Dalil
–dalil pemimpin-pemimpin negeri lain
Dan
juga dalam keyakinan ini, Partai Nasional Indonesia tidak berdiri sendiri. Juga
di dalam keyakinan ini, Partai Nasional Indonesia mendapat pembenaran di dalam
ujaran-ujaran pemimpin besar di negeri-negeri lain. Jikalau Mustafa Kamil[9] dari Mesir menulis, bahwa “suatu
bangsa yang tak merdeka sebenarnya adalah suatu bangsa yang tak hidup”, jikalau
Manuel Quezon[10] dari Filipina berkata bahwa “lebih
baik zonder Amerika ke neraka daripada dengan Amerika ke surga”, jikalau
Patrick Hendry dari Amerika dulu berteriak: “Berikanlah padaku kemerdekaan,
atau berikanlah padaku maut saja” — maka itu bukanlah jerit budi pekerti yang
“panas” belaka, tetapi di dalam hakikatnya mereka tidak lain daripada
mengutamakan kemerdekaan nasional itu. Jikalau kita membaca pemimpin Irlandia,
Michael Davitt, menulis:
“Baik
keselamatan, baik bujukan maupun undang-undang yang menguntungkan, tidak akan
memuaskan bangsa Ir, jika kami tidak mendapat hak untuk memerintah negeri kami
sendiri”,[11]
Ya,
jikalau kita membaca bahwa seoarang pemimpin Irlandia lain Erskine Childers,
menolak tingkat free-state dan menuntut kemerdekaan sepenuh-penuhnya
dengan perkataan:
“Kemerdekaan bukanlah
soal tawar-menawar, kemerdekaan adalah sebagai maut: dia ada atau dia tidak
ada. Kalau orang menguranginya, maka itu bukan kemerdekaan lagi”,[12]
—
tidakkah itu dalam hakikatnya suatu pembenaran pula dari kami punya pendirian
itu? Tetapi, perhatikanlah perkataan-perkataan Jozef Mazzini, Bapak Rakyat
Italia, yang lebih terang lagi:
“Membangunkan
tanah air ini, malahan adalah suatu kemustian. Penguatan hati dan jalan-jalan
yang saya bicarakan tadi itu, hanya bisa datang dari suatu tanah air yang
bersatu padu dan merdeka. Keadaan masyarakat kamu hanya bisa menjadi baik,
apabila kamu ikut serta dalam kehidupan politik bangsa-bangsa.” Janganlah
tertipu oleh pikiran, bahwa keadaan kebendaanmu akan menjadi baik, dengan tidak
menyelesaikan lebih dulu soal nasional; kamu tidak akan berhasil dalam hal
itu.”[13]
Dan
perhatikanlah pula perkataan-perkataan Sister Nivedita, yang mengutamakan
kemerdekaan nasional itu buat suburnya hidup kebatinan dan hidup kesenian, di
dalam buku Okakura: “Die Ideale des Ostens”:
“Seni hanyalah bisa
berkembang pada bangsa-bangsa yang hidup merdeka. Dia, sebenarnya adalah alat
yang hebat dan buah Rasa-Suci dari kemerdekaan, yang kita sebut keinsafan
kebangsaan”.[14]
Ini
adalah ucapan-ucapan belaka. Prakteknya?
Marilah
kita misalnya mendengarkan pidato Dr. Sun Yat Sen tentang San Min Chu I, di
mana Bapak Rakyat Tiongkok ini, sudah menunjukkan bahwa Tiongkok sebenarnya
tidak mempunyai kemerdekaan nasional yang sejati, melainkan malahan adalah
suatu “hypo-colony”[15] menggambarkan terganggunya rumah
tangga Tiongkok itu dengan kata-kata:
“Tatkala Tiongkok
berdiri atas dasar politik yang sama dengan lain-lain bangsa, ia bisa
bersaingan dengan merdeka di lapangan ekonomi dan sanggup dengan tidak membuat
kesalahan mempertahankan dirinya sendiri. Tetapi baru saja bangsa-bangsa asing
mempergunakan kekuasaan politik sebagai tameng bagi maksud-maksud
ekonomi, maka tiongkok pun kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan diri
atau bersaingan dengan mereka dengan berhasil.”[16]
Dan sekarang, sesudah kemerdekaan
nasional negeri Tiongkok itu makin lama makin teguh, maka ahli pikir Inggris
H.C. Wells, menulis:
“Pada zaman sekarang
ini bisa jadi, bahwa lebih banyak tenaga otak yang baik dan lebih banyak orang
yang sungguh hati bekerja untuk membikin modern dan menyusun kembali peradaban
Tiongkok, daripada yang demikian itu kita jumpai di bawah pimpinan bangsa Eropa
mana pun juga”.[17]
Dan
prakteknya di Indonesia? Adakah prakteknya di sini membenarkan keyakinan PNI,
bahwa negeri yang tak merdeka itu memang segala atau sebagian daripada
aturan-aturan dan syarat-syarat hidupnya dipengaruhi, di-capkan, diperuntukkan
bagi kepentingan-kepentingan imperialistis, yang bertentangan dengan Bumiputra
itu? Prakteknya di sini membenarkan dengan sepenuh-penuhnya! Kita lihat, bahwa
untuk sempurnanya usaha imperialisme-perindustrian di sini, masyarakat kita
diproletarkan, kita dijadikan “rakyat kaum buruh”; kita mengetahui, bahwa kaum
imperialisme yang butuh akan tanah murah dan kaum buruh murah itu, sebagai
diterangkan oleh Prof. Van Gelderen, mempunyai kepentingan di dalam rendahnya
tenaga produksi kita punya pergaulan hidup, jadi, dengan sengaja pula
merendahkan tenaga produksi itu dan melawan keras tiap-tiap usaha bangsa
Bumiputra yang mau menaikkan tenaga produksi itu. Lihatlah, — jikalau kita mau
memajukan perusahaan kita, kebun teh dan pabrik teh, jikalau kita mendirikan
Bank Nasional[18] di Surabaya, jikalau kita mau
mendirikan suatu maskapai perkapalan Indonesia, maka kaum imperialisme itu
menjadi geger perkara “gerakan elit” itu, geger perkara niat pemerintah mau
memberikan hak hubungan kredit pada Bank Nasional itu, geger memaki-maki di
dalam pers dan di kalangan pelayaran atas maksud mendirikan maskapai perkapalan
itu. Dan kita lihat kaum imperialisme itu, sebagai yang kami telah kemukakan di
dalam pemeriksaan, menjalankan pengaruhnya, invioed-nya, ya tiraninya
atas pemerintahan, sebagai yang dimarahkan oleh Prof. Snouck Hurgronje, dengan
kata-kata:
“….perlulah,
bahwa kekuasaan yang tertinggi itu dihormati oleh mereka (oleh kaum majikan,
Sk.), sama dihormati mereka seperti pangreh praja Bumiputra menghormatinya,
yang menurut kata Colijn, senantiasa mengarahkan satu mata ke Bogor. Memang,
dalam waktu yang akhir-akhir ini kebanyakan mereka mengarahkan kedua-dua
matanya ke sana, akan tetapi bukan untuk menuruti petunjuk-petunjuk, tapi untuk
mengemukakan mereka punya tuntutan-tuntutan, yakni supaya susunan dan kerjanya
mesin pemerintahan sesuai dengan mereka punya kemauan. Ini juga suatu macam
revolusi.”[19]
Kita
lihat kaum imperialisme itu mempengaruhi pemerintah mengadakan politik tarip
yang menguntungkan baginya, sebagai tertulis dala AID de Preangerbode beberapa
bulan yang lalu di bawah kepala: “Vrijhandelbinnen het rijk is instrijd met
het belong van Nederland en van Indie”; kita lihat bagaimana di sini ada
suatu aturan pajak, yang sebagai ditunjukkan oleh komisi Meyer-Ranneft-Huender,
enteng sekali bagi kaum Eropa dan berat sekali bagi kaum Indonesia; kita lihat
bagaimana di sini ada bea karet, yang mengenai karet Bumiputra saja, sehingga
suburnya mendapat rintangan besar; kita lihat bagaimana di sini ada itu aturan
kuli kontrakan beserta poenale sanctienya, yang sama sekali hanya
menguntungkan kaum modal belaka! Kita lihat adanya suatu undang-undang
pelindung kaum buruh dan adanya pasal 161 bis Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
yang juga melulu berarti untungnya kaum kapital, celakanya kaum buruh; kita lihat
adanya macam-macam aturan yang mengalangi pergerakan rakyat apa saja, yang
memusuhi imperialisme itu; kita lihat suatu politik pengajaran yang membunuh
rasa kebangsaan dan mendidik pemuda-pemuda kami menjadi pennelikkers[20] dan tidak menjadi manusia-manusia yang
tabiat semangatnya merdeka; kita melihat suatu keadaan, sebagai De Stuw
mengatakannya, bahwa rakyat “makin lama makin jadi tergantung kepada pihak
asing dan dengan demikian juga makin lama makin jauh dari cita-cita Hindia buat
bangsa Hindia”;
Kita
melihat… tetapi cukup, Tuan-tuan hakim, cukup untuk membuktikan kebenaran
keyakinan PNI itu! PNI memang adalah suatu partai yang tidak mau ngelamun,
suatu partai yang tidak mau terapung-apung di atas awan angan-angan; PNI adalah
suatu partai yang dengan kedua-dua kakinya berdiri di atas keadaan-keadaan yang
sebenarnya, dengan kedua-dua kakinya berdiri di atas realiteit. Ia
melihat, bahwa imperialisme adalah bertentangan keyakinan dengan kita, ia
melihat bahwa kaum imperialisme itu mengusahakan kekuasaan politiknya untuk
menjaga dan memelihara kepentingannya, — jadi, ia mengatakan bahwa kita
barulah bisa melawan dan memberhentikan imperialisme itu seluas-luasnya, kalau
kekuasaan politik itu sudah di dalam tangan kita, bahwa kita barulah bisa
mengusahakan pembaikan kembali kita punya pergaulan hidup dengan
sesempurna-sempurnanya, kalau kita sudah merdeka, — jadi, ia memujikan
rakyat Indonesia mengejar kemerdekaan itu! “Terang benderang sebagai kaca”, — “zoo
helder als glas”, begitulah orang Belanda berkata!
Percaya pada usaha sendiri
Dan
mendatangkan Indonesia merdeka itu? Juga di dalam menjawab soal ini, maka PNI
dengan kedua-dua kakinya berdiri di atas realiteit. Ia menjawab soal itu
dengan yakin: “dengan usaha rakyat Indonesia sendiri!” la tak mau mengikuti
pengelamunan setengah orang yang mengira, bahwa adanya sistem imperialisme di
sini itu ialah untuk mendidik kita dibikin “matang” atau “rijp” dan
bahwa jikalau nanti kita sudah cukup “matang”, jikalau kita nanti sudah cukup “rijp”,
sistem imperialisme itu lantas akan “berhenti sendiri”, — “memberikan”
kemerdekaan kepada kita sebagai suatu “anugerah yang berharga”, sebagai suatu “kostbaar
geschenk”!
Amboi,
alangkah baiknya imperialisme kalau memang begitu; alangkah benarnya kalau
begitu perkataan perjanjian Volkenbond pasal 22, bahwa politik jajahan
itu ialah suatu “mission sacree”, suatu “misi yang suci” dari
bangsa-bangsa kulit putih untuk bangsa-bangsa kulit berwarna!
Tidak,
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, pengelamunan yang demikian itu adalah
pengelamunan yang kosong sama sekali! Pengelamunan yang demikian itu adalah
pengelamunan yang sama sekali terapung-apung di atas awan, pengelamunan yang
tidak berdiri di atas kenyataan sedikit jua pun adanya! Tidak, sistem
imperialisme tidak akan mendidik kita menjadi “matang”; sistem imperialisme
tidak akan membikin kita menjadi “rijp”; sistem imperialisme tidak akan
meng-“anugerahi” kita dengan kemerdekaan, tetapi malahan sebaliknya akan bertambah-tambah
mengokohkan penjajahan dengan pelbagai tali-tali wadag dan tali-tali yang
halus. Sebab kenyataan yang sebenarnya ialah, bahwa imperialisme itu tidaklah
buat “misi yang suci”, tidaklah buat sesuatu “mission sacree.” Kenyataan
yang sebenarnya ialah, bahwa imperialisme itu adalah untuk
kepentingan-kepentingan imperialisme sendiri! Imperialisme adalah bertentangan
kepentingan dengan kita: bukan kepentingan imperialismelah me-“matang”-kan kita
atau me”rijp”-kan kita; bukan kepentingan imperialismelah
“menganugerahkan” kemerdekaan kepada kita. Kepentingan imperialisme adalah
meneruskan, mengekalkan, mengokohkan penjajahan itu buat selama-lamanya!
[1] Paragraf 11 itu adalah leidsch program
(program dasar) dari Sociaal Democratische Arbeiders Partij.
[2] Voorwaarde= syarat
[3] Menurut keyakinan kami, hilangnya
pemerintahan asing dan Indonesia, belum tentu juga dibarengi oleh hilangnya
imperialisme asing sama sekali. Imperialisme yang “overheersen (memerintah)
hilang, tetapi imperialisme yang beheersen (menguasai), lenyapnya baru
kemudian. (lihat Tiongkok).
[4] Belangengetneenschap= persamaan
kepentingan.
[5] tegenstelling van belangen=pertentangan
kepentingan
[6] conflict van Behoeften=
pertentangan kebutuhan.
[7] Jules Harmand, duta besar kehormatan
dan ahli jajahan bangsa Prancis dalam bukunya yang termashur “Domination et
Colonisation” hal. 122, (terbitan E. Flammarion, Paris 1910).
[8] Ibid hal 154
[9] Mustafa Kamil (1857-1908) seorang
pemimpin nasionalis Mesir yang besar jasanya bagi perjuangan kemerdekaan.
[10] Manuel Quezon (1878-1944), salah
seorang pejuang kemerdekaan Filipina, dan penulis buku “The Good Fight”.
[11] Michael daviit, seorang pemimpin
Irlandia, dikutip dari buku Yann Morvran Goblet “L’Irlande dans la Crise
Universalle” hal. 45 (terbitan F.Alcan, Paris 1918), hal.45.
[12] Erskine Childers, seorang pemimpin
Irlandia lainnya, dikutip dari buku Simon Tery “En Irlande de la guerre”
hal.101
[13] Guiseppe Mazani (1805-1872) pemimpin
pemersatu Italia bersama Cavour dan Garibaldi. Buku yang dikutip “De Plichten
Van den Mensch” hal. 171-179.
[14] Sister Nivedita, seorang penyair
wanita Jepang. Ia menulis buku “Kaka-su Okakura” “Die Ideale des Osten” hal.8
[15] hypo-colony= negeri yang lebih
jajahan dari jajahan.
[16] Sun Yat Sen (1866-1925) Bapak
Kemerdekaan Tiongkok, pendiri Partai Kuo Min Tang dan pencetus “Trisila” (San
Min Chu I) yang dibukukan dengan judul “San Min Chu I”. Buku ini telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
[17] H.G. Wells dalam bukunya “The Outline
of History” hal. 464.
[18] Bank Nasional, salah satu aksi
menolong diri sendiri, yang menjadi pendirian dr. Sutomo telah didirikan di
Surabaya di bawah panji-panji Parindra (Partai Indonesia Raya)
[19] “Colijn over Indie”. Hal. 41.
[20] Pennelikkers= penjilat melalui
tulisan.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar