Saudara-saudara
sekalian. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
Limapuluh
tiga tahun Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). Sungguh suatu masa, jumlah tahun yang tidak sedikit, 53. Dari
53 tahun itu saja persoolijk mengalami, berapa tahun, berhubung dengan PSII,
tidak kurang dari 50 tahun! Saudara-saudara, barangkali diantara
saudara-saudara ada yang baru saja muncul dalam PSII. Saya dengan mengucap
syukur alhamdulillah, 50 tahun saudara-saudara!
PSII
didirikan, waktu itu dengan nama SI, tahun 1912. Tahun 15, tiga tahun kemudian,
saya masuk rumah almarhum Haji Umar Said Cokroaminoto. Jadi, hubunganku dengan
“serikat islam” yang kemudian bernama “Partai Serikat Islam Indonesia” mulai
tahun 15 itu. Sekarang tahun 1965, dus saya kenal PSII 50 tahun lamanya. Karena
itu, saudara-saudara, saya merasa kukatakan tadi, berbahagia sekali, mengucap
syukur kepada tuhan yang maha esa. Malah pada waktu saat sekarang ini saya
ingat kepada kawan-kawan, waktu saya di rumah almarhum Cokroaminoto itu,
misalnya kawan Sukiran, di mana? Masih hidup atau mati? Harsono, Sukiran masih
hidup atau mati? Sukiran belum pernah kenal. Sukiran itu ketua cabang Surabaya.
Maklum, waktu saya di rumah almarhum, Harsono ini masih anak umbelen saudara-saudara!
Di mana Woro, wanita, Sastroatmodjo? Sudah wafat ataukah masih hidup? Woro Sastroatmodjo,
agitator yang hebat sekali daripada PSII di Jawa Timur. Saya belum pernah
mendengar pidato-pidatonya Woro Sastroatmodjo ini. Beliau dari Kepajen. Bidang
perjuangannya ialah, terutama sekali daerah Malang, Pasuruan, Surabaya. Nah,
ini Woro Sastroatmodjo di mana sekarang ini? Masih hidupkah atau sudah
wafatkah? Nah, saudara-saudara tidak tahu. Tanda saudara-saudara itu sebetulnya
baru muncul dalam alam Serikat Islam.
Demikian
saudara-saudara, banyak sudah meninggal pula. Haji Agus Salim telah meninggal,
pulang ke rahmatullah. Saudara Wondosudirdjo, yang kemudian bernama
Wondoamiseno, sudah meninggal pula.
Saya
mengucap syukur alhamdulillah, bahwa saya masih segar bugar sampai sekarang.
Dan saya menunjukkan sendiri disini, kalau ada wartawan-wartawan asing yang
hadir disini, bahwa saya masih segar bugar. Wartawan-wartawan asing neokolim
itu selalu mengatakan, bahwa saya sakit keras. Pendek kata sudah dekat kepada
ajal. Saya di dalam pidato “TAKARI” telah berkata, bahwa mati-hidup manusia itu
adalah tergantung daripada Tuhan. Di dalam majalah time magazine dikatakan,
bahwa saya di bulan agustus yang lalu ini saya, dua kali sakit keras.
Saudara-saudara,
saya pun di dalam pidato “TAKARI” telah berkata, bahwa saya selalu dimaki-maki,
dijelekkan, dicemoohkan, dicerca oleh wartawan-wartawan neokolim. Saya berkata,
he wartawan neokolim, jangan berhenti mencerca aku, jangan berhenti menghantam
aku, jangan berhenti menjelek-jelekkan aku, oleh karena pencercaanmu,
penjelek-jelekkanmu, maki-makianmu kepada saya itu menguntungkan Revolusi Indonesia.
Dan untuk itu saya minta kamu, he wartawan-wartawan asing, jangan berhenti
maki-maki kepada saya! Sebab tahun 26 saya sudah berkata, makin kita
dimaki-maki oleh musuh makin baik, tanda kita berjalan diatas jalan yang benar.
Kalau kita sudah dipuji-puji oleh musuh, nah, itu boleh kita tinjau-tinjau diri
sendiri, mengadakan introspeksi kepada diri sendiri. Sebab jikalau kita dipuji
oleh musuh, itu adalah satu bahwa kita itu berjalan diatas jalan yang salah,
tetapi yang sesuai dengan kehendaknya musuh itu.
Saya
ulangi saudara-saudara, saya kenal SI, PSII, 50 tahun yang lamanya. Saya kenal
seluruh angkatan-angkatan daripada evolusi, daripada pertumbuhan politik bangsa
kita ini. Malah yang saya baca disana itu, perkataan-perkataan itu adalah
sebenarnya mulut saya. Saya katakan, ada lima angkatan: angkatan perintis,
angkatan pencoba, angkatan penegas, angkatan pendobrak, angkatan pelaksana. Itu
dari mulut saya. Saya yang membuat analisa daripada pertumbuhan sejarah
kebangkitan dan kebangunan kita. Dan saya sebagai hasil mengatakan, bahwa ada
lima periode itu.
Di sini
saya mau bikin koreksi sedikit, koreksi kecil. Urut-urutannya saudara-saudaraku
keliru. Disini dikatakan, nomor satu; perintis, nomor dua; pencoba, nomor tiga;
penegas, nomor empat; pendobrak, nomor lima; pelaksana.
Sebetulnya
harus sebagai berikut: nomor satu; perintis, nomor dua; penegas, nomor tiga;
pencoba, nomor empat; pendobrak, nomor lima; pelaksana.
Duduk
perkara bagaimana? Duduknya perkara ialah, bahwa menurut hitungan waktu,
kronologi, memang lebih dulu perintis, kemudian penegas, kemudian pencoba,
kemudian pendobrak, kemudian pelaksana. Kronologis bagaimana demikian kok saya
katakan kronologis demikian itu?
Nomor
satu, perintis, yang saudara kenal sejarah “Budi Utomo”, saudara kemudian kenal
sejarahnya “Sarekat Islam”, yang tadinya telah digambarkan oleh pak Arudji
Kartawinata. Sesudah periode angkatan perintis ini, datanglah periode angkatan
penegas. Periode perintis adalah periode disitu pemimpin-pemimpin atau
gerakannya sekedar merintis. Membangunkan kebangkitan didalam massa.
Membangunkan keyakinan didalam kalangan massa, bahwa nasibnya tidak baik. Bahwa
jalan untuk memperbaiki nasibnya ialah mengadakan serikat-serikat,
perkumpulan-perkumpulan, bahwa harus rakyat itu bersatu.
Inilah,
malahan salah satu jasanya yang paling hebat daripada SI. Manakala tadi
dikatakan oleh pak Roeslan Abdulgani, bahwa “Budi Utomo” yah, menggerakkan kaum
intelektual, terutama sekali intelektual kaum Jawa, maka “Sarekat Islam”-lah
yang pertama kali menggerakkan massa Indonesia.
Saya
masih ingat, pada waktu tahun 15, saya menghadiri satu rapat besar di Surabaya,
namanya Dierentuin. Itu sekarang jadi apa itu he Cak Roeslan, Dierentuin itu
sekarang jadi apa itu? Dekat kantor pos sekarang. Stasiun, ya stasiun, ya maaf,
itu sekarang namanya apa? Ya dimuka kantor pos, di sini dulu ada Lindetevis
Stokvis.
Nah,
itulah rapat raksasa yang pertama saya alami saudara-saudara. Dulu saya melihat
rapat-rapat, hanya dari “Budi Utomo”, ndoro-ndoroan saudara-saudara. Pakai baju
hitam yang datang di rapat itu, pakai blangkon, lantas pakai kain nggededer.
Tetapi rapat raksasa pertama saya alami, ialah di Stasiun itu, dari partai
“Sarekat Islam Indonesia”, dan disitu ada pak Cokro membuat pidato yang
betul-betul menghikmati kepada saya. Yang disitu pak Cokro berkata, kita
menghendaki perbaikan daripada nasib kita. Dan jalannya kita bisa memperbaiki
nasib kita ialah dengan mempersatukan massa rakyat Indonesia ini sebanyak
mungkin. Malah pak Cokro berkata, pada hari ini “Sarekat Islam Indonesia” telah
mempunyai anggota 2 juta anggota, tahun 15 saudara-saudara. Disitu buat pertama
kali saya mendapat ajaran, bahwa perbaikan nasib harus diusahakan oleh massa
rakyat. Karena itu saya berkata, bahwa “Sarekat Islam”, “Partai Sarekat Islam
Indonesia”, termasuk dalam golongan partai perintis yang utama.
Kemudian
datanglah periode yang kedua. Dan periode yang kedua itu bukan pencoba, tetapi
penegas. Di dalam periode kedua ini ditegaskanlahm bahwa kita tidak bisa
mencapai perbaikan, jikalau tidak Indonesia menjadi merdeka. Ditegaskan,
Indonesia merdekalah yang bisa mendatangkan perbaikan nasib, ialah oleh karena
selama Indonesia tidak merdeka, maka imperialisme, kapitalisme, penjajahan,
kolonialisme masih menguasai kehidupan kita, baik ekonomis, maupun politik,
maupun kebudayaan, masih terus menghisap kepada darah kita. Maka oleh karena
itu, didalam alam kemerdekaan, tak mungkin kita bisa mencapai perbaikan nasib.
Maka oleh kaum penegaslah dikatakan, jikalau kita ingin perbaikan nasib, jalan
satu-satunya ialah, Indonesia Merdeka. Dan jalan satu-satunya untuk mencapai
Indonesia Merdeka ini ialah, satu gerakan massa revolusioner. Ini ditegaskan
oleh angkatan penegas. Nah, lantas angkatan penegas ini menjalankan apa yang ia
tegaskan. Artinya, ia mengadakan aksi-aksi revolusioner. Dengan akibat apa?
Akibatnya tentu positifnya, rakyat menjadi sadar benar. Tapi negatifnya, kalau
saya boleh memakai perkataan negatif, gerakan daripada kaum penegas ini
dihantam oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemimpin-pemimpinnya ditangkap,
pemimpin-pemimpinnya dimasukkan dalam penjarah, pemimpin-pemimpinnya dikirim ke
pembuangan, pemimpin-pemimpinnya ada yang digantung mati. Pendek kata, gerakan
penegas ini dihantam lemah oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sesudah
periode penegas ini saudara-saudara, karena pemimpin-pemimpinnya banyak yang
masuk penjara, pemimpin-pemimpinnya banyak yang dibuang, pemimpin-pemimpinnya
ada yang digantung mati, gerakan penegas ini boleh dikatakan, hampir saja
hancur-lebur oleh hantaman daripada pemerintah Hindia Belanda, muncullah
angkatan yang ketiga. Angkatan yang ketiga ini lantas mencoba mendatangkan
Indonesia yang merdeka tidak dengan jalan massa aksi revolusioner. Pencoba ini
mencoba atau berusaha untuk mendatangkan Indonesia merdeka dengan jalan apa?
Dengan jalan cooperatie, kerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda. Mencoba
mendatangkan Indonesia merdeka dengan memasuki dewan-dewan. Entah dewan
Volksraad-kah, entah dewan-dewan Gemeente, macam-macam dewan dimasuki, yaitu
yang dinamakan kaum cooperato. Dan bukan saja memasuki dewan-dewan, tetapi
mereka mengemukakan satu pendirian, bahwa jalan yang terbaik untuk menjalankan
Indonesia merdeka ialah, ya kerjasama dengan pihak Belanda, malahan menyakinkan
kepada pihak Belanda, bahwa toh sebaiknya Indonesia ini diberi kemerdekaan.
Termasuk dalam golongan ini misalnya saudara-saudara, kaum cooperator yang
dipimpin oleh almarhum Dr. Sutomo. Ini saya tidak mengecilkan jasa Dr. Sutomo,
tidak. Tetapi saya sekedar menggambarkan sejarah obyektif, bahwa haluan
Dr.Sutomo ialah, haluan pencoba.
Nah,
perintis, penegas, pencoba. Dan kita saudara-saudara, melihat bahwa apa yang
dicoba oleh pencoba itu, tak mungkin bisa berhasil, oleh karena kita dengan
kaum imperialis adalah satu pertentangan kebutuhan, adalah apa yang kunamakan
belangen tegenstelling secara populer, sana mau ke sana, sini mau ke sini;
ndika ngalor, kula ngidul, rujak-sentul. Tidak bisa ada cooperatie, kerjasama
antara sana dengan sini, tidak bisa cooperatie, kerjasama antara imperialis
dengan kita. Kita hanya bisa mendatangkan Indonesia merdeka dengan paksaan,
dengan macht. Nah ini perkataanku. Machtsvorming dan machsaanwending. Hanya
dengan paksaan, desakan yang sehebat-hebatnya, dengan aksi massa, aksi yang
revolusioner.
Tetapi
kaum pencoba, oleh karena melihat, tadinya mereka itu melihat bahwa gerakan
penegas itu mendatangkan korban yang demikian banyaknya. Ya memang, korbanannya
bukan main hebat sekali, saudara-saudara! Dua ribu dikirim ke Boven Digul. Yang
masuk dalam penjara di tanah Jawa saja 10 ribu. Belum berapa orang digantung
mati. Sebagai yang tempo hari saya ceritakan kawan-kawan kita di Ciamis,
digantung mati. Nah, kaum pencoba melihat korban begini banyaknya itu, lantas
mengadakan politik lain, politik baru, katakan, yaitu politik untuk mencoba
dengan jalan cooperatie itu. Tetapi kita selalu berkata, nee, tidak bisa
cooperatie, oleh karena belangan tegenstelling, oleh karena ada pertentangan
kebutuhan, oleh karena sana mau ke sana, sini mau ke sini, oleh karena sana mau
ngalor, kita mau ngidul; kita selalu berdiri diatas satu beginsel
non-cooperatie, non-cooperatie dengan pihak sana.
Nah,
urutannya begitu. Sekarang sudah jelas. Perintis, penegas, pencoba, dicoba,
dicoba, dicoba, ha tidak bisa, tidak bisa Indonesia merdeka dengan cobaan yang
demikian itu.
Lantas
datanglah angkatan pendobrak, yaitu dalam tahun 45 saudara-saudara, terutama
sekali didobrakan dengan segala pendirian atau segala keyakinan akan kebenaran
coopratie, akan kebenaran kerjasama ini, didobrak sama sekali oleh angkatan
yang dinamakan 45. Nah itu fase ke-4. Kemudian sesudah didobrak, sesudah kita
mengadakan proklamasi tanggal 17 Agustus 45, sesudah kita bisa mendirikan
negara Indonesia merdeka berwilayah kekuasaan dari sabang sampai merauke,
sesudah itu kita melaksanakan apa yang menjadi cita-cita daripada bangsa
Indonesia, yaitu terlaksanannya Amanat Penderitaan Rakyat.
Nah,
sekarang sudah jelas kepada saudara-saudara, urut-urutannya, chronologie
daripada angkatan-angkatan itu. Saya ulangi, perintis, nomor satu; penegas,
nomor dua; pencoba, nomor tiga; pendobrak, nomor empat; pelaksana, nomor lima.
Kalau tadi pak Roeslan mengatakan, sekarang ini angkatan berdikari, ya
sebetulnya itu satu pleonasme lagi. Pelaksanaannya harus dengan cara berdikari,
tidak. Melaksanakan ampera, melaksanakan amanat rakyat hanyalah mungkin dengan
berdikari. Sebagai yang tempo hari di Bogor saya katakan, salah jikalau kita
berkata, nation building dan character building, sebetulnya dua perkataan ini
adalah pleonasme. Nation building dan character building bukan dua hal yang
terpisah satu sama lain, tetapi nation building impliceert character building.
Character building adalah di dalam nation building.
Demikian
pula maka berdikari, tidak berdiri sendiri daripada pelaksaan, tetapi berdikari
itu adalah cara melaksanakan.
Nah,
saudara sudah sekarang chronologie-nya. Chronologie itu waktunya. Perintis
kemudian penegas, kemudian pencoba, kemudian pendobrak, kemudian pelaksana.
Lantas
tinjau PSII. Saya dengan bangga bisa berkata, PSII selalu ikut didalam
angkatan-angkatan ini, kecuali angkatan pencoba, kecuali angkatan pencoba.
PSII, perintis, ya; PSII, pendobrak, ya; PSII, pelaksana pencoba, mboten, tidak
pernah.
Dus,
panitia atau bagaimana, saya minta dicoret saja itu tulisan: PSII menjadi lima
angkatan, tidak, PSII menjiwai empat daripada lima angkatan itu, bukan lima
sama sekali.
Itulah
saudara-saudara, pengalamanku dari saya ikut-ikut dalam gerakan SI, maupun
sebagai presiden meng-observer, mengawasi gerak-gerik PSII itu. Dan sudah
barang tentu sebagai katakan tadi, saya bangga bahwa PSII tidak pernah ikut
dalam angkatan pencoba.
Saudara-saudara,
apa toh yang amat menarik kepada saya dalam hal SI atau PSII? Saya dulu pernah
berkata, malah berulang-ulang saya berkata, saya ini pernah ngelesot kakinya
almarhum Haji Umar Said Cokroaminoto. Ngelesot itu duduk, duduk di bawah. Pak
Cokro duduk di kursi, saya ngelesot. Pokok daripada ajaran beliau ialah,
keadilan, keadilan, kita harus mengejar keadilan. Dan kita harus berjalan
selalu diatas jalan yang adil. Karena bangsa Indonesia diperlukan tidak adil,
maka kita harus melawan. Kita harus berjalan diatas jalan adil pula. Karena
intisari daripada agama islam ialah keadilan.
Ini
yang betul-betul saya pegang sampai sekarang saudara-saudara. Di dalam pikiran,
tindak-tundukku aku selalu Insya Allah SWT, berpegang teguh pada tiang keadilan
ini. Saya ambil contoh saudara-saudara, didalam masa belakangan ini ada, boleh
dikatakan, perang antara Pakistan dan India, Saya sebagai presiden republik
Indonesia sekaligus, sekaligus, instantly, menghadapi kepada persoalan
Indonesia ini, yang dibawah pimpinanmu Soekarno, Indonesia ini harus berdiri
dipihak mana. Pakistan-kah, India-kah? Membenarkan mana, Pakistan-kah,
India-kah? Itu saya dihadapi dengan pertanyaan yang demikian itu sebagai
presiden Republik Indonesia. Tidak bisa, saya lantaskan pikir-pikir dulu, tidak
bisa. Maka oleh karena itulah saudara-saudara, sesudah ada persoalan Kashmir,
sesudah apalagi ada persoalan pertempuran antara Pakistan dan India, dengan
lekas saya mengatakan, bahwa Indonesia, rakyat Indonesia, pemerintah Indonesia,
saya berdiri sebagai presiden/panglima tertinggi menyatakan, berdiri di pihak
Pakistan, tidak berdiri dipihak India. Apa sebabnya? Sebabnya ialah menurut
keyakinan kami, keadilan adalah dipihak Pakistan.
Dan itu
memang ukuran untuk tiap-tiap perbuatan kita, kita harus berdiri diatas
keadilan, diatas mana yang benar, itulah kita benarkan, mana yang salah harus
kita salahkan. Dan benar dan salah ini ukurannya ialah keadilan.
Tidak
seperti Malaysia saudara-saudara, Malaysia pernah, beberapa hari yang lalu itu
dihadapi dengan persoalan ini, berdiri dipihak mana? Apa jawabnya Malaysia, ya
Pakistan, sahabat kami, India, sahabat kami, Pakistan sahabat kami, India
sahabat kami, dus kami, ya sudah, netral-netralan. Inilah yang aku maksudkan
dengan perkataanku dulu itu, bahwa Malaysia itu adalah sebenarnya satu,
katakanlah, jikalau Negara yang kosong-melompong. Tidak mempunyai konsepsi,
tidak mempunyai pricipe. Lha wong kejadian begini pentingnya kok, ini sahabat,
ini sahabat, ini kawan, ini kawan ini baik dengan sini, ini baik dengan sini,
ini kawan, ini bai dengan ini, ini baik dengan sini, dus sudahlah.
Tidak,
Indonesia tidak demikian, Indonesia berdiri di atas keadilan, Indonesia, saya
persoonlijk berdiri diatas ajaran yang tempo dulu diberikan almarhum
Cokroaminoto kepadaku, adil, keadilan peganglah teguh itu. Dan atas dasar itu
aku dengan seluruh rakyat Indonesia berkata, Pakistan yang benar, India yang
salah, kita memihak pada Pakistan. Dan itu sdah saya nyatakan di dalam
statement, pernyataan yang sudah saya keluarkan. Maka sekarang, ayo catat semua
wartawan-wartawan, aku menguncang kepada seluruh Negara Islam, seluruh
negara-negara Islam di dunia ini untuk bersimpati pada Pakistan, untuk memberi
bantuan kepada Pakistan, seluruh negara-negara Islam. Jangan ada satu pun Negara
yang bernamakan dirinya Islam, berdiri, mengambil pendirian seperti Malaysia,
ini sahabat, ini kawan, ini kawan, dus diam!
Tidak,
bukan demikianlah Islam. Islam selalu membela pada keadilan, Islam selalu
membela kepada kebenaran, Islam selalu menentang kepada kezaliman dan
kesalahan. Saya minta ini dicatat oleh semua wartawan, agar supaya seruanku
kepada Negara-negara Islam ini didengar oleh Negara-negara Islam itu. Biara
didengar oleh seluruh umat Islam di dunia ini, yang berjumlah ratusan juta
jiwa.
Jika
ada sesuatu bangsa yang menamakan bangsanya Islam dan dia misalnya membenarkan
India, saya akan berkata, Islammu adalah Islam keblinger, saudara-saudara!
Tolong
juru bahasa adalah salinkan saya punya perkataan ini pada diplomatic korps yang
duduk disitu.
Maka
oleh karena itu saudara-saudara, pada malam saya menghadiri perayaan 53 tahun
usia dari Partai Sarekat Islam, saya menyatakan di sini, saya kagum pada Partai
Sarekat Islam Indonesia, bahwa Partai Sarekat Islam Indonesia selalu berdiri di
atas jalan yang benar.
Dan di sana
dituliskan, “Nasakom, Pancasila, Manipol-Usdek, Trisakti, Berdikari”. Partai sarekat
Islam berkata, pelaksanaan konsekuen dari pada azimat revolusi. Ketuhanan itu
pula saudara-saudara, saya mengatakan pada Partai Sarekat Islam Indonesia,
Partai Sarekat Islam Indonesia benar-benar setia pada sumbernya. Saya kenal,
saya kenal sumber Partai Sarekat Islam Indonesia. Mungkin lebih daripada
saudara-saudara yang hadir disini.
Sebagai
kekuatan tadi, 50 tahun saudara-saudara, saya sudah ngelesot dikakinya almarhum
Haji Umar Said Cokroaminoto, mengikuti segala gerak-gerik PSII. Sebagai tadi
dikatakan oleh pak Roeslan Abdulgani, di rumah Cokroaminoto itulah, dan dari
mulut pak Cokroaminoto sendiri, saya mendapat ajaran-ajaran pertama tentang
politik. Ajaran menggerakkan massa, ajaran toleransi, kata pak Roeslan
Abdulgani. Ya memang, di rumahnya pak Cokro-lah saya bertemu dengan Sneevliet,
di rumah pak Cokro-lah saya bertemu dengan Baart, di rumahnya pak Cokro-lah
saya bertemu dengan Darsono, di rumahnya pak Cokro-lah saya bertemu dengan
Semaun, di rumahnya pak Cokro-lah saya bertemu dengan Dwidjosewojo, di rumahnya
pak Cokro-lah saya bertemu dengan Haji Agus Salim, di rumahnya pak Cokro-lah
saya bertemu dengan Dr. Tjipto Mangungkusumo, di rumahnya pak Cokro-lah saya
bertemu dengan Surjadi Surjaningrat, yang kemudian yang bernama Ki Hadjar
Dewantara, di rumahnya pak Cokro-lah saya bertemu dengan Dr. E.F.E Douwes
Dekker, yang kemudian bernama Dr. Setiabudi. Di rumahnya Cokroaminoto itulah
saya mendapat bibir nasakom yang pertama. Di rumah Cokroaminoto itulah
saudara-saudara, saya mendapat ajaran-ajaran pertama, bagaimana menggerakkan
massa. Ya orang berkata, bung Karno kalau sudah berpidato itu, sudah, wah
sudahlah, plek, persis Cokro. Saya kira tidak. Cokro adalah agitator, redenaari
yang lebih hebat daripada saya. Tapi saya mengikuti banyak saya belajar dari
pak Cokro itu, dan banyak saya belajar dari pak Cokro tentang isi, isi
pidato-pidato yang aku berikan kepada massa.
Pendek
kata saudara-saudara, jikalau sekarang Partai Sarekat Islam Indonesia mengadakan
perayaan 53 tahun usianya, saya yang pertama berkata, alhamdulillah, saya punya
ucapan selamat. Dan sebagai dikatakan oleh Bandrio tadi itu, majulah terus,
pantang mundur, ever onward, never retreat!
Terima
kasih.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar