Apa Sebab Negara Indonesia Berdasarkan Pancasila [2]

Diposting oleh poentjak harapan on Minggu, 18 Maret 2012


Pidato di Surabaya, 24 September 1955

 Tatkala disini belum ada agama Kristen, belum ada agama Islam, belum ada agama Hindu, bangsa Indonesia telah mengagungkan warna Merah Putih. Pada waktu itu kita belum mengenal Tuhan dalam cara mengenal sebagai sekarang ini. Pada waktu itu yang kita sembah adalah matahari dan bulan. Pada waktu itu kita hanya mengira, bahwa yang memberi hidup itu matahari. Siang matahari, malam bulan. Matahari merah, bulan putih. Pada waktu itu kita telah mengagungkan warna Merah Putih.
Kemudian bertambah kecerdasan kita. Kita lebih dalam menyelami akan hidup di alam ini. Kita memperhatikan segala sesuatu didalam alam ini dan kita melihat. Oh, alam ini ada yang hidup bergerak, ada yang tidak bergerak. Ada manusia dan binatang, makhluk-makhluk yang bergerak. Ada tumbuh-tumbuhan yang tidak bisa bergerak. “manusia dan binatang itu darahnya merah. Tumbuh-tumbuhan darahnya putih”. Getih-getah. Cuma i diganti a. Dulu kita mengagungkan matahari dan bulan yang didalam alam Hindu dinamakan Surya Chandra. Kemudian kita mengagunkan getah-getih. Merah-Putih, saudara-saudara, itu adalah fase kedua.
Fase ketiga, manusia mengerti akan kejadian manusia. Mengerti, bahwa kejadian manusia ini adalah daripada perhubungan laki dan perempuan, perempuan dan laki. Orang mengerti perempuan adalah merah, laki adalah putih.
Dan itulah sebabnya maka tidak turun-temurun mengagungkan merah putih. Apa yang dinamakan “gula-kelapa”, mengagungkan bubur bang putih. Itulah sebabnya maka kita kemudian tatkala kita, mempunyai negara-negara setelah mempunyai kerajaan-kerajaan, memakai merah putih itu sebagai bendera negara. Tatkala kita mempunyai kerajaan Singosari, merah putih telah berkibar terus dirampas oleh imprealisme asing. Tetapi didalam dada kita tetap hidup kecintaan kepada merah putih.
Dan tatkala kita, mengadakan pergerakan nasional sejak tahun 1908, dengan lahirnya Budi Utomo dan diikuti oleh Serikat Islam, oleh NIP (National Indische Party), oleh ISDP oleh PKI, oleh Serikat Rakyat, oleh PPPK, oleh PBI, oleh Parindra, dan lain-lain, maka rakyat Indonesia tetap mencintai merah putih sebagai warna benderanya.
Dan tatkala kita pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan itu, dengan resmi kita menyatakan sang merah putih adalah bendera kemerdekaan kita.
Itu semua jika dikatakan sementara, ya sementara! sebab konstituante belum bersidang. konstituate mau mengubah warna ini?? lho, kok menurut haknya, boleh saja. Sebab konstituante itu adalah kekuasaan kita yang tertinggi. penyusun, pembentuk konstitusi. Jadi konstituante misalnya hendak menentukan warna bendera Negara Republik Indonesia bukan merah putih, yah mau dikatakan apa?
Tetapi bapak berkata, bapak memohon kepada Allah SWT agar supaya warna merah putih tetap menjadi warna bendera bendera republik Indonesia.
Kembali lagi kepada Indonesia. Jika dikatakan sementara, yaaa….sementara!
Lagi-lagi bapak berkata ini berkata, Allah SWT, Allah SWT. Dan bapak pun bersyukur kehadirat Allah SWT, bahwa cita-cita bapak yang sudah bertahun-tahun untuk haji dikabulkan oleh Allah SWT. Lagi-lagi, Allah SWT.
Saudara-saudara, jikalau aku meninggalkan dunia nanti, ini hanya tuhan mengetahui, dan tidak bisa dielakkan semua orang, jikalau ditanya oleh malaikat: hai….Soekarno, tatkala engkau hidup di dunia, engkau telah mengerjakan beberapa pekerjaan. Pekerjaan yang paling engkau cintai? Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi? Pekerjaan apa yang paling engkau ucapkan syukur kepada Allah SWT? moga-moga saudara-saudara aku bisa menjawab–ya…bisa menjawab demikian tau tidaknya itu tergantung dari pada Allah SWT: “tatkala aku hidup didunia ini, aku telah ikut membentuk negara republik Indonesia. Aku telah ikut membentuk satu wadah bagi masyarakat Indonesia”.
Sebagai sering kukatakan saudara-saudara, negara adalah wadah. Jikalau aku diberi karunia oleh Allah SWT mengerjakan pekerjaan satu ini saja, Allahu Akbar, aku akan berterima kasih setinggi langit. Yaitu untuk pekerjaan ini saja, ikut membentuk wadah. Wadahnya, wadahnya saja yang bernama negeri ini. Di dalam wadah ini ada masyarakat. Wadah yang dinamakan negara ini adalah wadah untuk masyarakat.
Membentuk wadah adalah lebih mudah daripada membentuk masyarakat. Membentuk wadah adalah sebenarnya bisa dijalankan dalam satu hari—wadah yang bernama negeri itu.
Tidaklah, saudara-saudara, dari sejarah dunia kadang-kadang mendengar, bahwa oleh suatu konperensi kecil sekonyong-konyong diputuskan dibentuk negara ini, dibentuk negara itu. Misalnya, dahulu sesudah peperangan dunia yang pertama, tidakkah negara Cekoslowakia sekedar dengan coretan pena dari suatu konperensi kecil. Membentuk negara…., gampang! Dulu disini pernah dibentuk negara Indonesia Timur, negara Pasundan, hanya dengan dekrit Van Mook, saudara-saudara! Tetapi mencoba membentuk masyarakat, susah!.
Membentuk masyarakat, kita harus bekerja siang dan malam, bertahun-tahun, berpuluh-tahun, kadang-kadang berwindu-windu, berabad-abad. Masyarakat apapun tidak gampang dibentuknya. Itu meminta pekerjaan kita terus menerus. Baik masyarakat Islam, maupun masyarakat Kristen maupun sosialis. Bukan bisa dibentuk dengan satu dekrit saudara-saudara, dengan satu tulisan, dengan satu unjau nafas manusia. Membentuk masyarakat makan waktu!
Yah…, aku bermohon kepada tuhan, diperbolehkanlah hendaknya ikut membentuk masyarakat pula. Masyarakat di dalam wadah itu.
Tetapi aku telah bersyukur seribu syukur kepada tuhan, jikalau nanti aku bisa menjawab kepada malaikat itu, bahwa hidupku di dunia ini antara lain-lain ialah telah ikut membentuk wadah ini saja. Membentuk wadah yang bernama negara dan wadah ini buat suatu masyarakat yang besar. Walaupun rapat ini lebih daripada satu juta manusia saudara-saudara, wadah ini bukan kok cuma buat satu juta manusia itu saja. Tidak! wadah yang bernama negara, negara yang bernama Republik Indonesia itu adalah wadah untuk masyarakat Indonesia yang 80 juta, dari sabang sampai marauke! Dan masyarakat Indonesia ini adalah beraneka ragam, beraneka adat-istiadat, beraneka suku. Bertahun-tahun aku ikut memikirkan ini. Nanti jikalau Allah SWT memberikan kemerdekaan kepada kita, dulu berpikiran demikianlah bapak, jikalau negara republik Indonesia telah berdiri, segenap rakyat Indonesia yang 80 juta. Negara harus didasarkan apa?
Tatkala aku masih berumur 25 tahun, aku telah memikirkan hal ini. Tatkala aku aktif didalam pergerakan, aku lebih-lebih lagi memikirkan hal ini. Tatkala dalam zaman Jepang, tetapi oleh karena tekad kita sendiri, usaha kita sendiri, pembantingan tulang sendiri, korbanan kita sendiri, tatkala fajar telah menyinsing, lebih-lebih kupikirkan lagi hal ini. Wadah ini hendaknya jangan retak. Wadah ini hendaknya utuh sekuat-sekuatnya. Wadah untuk segenap rakyat Indonesia, dari sabang sampai marauke yang beraneka agama, beraneka suku beraneka adat-istiadat.
Sekarang aku menjadi presiden republik Indonesia adalah karunia tuhan. Aku tidak menyesal, bahwa aku telah memfomulirkan pancasila. Apa sebabnya? barangkali lebih daripada siapa pun di Indonesia ini, aku mengetahui akan keanekaan bangsa Indonesia ini, aku mengetahui publik Indonesia aku berkesempatan sering-sering untuk melewat ke daerah-daerah. Sering-sering aku naik kapal udara. Malahan jikalau didalam kapal udara aku sering-sering, katakanlah, main gila dengan pilot. Pilot terbanglah tinggi, lalu akan tanya kepadanya:
“Saudara pilot, berapa tinggi?”
“12.000 kaki paduka yang mulia”
“kurang tinggi, naikkan lagi”
“13.000 kaki”
“Hahaa…kurang tinggi bung!”
“14.000 kaki”
“kurang tinggi!”
“15.000 kaki”
“kurang tinggi”
“16.000 kaki”
“kurang tinggi”
“17.000 kaki”
“kurang tinggi”
“sudah tidak bisa lagi, paduka yang mulia. Kapal udara kita sudah mencapai plafon’.
Plafon itu ialah tempat yang setinggi-tingginya bagi kapal udara itu.
Aku terbang dari barat ke timur, dari timur ke barat. Dari utara ke selatan, dari selatan ke utara. Aku melihat tanah air kita. Allahu akbar, cantiknya bukan main! dan bukan saja cantik, sehingga benarlah apa yang diucapkan oleh Multatuli di dalam kitab “Max Havelar”, bahwa Indonesia ini adalah demikian cantiknya, sehingga ia sebutkan “Indulinde de zich daar slingert om den evenaar als een gordel van smaragd”. Indonesia yang laksana ikat pinggang terbuat daripada zamrud berlilit-lilit sekeliling khatulistiwa! Indahnya demikian.
Ya…, memang saudara-saudara, jikalau engkau terbang 17.000 kaki diangkasa dan melihat kebawah, kelihatan betul-betul Indonesia ini adalaha sebagai ikat pinggang yang terbuat dari zamrud, melilit mengelilingi khatulistiwa, berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu pulau saudara melihat. Dan tiap-tiap pulau itu berwarna-warna. Ada yang hijau kehijauan, ada yang kuning kekuningan. Indah permai tanah air kita ini, saudara-saudara. Lebih daripada 3.000 pulau, bahkan kalau dihitung dengan yang kecil-kecil, 10.000 pulau.
Terbanglah kapal udaraku datang di daerah Aceh. Rakyat Aceh menyambut kedatangan Presiden, rakyat beragama Islam. Terbang lagi kapal udaraku, turun di Siborong-borong daerah Batak. Rakyat Batak menyambut dengan gegap-gempita kedatangan Republik Indonesia, agamanya Kristen.
Terbang lagi, Saudara-saudara, dekat Sibolga, agama Kristen. Terbang lagi ke Selatan ke Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan, agama Islam. Demikianlah pulau di Jawa, kebanyakan beragama Islam, di sana Kristen, di sini Kristen. Terang lagi kapal udaraku ke Banjarmasin, kebanyakan Islam. Tetapi di Banjarmasin itu aku bertemu utusan-utusan dari suku Dayak, Saudara-saudara. Malahan di Samarinda aku berjumpa dengan utusan-utusan, bahwa rakyat Dayak yang sembilan hari sembilan malam turun dari gunung-gunung untuk menjumpai Presiden Republik Indonesia. Mereka tidak beragama Islam, tetapi beragama agamanya sendiri.
Aku ber-ibu orang Bali. Idayu Nyoman Rai nama Ibuku. Malahan jikalau aku beristirahat di Tampaksiring, desa kecil di Bali, rakyat Bali menyebut aku, kecuali Bung Karno, Bapak Karno, menyebut aku, Ida Bagus Made Karno. Aku melihat masyarakat Bali yang dua juta manusia itu beragama Hindu-Bali. Di Singaraja ada masyarakat Islam sedikit. Di Denpasar ada masyarakat Islam sedikit. Terbang lagi kapal udaraku ke Sumbawa, Islam. Terbang kapal udaraku ke Flores, pulau dimana aku dulu di internir rakyat Flores kenal akan Bung Karno, Bung Karno kenal akan rakyat Flores, sebagian besar rakyat Flores itu beragama Roma Katolik. Terbang lagi kapal udaraku ke Timor, sebagian besar rakyatnya Kristen Protestan. Terbang lagi kapal udaraku ke Ambon, Kristen. Sekitar Ambon itu adalah masyarakat Kristen. Terbang lagi ke Utara ke Ternate, Islam di Ternate. Dari Ternate terbang ke Manado. Minahasa sekelilingnya Kristen, ke Selatan Makasar, Islam. Di Tengah Sulawesi, Toraja sebagian besar Kristen, sebagaian belum beragama.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar