Ada
propaganda imperialis dan orang-orang pemerintah yang mengatakan, bahwa
aksi-aksi kaum buruh yang menuntut kenaikan upah adalah merugikan kepentingan
nasional dan kepentingan umum, karena kenaikan upahlah yang menyebabkan naiknya
harga barang dan yang menyebabkan inflasi. Dengan alasan ini pula orang-orang
pemerintah dan majikan-majikan imperialis menuduh gerakan kaum buruh untuk
kenaikan upah sebagai gerakan a-nasional, a-sosial, dan menuduh bahwa aksi-aksi
kaum buruh untuk kenaikan upah sebagai aksi-aksi untuk mencapai tujuan politik "yang
tertentu". Ya, mereka juga menuduh bahwa aksi-aksi kaum buruh menuntut
kenaikan upah serupiah atau dua rupiah sehari, atau kenaikan upah sepuluh atau
duapuluh rupiah sebulan, sebagai "aksi politik", sebagai aksi
"untuk merobohkan negara", sebagai aksi untuk mengadakan "coup
d'etat". Tetapi mereka tidak banyak bicara, jika bermilyar-milyar dollar
diangkut keluar negeri oleh majikan-majikan imperialis sebagai keuntungan luar
biasa dari mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga Rakyat Indonesia. Mereka tidak
berteriak-teriak bahwa keuntungan-keuntungan yang bermilyar-milyar inilah yang
menyebabkan kenaikan harga barang dan yang menyebabkan inflasi. Tidak, malahan
mereka bergiat untuk membikin berbagai Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan
guna memberi kedudukan lebih kuat pada modal besar asing di Indonesia.
Propaganda
yang menyesatkan ini juga harus kita telanjangi dan kuliti. Kita harus
terangkan, bahwa justru untuk kepentingan nasional dan kepentingan umum, justru
untuk menciptakan syarat-syarat kemakmuran bagi umum, justru untuk itulah kaum
buruh menuntut kenaikan upah. Hanya kaum buruh yang upahnya banyak bisa
mengeluarkan uang banyak untuk membeli kebutuhan-kebutuhannya, dan ini berarti
menghidupkan sektor-sektor lain dari masyarakat (pemilik warung, pemilik toko),
pemilik restoran, tukang pakaian, toko buku, sekolah-sekolah, pemilik bioskop,
dokter, advokat, dsb.). Jika upah buruh sangat merosot, maka sektor-sektor lain
dari masyarakat juga akan mengalami keambrukan. Maka itu, soal pentingnya kenaikan
upah buruh tidak hanya penting untuk kaum buruh, tetapi juga penting untuk
seluruh masyarakat.
Apakah
kenaikan upah buruh mesti berakibat kenaikan harga barang dan inflasi? Sama
sekali tidak. Kita harus terangkan, bahwa kenaikan upah sama sekali tidak mesti berakibat naiknya
harga barang dan inflasi. Pokoknya
asal pemerintah suka menekan modal besar asing, agar sebagian keuntungan yang
bermilyar-milyar itu bisa digunakan untuk menaikkan upah kaum buruh. Seandainya
50% saja dari keuntungan yang bermilyar-milyar itu digunakan untuk kenaikan
upah buruh, maka ia pasti akan memperbesar kekuatan-membeli dari kaum buruh dan
ini akan membawa kegembiraan bekerja pada kaum buruh. Kegembiraan bekerja ini
akan mempertinggi prestasi kerja, yang berarti mempertinggi produksi, dan
seluruh masyarakat akan untung olehnya. Masyarakat tidak akan mengalami
kenaikan harga dan tidak akan hidup dalam cengkeraman inflasi seperti sekarang.
Dengan mengambil 50%
dari
keuntungan modal besar
asing
sama sekali tidak menambah jumlah uang yang beredar. Kantor cetak uang kertas
tidak perlu kerja ekstra untuk mencetak lebih banyak uang. Dengan demikian uang
yang ada tidak perlu mengalami nasib uang Jepang, dimana untuk membeli sedikit
barang harus membawa uang ber-kantong-kantong. Singkatnya apa yang dinamakan
inflasi, yaitu keadaan dimana uang terlalu banyak beredar, jika dibanding
dengan barang yang tersedia, tidak perlu dialami oleh Rakyat Indonesia. Secara sewajarnya, karena ada
kegembiraan bekerja kaum buruh akan memperbesar produksi, harga barang akan
menjadi
turun
untuk keuntungan seluruh masyarakat. Negarapun akan mendapat keuntungan, karena
50% dari keuntungan modal besar asing pasti tidak diangkut keluar negeri,
tetapi digunakan di dalam negeri sendiri. Ini hanya satu contoh saja yang
menunjukkan, bahwa suatu pemerintah yang bukan pemerintah Demokrasi Rakyat,
tetapi yang sedikit progresif, bisa meringankan sekedar beban Rakyat yang
dengan mengurangi keuntungan modal besar asing. Tetapi ini belum berarti
pemecahan yang sempurna untuk perbaikan yang stabil atas nasib rakyat dan untuk
melikwidasi sama sekali kekuasaan imperialis di Indonesia.
Jadi
jelaslah, bahwa tidak adil sekali, dan jahat sekali, jika soal kenaikan harga
barang dan inflasi mau ditimpakan tanggung jawabnya pada kaum buruh yang
menuntut kenaikan upah serupiah atau dua rupiah. Kenapa beberapa rupiah di
tangan si Amat dan si Ali bisa menyebabkan kenaikan harga barang dan inflasi,
sedangkan bermilyar-milyar dividend yang dibagikan oleh modal besar asing tidak
dibikin ribut sebagai sumber kenaikan harga barang dan inflasi?
Ada
lagi taktik pemerintah dan majikan imperialis untuk tidak membenarkan kaum
buruh menuntut kenaikan upah. Mereka seolah-olah dokter yang pintar dan
memberikan obat pada kaum buruh berupa: janji penurunan harga. Secara prinsipil kaum buruh
menyetujui penurunan harga. Bagi kaum buruh tidak ada bedanya, apakah upah
mereka naik 100% atau harga barang turun 50%. Dalam dua hal ini bukankah kaum
buruh bisa membeli barang dua kali lebih banyak? Kalau kaum buruh bisa membeli
barang lebih banyak dengan upah Rp. 100,- jika dibanding dengan upah Rp. 150,-
kaum buruh akan memilih yang Rp. 100,-. Tetapi siapakah yang prinsipil
menentang penurunan harga barang? Ialah kaum majikan sendiri, sehingga
tiap-tiap janji pemerintah untuk menurunkan harga barang menjadi omong kosong
belaka. Oleh karena itu, usaha pemerintah untuk mengadakan rikhtprijs (harga
ancer-ancer) terhadap beberapa macam barang tidak akan ada hasilnya, karena
harga ancer-ancer itu sendiri berada di luar kemampuan membeli dari Rakyat.
Dengan demikian, pada hakekatnya pemerintah membiarkan harga terus membubung,
tetapi disamping itu, dan ini tidak adilnya, pemerintah terus-menerus menekan
kenaikan upah buruh.
Bagi
kaum buruh adalah sama saja, apakah ia mendapat kenaikan upah atau penurunan
harga barang, asal saja kedua-duanya ini tidak dibebankan kepada kaum buruh dan
Rakyat, tetapi diambilkan dari keuntungan modal besar asing.
Apakah
dengan politik mengontrol keuntungan dan menggunakan sebagian keuntungan modal
besar asing untuk kenaikan upah buruh akan berakibat "larinya modal besar
asing dari Indonesia?" Tidak mesti. Dunia sudah terlalu sempit untuk modal
besar bercokol. Sebagian dari dunia dan sebagian dari umat manusia sudah
membebaskan diri dari sistim kapitalisme. Tetapi seandainya modal besar asing
"lari", sama sekali tidak ada alasan untuk berkecil hati. Hanya
orang-orang yang berpikiran picik dan tidak mempunyai kepercayaan pada kekuatan
nasional sendiri, hanya mereka yang sudah menjalin kepentingannya menjadi satu
dengan kepentingan imperialis, hanya mereka yang akan merasa kehilangan jika
imperialis (modal besar asing) angkat kaki dari Indonesia. Suatu pemerintah
yang progresif segera akan mengambil over perusahaan-perusahaan kepunyaan modal
besar asing itu, segera akan menasionalisasi perusahaan-perusahaan vital itu
guna kemakmuran Rakyat.
Jadi teranglah, bahwa hanya
pikiran kapitalis yang membenarkan "teori" bahwa kenaikan upah mesti
berakibat kenaikan harga barang dan mesti berakibat inflasi. Memang, kenaikan
harga barang yang tidak ada hingganya dan inflasi tidak bisa dipisahkan dengan
sistim kapitalis. Biarpun tidak ada aksi-aksi kaum buruh yang
menuntut kenaikan upah, selama perusahaan-perusahaan vital belum
dinasionalisasi dan tujuan-cari-untung secara kapitalis dari
perusahaan-perusahaan vital itu belum dilenyapkan, kenaikan harga barang dan
inflasi akan terus menjadi penyakit umum dari masyarakat.SUMBER: KEWAJIBAN FRONT PERSATUAN BURUH BAB III
Penerbit
Yayasan “Pembaruan”
Jakarta,
Juli 1952.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar