Saya
terima palu pimpinan rapat ini dari Menteri Kemakmuran. Dan sebelum saya
membuka rapat ini, izinkanlah saya melahirkan pandangan dengan sepatah kata
tentang “Ekonomi Indonesia di masa datang”.
Dalam
saat yang sesingkat ini tentu tak dapat saya merancangkan susunan ekonomi
Indonesia yang selengkapnya bagi masa datang. Hanya beberapa garis yang
besar-besar saja dapat dikemukakan di sini. Dasar politik perekonomian Republik
Indonesia terpancang dalam undang-undang dasar kita, dalam bab “Kesejahteraan
Sosial”, pasal 33, yang begini bunyinya.
(1).
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2).
Cabang-cabang yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.
(3).
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dasar-dasar
inilah yang menjadi pokok pemandangan yang akan saya uraikan di muka rapat ini.
Perekonomian
sesuatu negeri pada umumnya ditentukan oleh tiga hal. Pertama, kekayaan
tanahnya. Kedua, kedudukannya terhadap negeri lain dalam lingkungan
internasional. Ketiga, sifat dan kecakapan rakyatnya serta cita-citanya.
Terhadap
Indonesia harus ditambah satu pasal lagi: yaitu sejarahnya sebagai tanah
jajahan. Oleh karena Indonesia meringkuk dalam penjajahan Belanda, lebih dari
tiga abad lamanya, maka keadaan perekonomiannya seluruhnya tidak sebagaimana
mestinya menurut faktor-faktor yang tersebut di atas. Indonesia tanahnya kaya,
menghasilkan bagi dunia luaran beratus juta saban tahun. Tetapi rakyat
Indonesia sendiri hidup miskin dan sengsara di tengah-tengah kekayaannya yang
melimpah.
Kedudukannya
di tengah-tengah jalan perhubungan di muka daratan besar Asia dan diapit pula
oleh dua lautan besar, Lautan Hindia dan Lautan Teduh, sebetulnya memperkuat
hubungan ekonominya dengan negeri-negeri di Asia Timur dan sekitar Pasifik.
Tetapi penjajahan Belanda membelokkan perhubungan Indonesia ke Barat yang lebih
jauh, dan dikungkung oleh kepentingan perekonomian Nederlan.
Sebagai
penduduk pulau-pulau yang tersusun di tengah-tengah jalan perhubungan
pelayaran, sepatutnya orang Indonesia menjadi bangsa pelajar yang kuat
bertindak dan kuat merantau. Memang begitu sifatnya di masa dahulu kala,
sebelum orang Belanda datang menjajah. Tetapi penjajahan Belanda, yang bermula
dengan menanam kekuasaan monopoli dalam segala rupa, memusnahkan segala
aktivitas orang Indonesia. Rakyat Indonesia tertunda hidupnya ke desa, hidup dengan
segala genap. Rakyat Indonesia kehilangan sifatnya yang sediakala. Hanya
cita-cita untuk menjadi bangsa yang merdeka kembali berdasarkan segala bangsa,
tetap ada padanya. Fiil tuan rumah yang baik hati dan halus budi tidak lenyap
dari kebudayaan Indonesia.
Ujud
penjajahan Belanda tidak lain melainkan menjadikan Indonesia sebagai sumber
keuntungan semata-mata. Dahulu sumber itu dikuasai dengan sistem monopoli. VOC
dan cultuurstelsel. Sejak munculnya kapitalisme liberal sesudah tahun
1870 Indonesia dipandang semata-mata sebagai suatu onderneming besar, untuk
menghasilkan barang-barang bagi pasar dunia. Dasar ekonominya ialah export-economie.
Pasar di dalam negeri diabaikan semata-mata, sebab tidak mendatangkan
keuntungan yang sebesar-besarnya.
Oleh
karena Indonesia dipandang sebagai suatu onderneming besar, maka masyarakat
Indonesia dipandang semata-mata sebagai daerah persediaan buruh yang murah.
Soal menimbulkan tenaga pembeli rakyat dengan sendirinya tersingkir dari
perhitungan. Ini kelanjutan dari sistem kapitalisme, yang mendasarkan
perekonomian Indonesia kepada export-economie.
Sistem
ini memutar ujung jadi pangkal. Dasar tiap-tiap perekonomian ialah mencapai
keperluan hidup rakyat. Mana yang tidak dapat dihasilkan sendiri, didatangkan
dari luar negeri, diimpor. Barulah datang ekspor untuk pembayar impor tadi.
Sebaliknya
yang kita dapati di Indonesia, beratus tahun lamanya. Ekspor diutamakan,
barulah datang impor sebagai tukaran ekspor tadi. Impor itu sebagian besar
mengandung barang keperluan perusahaan-perusahaan besar dan orang-orang barat
yang ada di sini. Keperluan rakyat yang diimpor terutama pakaian. Oleh karena
impor ini adalah bayaran ekspor sebagian, maka di Indonesia sampai waktu yang
akhir tidak boleh diadakan pabrik kain.
Kita
tahu, bahwa politik export-economie itu kandas takkala kapitalisme liberal
berangsur lenyap dan aliran “neo-mercantilisme” bertambah kuat. Tetapi segala
perubahan hanya merugikan bagi Indonesia. Muslihat perekonomian yang dirancang
oleh pemerintah Nederlan dengan semboyan “kerja bersama dalam perekonomian”
antara Nederlan dan Indonesia sebagai daerah ekonomi industri negerinya.
Demikianlah
faktor-faktor yang harus menentukan perekonomian Indonesia, tidak bisa bekerja
atas pengaruh penjajahan Belanda. Tetapi faktor-faktor itu masih ada; hanya
faktor yang ketiga – yaitu kecakapan rakyat serta cita-citanya – yang lemah
duduknya karena penindasan yang tiga abad lamanya. Manakala kita pandai
memimpin kemauan rakyat yang meluap-luap di waktu sekarang untuk mengekalkan
Indonesia merdeka, ke jalan pembangunan masyarakat yang teratur, kita pasti
akan sanggup menghidupkan tenaga produktif rakyat, yang terpendam sekian lama
dalam sejarah.
Menurut
arahnya, dasar perekonomian di masa datang akan semakin jauh dari dasar
individualisme, dan semakin dekat kepada kolektivisme, yaitu sama sejahtera.
Memang kolektivismelah yang sesuai dengan cita-cita hidup Indonesia. Sudah dari
dahulu kala masyarakat Indonesia – seperti juga dengan masyarakat Asia lainnya
– berdasar kepada kolektivisme itu, yang terkenal sebagai dasar
tolong-menolong. Pun dalam hukum adat Indonesia tidak ada perpisahan yang tepat
seperti dalam hukum Barat antara yang disebut publiek recht dan privaat
recht. Berbagai hal yang disebut dalam hukum barat masuk bagian hukum
prive, di Indonesia sering diurus oleh desa.
Pembangunan
ekonomi Indonesia sesudah perang haruslah didasarkan kepada cita-cita
tolong-menolong itu. Sudah tentu pada tingkatan yang lebih tinggi dan lebih
teratur, dengan mempergunakan hasil kemajuan teknik modern!
Kalau
diperhatikan benar-benar, ada tiga soal yang bersangkut dengan pembangunan
perekonomian Indonesia yang kita hadapi sekarang.
1.
Soal ideologi. Bagaimana mengadakan susunan ekonomi yang sesuai dengan
cita-cita tolong-menolong?
2.
Soal praktek. Politik perekonomian apakah yang praktis dan perlu
dijalankan dengan segera di masa yang akan datang ini?
3.
Soal koordinasi. Bagaimanakah mengatur pembangunan perekonomian
Indonesia, supaya pembangunan itu sejalan dan bersambung dengan pembangunan di
seluruh dunia?
I.
Dasar perekonomian yang sesuai dengan cita-cita tolong-menolong ialah
kooperasi. Seluruh perekonomian rakyat harus berdasar kooperasi. Kooperasi
mendahulukan keperluan bersama dan membelakangkan kepentingan orang-seorang.
Seterusnya kooperasi mengandung dasar pendidikan kepada anggotanya bersama. Di
atas bangunan-bangunan kooperasi itu diadakan pimpinan dari pemerintah, untuk
mengkoordinir segala usaha produktif bagi keselamatan masyarakat.
Kalau
kita hendak membangunkan perekonomian rakyat di atas kooperasi, dari semulanya
hendaknya terang bagi kita, daerah manakah dalam perekonomian yang boleh
diselenggarakan oleh orang-seorang dan manakah yang harus diusahakan oleh
badan-badan kolektif. Pada umumnya segala usaha yang hanya dapat dikerjakan
bersama-sama oleh orang banyak, mestinya memakai bangun kooperasi. Jika tidak,
tentu lambat laun timbul juga semangat kapitalisme dengan akibat pemerasan dan
penindasan orang banyak yang lemah oleh satu golongan kecil yang cerdik dan
bermodal.
Tetapi
tidak segala usaha harus dilakukan secara kooperasi. Usaha-usaha yang dapat
dikerjakan oleh orang-seorang dengan tiada menguasai hidup orang banyak
bolehlah terus dikerjakan oleh orang-seorang itu. Kecuali kalau kepentingannya
sendiri menghendaki perikatan dalam satu badan dengan orang lain yang serupa
persoalannya. Perusahaan kecil sebagai tukang membetulkan yang rusak, dagang
kecil seperti kelontong yang masuk kampung keluar kampung memikul barang
dagangannya, warung yang dikemudikan sendiri dengan bantuan keluarga saja, pada
dasarnya dibolehkan berdiri sebagai usaha sendiri. Paksaan berkooperasi kepada
perusahaan-perusahaan kecil yang tersebar letaknya tidak pada tempatnya,
malahan melanggar dasar kooperasi. Oleh karena masyarakat Indonesia pusatnya di
desa, maka bangunan kooperasi model baru hendaklah dimulai di desa pula.
Tiap-tiap desa hendaknya merupakan satu susunan kooperasi! Kalau dasarnya sudah
kokoh, maka susunan kooperasi ke atas bisa teratur baik.
Berhubung
dengan ini, timbul pertanyaan.
Mungkinkah
industri disusun sebagai kooperasi?
Jawab
saya mungkin, dan keterangan yang luas telah saya berikan dalam buku saya: Beberapa
Fasal Ekonomi halaman 40 dan seterusnya.
Bagi
siapa yang sanggup melepaskan pandangan dari dasar individualisme dan
liberalisme, soal mendirikan industri dengan bangun kooperasi tinggal lagi
sebagai soal didikan dan bantuan pemerintah. Yang terutama bagi industri ialah
pimpinan yang cakap, yang penuh rasa tanggung jawab. Kecakapan itu bergantung
kepada orangnya, tidak kepada stelsel perekonomiannya. Apabila terdapat orang
yang cakap memimpin, yang besar pula minatnya kepada kooperasi, maka kooperasi
industri itu akan hidup dan maju jalannya. Malahan lebih baik jalannya daripada
industri kapitalis biasa, oleh karena orang yang bekerja di dalamnya semuanya
mempunyai perhatian kepada industrinya. Perusahaan itu mereka yang punya. Dalam
bekerja kaum buruh adalah buruh, yang harus tunduk kepada disiplin bekerja.
Tetapi di luar pekerjaan ia orang yang ikut mempunyai perusahaan tersebut.
Yang
susah untuk membangunkan industri secara kooperasi ialah perkara kapital. Kaum
buruh yang akan serta jadi yang empunya tidak mempunyai modal. Dari mereka
tidak dapat diharapkan kapital perusahaan. Dalam hal ini pemerintahlah yang
harus memberi uang muka sebagai pinjaman, yang dapat diangsur berdikit-dikit
oleh perusahaan tadi. Angsuran itu dapat dilakukan dengan modal yang didapat
dari cicilan uang andil yang dibeli oleh kaum buruhnya dan dari keuntungan
habis tahun. Pemerintah daerah sendiri pun bisa serta sebagian pada kapital
kooperasi industri itu.
Pendek
kata, industri mungkin didasarkan kepada kooperasi, malahan lebih baik.
Kesukaran yang dihadapi bukanlah soal dasar, soal prinsipil, malahan soal
praktis, yaitu soal memperoleh kapital permulaan.
Kalau
diperhatikan, bahwa onderneming besar-besar itu sudah merupai masyarakat
sendiri, beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidunya, maka tak
pantas lagi buruk-baiknya diputuskan oleh beberapa orang partikulir saja, yang
berpedoman kepada keuntungan semata-mata. Dalam hal ini pemerintah harus
menjadi pengawas dan pengatur, dengan berpedoman kepada keselamatan masyarakat.
Bangunan kooperasi dengan diawasi dan juga disertai oleh pemerintah adalah
bangunan yang sebaik-baiknya bagi onderneming besar-besar. Semakin besar
perusahaannya dan semakin banyak jumlah orang yang menggantungkan dasar
hidupnya ke sana, semangkin besar mestinya pesertaan pemerintah. Dengan
sendirinya perusahaan besar-besar itu merupai bangunan kooperasi publik! Itu
tidak berarti, bahwa pimpinannya harus bersifat birokrasi. Perusahaan dan
birokrasi adalah dua hal yang bertentangan. Soal yang istimewa bagi Indonesia
ialah soal milik tanah. Kalau masyarakat didasarkan kolektif, kembali pada
sifatnya bermula, maka ada akibatnya terhadap milik orang-seorang yang sudah
terjadi selama penjajahan Belanda.
Indonesia
adalah negeri agraria, oleh karena itu tanah adalah faktor produksi yang
terutama. Buruk baik penghidupan rakyat bergantung kepada keadaan milik tanah.
Sebab itu tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas
dan memeras hidup orang banyak. Dan sebab itu pula dalam perusahaan besar, yang
berpengaruh atas penghidupan orang banyak, tanah itu tidak boleh miliknya
orang-seorang, tetapi mestilah di bawah kekuasaan pemerintah. Hak milik
orang-seorang atas tanah yang luas, yang diusahakan oleh orang banyak sebagai
buruh saja, adalah pembawaan dasar individualisme, dan bertentangan dengan
dasar perekonomian yang adil. Perusahaan semacam itu sebaik-baiknya diatur
sebagai kooperasi di bawah penilikan pemerintah.
Hal
ini terutama mengenai kebun-kebun besar. Dalam hal ini barangkali ada sedikit
kesukaran. Ini tidak bisa dibereskan dengan main sita saja, tetapi hendaklah
diselesaikan menurut dasar yang fundamental. Hak milik bangsa asing atas
kebun-kebun itu mengenai hak kapital. Yang akan mengusahakannya yang terbanyak
adalah tenaga orang Indonesia. Kalau kita tidak mau lagi memakai dasar
kapitalisme, maka dasar perusahaan kebun-kebun itu bisa diatur secara kooperasi
dengan patokan istimewa. Usaha bersama antara kapital bangsa asing dengan
tenaga Indonesia, di bawah penilikan pemerintah. Sebagian dari kapitalnya yang
ada di tengah orang-orang asing hendaklah ditetapkan kembali besarnya, satu
persatu. Banyak yang telah tandas, sebab itu harus diketahui berapa penghargaan
tukarnya sekarang. Sebagian lagi dari kapitalnya adalah pembawaan dari
buruh-buruh kebun itu sendiri, yang menjadi ahli kooperasinya. Kebun buruh yang
akan menjadi peserta kooperasi, boleh mencicil uang pesertaannya
berangsur-angsur dengan potongan upahnya. Pimpinan perusahaan kebun itu
diletakkan di tangan orang-orang cakap, dengan tiada memandang bangsa. Yang
dipentingkan ialah kesetiaannya kepada kooperasi dan pandainya bergaul sebagai
saudara dengan buruh sekerja, serta rasa tanggung jawabnya kepada pemerintah
dan masyarakat[1]
Tentang
hal milik tanah, tidak lagi menimbulkan kesukaran, jika soal-soal perusahaan
kebun besar-besar dibereskan seperti tersebut. Pada dasarnya, menurut hukum
adat Indonesia
Demikian
juga tentang perusahaan industri alat dan lain-lainnya kepunyaan bangsa asing.
Bukan dengan jalan menyita dibereskan hal ini, melainkan diselesaikan manurut
asas fundamental tadi.
Yang
asli, tanah adalah kepunyaan masyarakat. Orang seorang berhak memakainya
sebanyak yang perlu baginya serta keluarganya. Hanya menjual ia tak boleh.
Kalau tanah itu tidak dikerjakan lagi, ia jatuh kembali kepada masyarakat,
lahirnya desa, dan desa itu boleh membagikannya kepada orang lain. Tanah yang
dipakai oleh kebun besar-besar pada dasarnya kepunyaan masyarakat. Kooperasi
yang tersebut di atas boleh memperusahakannya selama perlu baginya. Hanya
memindahkan hak berusaha ia tak boleh. Perusahaan di atas tanah adalah
kepunyaan kooperasi yang tersusun dari kapital asing dan kapital rakyat dan
tenaga Indonesia. Tetapi tanahnya adalah milik masyarakat yang dipinjamkan
kepada kooperasi tersebut.
Nyatalah,
bahwa tak ada soal yang sukar, jika dibereskan dari dasarnya.
Sesuai
dengan keterangan di atas tentang batas perusahaan kooperasi dan perusahaan
orang-seorang, maka perusahaan di atas tanah yang tidak begitu luas dan dapat
dikerjakan sendiri boleh menjadi kepunyaan orang-seorang. Orang-seorang menurut
hukum adat Indonesia, boleh memakai tanah sebanyak yang perlu baginya serta keluarganya.
Hak milik atas kebun yang diusahakan sendiri boleh tetap sebagai sekarang.
Hanya, apabila yang empunya berkepentingan untuk menggabungkan dirinya ke dalam
kooperasi, ia menjadi anggota kooperasi dengan tanahnya sebagai pembawaannya.
Demikian juga sawah yang sudah menjadi milik sendiri, boleh tetap di tangan
yang empunya. Kooperasi pertanian, yang menyusun seluruh orang tani di desa
dalam satu badan kooperasi, tidak mengusik hak milik yang sudah ada itu.
Apabila
tanah dipandang sebagai faktor produksi
yang terutama pemakaian tanah – selain daripada pekarangan tempat kediaman –
hanya boleh sebagai faktor produksi pula. Tanah tidak boleh lagi menjadi obyek perniagaan, yang
diperjual-belikan semata-mata untuk mencari keuntungan.
Sekarang
timbul lagi pertanyaan: bagaimana duduknya tanah kosong yang terletak di luar
desa?
Dahulu
soal ini menimbulkan pertentangan yang hebat. Desa jugalah yang empunya tanah
itu atau negarakah? Kalau tanah kosong itu jatuh jadi kepunyaan negara, maka
negara berhak menyewakannya kepada barang siapa juga yang akan
mempergunakannya. Inilah dasar teori yang terkenal sebagai domeinverklaring.
Soal
ini tidak penting lagi sekarang. Soal ini hanya tajam dalam stelsel
individualisme, yang mengadakan pertentangan antara masyarakat dan negara dan
orang seorang. Dalam tanah jajahan kedudukan negara tidak lain daripada penjaga
keselamatan orang-orang bangsa yang menjajah.
Dalam
paham kolektivisme, tidak ada pertentangan antara masyarakat dengan negara.
Negara adalah alat masyarakat
untuk menyempurnakan keselamatan umum. Oleh karena tanah kepunyaan masyarakat,
maka dengan sendirinya pemerintah menjadi juru kuasa yang mengurusnya dan
mempergunakannya untuk keselamatan umum. Negara harus berusaha, supaya tanah
kosong dan lainnya itu diusahakan menjadi sumber kemakmuran rakyat. Dalam hal
ini negara dapat mendasarkan segala politiknya terhadap tanah sebagai faktor
produksi yang terutama.
Perusahaan
tambang misalnya harus dijalankan sebagai usaha negara, sebab ia dikerjakan
oleh orang banyak dan cara mengusahakannya mempunyai akibat terhadap kemakmuran
rakyat. Dan tanahnya serta isinya negara yang empunya. Tetapi cara menjalankan
eksploatasi itu bisa diserahkan kepada badan yang bertanggung jawab kepada
pemerintah, menurut peraturan yang ditetapkan. Ini terjadi, apabila usaha
negara sendiri, karena berbagai hal, tidak dapat dilangsungkan.
Selanjutnya,
segala perusahaan penting, yang menjadi pokok atau kunci hidup bagi perusahaan
lain, harus menjadi usaha negara. Misalnya kereta api, industri pembangun
tenaga (listrik dan lain-lain) industri bahan penting, serta industri yang
mengusahakan pokok penghidupan rakyat, sebagai penggilingan dan lain-lain.
II.
Politik Perekonomian yang praktis dan perlu dijalankan di masa datang untuk
menimbulkan kemakmuran rakyat ialah membarui
tenaga produktif. Pekerjaan ini berat dan sukar, tetapi wajib didahulukan dari
segala-galanya. Karena pembaruan tenaga produktif itulah dasar pembangunan
ekonomi Indonesia.
Kerja
ini berat dan sukar, karena tenaga produktif rakyat selama kekuasaan Jepang
banyak terpakai dan banyak yang tandas. Rakyat di bawah perintah Jepang banyak
sekali mengeluarkan tenaga yang luar biasa, dan pula sangat menderita segala
rupa, sehingga tubuhnya sangat lemah. Rakyat negeri lain juga menderita selama perang,
akan tetapi penderitaan yang serupa dirasakan lebih berat oleh rakyat
Indonesia. Sebabnya karena sebelum perang rakyat Indonesia tidak mempunyai
cadangan tenaga. Berabad-abad lamanya ia ditindas dan diperas dengan berbagai
jalan. Sistem penghasilan paksa oleh VOC, cultuurstelsel oleh pemerintah Hindia
Belanda yang berlaku sebagai saudagar monopoli, dan akhirnya tenaganya dihisap
oleh kapitalisme liberal sampai sehabis-habisnya. Dalam keadaan tenaga yang
begitu lemah, rakyat Indonesia dipaksa bekerja sehabis-habisnya oleh pemerintah
militer Jepang untuk membangunkan berbagai usaha pertahanan negeri serta
melipat-gandakan hasil bumi. Karena itu berpuluh ribu yang tewas dalam
pekerjaan dan dalam penderitaan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah Indonesia.
Berjuta-juta yang mati kelaparan, yang sekarang merupakan tenaga produktif yang
hilang sama sekali.
Betapa
sukarnya membangunkan kembali tenaga produktif rakyat. Yang telah berabad-abad
lamanya dimusnahkan, dinyatakan seterang-terangnya oleh Alfred Marshall dalam
bukunya Principles of Economics bab VI. Tenaga manusia yang terlalu
diperas, katanya, melahirkan turunan yang semangkin lemah. Akibat pemerasan
tenaga itu bersifat kumulatif, yaitu berganda. Kerusakan yang ditimbulkan dalam
satu turunan masyarakat melemahkan masyarakat itu sampai beberapa turunan. Dan
pembaruan tenaga masyarakat itu tidak dapat ditimbulkan dalam satu turunan,
melainkan hanya dapat dicapai dengan berangsur-angsur dalam beberapa turunan.
Merusak tenaga dan moral manusia mudah. Tetapi menimbulkan perbaikan adalah
sukar dan lama.
Tetapi
betapa juga berat dan sukar pekerjaan membarui tenaga produktif yang rusak dan
tandas, ia harus dikerjakan menurut plan yang teratur.
Yang
pertama sekali harus dikerjakan ialah menyempurnakan makanan rakyat
serta dengan mencocokkan upah dengan keperluan hidup yang lebih atas dari dasar
minimum. Dasar penghidupan mesti dipertinggi dan tenaga pembeli rakyat mesti
ditimbulkan. Karena itulah sendi yang pertama untuk membangunkan kemakmuran.
Sejalan
dengan itu harus diperbaiki kesehatan rakyat dengan ongkos apa pun juga. Di
masa yang lalu kesehatan rakyat tidak terpelihara sama sekali. Sudahlah miskin
hidupnya dan kurang makanannya senantiasa, kesehatannya pun diabaikan. Sebab
itu, usaha menjaga dan memperbaiki kesehatan rakyat mesti diutamakan.
Sebenarnya
pasal makanan dan kesehatan tidak dapat dipisah dalam hal membarui tenaga
produktif rakyat. Kesehatan tidak akan tercapai, kalau rakyat kurang makan.
Satu
pasal yang terpenting dalam hal memperbaiki kesehatan rakyat ialah soal tempat
kediaman. Tempat kediaman tidak saja mengenai soal kesehatan, tetapi besar
sekali pengaruhnya atas jiwa manusia. Hidup dalam segala primitif memperkuat
semangat menerima, dan menahan segala aktivitas. Sebab itu, kalau kita hendak
membangunkan rasa percaya akan diri dan kesanggupan sendiri, kita harus
merobohkan pondok-pondok yang lebih merupai kandang sapi daripada merupai
tempat kediaman manusia. Bakar habis-habis semuanya, hingga mati kuman-kuman
penyakit yang bersarang di dalamnya dan hilang semangat primitif yang tersimpan
di dalamnya, yang menjadi pupuk semangat menerima. Di atas pembakaran itu
didirikan dengan jalan kerja sama, tolong-menolong, bangunan baru yang
berlainan sekali dengan yang lama, dan sebab itu menimbulkan pengharapan akan
masa datang dan akan kesanggupan manusia memperbaiki hidupnya.
Usaha
membarui tempat kediaman menjadi tempat hidup yang bersinar bagi seluruh rakyat
adalah usaha yang berat sekali dan tidak sedikit ongkosnya. Berjuta-juta rumah
yang harus dirombak atau dibakar dan diganti dengan yang baru yang mengandung
di dalamnya benih kesenangan. Dalam rumah Indonesia mestilah ada tertanam dasar
untuk menghargai kebudayaan. Membangunkan berjuta-juta rumah semacam itu tidak
sedikit ongkosnya dan memakai tempo yang lama. Tetapi juga berat kerjanya,
mestilah dikerjakan dan dapat dikerjakan dengan plan yang teratur. Usaha ini tidak dapat diserahkan kepada orang
partikulir yang berpedoman dengan keuntungan, tetapi mestilah usaha negara
dengan bagian-bagiannya. Dengan secara begitu dapat diharapkan dapat diharapkan
di desa pekerjaan rakyat dengan cara tolong-menolong. Untuk belanja kapitalnya
ada baiknya jika didirikan oleh negeri atau bagiannya di tiap-tiap keresidenan
suatu Bank Industri Rumah. Bank ini memberi uang muka, yang dapat diangsur dari
sedikit ke sedikit oleh rakyat yang tertolong dengan rumah baru. Pada
hakikatnya ongkos sebuah rumah di desa tidak begitu besar, oleh karena kerjanya
dilakukan secara tolong-menolong.
Pasal
yang perlu dan praktis pula dalam politik perekonomian ialah memajukan pendidikan
dengan secepat-cepatnya. Bukan saja memperbanyak sekolah untuk menambah
kecerdasan rakyat, akan tetapi juga mementingkan didikan kooperasi. Kooperasi tiang perekonomian Indonesia di masa
datang. Oleh karena itu didikan dan latihan pemimpinnya mesti diperhebat.
Tiap-tiap desa mesti mempunyai beberapa pemimpin dan pengurus kooperasi yang
cakap, barulah subur hidup kooperasi seluruhnya.
Untuk
mencapai maksud itu, hendaklah ditiap-tiap ibu kota kabupaten diadakan kursus
latihan pemimpin kooperasi. Dan untuk mengadakan pusat latihan yang begitu
banyak, perlu dilatih lebih dahulu guru-guru yang akan menjadi pelatih di
tiap-tiap kabupaten. Latihan guru kooperasi itu dapat diselenggarakan Jakarta.
Politik
perekonomian yang positif menuju kemakmuran rakyat ialah mengadakan secara
besar-besaran transmigrasi, yaitu pemindahan penduduk dari tanah Jawa ke tanah
seberang, yang disertai sekali dengan politik industrialisasi. Transmigrasi gunanya untuk mengadakan koreksi
dalam hal persebaran penduduk. Persebaran penduduk yang sangat timpang seperti
sekarang ini – sebagai akibat dari politik kolonial Belanda – menjadi halangan
besar untuk memajukan industrialisasi sebagai politik kemakmuran bagi rakyat.
Dengan penduduk yang terlalu rapat, yaitu 360 orang per km persegi, yang tidak
mempunyai tenaga pembeli tidak dapat dibangunkan di Jawa berbagai macam
industri yang akan menjadi tiang kemakmuran rakyat. Tanah seberang penduduknya
terlalu jarang, yaitu, 12 orang per km persegi, sehingga tak mungkin diadakan
industri di sana. Sebab itu diadakan lebih dahulu perbaikan dalam hal
persebaran penduduk, dengan jalan transmigrasi besar-besaran.
Disebut
secara besar-besaran, sebab penduduk yang dipindahkan itu mestilah dipindahkan
secara masyarakat kecil yang lengkap susunannya, dan diperlengkapi pula dengan alat
kerja yang modern. Jadinya bukan memindahkan orang banyak sebagai
orang-seorang. Bangun pemindahan itu ialah kooperasi atau – barangkali lebih
benar – korporasi. Mereka yang dipindahkan itu mestilah dapat bekerja dengan
serentak, setelah mereka sampai di tempat yang dituju. Di antara mereka ada
yang membabat hutan. Yang lain membikin sawah dan ladang pada tempat yang
dibuka itu. Yang lainlagi mengerjakan pertukangan berbagai rupa, misalnya
membuat papan dari kayu yang ditebang, membuat perkakas rumah lain-lainnya.
Satu golongan lagi kerjanya tak lain daripada memperbuat rumah bagi semuanya.
Demikianlah seterusnya. Pembagian diatur dengan sebaik-baiknya dalam
pemboyongan yang bersifat kooperatif itu.
Nyatalah,
bahwa pemindahan penduduk dengan secara besar-besaran itu hanya dapat dilakukan
dengan bantuan tenaga teknik yang sempurna. Alat kerja yang modern mesti
lengkap, istimewa pada permulaannya. Apa lagi karena mereka yang membuka jalan
pertama itu sangat berat perjuangannya dengan alam yang masih buas.
[1]
. Demikian
juga tentang perusahaan industri alat dan lain-lainnya kepunyaan bangsa asing.
Bukan dengan jalan menyita dibereskan hal ini, melainkan diselesaikan manurut
asas fundamental tadi.
Pidato ini diucapkan pada Pembukaan
Konferensi Ekonomi di Yogyakarta, 3 Februari 1946, Membangun Koperasi dan
Koperasi Membangun.
Sumber: Inti Idayu Press, 1971, Hal.
139 – 156
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar