Partai Nasional Indonesia [1]

Diposting oleh poentjak harapan on Minggu, 18 Maret 2012

              Kami punya asas tentang “Kemerdekaan Indonesia”
           Tempat yang harus dilalui? Manakah tempat-tempat yang harus dilalui? Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan sepenuh-penuhnya keyakinan menjawab: tempat-tempat yang berjajar-berjajar menuju ke arah Indonesia Merdeka! Sebab dibelakang Indonesia Merdeka itulah tampak kepada mata PNI keindahan Samudra Keselamatan dan samudra kebesaran itu, di belakang Indonesia Merdeka itulah tampak kepada mata PNI sinar hari kemudian yang melambai-lambai!
             Inilah pokok keyakinan PNI, sebagai yang tertulis di dalam buku keterangan asasnya: “Partai Nasional Indonesia berkeyakinan, bahwa syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu, ialah kemerdekaan nasional. Oleh karena itu, maka semua bangsa Indonesia terutama haruslah ditujukan ke arah kemerdekaan nasional itu.”
           Dengan bahasa Belanda: de nationale vrijhed als zeer belangrijke voorwaarde tot de nationale reconstructie!
               Berlainan dengan banyak partai-partai politik lain, yang mengatakan “perbaikilah dulu rumah tangga, nanti kemerdekaan datang sendiri”; – berlainan dengan partai-partai lain, yang menganggap kemerdekaan itu sebagai buahnya pembaikan rumah tangga, – maka PNI berkata: “Kemerdekaan nasional usahakanlah, sebab dengan kemerdekaan nasional itulah rakyat akan bisa memperbaiki rumah tangganya dengan tidak terganggu,yakni dengan sesempurna-sempurnanya”, – PNI berkata, “De-volkomen nationale reconstructie allen mogelijk na wederkomst der nationale onafhankelijkkheid”.
                  Tuan-tuan Hakim, sepanjang keyakinan kami, asas PNI yang demikian ini dalam hakikatnya tidak beda dengan asas perjuangan kaum buruh di Eropa dan Amerika, tidak beda dengan asas yang mengatakan bahwa untuk melaksanakan sosialisme, kaum buruh itu harus lebih dulu mencapai kekuasaan pemerintahan.
            “Kaum proletar hanya bisa mematahkan perlawanan kaum modal terhadap usaha membikin alat-alat perusahaan partikelir menjadi milik umum, dengan mengambil kekuasaan politik. Untuk maksud ini, kaum buruh seluruh dunia, yang telah menjadi insaf akan kewajibannya dalam perjuangan kelas, menyusun diri,”
                  Begitulah bunyi paragraf 11 dari keterangan asas Sociaal Democratische Arbeiders Partij. [1]
Nah, buat suatu rakyat jajahan, buat suatu rakyat yang di bawah imperialisme bangsa lain, hakikat perkara sepanjang keyakinan kami, tidaklah lain. Buat suatu rakyat yang dibencanai oleh imperialisme, buat usaha rakyat itu melawan bencana imperialisme itu, perlu sekali pula “kekuasaan politik” dicapainya. Buat rakyat yang demikian itu, kalimat tadi mendapat variasi:
          “Rakyat yang dijajah hanya bisa mematahkan perlawanan kaum imperialisme terhadap pekerjaan memperbaiki kembali semua susunan pergaulan hidup nasionalnya, dengan mengambil kekuasaan pemerintahan, yakni dengan mengambil kekuasaan politik.”
          Dan apakah artinya “kekuasaan politik” bagi suatu rakyat jajahan? Apakah artinya “kekuasaan pemerintahan”, apakah artinya “mengambil kekuasaan pemerintahan” bagi suatu rakyat jajahan? Mencapai  Kekuasaan politik bagi suatu rakyat jajahan adalah berarti mencapai pemerintahan nasional, mencapai kemerdekaan nasional, — mencapai hak untuk mengadakan undang-undang sendiri, mengadakan aturan-aturan sendiri, mengadakan pemerintahan sendiri!
                  Nah, Partai Nasional Indonesia ingin melihat rakyat Indonesia bisa mencapai kekuasaan politik itu, Partai Nasional Indonesia tidak tedeng aling-aling mengambil kemerdekaan nasional itu sebagai maksudnya yang tertentu. Partai Nasional Indonesia mengerti, — atau lebih benar: kami mengerti, –bahwa mengejar kekuasaan politik, jadi, mengejar kemerdekaan nasional itu, adalah konsekuensi dan voorwaarde,[2] buntut dan syarat, bagi suatu perjuangan kontra imperialisme itu adanya.
               Sebagai di negeri Barat kaum kapitalis mengusahakan kekuasaan politiknya mempengaruhi rumah tangga negara menurut mereka punya kepentingan, sebagaimana kaum kapitalis itu mengusahakan kekuasaan politiknya untuk mengadakan aturan-aturan rumah tangga negara yang menguntungkan mereka punya kepentingan dan meniadakan aturan-aturan yang merugikan mereka punya kepentingan, — sebagaimana kaum kapitalis itu mengusahakan mereka punya kekuasaan politik untuk menjaga dan memelihara kapitalisme — maka di suatu negeri jajahan, kaum imperialisme mengusahakan kekuasaan politiknya pula untuk mempengaruhi rumah tangga negara menurut mereka punya kepentingan, yakni menurut kepentingan sistem imperialisme! Oleh karena pengaruh itu, maka hampir tiap aturan yang penting di dalam suatu negeri jajahan bersifat menguntungkan kepentingan kaum imperialisme itu, sesuai dengan kepentingan kaum imperialisme itu. Hampir tiap-tiap aturan yang penting di dalam suatu negeri jajahan adalah bersifat untuk penjajahan itu, untuk imperialisme itu.
                 Oleh sebab itu, maka, selama suatu negeri masih bersifat jajahan, ya, lebih jauh lagi: selama suatu negeri masih bersifat “protektorat” ataupun “daerah mandat”, — pendek kata selama suatu negeri masih belum sama sekali leluasa mengadakan aturan-aturan rumah tangga sendiri, — maka sebagian atau semua aturan-aturan rumah tangganya, mempunyai “cap” yang imperialistis adanya. Artinya: selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya. Ia adalah seolah-olah terikat kaki dan tangannya, tak bisa leluasa berjuang melawan daya-daya imperialisme yang membencanainya, tak bisa leluasa berjuang mengalang-alangi syarat-syarat hidupnya diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain, tak bisa leluasa berusaha memperuntukkan syarat-syarat hidupnya itu bagi perikehidupan ekonominya sendiri, perikehidupan kebudayaannya. Ia pendek kata, tak bisa leluasa berusaha melawan dan memberhentikan imperialisme, tak bisa pula leluasa menyubur-nyuburkan badan sendiri[3]
            Rakyat jajahan adalah rakyat yang tak bisa “menemukan diri sendiri”, suatu rakyat yang tak bisa “zichzelf” (berpribadi sendiri), suatu rakyat yang hampir semua apa-apanya kena “cap” yang imperialistis itu, — “cap” yang terjadinya ialah oleh pengaruh besar dari kaum imperialisme adanya. Tidak ada persamaan kepentingan antara kaum imperialisme dan kaum yang di bawah imperialisme; tidak ada belangengetneenschap[4] antara kedua pihak itu. Antara kedua pihak itu ada pertentangan kepentingan, ada pertentangan kebutuhan, — ada tegenstelling van belangen[5] ada conflict van behoeften.[6] Semua kepentingan kaum imperialisme, baik ekonomi, maupun sosial, baik politik maupun yang berhubungan dengan kebudayaan umumnya, semua kepentingan kaum imperialisme itu, adalah bertentangan, tegengesteld dengan kepentingan Bumiputra. Kaum imperialisme sebisa-bisanya mau meneruskan adanya penjajahan, — orang Bumiputra sebisa-bisanya mau memberhentikan penjajahan itu. Aturan-aturan yang diadakan di bawah pengaruh kaum imperialisme, adalah karena itu bertentangan dengan kepentingan Bumiputra itu adanya.
          Meskipun demikian, Bumiputra menerima saja aturan-aturan itu? Meskipun demikian Bumiputra menghormati aturan-aturan itu? O, memang, Bumiputra menerima saja aturan-aturan itu, Bumiputra menghormati aturan-aturan itu. Tetapi mereka menerimanya dan menghormatinya itu, ialah hanya oleh karena Bumiputra kalah, hanya oleh karena Bumiputra terpaksa menerimanya dan terpaksa menghormatinya!
                 Bukankah justru kekalahan ini sebabnya maka mereka dijajah?
         Bukankah justru kekalahan yang memaksa mereka menjadi rakyat, jajahan? Jules Harmand, Ambassadeur Honoraire dan ahli jajahan bangsa Prancis, dalam bukunya yag termashur “Domination et Colonisation”, menulis dengan terang-terangan:
          “Tentu saja bisa kejadian, bahwa kepentingan orang Bumiputra kebetulan sama dengan kepentingan si penjajah; tapi ini jarang sekali kejadian. Biasanya… kepentingan-kepentingan itu bertentangan satu sama lain.” “Kedua pikiran “penjajahan” dan “kekerasan” atau sekurang-kurangnya “paksaan”, adalah  bergandengan satu sama lain, atau isi-mengisi. Tergantung kepada tempat, keadaan dan tingkah laku, kekerasan itu boleh nyata atau kurang nyata, atau sedang saja, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, — tapi penggunaannya tidak pernah bisa dihilangkan. Pada hari paksaan hilang, berakhirlah pula penjajahan.”[7]
           Adakah pengakuan yang lebih terang-terangan, adakah ketulusan hati yang lebih tulus? Sesungguhnya kita tidaklah berdiri sendiri, kalau kita mengatakan bahwa oleh adanya pertentangan kepentingan itu, tiap-tiap sistem atau aturan jajahan, adanya diterima dan dihormati rakyat jajahan itu, hanya karena mereka terpaksa menerima dan terpaksa menghormatinya belaka, — terpaksa, yakni tidak dengan senang hati, tidak dengan rela hati, tidak dengan kemufakatan yang sebenar-benanrnya, tidak dengan persetujuan yang sepenuh-penuhnya!

             Tiap-tiap rakyat jajahan ingin merdeka
         Oleh karena itulah, Tuan-tuan Hakim, maka tidka ada satu rakyat negeri jajahan yang tindak ingin merdeka, tidak ada satu rakyat jajahan yang tak mengharap-harapkan datangnya hari kebebasan. Jikalau Partai Nasional Indonesia mendengung-dengungkan semboyan “mencapai kekuasaan politik” itu, jikalau Partai Nasional Indonesia mengobar-ngobarkan semangat ingin merdeka itu, maka ia hanyalah mengemukakan cita-cita umum belaka. Kemerdekaan adalah syarat yang amat penting baginya untuk bisa melawan dan memberhentikan imperialisme itu dengan seluas-luasnya. Kemerdekaan adalah pula syarat yang amat penting bagi pembaikan kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan, suatu syarat yang amat penting bagi rekonstruksi nasionalnya.
             Ya, kemerdekaan adalah syarat yang amat penting bagi kesempurnaan rumah tangga tiap-tiap negeri, tiap-tiap bangsa, baik bangsa timur maupun bangsa Barat, baik bangsa kulit berwarna maupun bangsa kulit putih. Tiada satu bangsa bisa mencapai kebesaran zonder kemerdekaan nasional, tidak ada satu negeri bisa menjadi teguh dan kuasa, umpama ia tidak merdeka. Sebaliknya, tiada satu negeri jajahan yang bisa mencapai keluhuran, tiada satu negeri jajahan yang bisa mencapai kebesaran itu. Oleh karena itu, maka tiap-tiap bangsa jajahan ingin akan kemerdekaan itu, ingin supaya bisa mencapai kebesaran itu.
                Tiap-tiap rakyat yang tak merdeka, tiap-tiap rakyat yang karena itu, tak bisa dan tak boleh mengatur rumah tangga sendiri secara kepentingan dan kebahagiaan sendiri, adalah hidup di dalam suasana yang rusuh, yakni hidup di dalam suasana yang kami sebutkan tadi, hidup di dalam suatu “permanente onrust”, kerusuhan yang terus-menerus, yang tersebabkan oleh tabrakan daya-daya yang saling bertentangan itu, — suatu keadaan yang tidak boleh tidak menimbulkan pula keinginan keras akan hilangnya pertentangan-pertentangan itu, yakni keinginan keras akan berhentinya ketidak-merdekaan itu tadi. Dari Maroko sampai Filipina, dari Korea sampai Indonesia melancar-lancar kemana-mana melalui gunung dan samudra, terdengarlah suara yang memanggil-manggil kemerdekaan itu — bukan saja dari mulut rakyat-rakyat yang baru saja merasakan pengaruh imperialisme, tetapi juga, ya, malahan terutama, dari mulut bangsa-bangsa yang sudah berabad-abad tak menerima cahaya matahari kebesaaran.
                “Sekalipun sudah berabad-abad mereka menjajah… begitulah Jules Harmand menulis lagi:
            “Sekalipun sudah berabad-abad mereka menjajah…., adalah suatu kebodohan apabila si penjajah itu sudah menyangka bahwa ia dicintai, — butalah ia apabila menyangka bahwa masyarakat yang dijajah itu merasa senang mengalami penjajahannya”… ”Bagaimanapun juga lemahnya atau merosotnya, bagaimanapun juga biadabnya disangka orang bangsa yang terjajah itu, — bagaimanapun juga jahatnya kaum ningratnya, atau sebaliknya, bagaimanapun juga beradabnya mereka itu dalam tingkah lakunya dan bagaimanapun juga tajam otaknya dianggap orang… mereka itu akan memandang kepergian atau hilangnya penjajahan asing selalu sebagai suatu pembebasan”.[8]
              Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya Prabu Jayabaya yang menujumkan kemerdekaan itu, terus hidup saja berabad-abad dalam hati rakyat? Mengertikah orang sekarang, apa sebabnya di dalam tiap-tiap surat kabar Indonesia, di dalam tiap-tiap rapat bangsa Indonesia, — juga kalau kami yang disebut “penghasut” tidak menghadirinya! —, sebentar-sebentar terbaca atau terdengar perkataan “merdeka”? mengertikah orang sekarang, apa sebabnya sampai partai-partai politik yang paling sabar atau sedangpun, misalnya Budi Utomo dan Pasundan, yang toh terang sekali bukan perkumpulan kaum “penghasut”, juga sama mengambil cita-cita Indonesia Merdeka, sebagaimana disyaratkan bagi penerimaan menjadi anggota PPPKI?
            Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih terang mengemukakan cita-cita itu; Partai Nasional Indonesia hanyalah lebih tentu mengutamakan kemerdekaan nasional itu, menjunjung kemerdekaan nasional itu sebagai syarat yang amat penting bagi pembaikan kembali semua susunan pergaulan hidup Indonesia yang sekarang kocar-kacir ini, dan bagi bisa berhasilnya perjuangan menghentikan imperialisme itu! Sebab, sebagai yang kami terangkan tadi, Partai Nasional Indonesia mengambil soal jajahan itu di dalam hakikat yang sedalam-dalamnya, mengambil soal jajahan itu terus ke dalam pokok-pokoknya, — mengambil soal jajahan itu di dalam filsafatnya yang sebenar-benarnya, yakni filsafat,– kami ulangi lagi — bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan adalah pertentangan kepentingan antara kaum imperialisme dan kaum Bumiputra; bahwa di dalam tiap-tiap sistem jajahan umumnya, keadaan-keadaan adalah dipengaruhi, di-“cap”-kan, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan imperialistis; — bahwa karena itu, di dalam sistem jajahan mana pun juga, kepentingan Bumiputra tak bisa terpelihara sesempurna-sempurnanya.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar