Sepuluh tahun yang lalu, atau bahkan enam
atau tujuh tahun yang lalu, para pembela pemikiran sosiologi Rusia yang subjektif
(yakni kaum “Sosialis Revolusioner[1]”)
mungkin telah berhasil menggunakan brosur terbaru dari ahli filosofi dari
Austria, Max Adler[2],
untuk kepentingan mereka. Akan tetapi, selama lima atau enam tahun terakhir,
kita telah melalui “pemikiran sosiologi” yang cermat dan objektif, dan
pelajaran-pelajarannya tertulis pada tubuh kita di bekas-bekas luka yang
sangatlah ekspresif, dimana contoh yang paling baik dari kaum intelektual,
bahkan yang datang dari pena “Marxis” Max Adler, tidak akan bisa membantu
subjektivisme Rusia. Sebaliknya, nasib dari kaum subjektivis Rusia adalah
sebuah argumen yang paling serius terhadap gagasan-gagasan dan
kesimpulan-kesimpulan Max Adler.
Subyek dari brosur ini adalah hubungan antara kaum
intelektual dan sosialisme. Bagi Adler, ini bukan hanya sebuah masalah analisa
teori tetapi juga masalah hati nurani. Ia ingin meyakinkan orang-orang. Brosur
Adler, yang berdasarkan pidato yang dia berikan pada kaum pelajar sosialis,
dipenuhi dengan keyakinan yang kuat. Semangat untuk merubah keyakinan seseorang
memenuhi brosur kecil ini, dan ini memberikannya sebuah nuansa yang spesial
pada ide-ide yang tidak baru ini. Untuk memenangkan kaum intelektual ke idenya,
untuk meraih dukungan mereka dengan cara apapun, hasrat politik tersebut benar-benar
menutupi analisa sosial di dalam brosur Adler. Dan ini memberikannya sebuah
nada yang partikular, dan merupakan kelemahannya.
Apa itu kaum intelektual? Tentu saja Adler memberikan konsep
ini bukan sebuah definisi moral tetapi sebuah definisi sosial: kaum intelektual
bukanlah sebuah kelompok yang terikat oleh sebuah hukum sejarah, tetapi sebuah
strata sosial yang meliputi semua pekerjaan “otak”. Bagaimanapun sulitnya untuk
menarik garis demarkasi antara kerja “manual” dan “otak”, ciri-ciri sosial umum
dari kaum intelektual cukup jelas, tanpa perlu menuju ke detil-detil. Kaum
intelektual adalah sebuah kelas tersendiri – Adler menyebut mereka sebuah
kelompok inter-kelas [yang dimaksud disini adalah sebuah kelompok yang tidak terikat
pada satu kelas saja – ed.], tetapi pada esensinya tidak ada perbedaan – yang
eksis di dalam kerangka masyarakat borjuasi. Dan bagi Adler pertanyaannya
adalah: siapa yang memiliki hak untuk memiliki jiwa dari kelas ini? Apa
ideologi yang menjadi dasarnya, sebagai hasil dari fungsi sosialnya? Adler
menjawab: ideologi kolektivisme. Adler tidak menutupi matanya dari kenyataan
bahwa kaum intelektual Eropa, selama mereka tidak menentang ide kolektivisme,
berdiri mengambang jauh dari kehidupan dan perjuangan rakyat pekerja, tidak panas
dan tidak dingin. Tetapi semua tidak harus seperti itu, kata Alder, tidak ada
basis objektif yang cukup untuk itu. Adler secara pasti menentang kaum Marxis
yang menyangkal keberadaan kondisi-kondisi umum yang dapat menyebabkan sebuah
gerakan massa kaum intelektual menuju sosialisme.
Dia menyatakan di pembukaannya “Ada faktor-faktor yang
memadai – walaupun bukan faktor ekonomi secara murni, tetapi dari lingkupan
yang lain – yang dapat mempengaruhi seluruh massa kaum intelektual, bahkan
terlepas dari situasi kehidupan kaum proletar, faktor-faktor yang dapat menjadi
motif yang cukup bagi mereka untuk bergabung dengan gerakan buruh sosialis.
Kaum intelektual hanya perlu dibuat sadar akan sifat dasar utama dari gerakan
ini dan posisi sosial mereka.” Apa faktor-faktor ini? Adler mengatakan, “Karena
kesakralan, dan terutama, peluang untuk perkembangan kepentingan spiritual yang
bebas adalah kondisi kehidupan kaum intelektual yang utama, oleh karena itu
kepentingan intelektual adalah sama dengan kepentingan ekonomi. Maka, bila
basis bagi kaum intelektual untuk bergabung dengan gerakan sosialis harus
dicari di luar lingkupan ekonomi, ini adalah karena persyaratan eksistensi
ideologi tertentu untuk kerja mental daripada isi kebudayaan sosialisme”.
Terlepas dari karakter kelas seluruh gerakan (toh, gerakan hanyalah sebuah
jalan!), terlepas dari gambaran partai-politik sehari-hari (toh, partai politik
hanyalah sebuah alat!), sosialisme pada dasarnya, sebagai sebuah ide sosial
yang universal, berarti pembebasan semua bentuk kerja otak dari segala macam
belenggu dan batasan sejarah. Premis ini, visi ini, menyediakan jembatan
ideologi dimana kaum intelektual Eropa dapat dan harus lewati untuk menuju ke
kamp Sosial Demokrasi[3].
Ini adalah titik pandang Adler yang utama, yang merupakan isi
dari seluruh brosurnya. Kekeliruan utamanya, yang segera mencuat ke mata kita,
adalah karakternya yang non-historis. Dasar sosial bagi kaum
intelektual untuk memasuki kamp kolektivisme yang digunakan oleh Adler sudah
ada sejak dulu; akan tetapi tidak ada sama sekali gerakan massa intelektual
menuju Sosial Demokrasi di negara Eropa manapun. Tentu saja Adler tahu hal ini
seperti juga kita. Tetapi dia cenderung melihat terasingnya kaum intelektual dari
gerakan kelas pekerja adalah karena kaum intelektual tidak memahami
sosialisme. Pada satu pihak ini benar. Tetapi bila begitu apa penjelasan untuk
ketidakpahaman ini, yang eksis bersama-sama dengan pemahaman mereka akan
hal-hal yang lebih kompleks? Jelas, ini bukan karena kelemahan logika ideologis
mereka, tetapi karena kekuatan elemen-elemen irasional di dalam psikologi kelas
mereka. Adler sendiri berbicara mengenai ini di dalam babnya BĂĽrgerliche
Schranken des Verständnisses (Batas Pemahaman Kaum Borjuis), yang
merupakan salah satu bab terbaik di dalam brosur tersebut. Tetapi dia berpikir,
dia berharap, dia yakin – dan disini sang teoritis menjadi pengkhotbah – bahwa
Sosial Demokrasi Eropa akan bisa menghancurkan elemen-elemen irasional di dalam
mentalitas pekerja-otak bila saja Sosial Demokrasi merekonstrusi logika
hubungannya dengan mereka [baca kaum intelektual – Ed.]. Kaum intelektual tidak
memahami sosialisme karena sosialisme dari hari-ke-hari tampak bagi mereka ada
dalam bentuk rutinnya sebagai sebuah partai politik, seperti yang lainya.
Tetapi bila kaum intelektual bisa ditunjukkan wajah sosialisme yang
sesungguhnya, sebagai sebuah gerakan kebudayaan sedunia, mereka pasti akan bisa
melihat harapan dan aspirasi mereka yang terbaik. Begitulah pikir Adler.
Kita sudah sampai sejauh ini tanpa memeriksa apakah benar
persyaratan kebudayaan murni (perkembangan teknik, ilmu pengetahuan, kesenian)
jauh lebih kuat, sepanjang kaum intelektual disangkutkan, daripada pengaruh
kelas dari keluarga, sekolah, gereja, dan negara, atau kepentingan material.
Dan bahkan bila kita menerima ini sebagai argumen, bila kita setuju untuk
melihat bahwa kaum intelektual adalah pendeta kebudayaan yang sampai sekarang
hanya gagal melihat bahwa penumbangan rejim borjuis dengan sosialisme adalah
cara terbaik untuk melayani kepentingan kebudayaan, pertanyaan yang utama tetap
adalah: dapatkah Sosial Demokrasi Eropa Barat menawarkan kaum intelektual,
secara teori dan moral, sesuatu yang lebih meyakinkan atau lebih menarik
daripada apa yang sudah ditawarkan sampai sekarang?
Kolektivisme sudah memenuhi dunia dengan suara perjuangannya
selama berpuluh-puluh tahun. Selama periode ini jutaan buruh telah bersatu di
dalam organisasi politik, serikat buruh, koperasi, organisasi pendidikan, dan organisasi-organisasi
lainnya. Seluruh kelas telah bangkit dari dasar kehidupan dan memaksa masuk ke
dalam politik, yang sampai sekarang dianggap sebagai hak tunggal dari kelas
yang berada. Setiap hari, koran-koran sosialis – koran teori, politik, serikat buruh
– mengevaluasi ulang semua nilai-nilai borjuis dari sudut pandang sebuah
masyarakat yang baru. Tidak ada satupun masalah mengenai kehidupan sosial dan
kebudayaan (perkawinan, keluarga, sekolah, gereja, tentara, patriotisme,
kebersihan sosial, prostitusi) yang tidak dipertentangkan dengan nilai-nilai
sosialisme. Sosialisme berbicara dalam semua bahasa kemanusiaan yang berbudaya.
Di dalam gerakan sosialis ini, orang-orang dengan pemikiran yang berbeda-beda
dan bermacam temperamen, dengan masa lalu, hubungan sosial, dan kebiasaan hidup
yang berbeda-beda, mereka semua saling bekerja dan saling berseteru. Dan bila
kaum intelektual tetap “tidak memahami” sosialisme, bila semua ini tidak cukup
untuk membuat mereka, mendorong mereka untuk mengerti pentingnya gerakan
sedunia ini secara historis dan kultural, maka bukankah kita harus menarik
kesimpulan bahwa alasan dari ketidakpahaman ini sangatlah mendasar dan
usaha-usaha untuk mengatasi ini dengan teori dan tulisan adalah tidak berguna
sama sekali?
Gagasan ini menonjol bahkan lebih jelas bila kita melihat
sejarah. Influks kaum intelektual yang terbesar ke dalam gerakan sosialis – dan
ini benar di seluruh negara Eropa – terjadi di periode awal dari keberadaan
partai pekerja, ketika partai tersebut masih muda. Gelombang influks pertama
ini membawa ahli-ahli teori dan politisi yang paling terkemuka ke dalam
Internasionale Kedua[4].
Semakin Sosial Demokrasi Eropa tumbuh besar, semakin banyak rakyat pekerja yang
bergabung, dan semakin lemah (bukan hanya secara relatif tetapi juga secara
absolut) influks elemen-elemen baru dari kaum intelektual. Koran Leipziger
Volkszeitung lama mencari dengan sia sia, melalui iklan koran, seorang
pekerja editor dengan pendidikan universitas. Disini kita terpaksa
menerima sebuah kesimpulan, sebuah kesimpulan yang bertentangan dengan Adler:
semakin sosialisme menampakkan isinya secara tegas, semakin mudah bagi setiap
orang untuk memahami tugas sosialisme di dalam sejarah, dan semakin kecut kaum
intelektual terhadap sosialisme. Walaupun ini bukan berarti mereka takut akan
sosialisme sendiri; jelas kalau di negara-negara kapitalis Eropa telah terjadi
perubahan-perubahan sosial yang dalam yang menghalangi pergaulan antara
orang-orang universitas dengan buruh, pada saat yang sama dimana perubahan-perubahan
sosial tersebut telah memfasilitasi masuknya buruh ke dalam gerakan sosialis.
Apa perubahan-perubahan tersebut? Individu-individu,
kelompok-kelompok, dan strata kaum proletar yang paling cerdas telah bergabung
dan sedang bergabung ke Sosial Demokrasi. Pertumbuhan dan konsentrasi industri
dan transportasi hanya mempercepat proses ini. Sebuah proses yang sepenuhnya
berbeda sedang terjadi di dalam kelompok intelektual. Perkembangan kapitalisme
yang besar dalam dua dekade terakhir sudah mengikis lapisan atas dari kelas
ini. Kekuatan intelektual yang paling cakap, yakni mereka yang memiliki
inisiatif dan kreatifitas, telah dihisap oleh industri kapitalis, oleh
sindikat-sindikat, perusahaan-perusahaan rel dan perbankan, yang membayar
mereka gaji yang sangat besar untuk mengorganisasi rejim mereka. Hanya kaum
intelektual kacangan yang tersisa untuk pelayanan negara dan kantor-kantor
pemerintah; dan editor-editor koran dari semua tendensi mengeluh mengenai
kekurangan “orang”. Dan perwakilan dari kaum intelektual semi-proletar yang
jumlahnya semakin meningkat, mereka tidak dapat lari dari kehidupan yang
selamanya tergantung pada orang lain dan secara material tidak aman. Bagi
mereka, yang melakukan fungsi yang tidak lengkap dan rendah mutunya di dalam mekanisme
kebudayaan yang besar, daya tarik kebudayaan yang diajukan oleh Adler tidak
cukup kuat dengan sendirinya untuk mengarahkan simpati politik mereka kepada
gerakan sosialis.
Terlebih lagi adalah situasi dimana setiap kaum intelektual
Eropa yang secara psikologi bisa pindah ke kamp kolektivisme tidak memiliki
harapan untuk bisa meraih posisi yang berpengaruh di partai-partai proletar.
Ini adalah satu hal yang penting. Seorang buruh menjadi seorang sosialis
sebagai sebuah bagian dari keseluruhan, bersama-sama dengan kelasnya, dimana
dia tidak punya prospek untuk keluar dari kelasnya. Dia bahkan puas dengan
perasaan persatuan moral dengan rakyatnya, yang membuatnya lebih percaya diri
dan kuat. Akan tetapi kaum intelektual menjadi seorang sosialis sebagai seorang
individu, dengan memutuskan tali pusat kelasnya sebagai seorang individu, dan
secara tak terelakkan berusaha untuk menggunakan pengaruhnya sebagai seorang
individu. Tetapi disinilah dia terbentur oleh rintangan-rintangan – dan seiring
waktu berjalan rintangan ini semakin bertambah besar. Pada permulaan gerakan
Sosial Demokrasi, setiap kaum intelektual yang bergabung ke Sosial Demokrasi,
bahkan bila dia bukan di atas rata-rata, dapat meraih sebuah posisi di gerakan
kelas pekerja. Sekarang setiap pendatang-baru menemukan, di negara-negara Eropa
Barat, struktur demokrasi kelas-pekerja yang kolosal sudah eksis. Ribuan
pemimpin buruh, yang secara otomatis datang dari kelas mereka, membentuk sebuah
aparatus yang solid dimana diatasnya berdiri veteran-veteran aktivis buruh yang
terhormat, yang memiliki otoritas, figur-figur yang telah menjadi sejarah.
Hanya seorang yang memiliki bakat luarbiasa yang dapat berharap untuk meraih
posisi kepemimpinan untuk dirinya – tetapi orang seperti itu, daripada
meloncati jurang menuju sebuah kamp yang asing baginya, dia biasanya akan
mengikuti jalan yang rintangannya paling kecil, yakni bekerja sebagai pelayan
negara atau industri. Selain semua itu, di antara kaum intelektual dan
sosialisme berdiri sebuah tembok, yakni aparatus organisasi Sosial Demokrasi.
Aparatus organisasi ini membuat tidak senang para intelektual yang memiliki
simpati sosialis, karena aparatus ini menuntut disiplin dan sikap menahan-diri;
ini kadang tidak sesuai dengan “oportunisme” mereka, dan juga kadang tidak
sesuai dengan “radikalisme” mereka yang berlebihan, dan ini menakdirkan mereka
ke peran penonton yang ribut yang terombang-ambing antara anarkisme dan
liberalisme-nasional. Simplicissimus[5]
adalah panji ideologi mereka yang tertinggi. Dengan modifikasi yang
berbeda-beda dan dengan kadar yang berbeda-beda, fenomena ini terulang di semua
negara di Eropa. Orang-orang ini, lebih daripada kelompok-kelompok lainnya,
terlalu sombong dan terlalu sinis untuk bisa menerima arti penting kebudayaan
dari sosialisme ke dalam jiwa mereka. Hanya sedikit sekali “kaum ideolog” –
dengan konotasi baik dan buruknya – yang dapat meraih keyakinan sosialisme di
bawah stimulus pemikiran teori murni, dengan, sebagai titik tolak mereka,
tuntutan hukum seperti Anton Menger[6],
atau persyaratan teknik seperti Atlanticus[7].
Tetapi bahkan kasus-kasus seperti ini, seperti yang kita ketahui, biasanya
tidak bergerak terlalu jauh dari gerakan Sosial-Demokrasi, dan perjuangan kelas
proletar di dalam hubungan internalnya dengan sosialisme bagi mereka tetap
merupakan sebuah buku yang terkunci dengan tujuh segel.
1.
Partai
Sosialis Revolusioner (SR) dibentuk pada tahun 1902, mewarisi banyak ide dan
praktek dari Partai Kehendak Rakyat dan Narodniki. Mereka menekankan
bahwa kaum tani adalah kelas yang revolusioner, bukan pekerja kota. Pada tahun
1917, partai SR pecah menjadi SR Kiri dan SR Kanan. SR Kanan mendukung
Pemerintahan Sementara sedangkan SR Kiri beragitasi untuk penggulingannya.
Dengan munculnya pemerintahan Soviet, SR Kiri bergabung dengannya namun SR
Kanan meneruskan taktik teroris mereka dan akhirnya dilarang.
3.
Sebelum
tahun 1914, semua kaum Marxis dan Sosialis menyebut diri mereka sebagai kaum
Sosial Demokrat. Setelah pengkhianatan parta-partai Sosial Demokrasi yang
mendukung Perang Dunia Pertama (tahun 1914), kaum Marxis revolusioner
mencampakkan nama Sosial Demokrasi untuk memisahkan diri mereka dari kaum
reformis.
4.
Internasionale
Kedua - Pada tahun 1880, Partai Sosial Demokrat Jerman mendukung seruan dari
kamerad-kamerad Belgia untuk mengadakan kongres sosialis internasional pada
tahun 1881. Kota kecil bernama Chur dipilih dan kaum sosialis Belgia, Parti
Ouvrier dari Perancis, Sosial Demokrat Jerman dan Sosial Demokrat Swiss
berpartisipasi dalam persiapan kongres yang akhirnya menuju pada pembentukan
Sosialis Internasional atau Internasionale Kedua. Tidak seperti Internasionale
Pertama, Internasionale Kedua terdiri dari partai-partai politik yang memiliki
pemimpin terpilih, program politik dan keanggotaan yang berbasiskan di
negerinya masing-masing. Seksi nasional dari Internasionale Kedua membangun
serikat buruh, terlibat dalam pemilihan umum dan sangat terlibat dalam
kehidupan klas pekerja di negerinya masing-masing. Permulaan Perang Besar pada
tahun 1914 dan krisis nasional dan revolusioner yang disebabkan perang
menyebabkan krisis didalam Internasionale Kedua. Kaum Sosial Demokrat bertemu di
Zimmerwald pada tahun 1915 untuk mencoba membentuk platform oposisi bersama
terhadap pembantaian yang terjadi dalam Perang. Konferensi Zimmerwald gagal
untuk menyatukan kaum Sosial Demokrat ataupun mengakhiri Perang. Namun
konferensi tersebut mampu menyatukan sebuah Sayap Kiri yang mendukung Revolusi
Rusia dan memberikan basis bagi Internasional Ketiga (Komunis Internasional).
Tokoh-tokoh utama dalam gerakan pekerja internasional dalam periode ini adalah:
Karl Kautsky, Rosa Luxemburg, Karl Liebknecht, G V Plekhanov, August Bebel,
Clara Zetkin, Daniel De Leon, Franz Mehring dan V I Lenin.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar