KAUM INTELEKTUAL DAN SOSIALISME (1910), BAB I

Diposting oleh poentjak harapan on Sabtu, 17 Maret 2012



Sepuluh tahun yang lalu, atau bahkan enam atau tujuh tahun yang lalu, para pembela pemikiran sosiologi Rusia yang subjektif (yakni kaum “Sosialis Revolusioner[1]”) mungkin telah berhasil menggunakan brosur terbaru dari ahli filosofi dari Austria, Max Adler[2], untuk kepentingan mereka. Akan tetapi, selama lima atau enam tahun terakhir, kita telah melalui “pemikiran sosiologi” yang cermat dan objektif, dan pelajaran-pelajarannya tertulis pada tubuh kita di bekas-bekas luka yang sangatlah ekspresif, dimana contoh yang paling baik dari kaum intelektual, bahkan yang datang dari pena “Marxis” Max Adler, tidak akan bisa membantu subjektivisme Rusia. Sebaliknya, nasib dari kaum subjektivis Rusia adalah sebuah argumen yang paling serius terhadap gagasan-gagasan dan kesimpulan-kesimpulan Max Adler.
Subyek dari brosur ini adalah hubungan antara kaum intelektual dan sosialisme. Bagi Adler, ini bukan hanya sebuah masalah analisa teori tetapi juga masalah hati nurani. Ia ingin meyakinkan orang-orang. Brosur Adler, yang berdasarkan pidato yang dia berikan pada kaum pelajar sosialis, dipenuhi dengan keyakinan yang kuat. Semangat untuk merubah keyakinan seseorang memenuhi brosur kecil ini, dan ini memberikannya sebuah nuansa yang spesial pada ide-ide yang tidak baru ini. Untuk memenangkan kaum intelektual ke idenya, untuk meraih dukungan mereka dengan cara apapun, hasrat politik tersebut benar-benar menutupi analisa sosial di dalam brosur Adler. Dan ini memberikannya sebuah nada yang partikular, dan merupakan kelemahannya.
Apa itu kaum intelektual? Tentu saja Adler memberikan konsep ini bukan sebuah definisi moral tetapi sebuah definisi sosial: kaum intelektual bukanlah sebuah kelompok yang terikat oleh sebuah hukum sejarah, tetapi sebuah strata sosial yang meliputi semua pekerjaan “otak”. Bagaimanapun sulitnya untuk menarik garis demarkasi antara kerja “manual” dan “otak”, ciri-ciri sosial umum dari kaum intelektual cukup jelas, tanpa perlu menuju ke detil-detil. Kaum intelektual adalah sebuah kelas tersendiri – Adler menyebut mereka sebuah kelompok inter-kelas [yang dimaksud disini adalah sebuah kelompok yang tidak terikat pada satu kelas saja – ed.], tetapi pada esensinya tidak ada perbedaan – yang eksis di dalam kerangka masyarakat borjuasi. Dan bagi Adler pertanyaannya adalah: siapa yang memiliki hak untuk memiliki jiwa dari kelas ini? Apa ideologi yang menjadi dasarnya, sebagai hasil dari fungsi sosialnya? Adler menjawab: ideologi kolektivisme. Adler tidak menutupi matanya dari kenyataan bahwa kaum intelektual Eropa, selama mereka tidak menentang ide kolektivisme, berdiri mengambang jauh dari kehidupan dan perjuangan rakyat pekerja, tidak panas dan tidak dingin. Tetapi semua tidak harus seperti itu, kata Alder, tidak ada basis objektif yang cukup untuk itu. Adler secara pasti menentang kaum Marxis yang menyangkal keberadaan kondisi-kondisi umum yang dapat menyebabkan sebuah gerakan massa kaum intelektual menuju sosialisme.
Dia menyatakan di pembukaannya “Ada faktor-faktor yang memadai – walaupun bukan faktor ekonomi secara murni, tetapi dari lingkupan yang lain – yang dapat mempengaruhi seluruh massa kaum intelektual, bahkan terlepas dari situasi kehidupan kaum proletar, faktor-faktor yang dapat menjadi motif yang cukup bagi mereka untuk bergabung dengan gerakan buruh sosialis. Kaum intelektual hanya perlu dibuat sadar akan sifat dasar utama dari gerakan ini dan posisi sosial mereka.” Apa faktor-faktor ini? Adler mengatakan, “Karena kesakralan, dan terutama, peluang untuk perkembangan kepentingan spiritual yang bebas adalah kondisi kehidupan kaum intelektual yang utama, oleh karena itu kepentingan intelektual adalah sama dengan kepentingan ekonomi. Maka, bila basis bagi kaum intelektual untuk bergabung dengan gerakan sosialis harus dicari di luar lingkupan ekonomi, ini adalah karena persyaratan eksistensi ideologi tertentu untuk kerja mental daripada isi kebudayaan sosialisme”. Terlepas dari karakter kelas seluruh gerakan (toh, gerakan hanyalah sebuah jalan!), terlepas dari gambaran partai-politik sehari-hari (toh, partai politik hanyalah sebuah alat!), sosialisme pada dasarnya, sebagai sebuah ide sosial yang universal, berarti pembebasan semua bentuk kerja otak dari segala macam belenggu dan batasan sejarah. Premis ini, visi ini, menyediakan jembatan ideologi dimana kaum intelektual Eropa dapat dan harus lewati untuk menuju ke kamp Sosial Demokrasi[3].
Ini adalah titik pandang Adler yang utama, yang merupakan isi dari seluruh brosurnya. Kekeliruan utamanya, yang segera mencuat ke mata kita, adalah karakternya yang non-historis. Dasar sosial bagi kaum intelektual untuk memasuki kamp kolektivisme yang digunakan oleh Adler sudah ada sejak dulu; akan tetapi tidak ada sama sekali gerakan massa intelektual menuju Sosial Demokrasi di negara Eropa manapun. Tentu saja Adler tahu hal ini seperti juga kita. Tetapi dia cenderung melihat terasingnya kaum intelektual dari gerakan kelas pekerja adalah karena kaum intelektual tidak memahami sosialisme. Pada satu pihak ini benar. Tetapi bila begitu apa penjelasan untuk ketidakpahaman ini, yang eksis bersama-sama dengan pemahaman mereka akan hal-hal yang lebih kompleks? Jelas, ini bukan karena kelemahan logika ideologis mereka, tetapi karena kekuatan elemen-elemen irasional di dalam psikologi kelas mereka. Adler sendiri berbicara mengenai ini di dalam babnya BĂĽrgerliche Schranken des Verständnisses (Batas Pemahaman Kaum Borjuis), yang merupakan salah satu bab terbaik di dalam brosur tersebut. Tetapi dia berpikir, dia berharap, dia yakin – dan disini sang teoritis menjadi pengkhotbah – bahwa Sosial Demokrasi Eropa akan bisa menghancurkan elemen-elemen irasional di dalam mentalitas pekerja-otak bila saja Sosial Demokrasi merekonstrusi logika hubungannya dengan mereka [baca kaum intelektual – Ed.]. Kaum intelektual tidak memahami sosialisme karena sosialisme dari hari-ke-hari tampak bagi mereka ada dalam bentuk rutinnya sebagai sebuah partai politik, seperti yang lainya. Tetapi bila kaum intelektual bisa ditunjukkan wajah sosialisme yang sesungguhnya, sebagai sebuah gerakan kebudayaan sedunia, mereka pasti akan bisa melihat harapan dan aspirasi mereka yang terbaik. Begitulah pikir Adler.
Kita sudah sampai sejauh ini tanpa memeriksa apakah benar persyaratan kebudayaan murni (perkembangan teknik, ilmu pengetahuan, kesenian) jauh lebih kuat, sepanjang kaum intelektual disangkutkan, daripada pengaruh kelas dari keluarga, sekolah, gereja, dan negara, atau kepentingan material. Dan bahkan bila kita menerima ini sebagai argumen, bila kita setuju untuk melihat bahwa kaum intelektual adalah pendeta kebudayaan yang sampai sekarang hanya gagal melihat bahwa penumbangan rejim borjuis dengan sosialisme adalah cara terbaik untuk melayani kepentingan kebudayaan, pertanyaan yang utama tetap adalah: dapatkah Sosial Demokrasi Eropa Barat menawarkan kaum intelektual, secara teori dan moral, sesuatu yang lebih meyakinkan atau lebih menarik daripada apa yang sudah ditawarkan sampai sekarang?
Kolektivisme sudah memenuhi dunia dengan suara perjuangannya selama berpuluh-puluh tahun. Selama periode ini jutaan buruh telah bersatu di dalam organisasi politik, serikat buruh, koperasi, organisasi pendidikan, dan organisasi-organisasi lainnya. Seluruh kelas telah bangkit dari dasar kehidupan dan memaksa masuk ke dalam politik, yang sampai sekarang dianggap sebagai hak tunggal dari kelas yang berada. Setiap hari, koran-koran sosialis – koran teori, politik, serikat buruh – mengevaluasi ulang semua nilai-nilai borjuis dari sudut pandang sebuah masyarakat yang baru. Tidak ada satupun masalah mengenai kehidupan sosial dan kebudayaan (perkawinan, keluarga, sekolah, gereja, tentara, patriotisme, kebersihan sosial, prostitusi) yang tidak dipertentangkan dengan nilai-nilai sosialisme. Sosialisme berbicara dalam semua bahasa kemanusiaan yang berbudaya. Di dalam gerakan sosialis ini, orang-orang dengan pemikiran yang berbeda-beda dan bermacam temperamen, dengan masa lalu, hubungan sosial, dan kebiasaan hidup yang berbeda-beda, mereka semua saling bekerja dan saling berseteru. Dan bila kaum intelektual tetap “tidak memahami” sosialisme, bila semua ini tidak cukup untuk membuat mereka, mendorong mereka untuk mengerti pentingnya gerakan sedunia ini secara historis dan kultural, maka bukankah kita harus menarik kesimpulan bahwa alasan dari ketidakpahaman ini sangatlah mendasar dan usaha-usaha untuk mengatasi ini dengan teori dan tulisan adalah tidak berguna sama sekali?
Gagasan ini menonjol bahkan lebih jelas bila kita melihat sejarah. Influks kaum intelektual yang terbesar ke dalam gerakan sosialis – dan ini benar di seluruh negara Eropa – terjadi di periode awal dari keberadaan partai pekerja, ketika partai tersebut masih muda. Gelombang influks pertama ini membawa ahli-ahli teori dan politisi yang paling terkemuka ke dalam Internasionale Kedua[4]. Semakin Sosial Demokrasi Eropa tumbuh besar, semakin banyak rakyat pekerja yang bergabung, dan semakin lemah (bukan hanya secara relatif tetapi juga secara absolut) influks elemen-elemen baru dari kaum intelektual. Koran Leipziger Volkszeitung lama mencari dengan sia sia, melalui iklan koran, seorang pekerja editor dengan pendidikan universitas.  Disini kita terpaksa menerima sebuah kesimpulan, sebuah kesimpulan yang bertentangan dengan Adler: semakin sosialisme menampakkan isinya secara tegas, semakin mudah bagi setiap orang untuk memahami tugas sosialisme di dalam sejarah, dan semakin kecut kaum intelektual terhadap sosialisme. Walaupun ini bukan berarti mereka takut akan sosialisme sendiri; jelas kalau di negara-negara kapitalis Eropa telah terjadi perubahan-perubahan sosial yang dalam yang menghalangi pergaulan antara orang-orang universitas dengan buruh, pada saat yang sama dimana perubahan-perubahan sosial tersebut telah memfasilitasi masuknya buruh ke dalam gerakan sosialis.
Apa perubahan-perubahan tersebut? Individu-individu, kelompok-kelompok, dan strata kaum proletar yang paling cerdas telah bergabung dan sedang bergabung ke Sosial Demokrasi. Pertumbuhan dan konsentrasi industri dan transportasi hanya mempercepat proses ini. Sebuah proses yang sepenuhnya berbeda sedang terjadi di dalam kelompok intelektual. Perkembangan kapitalisme yang besar dalam dua dekade terakhir sudah mengikis lapisan atas dari kelas ini. Kekuatan intelektual yang paling cakap, yakni mereka yang memiliki inisiatif dan kreatifitas, telah dihisap oleh industri kapitalis, oleh sindikat-sindikat, perusahaan-perusahaan rel dan perbankan, yang membayar mereka gaji yang sangat besar untuk mengorganisasi rejim mereka. Hanya kaum intelektual kacangan yang tersisa untuk pelayanan negara dan kantor-kantor pemerintah; dan editor-editor koran dari semua tendensi mengeluh mengenai kekurangan “orang”. Dan perwakilan dari kaum intelektual semi-proletar yang jumlahnya semakin meningkat, mereka tidak dapat lari dari kehidupan yang selamanya tergantung pada orang lain dan secara material tidak aman. Bagi mereka, yang melakukan fungsi yang tidak lengkap dan rendah mutunya di dalam mekanisme kebudayaan yang besar, daya tarik kebudayaan yang diajukan oleh Adler tidak cukup kuat dengan sendirinya untuk mengarahkan simpati politik mereka kepada gerakan sosialis.
Terlebih lagi adalah situasi dimana setiap kaum intelektual Eropa yang secara psikologi bisa pindah ke kamp kolektivisme tidak memiliki harapan untuk bisa meraih posisi yang berpengaruh di partai-partai proletar. Ini adalah satu hal yang penting. Seorang buruh menjadi seorang sosialis sebagai sebuah bagian dari keseluruhan, bersama-sama dengan kelasnya, dimana dia tidak punya prospek untuk keluar dari kelasnya. Dia bahkan puas dengan perasaan persatuan moral dengan rakyatnya, yang membuatnya lebih percaya diri dan kuat. Akan tetapi kaum intelektual menjadi seorang sosialis sebagai seorang individu, dengan memutuskan tali pusat kelasnya sebagai seorang individu, dan secara tak terelakkan berusaha untuk menggunakan pengaruhnya sebagai seorang individu. Tetapi disinilah dia terbentur oleh rintangan-rintangan – dan seiring waktu berjalan rintangan ini semakin bertambah besar. Pada permulaan gerakan Sosial Demokrasi, setiap kaum intelektual yang bergabung ke Sosial Demokrasi, bahkan bila dia bukan di atas rata-rata, dapat meraih sebuah posisi di gerakan kelas pekerja. Sekarang setiap pendatang-baru menemukan, di negara-negara Eropa Barat, struktur demokrasi kelas-pekerja yang kolosal sudah eksis. Ribuan pemimpin buruh, yang secara otomatis datang dari kelas mereka, membentuk sebuah aparatus yang solid dimana diatasnya berdiri veteran-veteran aktivis buruh yang terhormat, yang memiliki otoritas, figur-figur yang telah menjadi sejarah. Hanya seorang yang memiliki bakat luarbiasa yang dapat berharap untuk meraih posisi kepemimpinan untuk dirinya – tetapi orang seperti itu, daripada meloncati jurang menuju sebuah kamp yang asing baginya, dia biasanya akan mengikuti jalan yang rintangannya paling kecil, yakni bekerja sebagai pelayan negara atau industri. Selain semua itu, di antara kaum intelektual dan sosialisme berdiri sebuah tembok, yakni aparatus organisasi Sosial Demokrasi. Aparatus organisasi ini membuat tidak senang para intelektual yang memiliki simpati sosialis, karena aparatus ini menuntut disiplin dan sikap menahan-diri; ini kadang tidak sesuai dengan “oportunisme” mereka, dan juga kadang tidak sesuai dengan “radikalisme” mereka yang berlebihan, dan ini menakdirkan mereka ke peran penonton yang ribut yang terombang-ambing antara anarkisme dan liberalisme-nasional. Simplicissimus[5] adalah panji ideologi mereka yang tertinggi. Dengan modifikasi yang berbeda-beda dan dengan kadar yang berbeda-beda, fenomena ini terulang di semua negara di Eropa. Orang-orang ini, lebih daripada kelompok-kelompok lainnya, terlalu sombong dan terlalu sinis untuk bisa menerima arti penting kebudayaan dari sosialisme ke dalam jiwa mereka. Hanya sedikit sekali “kaum ideolog” – dengan konotasi baik dan buruknya – yang dapat meraih keyakinan sosialisme di bawah stimulus pemikiran teori murni, dengan, sebagai titik tolak mereka, tuntutan hukum seperti Anton Menger[6], atau persyaratan teknik seperti Atlanticus[7]. Tetapi bahkan kasus-kasus seperti ini, seperti yang kita ketahui, biasanya tidak bergerak terlalu jauh dari gerakan Sosial-Demokrasi, dan perjuangan kelas proletar di dalam hubungan internalnya dengan sosialisme bagi mereka tetap merupakan sebuah buku yang terkunci dengan tujuh segel.


1.       Partai Sosialis Revolusioner (SR) dibentuk pada tahun 1902, mewarisi banyak ide dan praktek dari Partai Kehendak Rakyat dan Narodniki.  Mereka menekankan bahwa kaum tani adalah kelas yang revolusioner, bukan pekerja kota. Pada tahun 1917, partai SR pecah menjadi SR Kiri dan SR Kanan. SR Kanan mendukung Pemerintahan Sementara sedangkan SR Kiri beragitasi untuk penggulingannya. Dengan munculnya pemerintahan Soviet, SR Kiri bergabung dengannya namun SR Kanan meneruskan taktik teroris mereka dan akhirnya dilarang.
2.       Max Adler (1873-1937) adalah seorang kaum intelektual, politisi, dan ahli filosofi dari Austria. Dia adalah perwakilan dari garis pemikiran Austromarxisme.
3.       Sebelum tahun 1914, semua kaum Marxis dan Sosialis menyebut diri mereka sebagai kaum Sosial Demokrat. Setelah pengkhianatan parta-partai Sosial Demokrasi yang mendukung Perang Dunia Pertama (tahun 1914), kaum Marxis revolusioner mencampakkan nama Sosial Demokrasi untuk memisahkan diri mereka dari kaum reformis.
4.       Internasionale Kedua - Pada tahun 1880, Partai Sosial Demokrat Jerman mendukung seruan dari kamerad-kamerad Belgia untuk mengadakan kongres sosialis internasional pada tahun 1881. Kota kecil bernama Chur dipilih dan kaum sosialis Belgia, Parti Ouvrier dari Perancis, Sosial Demokrat Jerman dan Sosial Demokrat Swiss berpartisipasi dalam persiapan kongres yang akhirnya menuju pada pembentukan Sosialis Internasional atau Internasionale Kedua. Tidak seperti Internasionale Pertama, Internasionale Kedua terdiri dari partai-partai politik yang memiliki pemimpin terpilih, program politik dan keanggotaan yang berbasiskan di negerinya masing-masing. Seksi nasional dari Internasionale Kedua membangun serikat buruh, terlibat dalam pemilihan umum dan sangat terlibat dalam kehidupan klas pekerja di negerinya masing-masing. Permulaan Perang Besar pada tahun 1914 dan krisis nasional dan revolusioner yang disebabkan perang menyebabkan krisis didalam Internasionale Kedua. Kaum Sosial Demokrat bertemu di Zimmerwald pada tahun 1915 untuk mencoba membentuk platform oposisi bersama terhadap pembantaian yang terjadi dalam Perang. Konferensi Zimmerwald gagal untuk menyatukan kaum Sosial Demokrat ataupun mengakhiri Perang. Namun konferensi tersebut mampu menyatukan sebuah Sayap Kiri yang mendukung Revolusi Rusia dan memberikan basis bagi Internasional Ketiga (Komunis Internasional). Tokoh-tokoh utama dalam gerakan pekerja internasional dalam periode ini adalah: Karl Kautsky, Rosa Luxemburg, Karl Liebknecht, G V Plekhanov, August Bebel, Clara Zetkin, Daniel De Leon, Franz Mehring dan V I Lenin.

5.       Simplicissimus adalah sebuah majalah satiris mingguan yang diterbitkan di Jerman pada tahun 1896. Ini adalah koran kaum intelektual liberal.
6.       Anton Menger (1841-1906) adalah seorang profesor hukum dari Austria. Dia menulis banyak buku mengenai reformasi hukum untuk membela hak-hak rakyat miskin dan buruh. Beberapa buku yang dia tulis di antaranya: Hak untuk memiliki seluruh hasil produksi dan Hukum sipil dan Kaum Miskin.
7.       Atlanticus adalah nama pena Karl Ballod atau Karlis Balodis (1864-1931), seorang ahli statistik ekonomi dari Latvia. Menjabat sebagai profesor di Universitas Berlin. Dia menulis banyak buku mengenai ekonomi sosialisme dan terlibat di dalam perencanaan proses ekonomi Uni Soviet.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar