Kami punya asas tentang “Kemerdekaan
Indonesia”
Tempat
yang harus dilalui? Manakah tempat-tempat yang harus dilalui? Partai Nasional
Indonesia (PNI) dengan sepenuh-penuhnya keyakinan menjawab: tempat-tempat yang
berjajar-berjajar menuju ke arah Indonesia Merdeka! Sebab dibelakang Indonesia
Merdeka itulah tampak kepada mata PNI keindahan Samudra Keselamatan dan samudra
kebesaran itu, di belakang Indonesia Merdeka itulah tampak kepada mata PNI
sinar hari kemudian yang melambai-lambai!
Inilah
pokok keyakinan PNI, sebagai yang tertulis di dalam buku keterangan asasnya: “Partai
Nasional Indonesia berkeyakinan, bahwa syarat yang amat penting untuk pembaikan
kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu, ialah kemerdekaan
nasional. Oleh karena itu, maka semua bangsa Indonesia terutama haruslah
ditujukan ke arah kemerdekaan nasional itu.”
Dengan
bahasa Belanda: de nationale vrijhed als zeer belangrijke voorwaarde tot de
nationale reconstructie!
Berlainan
dengan banyak partai-partai politik lain, yang mengatakan “perbaikilah dulu
rumah tangga, nanti kemerdekaan datang sendiri”; – berlainan dengan
partai-partai lain, yang menganggap kemerdekaan itu sebagai buahnya pembaikan
rumah tangga, – maka PNI berkata: “Kemerdekaan nasional usahakanlah, sebab
dengan kemerdekaan nasional itulah rakyat akan bisa memperbaiki rumah tangganya
dengan tidak terganggu,yakni dengan sesempurna-sempurnanya”, – PNI berkata, “De-volkomen
nationale reconstructie allen mogelijk na wederkomst der nationale
onafhankelijkkheid”.
Tuan-tuan
Hakim, sepanjang keyakinan kami, asas PNI yang demikian ini dalam hakikatnya
tidak beda dengan asas perjuangan kaum buruh di Eropa dan Amerika, tidak beda
dengan asas yang mengatakan bahwa untuk melaksanakan sosialisme, kaum buruh itu
harus lebih dulu mencapai kekuasaan pemerintahan.
“Kaum proletar hanya
bisa mematahkan perlawanan kaum modal terhadap usaha membikin alat-alat
perusahaan partikelir menjadi milik umum, dengan mengambil kekuasaan politik.
Untuk maksud ini, kaum buruh seluruh dunia, yang telah menjadi insaf akan
kewajibannya dalam perjuangan kelas, menyusun diri,”
Begitulah
bunyi paragraf 11 dari keterangan asas Sociaal Democratische Arbeiders
Partij. [1]
Nah,
buat suatu rakyat jajahan, buat suatu rakyat yang di bawah imperialisme bangsa
lain, hakikat perkara sepanjang keyakinan kami, tidaklah lain. Buat suatu
rakyat yang dibencanai oleh imperialisme, buat usaha rakyat itu melawan bencana
imperialisme itu, perlu sekali pula “kekuasaan politik” dicapainya. Buat rakyat
yang demikian itu, kalimat tadi mendapat variasi:
“Rakyat yang dijajah
hanya bisa mematahkan perlawanan kaum imperialisme terhadap pekerjaan
memperbaiki kembali semua susunan pergaulan hidup nasionalnya, dengan mengambil
kekuasaan pemerintahan, yakni dengan mengambil kekuasaan politik.”
Dan
apakah artinya “kekuasaan politik” bagi suatu rakyat jajahan? Apakah artinya
“kekuasaan pemerintahan”, apakah artinya “mengambil kekuasaan pemerintahan”
bagi suatu rakyat jajahan? Mencapai Kekuasaan politik bagi suatu rakyat
jajahan adalah berarti mencapai pemerintahan nasional, mencapai kemerdekaan
nasional, — mencapai hak untuk mengadakan undang-undang sendiri, mengadakan
aturan-aturan sendiri, mengadakan pemerintahan sendiri!
Nah,
Partai Nasional Indonesia ingin melihat rakyat Indonesia bisa mencapai
kekuasaan politik itu, Partai Nasional Indonesia tidak tedeng aling-aling mengambil kemerdekaan nasional itu sebagai
maksudnya yang tertentu. Partai Nasional Indonesia mengerti, — atau lebih
benar: kami mengerti, –bahwa mengejar kekuasaan politik, jadi, mengejar
kemerdekaan nasional itu, adalah konsekuensi dan voorwaarde,[2] buntut dan syarat, bagi suatu
perjuangan kontra imperialisme itu adanya.
Sebagai
di negeri Barat kaum kapitalis mengusahakan kekuasaan politiknya mempengaruhi
rumah tangga negara menurut mereka punya kepentingan, sebagaimana kaum
kapitalis itu mengusahakan kekuasaan politiknya untuk mengadakan aturan-aturan
rumah tangga negara yang menguntungkan mereka punya kepentingan dan meniadakan
aturan-aturan yang merugikan mereka punya kepentingan, — sebagaimana kaum
kapitalis itu mengusahakan mereka punya kekuasaan politik untuk menjaga dan
memelihara kapitalisme — maka di suatu negeri jajahan, kaum imperialisme
mengusahakan kekuasaan politiknya pula untuk mempengaruhi rumah tangga negara
menurut mereka punya kepentingan, yakni menurut kepentingan sistem
imperialisme! Oleh karena pengaruh itu, maka hampir tiap aturan yang penting di
dalam suatu negeri jajahan bersifat menguntungkan kepentingan kaum imperialisme
itu, sesuai dengan kepentingan kaum imperialisme itu. Hampir tiap-tiap aturan
yang penting di dalam suatu negeri jajahan adalah bersifat untuk penjajahan
itu, untuk imperialisme itu.
Oleh
sebab itu, maka, selama suatu negeri masih bersifat jajahan, ya, lebih jauh
lagi: selama suatu negeri masih bersifat “protektorat” ataupun “daerah mandat”,
— pendek kata selama suatu negeri masih belum sama sekali leluasa mengadakan
aturan-aturan rumah tangga sendiri, — maka sebagian atau semua aturan-aturan
rumah tangganya, mempunyai “cap” yang imperialistis adanya. Artinya: selama
rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau
semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik,
diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan
bertentangan dengan kepentingannya. Ia adalah seolah-olah terikat kaki dan
tangannya, tak bisa leluasa berjuang melawan daya-daya imperialisme yang
membencanainya, tak bisa leluasa berjuang mengalang-alangi syarat-syarat
hidupnya diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain, tak bisa leluasa berusaha
memperuntukkan syarat-syarat hidupnya itu bagi perikehidupan ekonominya
sendiri, perikehidupan kebudayaannya. Ia pendek kata, tak bisa leluasa berusaha
melawan dan memberhentikan imperialisme, tak bisa pula leluasa menyubur-nyuburkan
badan sendiri[3]
Rakyat
jajahan adalah rakyat yang tak bisa “menemukan diri sendiri”, suatu rakyat yang
tak bisa “zichzelf” (berpribadi sendiri), suatu rakyat yang hampir semua
apa-apanya kena “cap” yang imperialistis itu, — “cap” yang terjadinya ialah
oleh pengaruh besar dari kaum imperialisme adanya. Tidak ada persamaan
kepentingan antara kaum imperialisme dan kaum yang di bawah imperialisme; tidak
ada belangengetneenschap[4] antara kedua pihak
itu. Antara kedua pihak itu ada pertentangan kepentingan, ada pertentangan
kebutuhan, — ada tegenstelling van belangen[5] ada conflict van behoeften.[6] Semua kepentingan kaum imperialisme,
baik ekonomi, maupun sosial, baik politik maupun yang berhubungan dengan
kebudayaan umumnya, semua kepentingan kaum imperialisme itu, adalah
bertentangan, tegengesteld dengan kepentingan Bumiputra. Kaum
imperialisme sebisa-bisanya mau meneruskan adanya penjajahan, — orang Bumiputra
sebisa-bisanya mau memberhentikan penjajahan itu. Aturan-aturan yang diadakan
di bawah pengaruh kaum imperialisme, adalah karena itu bertentangan dengan
kepentingan Bumiputra itu adanya.
Meskipun
demikian, Bumiputra menerima saja aturan-aturan itu? Meskipun demikian
Bumiputra menghormati aturan-aturan itu? O, memang, Bumiputra menerima saja
aturan-aturan itu, Bumiputra menghormati aturan-aturan itu. Tetapi mereka
menerimanya dan menghormatinya itu, ialah hanya oleh karena Bumiputra kalah,
hanya oleh karena Bumiputra terpaksa menerimanya dan terpaksa menghormatinya!
Bukankah
justru kekalahan ini sebabnya maka mereka dijajah?
Bukankah
justru kekalahan yang memaksa mereka menjadi rakyat, jajahan? Jules Harmand,
Ambassadeur Honoraire dan ahli jajahan bangsa Prancis, dalam bukunya yag
termashur “Domination et Colonisation”, menulis dengan terang-terangan:
“Tentu saja bisa
kejadian, bahwa kepentingan orang Bumiputra kebetulan sama dengan kepentingan si
penjajah; tapi ini jarang sekali kejadian. Biasanya… kepentingan-kepentingan
itu bertentangan satu sama lain.” “Kedua pikiran “penjajahan” dan “kekerasan”
atau sekurang-kurangnya “paksaan”, adalah bergandengan satu sama lain,
atau isi-mengisi. Tergantung kepada tempat, keadaan dan tingkah laku, kekerasan
itu boleh nyata atau kurang nyata, atau sedang saja, terang-terangan atau
sembunyi-sembunyi, — tapi penggunaannya tidak pernah bisa dihilangkan. Pada
hari paksaan hilang, berakhirlah pula penjajahan.”[7]
Adakah
pengakuan yang lebih terang-terangan, adakah ketulusan hati yang lebih tulus?
Sesungguhnya kita tidaklah berdiri sendiri, kalau kita mengatakan bahwa oleh
adanya pertentangan kepentingan itu, tiap-tiap sistem atau aturan jajahan,
adanya diterima dan dihormati rakyat jajahan itu, hanya karena mereka terpaksa
menerima dan terpaksa menghormatinya belaka, — terpaksa, yakni tidak dengan
senang hati, tidak dengan rela hati, tidak dengan kemufakatan yang
sebenar-benanrnya, tidak dengan persetujuan yang sepenuh-penuhnya!
Tiap-tiap rakyat jajahan ingin merdeka
Oleh
karena itulah, Tuan-tuan Hakim, maka tidka ada satu rakyat negeri jajahan yang
tindak ingin merdeka, tidak ada satu rakyat jajahan yang tak mengharap-harapkan
datangnya hari kebebasan. Jikalau Partai Nasional Indonesia
mendengung-dengungkan semboyan “mencapai kekuasaan politik” itu, jikalau Partai
Nasional Indonesia mengobar-ngobarkan semangat ingin merdeka itu, maka ia
hanyalah mengemukakan cita-cita umum belaka. Kemerdekaan adalah syarat yang
amat penting baginya untuk bisa melawan dan memberhentikan imperialisme itu
dengan seluas-luasnya. Kemerdekaan adalah pula syarat yang amat penting bagi
pembaikan kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan,
suatu syarat yang amat penting bagi rekonstruksi nasionalnya.
Ya,
kemerdekaan adalah syarat yang amat penting bagi kesempurnaan rumah tangga
tiap-tiap negeri, tiap-tiap bangsa, baik bangsa timur maupun bangsa Barat, baik
bangsa kulit berwarna maupun bangsa kulit putih. Tiada satu bangsa bisa
mencapai kebesaran zonder kemerdekaan nasional, tidak ada satu negeri
bisa menjadi teguh dan kuasa, umpama ia tidak merdeka. Sebaliknya, tiada satu
negeri jajahan yang bisa mencapai keluhuran, tiada satu negeri jajahan yang
bisa mencapai kebesaran itu. Oleh karena itu, maka tiap-tiap bangsa jajahan
ingin akan kemerdekaan itu, ingin supaya bisa mencapai kebesaran itu.
Tiap-tiap
rakyat yang tak merdeka, tiap-tiap rakyat yang karena itu, tak bisa dan tak
boleh mengatur rumah tangga sendiri secara kepentingan dan kebahagiaan sendiri,
adalah hidup di dalam suasana yang rusuh, yakni hidup di dalam suasana yang
kami sebutkan tadi, hidup di dalam suatu “permanente onrust”, kerusuhan
yang terus-menerus, yang tersebabkan oleh tabrakan daya-daya yang saling
bertentangan itu, — suatu keadaan yang tidak boleh tidak menimbulkan pula
keinginan keras akan hilangnya pertentangan-pertentangan itu, yakni keinginan
keras akan berhentinya ketidak-merdekaan itu tadi. Dari Maroko sampai Filipina,
dari Korea sampai Indonesia melancar-lancar kemana-mana melalui gunung dan
samudra, terdengarlah suara yang memanggil-manggil kemerdekaan itu — bukan saja
dari mulut rakyat-rakyat yang baru saja merasakan pengaruh imperialisme, tetapi
juga, ya, malahan terutama, dari mulut bangsa-bangsa yang sudah berabad-abad
tak menerima cahaya matahari kebesaaran.
“Sekalipun
sudah berabad-abad mereka menjajah… begitulah Jules Harmand menulis lagi:
“Sekalipun sudah
berabad-abad mereka menjajah…., adalah suatu kebodohan apabila si penjajah itu
sudah menyangka bahwa ia dicintai, — butalah ia apabila menyangka bahwa
masyarakat yang dijajah itu merasa senang mengalami penjajahannya”… ”Bagaimanapun
juga lemahnya atau merosotnya, bagaimanapun juga biadabnya disangka orang
bangsa yang terjajah itu, — bagaimanapun juga jahatnya kaum ningratnya, atau
sebaliknya, bagaimanapun juga beradabnya mereka itu dalam tingkah lakunya dan
bagaimanapun juga tajam otaknya dianggap orang… mereka itu akan memandang
kepergian atau hilangnya penjajahan asing selalu sebagai suatu pembebasan”.[8]
Mengertikah
orang sekarang, apa sebabnya Prabu Jayabaya yang menujumkan kemerdekaan itu,
terus hidup saja berabad-abad dalam hati rakyat? Mengertikah orang sekarang,
apa sebabnya di dalam tiap-tiap surat kabar Indonesia, di dalam tiap-tiap rapat
bangsa Indonesia, — juga kalau kami yang disebut “penghasut” tidak
menghadirinya! —, sebentar-sebentar terbaca atau terdengar perkataan “merdeka”?
mengertikah orang sekarang, apa sebabnya sampai partai-partai politik yang
paling sabar atau sedangpun, misalnya Budi Utomo dan Pasundan, yang toh terang
sekali bukan perkumpulan kaum “penghasut”, juga sama mengambil cita-cita
Indonesia Merdeka, sebagaimana disyaratkan bagi penerimaan menjadi anggota
PPPKI?
Partai
Nasional Indonesia hanyalah lebih terang mengemukakan cita-cita itu; Partai
Nasional Indonesia hanyalah lebih tentu mengutamakan kemerdekaan nasional
itu, menjunjung kemerdekaan nasional itu sebagai syarat yang amat penting bagi
pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia yang sekarang
kocar-kacir ini, dan bagi bisa berhasilnya perjuangan menghentikan imperialisme
itu! Sebab, sebagai yang kami terangkan tadi, Partai Nasional Indonesia
mengambil soal jajahan itu di dalam hakikat yang sedalam-dalamnya, mengambil
soal jajahan itu terus ke dalam pokok-pokoknya, — mengambil soal jajahan itu di
dalam filsafatnya yang sebenar-benarnya, yakni filsafat,– kami ulangi lagi —
bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan adalah pertentangan kepentingan antara
kaum imperialisme dan kaum Bumiputra; bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan
umumnya, keadaan-keadaan adalah dipengaruhi, di-“cap”-kan, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan
imperialistis; — bahwa karena itu, di dalam sistem jajahan mana pun juga,
kepentingan Bumiputra tak bisa terpelihara sesempurna-sempurnanya.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar