Pada akhirnya, Adler sendiri tampak tidak
puas dengan formulanya yang abstrak dan pada dasarnya idealistik mengenai
inter-relasi antara kaum intelektual dan sosialisme. Di dalam propaganda dia
sendiri, dia sesungguhnya berbicara bukan kepada kelas pekerja otak yang
memenuhi fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat borjuasi, tetapi kepada
generasi muda kaum intelektual yang sekarang hanya berada di tahapan persiapan
untuk peran mereka di masa depan – yakni kepada para pelajar. Bukti untuk ini
bukan hanya dapat ditemukan pada siapa brosur Adler ditujukan: “Kepada Serikat
Mahasiswa Bebas di Vienna”, tetapi juga dari nada brosur tersebut, agitasinya
yang penuh semangat dan nada ceramahnya. Tidak terpikir untuk bisa
mengekspresikan diri sendiri seperti itu di hadapan para profesor, penulis,
pengacara, dokter. Nada seperti itu akan langsung tersumbat di tenggorokan seseorang
setelah beberapa kata. Oleh karena itu, terbatas oleh kondisi material manusia
yang harus dia kerjakan, Adler sendiri membatasi tugasnya. Sang politisi
memperbaiki formula teorinya. Pada akhirnya, ini adalah perjuangan untuk
mempengaruhi para pelajar.
Universitas adalah tahap akhir pendidikan yang diorganisir
oleh negara untuk anak-anak kelas penguasa, seperti halnya barak-barak militer
adalah institusi pendidikan akhir untuk generasi muda kaum buruh dan tani.
Barak membentuk kepatuhan dan kedisiplinan yang dibutuhkan untuk fungsi-fungsi
sosial yang akan dipenuhi selanjutnya. Pada prinsipnya, universitas melatih
kemampuan manajemen, kepemimpinan, dan pemerintahan. Dari sudut ini, bahkan
kelompok fraternitas mahasiswa Jerman adalah institusi kelas yang penting,
karena mereka menciptakan tradisi yang menyatukan para ayah dan anak-anaknya,
menguatkan kebanggaan nasional, menanam kebiasaan-kebiasaan yang dibutuhkan di
lingkungan borjuis, dan, akhirnya, meninggalkan sebuah cap yang menandakan
bahwa seseorang adalah bagian dari kelas penguasa. Orang-orang yang melalui
barak-barak, tentu saja, jauh lebih penting bagi partai Adler dibandingkan
mereka yang melalui universitas. Tetapi pada situasi sejarah tertentu – yakni
ketika, dengan perkembangan industri yang pesat, tentara memiliki komposisi
sosial dari kelas proletar seperti halnya di Jerman – partai dapat mengatakan:
“Saya tidak perlu pergi ke barak-barak. Cukup bagi saya untuk mengantarkan sang
buruh muda sejauh pintu barak dan yang paling penting adalah menemui dia saat
dia keluar lagi. Dia tidak akan meninggalkan saya, dia akan tetap menjadi milik
saya.” Tetapi dalam hal universitas, bila partai ingin melakukan perjuangan
independen untuk merekrut kaum intelektual, dia harus mengatakan yang
sebaliknya: “Hanya disini dan hanya sekarang, ketika sang pemuda bebas dari
keluarganya, dan ketika dia belum menjadi sandera dari posisinya di dalam
masyarakat, saya dapat merekrut dia ke dalam kelompok kita. Sekarang atau tidak
sama sekali.”
Di antara kaum buruh, perbedaan antara “ayah” dan “anak”
secara murni hanya perbedaan umur. Di antara kaum intelektual perbedaannya
bukan hanya perbedaan umur tetapi juga perbedaan sosial. Kaum pelajar, tidak
seperti kaum buruh muda dan ayahnya sendiri, tidak memenuhi fungsi sosial apapun,
tidak merasakan ketergantungan langsung kepada kapital atau negara, dan –
setidaknya secara objektif bila bukan subjektif – bebas di dalam penilaiannya
akan apa yang benar dan salah. Di dalam periode ini semua yang ada di dalam
dirinya sedang berkembang, prasangka kelasnya tidak terbentuk seperti halnya
juga ketertarikan ideologinya, masalah hati nurani sangat penting baginya,
untuk pertama kalinya pikirannya terbuka pada generalisasi ilmu pengetahuan
yang agung, segala sesuatu yang luar biasa hampir menjadi sebuah kebutuhan
psikologi baginya. Bila kolektivisme dapat menguasai pikirannya, sekaranglah
saatnya, dan kolektivisme dapat melakukan ini melalui karakter ilmiahnya yang
luhur yang menjadi basisnya dan isi kebudayaan yang komprehensif dari tujuan-tujuannya,
dan bukan melalui masalah “pisau dan garpu” (baca masalah perut – ed.) yang
membosankan. Di poin terakhir ini Adler sungguh benar.
Tetapi disini juga kita sekali lagi harus berhenti di hadapan
sebuah fakta yang jelas. Bukan hanya kaum intelektual Eropa secara keseluruhan
tetapi juga anak-anaknya, sang pelajar, yang secara pasti tidak menunjukkan
ketertarikan apapun terhadap sosialisme. Ada sebuah tembok di antara partai
buruh dan kaum pelajar. Mencoba menjelaskan masalah ini hanya dengan alasan tidak
cukupnya kerja agitasi, yang belum mampu mendekati kaum intelektual dari sudut
yang tepat, yakni apa yang Adler coba jelaskan, berarti mengabaikan seluruh
sejarah hubungan antara kaum pelajar dan “rakyat”. Ini berarti melihat kaum
pelajar sebagai sebuah kategori intelektual dan moral dan bukan sebagai sebuah
produk dari sejarah sosial. Benar, ketergantungan mereka pada masyarakat
borjuasi hanya mempengaruhi mereka secara tidak langsung, melalui keluarga
mereka, dan oleh karena itu ketergantungan ini lemah. Tetapi,
kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan kelas darimana kaum pelajar ini
berasal tercerminkan di dalam perasaan dan opini kaum pelajar dengan kekuatan
yang penuh, seperti sebuah resonator. Sepanjang seluruh sejarah – di dalam
momen-momen heroiknya yang paling hebat dan juga di dalam periode kebangkrutan
moral total – kaum pelajar Eropa telah menjadi barometer kelas borjuis yang
sensitif. Mereka menjadi ultra-revolusioner, dengan tulus hati dan terhormat
bergaul dengan rakyat, ketika masyarakat borjuis tidak ada jalan keluar kecuali
dengan revolusi. Mereka secara de facto menjadi kekuatan demokrasi borjuis
ketika kebangkrutan politik kelas borjuis mencegah mereka [kelas borjuis] untuk
memimpin revolusi, seperti yang terjadi di Vienna pada tahun 1848. Tetapi
mereka [kaum pelajar] juga menembaki kaum buruh pada bulan Juni pada tahun yang
sama, di Paris, ketika kaum borjuis dan kaum buruh saling berhadapan di
barikade yang berseberangan. Setelah peperangan Bismark telah menyatukan Jerman
dan memenuhi keinginan kelas borjuis, kaum pelajar Jerman dengan cepat menjadi
figur yang mabuk dengan bir dan penuh dengan kesombongan, yang bersama-sama
dengan pejabat militer Prusia selalu muncul di koran-koran satiris. Di Austria,
para pelajar menjadi pembela eksklusifitas nasional dan sovisnisme[1]
militan, seiring dengan menajamnya konflik antara nasionalitas-nasionalitas
yang berbeda di negara tersebut untuk menguasai pemerintah. Dan tidak diragukan
bahwa di dalam semua transformasi sejarah ini, bahkan yang paling menjijikkan
sekalipun, kaum pelajar menunjukkan ketajaman politik, dan kesiapan untuk
berkorban, dan idealisme yang militan; kualitas-kualitas yang sangat diandalkan
oleh Adler. Walaupun kaum filistin[2]
berumur 30 atau 40 tidak akan mengambil resiko mengorbankannya wajahnya untuk
diremukan demi “kehormatan” yang abstrak, anaknya akan melakukan itu, dengan
semangat yang tinggi. Para pelajar Ukraina dan Polandia di Universitas Lvov
baru-baru ini menunjukkan sekali lagi kepada kita bahwa mereka bukan hanya tahu
bagaimana memimpin tendensi nasional atau politik sampai garis akhir tetapi
juga tahu bagaimana menyongsongkan dada mereka di depan moncong senjata. Tahun
lalu para pelajar German di Prague siap menghadapi kekerasan massa untuk
menunjukkan di jalanan hak mereka untuk eksis sebagai sebuah masyarakat Jerman.
Disini kita saksikan idealisme militan – kadang-kadang seperti ayam jago – yang
merupakan karakteristik bukan dari sebuah kelas atau sebuah ide tetapi dari
sebuah kelompok-umur; di pihak yang lain, isi politik dari idealisme ini
sepenuhnya ditentukan oleh semangat historis kelas-kelas darimana para pelajar
tersebut berasal dan kemana dia akan kembali. Dan ini alami dan tidak
terelakkan.
Pada analisa yang terakhir, semua kelas yang kaya mengirim anak
mereka ke universitas dan bila para pelajar ini, ketika ada di universitas,
menjadi sebuah tabula rasa (kertas kosong – Ed.) dimana sosialisme
dapat menulis pesannya, apa jadinya keturunan kelas dan determinisme sejarah
yang tua dan malang ini?
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar