KAUM INTELEKTUAL DAN SOSIALISME (1910) BAB III

Diposting oleh poentjak harapan on Sabtu, 17 Maret 2012



Pada akhirnya, Adler sendiri tampak tidak puas dengan formulanya yang abstrak dan pada dasarnya idealistik mengenai inter-relasi antara kaum intelektual dan sosialisme. Di dalam propaganda dia sendiri, dia sesungguhnya berbicara bukan kepada kelas pekerja otak yang memenuhi fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat borjuasi, tetapi kepada generasi muda kaum intelektual yang sekarang hanya berada di tahapan persiapan untuk peran mereka di masa depan – yakni kepada para pelajar. Bukti untuk ini bukan hanya dapat ditemukan pada siapa brosur Adler ditujukan: “Kepada Serikat Mahasiswa Bebas di Vienna”, tetapi juga dari nada brosur tersebut, agitasinya yang penuh semangat dan nada ceramahnya. Tidak terpikir untuk bisa mengekspresikan diri sendiri seperti itu di hadapan para profesor, penulis, pengacara, dokter. Nada seperti itu akan langsung tersumbat di tenggorokan seseorang setelah beberapa kata. Oleh karena itu, terbatas oleh kondisi material manusia yang harus dia kerjakan, Adler sendiri membatasi tugasnya. Sang politisi memperbaiki formula teorinya. Pada akhirnya, ini adalah perjuangan untuk mempengaruhi para pelajar.
Universitas adalah tahap akhir pendidikan yang diorganisir oleh negara untuk anak-anak kelas penguasa, seperti halnya barak-barak militer adalah institusi pendidikan akhir untuk generasi muda kaum buruh dan tani. Barak membentuk kepatuhan dan kedisiplinan yang dibutuhkan untuk fungsi-fungsi sosial yang akan dipenuhi selanjutnya. Pada prinsipnya, universitas melatih kemampuan manajemen, kepemimpinan, dan pemerintahan. Dari sudut ini, bahkan kelompok fraternitas mahasiswa Jerman adalah institusi kelas yang penting, karena mereka menciptakan tradisi yang menyatukan para ayah dan anak-anaknya, menguatkan kebanggaan nasional, menanam kebiasaan-kebiasaan yang dibutuhkan di lingkungan borjuis, dan, akhirnya, meninggalkan sebuah cap yang menandakan bahwa seseorang adalah bagian dari kelas penguasa. Orang-orang yang melalui barak-barak, tentu saja, jauh lebih penting bagi partai Adler dibandingkan mereka yang melalui universitas. Tetapi pada situasi sejarah tertentu – yakni ketika, dengan perkembangan industri yang pesat, tentara memiliki komposisi sosial dari kelas proletar seperti halnya di Jerman – partai dapat mengatakan: “Saya tidak perlu pergi ke barak-barak. Cukup bagi saya untuk mengantarkan sang buruh muda sejauh pintu barak dan yang paling penting adalah menemui dia saat dia keluar lagi. Dia tidak akan meninggalkan saya, dia akan tetap menjadi milik saya.” Tetapi dalam hal universitas, bila partai ingin melakukan perjuangan independen untuk merekrut kaum intelektual, dia harus mengatakan yang sebaliknya: “Hanya disini dan hanya sekarang, ketika sang pemuda bebas dari keluarganya, dan ketika dia belum menjadi sandera dari posisinya di dalam masyarakat, saya dapat merekrut dia ke dalam kelompok kita. Sekarang atau tidak sama sekali.”
Di antara kaum buruh, perbedaan antara “ayah” dan “anak” secara murni hanya perbedaan umur. Di antara kaum intelektual perbedaannya bukan hanya perbedaan umur tetapi juga perbedaan sosial. Kaum pelajar, tidak seperti kaum buruh muda dan ayahnya sendiri, tidak memenuhi fungsi sosial apapun, tidak merasakan ketergantungan langsung kepada kapital atau negara, dan – setidaknya secara objektif bila bukan subjektif – bebas di dalam penilaiannya akan apa yang benar dan salah. Di dalam periode ini semua yang ada di dalam dirinya sedang berkembang, prasangka kelasnya tidak terbentuk seperti halnya juga ketertarikan ideologinya, masalah hati nurani sangat penting baginya, untuk pertama kalinya pikirannya terbuka pada generalisasi ilmu pengetahuan yang agung, segala sesuatu yang luar biasa hampir menjadi sebuah kebutuhan psikologi baginya. Bila kolektivisme dapat menguasai pikirannya, sekaranglah saatnya, dan kolektivisme dapat melakukan ini melalui karakter ilmiahnya yang luhur yang menjadi basisnya dan isi kebudayaan yang komprehensif dari tujuan-tujuannya, dan bukan melalui masalah “pisau dan garpu” (baca masalah perut – ed.) yang membosankan. Di poin terakhir ini Adler sungguh benar.
Tetapi disini juga kita sekali lagi harus berhenti di hadapan sebuah fakta yang jelas. Bukan hanya kaum intelektual Eropa secara keseluruhan tetapi juga anak-anaknya, sang pelajar, yang secara pasti tidak menunjukkan ketertarikan apapun terhadap sosialisme. Ada sebuah tembok di antara partai buruh dan kaum pelajar. Mencoba menjelaskan masalah ini hanya dengan alasan tidak cukupnya kerja agitasi, yang belum mampu mendekati kaum intelektual dari sudut yang tepat, yakni apa yang Adler coba jelaskan, berarti mengabaikan seluruh sejarah hubungan antara kaum pelajar dan “rakyat”. Ini berarti melihat kaum pelajar sebagai sebuah kategori intelektual dan moral dan bukan sebagai sebuah produk dari sejarah sosial. Benar, ketergantungan mereka pada masyarakat borjuasi hanya mempengaruhi mereka secara tidak langsung, melalui keluarga mereka, dan oleh karena itu ketergantungan ini lemah. Tetapi, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan kelas darimana kaum pelajar ini berasal tercerminkan di dalam perasaan dan opini kaum pelajar dengan kekuatan yang penuh, seperti sebuah resonator. Sepanjang seluruh sejarah – di dalam momen-momen heroiknya yang paling hebat dan juga di dalam periode kebangkrutan moral total – kaum pelajar Eropa telah menjadi barometer kelas borjuis yang sensitif. Mereka menjadi ultra-revolusioner, dengan tulus hati dan terhormat bergaul dengan rakyat, ketika masyarakat borjuis tidak ada jalan keluar kecuali dengan revolusi. Mereka secara de facto menjadi kekuatan demokrasi borjuis ketika kebangkrutan politik kelas borjuis mencegah mereka [kelas borjuis] untuk memimpin revolusi, seperti yang terjadi di Vienna pada tahun 1848. Tetapi mereka [kaum pelajar] juga menembaki kaum buruh pada bulan Juni pada tahun yang sama, di Paris, ketika kaum borjuis dan kaum buruh saling berhadapan di barikade yang berseberangan. Setelah peperangan Bismark telah menyatukan Jerman dan memenuhi keinginan kelas borjuis, kaum pelajar Jerman dengan cepat menjadi figur yang mabuk dengan bir dan penuh dengan kesombongan, yang bersama-sama dengan pejabat militer Prusia selalu muncul di koran-koran satiris. Di Austria, para pelajar menjadi pembela eksklusifitas nasional dan sovisnisme[1] militan, seiring dengan menajamnya konflik antara nasionalitas-nasionalitas yang berbeda di negara tersebut untuk menguasai pemerintah. Dan tidak diragukan bahwa di dalam semua transformasi sejarah ini, bahkan yang paling menjijikkan sekalipun, kaum pelajar menunjukkan ketajaman politik, dan kesiapan untuk berkorban, dan idealisme yang militan; kualitas-kualitas yang sangat diandalkan oleh Adler. Walaupun kaum filistin[2] berumur 30 atau 40 tidak akan mengambil resiko mengorbankannya wajahnya untuk diremukan demi “kehormatan” yang abstrak, anaknya akan melakukan itu, dengan semangat yang tinggi. Para pelajar Ukraina dan Polandia di Universitas Lvov baru-baru ini menunjukkan sekali lagi kepada kita bahwa mereka bukan hanya tahu bagaimana memimpin tendensi nasional atau politik sampai garis akhir tetapi juga tahu bagaimana menyongsongkan dada mereka di depan moncong senjata. Tahun lalu para pelajar German di Prague siap menghadapi kekerasan massa untuk menunjukkan di jalanan hak mereka untuk eksis sebagai sebuah masyarakat Jerman. Disini kita saksikan idealisme militan – kadang-kadang seperti ayam jago – yang merupakan karakteristik bukan dari sebuah kelas atau sebuah ide tetapi dari sebuah kelompok-umur; di pihak yang lain, isi politik dari idealisme ini sepenuhnya ditentukan oleh semangat historis kelas-kelas darimana para pelajar tersebut berasal dan kemana dia akan kembali. Dan ini alami dan tidak terelakkan.
Pada analisa yang terakhir, semua kelas yang kaya mengirim anak mereka ke universitas dan bila para pelajar ini, ketika ada di universitas, menjadi sebuah tabula rasa (kertas kosong – Ed.) dimana sosialisme dapat menulis pesannya, apa jadinya keturunan kelas dan determinisme sejarah yang tua dan malang ini?


1.       Sovinisme: nasionalisme sempit.
2.       Filistin adalah seseorang yang tidak tertarik dengan persoalan intelektual.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar