Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam, – maaf beribu-ribu maaf keislaman saya jauh belum sempurna, – tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dari hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, jaga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa
yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan
perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di
sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa
perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja
sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan
perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau
memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau
memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat,
marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat ini agar supaya
mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam kedalam badan perwakilan ini.
Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja,
bekerja sekeras-kerasnya, agar spaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam
perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya
hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat ini, hukum Islam pula.
Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyatanya terjadi, barulah
boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat,
sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam,
ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, hiduplah, Islam
Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90%
daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen
yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu!
Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya
di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara
sekalian baik yang bukan Islam, maupun terutama Islam, setujuilah prinsip nomor
3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Dalam
perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang
hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilan tidak seakan-akan
bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di
dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di kalangan staat Kristen,
perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip
perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara Islam dan
saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya, kalau misalnya orang
Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara
Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian
besar daripada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang
Kristen. Itu adil fair play! Tidak ada satu negara boleh dikatakan hidup, kalau
tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan.
Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita
sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah
supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang
sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip
permusyawaratan!
Prinsip
nomor 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan
prinsip, itu yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di
dalam Indonesia Merdeka. Saya katakana tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah
Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip
kita harus: Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalnya merajalela,
ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup
pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh ibu pertiwi yang cukup
memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan
saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan
sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat di negara-negara
Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidaklah
di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?
Di
Amerika ada satu badan perwakilan rakyat dan tidaklah di Amerika kaum kapitalis
merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal
ada badan perwakilan rakyat! Tak lain dan tak bukan sebabnya, ialah oleh karena
badan-badan perwakilan rakyat yang diadakan di sana itu, sekedar menurut
resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi
di sana itu hanyalah politieke democratie saja: semata-mata tidak ada sociale
rechtvaardigheid, – tak ada keadilan sosial, tidak ada economiche democratie
sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis,
Jean Jaures yang menggambarkan polieteke democratie. “Di dalam Parlementaire
Democratie”, kata Jean Jaures. “di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap
orang mempunyai hak yang sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh
masuk di dalam parlement. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah
kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat? Maka oleh karena itu, Jean Jaures
berkata lagi:
Wakil
kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu di dalam Parlement dapat menjatuhkan
minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam
pabrik, sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke
jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”.
Adakah
yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara,
saya usulkan. Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat,
tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische
democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indoneia sudah
lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang
dimaksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin
sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian,
menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan
Ratu-Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti,
mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale
rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara,
tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya
kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara,
badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan
permusyawaratan politiek democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat
dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale
rechtvaardigheid.
Kita
akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara di dalam badan
permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal!
Juga di dalam urusan kepala negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih
monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie “Voorondestelt Ertelijheid”,
turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya
menghndaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih.
Tidaklah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun
Amirul Mu’minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan
kepala negara kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo
misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan
anaknya Ki Bagoes Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan otomatis menjadi
pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip
monachie itu.
Saudara-saudara,
apakah prinsip kelima? Saya telah mengemukakan 4 prinsip”
1.
Kebangsaan Indonesia
2.
Internasionalisme, – atau perikemanusiaan
3.
Mufakat, – atau demokrasi
4.
Kesejahteraan sosial
Prinsip kelima
hendaknya:
Menyusun
Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip
Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan
menurut petunjuk Isa al Masih. Yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi
Muhammad SAW. Orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada
padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia
ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang
leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan
tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia atau Negara yang
ber-Tuhan!
Marilah
kita amalkan, jalankan agama baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang
berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu
sama lain. (Tepuk tangan sebagian hadirin).
Nabi
Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang
menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaanmheid
itu. Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan
itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari negara kita, ialah Ketuhanan yang
berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati
satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui
bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di
sinilah, dalam pengakuan azas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap
agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang
sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah,
prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, di situlah tempatnya kita
mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu
dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara!
Dasar-dasar Negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma?
Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban,
sedangkan kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka
pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca
indera. Apa lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir: Pendawa Lima).
Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsan, internasionalisme,
mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namnya
bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita
ahli bahasa- namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas
kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi… (tepuk
tangan hadirin riuh rendah)
Atau,
barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya
boleh peras, hingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah
“perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah
dasar-dasarnya Indonesia merdeka, Wistanschauung kita. Dua dasar yang pertama,
kebangsaan dan internasionalisme, kebangsan dan perikemanusiaan saya peras
menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme.
Dan
demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economiche democratie,
yaitu politieke democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan
kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dulu sana namakan
socio-democratie.
Tinggal
lagi Ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi
yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: Socio-nationalisme,
social-democratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga,
ambillah yang ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang dengan
trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya
kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai
tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua
harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan
golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck
buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia! Jikalau saya peras
yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu
perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong Royong”. Negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya!
Negara Gotong Royong! (tepuk tangan riuh-rendah)
“Gotong
Royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”
saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong
royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan
anggota yang terhormat Soekarno satu karyo, satu gawe. Marilah kita
menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong
adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan
bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat
kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama. Itulah
Gotong-royong! (tepuk tangan riuh rendah)
Prinsip
Gotong-royong di antaranya yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan
yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi
bangsa Indonesia. Inilah saudara-saudara yang saya usulkan kepada
saudara-saudara.
Pancasila
menjadi Trisila. Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan,
mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila, ataukah pancasila? Isinya telah
saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya
usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang
abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi
jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, saudara-saudara. Di dalam
masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, – di dalam gunturnya
peperangan! Bahkan saya mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan
purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan.
Timbullah Indonesia merdeka, Indonesia yang gemblengan. Indonesia Merdeka yang
digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah
negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indoneia yang lambat laun menjadi
bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah SWT.
Berhubung
dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pebicara-pembicara tadi,
barangkali perlu didakan noodmaatregel, peraturan yang bersifat sementara.
Tetapi dasarnya, isinya Indonesia merdeka yang kekal abadi menurut pendapat
saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus
Weltanschauung kita. Entah saudara-saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya
berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu.
Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia, untuk
kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan, untuk permufakatan,
untuk sociale rechtvaardigheid: untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah yang
berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun lalu. Tetapi,
saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada saudara-saudara. Tetapi saya
sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat
menjelma dengan sendirinya, menjadi realitiet dengan sendirinya. Tidak ada satu
Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realitiet, jika tidak dengan
perjuangan!
Jangan
pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh
Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
“De
Mensch”, manusia! – harus perjuangkan itu. Zonder perjuangan itu tidaklah ia
akan menjadi realitiet! Leninisme tidak bisa menjadi realitiet zonder
perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan
zonder perjuangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata
lebih lagi dari itu: zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak
ada satu cita-cita agama yang dapat menjadi realitiet. Jangan pun buatan
manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Al Qur’an, zwart
of wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realitiet zonder
perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan
yang tertulis di dalam Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat
menjelma zonder perjuangan umat Kristen.
Maka
dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan
itu, menjadi satu realitiet, yakni jikalau ingin hidup menjadi satu bangsa,
satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang
merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar
permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin
hidup dengan sejahtera dan aman, dengan Ketuhanan yang luas dan sempurna, –
syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan dan sekali lagi
perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu
perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia
merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan
perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang
bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di
dalam Pancasila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah,
insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka
tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko, – tidak
berani terjun menyelami mutiara di dalam samudra yang sedalam-dalamnya. Jikalau
bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai
merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia
buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan
dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad
“Merdeka,’merdeka atau mati”! (tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara!
Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta
maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang
sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik
terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap “verchrikkelijk zwaarwichtif”
itu.
Terima
kasih. (tepuk tangan dari segenap hadirin).
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar