah perikemanusiaan”.
–”My nationalism is humanity”.
Kebangsaan
yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinism, sebagai
dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan “Deutshland uber Alles”, tidak
ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsa minulyo, berambut jagung dan
bermata biru “bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedangkan
bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian.
Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia yang terbagus dan termulya
serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan
dunia.
Kita
bukan saja harus mendirikan negara Indoneia Merdeka tetapi kita harus menuju
pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru
inilah prinsip-prinsip saya yang kedua. Inilah filosofiseli principle yang
nomor dua; yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan
“internasionalisme”. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah
saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau akan adanya kebangsaan, yang
mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada
Inggris, tidak ada Amerika dan lain-lainnya.
Internasionalisme
tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya
internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2,
yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan
erat satu sama lain.
Kemudian,
apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan
satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan
negara “semua buat semua”, “satu buat semua”, “semua buat satu”. Saya yakin,
bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan,
perwakilan.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar