Pidato di Surabaya, 24 September 1955
Tatkala
disini belum ada agama Kristen, belum ada agama Islam, belum ada agama Hindu,
bangsa Indonesia telah mengagungkan warna Merah Putih. Pada waktu itu kita
belum mengenal Tuhan dalam cara mengenal sebagai sekarang ini. Pada waktu itu
yang kita sembah adalah matahari dan bulan. Pada waktu itu kita hanya mengira,
bahwa yang memberi hidup itu matahari. Siang matahari, malam bulan. Matahari
merah, bulan putih. Pada waktu itu kita telah mengagungkan warna Merah Putih.
Kemudian
bertambah kecerdasan kita. Kita lebih dalam menyelami akan hidup di alam ini.
Kita memperhatikan segala sesuatu didalam alam ini dan kita melihat. Oh, alam
ini ada yang hidup bergerak, ada yang tidak bergerak. Ada manusia dan binatang,
makhluk-makhluk yang bergerak. Ada tumbuh-tumbuhan yang tidak bisa bergerak.
“manusia dan binatang itu darahnya merah. Tumbuh-tumbuhan darahnya putih”.
Getih-getah. Cuma i diganti a. Dulu kita mengagungkan matahari dan bulan yang
didalam alam Hindu dinamakan Surya Chandra. Kemudian kita mengagunkan
getah-getih. Merah-Putih, saudara-saudara, itu adalah fase kedua.
Fase
ketiga, manusia mengerti akan kejadian manusia. Mengerti, bahwa kejadian
manusia ini adalah daripada perhubungan laki dan perempuan, perempuan dan laki.
Orang mengerti perempuan adalah merah, laki adalah putih.
Dan
itulah sebabnya maka tidak turun-temurun mengagungkan merah putih. Apa yang
dinamakan “gula-kelapa”, mengagungkan bubur bang putih. Itulah sebabnya maka
kita kemudian tatkala kita, mempunyai negara-negara setelah mempunyai
kerajaan-kerajaan, memakai merah putih itu sebagai bendera negara. Tatkala kita
mempunyai kerajaan Singosari, merah putih telah berkibar terus dirampas oleh
imprealisme asing. Tetapi didalam dada kita tetap hidup kecintaan kepada merah
putih.
Dan
tatkala kita, mengadakan pergerakan nasional sejak tahun 1908, dengan lahirnya
Budi Utomo dan diikuti oleh Serikat Islam, oleh NIP (National Indische Party),
oleh ISDP oleh PKI, oleh Serikat Rakyat, oleh PPPK, oleh PBI, oleh Parindra,
dan lain-lain, maka rakyat Indonesia tetap mencintai merah putih sebagai warna
benderanya.
Dan
tatkala kita pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan itu,
dengan resmi kita menyatakan sang merah putih adalah bendera kemerdekaan kita.
Itu
semua jika dikatakan sementara, ya sementara! sebab konstituante belum
bersidang. konstituate mau mengubah warna ini?? lho, kok menurut haknya, boleh
saja. Sebab konstituante itu adalah kekuasaan kita yang tertinggi. penyusun,
pembentuk konstitusi. Jadi konstituante misalnya hendak menentukan warna
bendera Negara Republik Indonesia bukan merah putih, yah mau dikatakan apa?
Tetapi
bapak berkata, bapak memohon kepada Allah SWT agar supaya warna merah putih
tetap menjadi warna bendera bendera republik Indonesia.
Kembali
lagi kepada Indonesia. Jika dikatakan sementara, yaaa….sementara!
Lagi-lagi
bapak berkata ini berkata, Allah SWT, Allah SWT. Dan bapak pun bersyukur
kehadirat Allah SWT, bahwa cita-cita bapak yang sudah bertahun-tahun untuk haji
dikabulkan oleh Allah SWT. Lagi-lagi, Allah SWT.
Saudara-saudara,
jikalau aku meninggalkan dunia nanti, ini hanya tuhan mengetahui, dan tidak
bisa dielakkan semua orang, jikalau ditanya oleh malaikat: hai….Soekarno,
tatkala engkau hidup di dunia, engkau telah mengerjakan beberapa pekerjaan.
Pekerjaan yang paling engkau cintai? Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi?
Pekerjaan apa yang paling engkau ucapkan syukur kepada Allah SWT? moga-moga
saudara-saudara aku bisa menjawab–ya…bisa menjawab demikian tau tidaknya itu
tergantung dari pada Allah SWT: “tatkala aku hidup didunia ini, aku telah ikut
membentuk negara republik Indonesia. Aku telah ikut membentuk satu wadah bagi
masyarakat Indonesia”.
Sebagai
sering kukatakan saudara-saudara, negara adalah wadah. Jikalau aku diberi
karunia oleh Allah SWT mengerjakan pekerjaan satu ini saja, Allahu Akbar, aku
akan berterima kasih setinggi langit. Yaitu untuk pekerjaan ini saja, ikut
membentuk wadah. Wadahnya, wadahnya saja yang bernama negeri ini. Di dalam
wadah ini ada masyarakat. Wadah yang dinamakan negara ini adalah wadah untuk
masyarakat.
Membentuk
wadah adalah lebih mudah daripada membentuk masyarakat. Membentuk wadah adalah
sebenarnya bisa dijalankan dalam satu hari—wadah yang bernama negeri itu.
Tidaklah,
saudara-saudara, dari sejarah dunia kadang-kadang mendengar, bahwa oleh suatu
konperensi kecil sekonyong-konyong diputuskan dibentuk negara ini, dibentuk
negara itu. Misalnya, dahulu sesudah peperangan dunia yang pertama, tidakkah
negara Cekoslowakia sekedar dengan coretan pena dari suatu konperensi kecil.
Membentuk negara…., gampang! Dulu disini pernah dibentuk negara Indonesia
Timur, negara Pasundan, hanya dengan dekrit Van Mook, saudara-saudara! Tetapi
mencoba membentuk masyarakat, susah!.
Membentuk
masyarakat, kita harus bekerja siang dan malam, bertahun-tahun, berpuluh-tahun,
kadang-kadang berwindu-windu, berabad-abad. Masyarakat apapun tidak gampang
dibentuknya. Itu meminta pekerjaan kita terus menerus. Baik masyarakat Islam,
maupun masyarakat Kristen maupun sosialis. Bukan bisa dibentuk dengan satu
dekrit saudara-saudara, dengan satu tulisan, dengan satu unjau nafas manusia.
Membentuk masyarakat makan waktu!
Yah…,
aku bermohon kepada tuhan, diperbolehkanlah hendaknya ikut membentuk masyarakat
pula. Masyarakat di dalam wadah itu.
Tetapi
aku telah bersyukur seribu syukur kepada tuhan, jikalau nanti aku bisa menjawab
kepada malaikat itu, bahwa hidupku di dunia ini antara lain-lain ialah telah
ikut membentuk wadah ini saja. Membentuk wadah yang bernama negara dan wadah
ini buat suatu masyarakat yang besar. Walaupun rapat ini lebih daripada satu
juta manusia saudara-saudara, wadah ini bukan kok cuma buat satu juta manusia
itu saja. Tidak! wadah yang bernama negara, negara yang bernama Republik
Indonesia itu adalah wadah untuk masyarakat Indonesia yang 80 juta, dari sabang
sampai marauke! Dan masyarakat Indonesia ini adalah beraneka ragam, beraneka
adat-istiadat, beraneka suku. Bertahun-tahun aku ikut memikirkan ini. Nanti
jikalau Allah SWT memberikan kemerdekaan kepada kita, dulu berpikiran demikianlah
bapak, jikalau negara republik Indonesia telah berdiri, segenap rakyat
Indonesia yang 80 juta. Negara harus didasarkan apa?
Tatkala
aku masih berumur 25 tahun, aku telah memikirkan hal ini. Tatkala aku aktif
didalam pergerakan, aku lebih-lebih lagi memikirkan hal ini. Tatkala dalam
zaman Jepang, tetapi oleh karena tekad kita sendiri, usaha kita sendiri,
pembantingan tulang sendiri, korbanan kita sendiri, tatkala fajar telah
menyinsing, lebih-lebih kupikirkan lagi hal ini. Wadah ini hendaknya jangan
retak. Wadah ini hendaknya utuh sekuat-sekuatnya. Wadah untuk segenap rakyat
Indonesia, dari sabang sampai marauke yang beraneka agama, beraneka suku
beraneka adat-istiadat.
Sekarang
aku menjadi presiden republik Indonesia adalah karunia tuhan. Aku tidak
menyesal, bahwa aku telah memfomulirkan pancasila. Apa sebabnya? barangkali
lebih daripada siapa pun di Indonesia ini, aku mengetahui akan keanekaan bangsa
Indonesia ini, aku mengetahui publik Indonesia aku berkesempatan sering-sering
untuk melewat ke daerah-daerah. Sering-sering aku naik kapal udara. Malahan
jikalau didalam kapal udara aku sering-sering, katakanlah, main gila dengan
pilot. Pilot terbanglah tinggi, lalu akan tanya kepadanya:
“Saudara
pilot, berapa tinggi?”
“12.000
kaki paduka yang mulia”
“kurang
tinggi, naikkan lagi”
“13.000
kaki”
“Hahaa…kurang
tinggi bung!”
“14.000
kaki”
“kurang
tinggi!”
“15.000
kaki”
“kurang
tinggi”
“16.000
kaki”
“kurang
tinggi”
“17.000
kaki”
“kurang
tinggi”
“sudah tidak bisa lagi, paduka
yang mulia. Kapal udara kita sudah mencapai plafon’.
Plafon
itu ialah tempat yang setinggi-tingginya bagi kapal udara itu.
Aku
terbang dari barat ke timur, dari timur ke barat. Dari utara ke selatan, dari
selatan ke utara. Aku melihat tanah air kita. Allahu akbar, cantiknya bukan
main! dan bukan saja cantik, sehingga benarlah apa yang diucapkan oleh
Multatuli di dalam kitab “Max Havelar”, bahwa Indonesia ini adalah demikian
cantiknya, sehingga ia sebutkan “Indulinde de zich daar slingert om den evenaar
als een gordel van smaragd”. Indonesia yang laksana ikat pinggang terbuat
daripada zamrud berlilit-lilit sekeliling khatulistiwa! Indahnya demikian.
Ya…,
memang saudara-saudara, jikalau engkau terbang 17.000 kaki diangkasa dan
melihat kebawah, kelihatan betul-betul Indonesia ini adalaha sebagai ikat
pinggang yang terbuat dari zamrud, melilit mengelilingi khatulistiwa,
berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu pulau saudara melihat. Dan tiap-tiap
pulau itu berwarna-warna. Ada yang hijau kehijauan, ada yang kuning kekuningan.
Indah permai tanah air kita ini, saudara-saudara. Lebih daripada 3.000 pulau,
bahkan kalau dihitung dengan yang kecil-kecil, 10.000 pulau.
Terbanglah
kapal udaraku datang di daerah Aceh. Rakyat Aceh menyambut kedatangan Presiden,
rakyat beragama Islam. Terbang lagi kapal udaraku, turun di Siborong-borong daerah
Batak. Rakyat Batak menyambut dengan gegap-gempita kedatangan Republik
Indonesia, agamanya Kristen.
Terbang
lagi, Saudara-saudara, dekat Sibolga, agama Kristen. Terbang lagi ke Selatan ke
Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan, agama Islam. Demikianlah pulau di Jawa,
kebanyakan beragama Islam, di sana Kristen, di sini Kristen. Terang lagi kapal
udaraku ke Banjarmasin, kebanyakan Islam. Tetapi di Banjarmasin itu aku bertemu
utusan-utusan dari suku Dayak, Saudara-saudara. Malahan di Samarinda aku
berjumpa dengan utusan-utusan, bahwa rakyat Dayak yang sembilan hari sembilan
malam turun dari gunung-gunung untuk menjumpai Presiden Republik Indonesia.
Mereka tidak beragama Islam, tetapi beragama agamanya sendiri.
Aku
ber-ibu orang Bali. Idayu Nyoman Rai nama Ibuku. Malahan jikalau aku
beristirahat di Tampaksiring, desa kecil di Bali, rakyat Bali menyebut aku,
kecuali Bung Karno, Bapak Karno, menyebut aku, Ida Bagus Made Karno. Aku
melihat masyarakat Bali yang dua juta manusia itu beragama Hindu-Bali. Di
Singaraja ada masyarakat Islam sedikit. Di Denpasar ada masyarakat Islam
sedikit. Terbang lagi kapal udaraku ke Sumbawa, Islam. Terbang kapal udaraku ke
Flores, pulau dimana aku dulu di internir rakyat Flores kenal akan Bung Karno,
Bung Karno kenal akan rakyat Flores, sebagian besar rakyat Flores itu beragama
Roma Katolik. Terbang lagi kapal udaraku ke Timor, sebagian besar
rakyatnya Kristen Protestan. Terbang lagi kapal udaraku ke Ambon, Kristen.
Sekitar Ambon itu adalah masyarakat Kristen. Terbang lagi ke Utara ke Ternate,
Islam di Ternate. Dari Ternate terbang ke Manado. Minahasa sekelilingnya
Kristen, ke Selatan Makasar, Islam. Di Tengah Sulawesi, Toraja sebagian besar
Kristen, sebagaian belum beragama.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar