Pidato di Surabaya, 24 September 1955
Saudara-saudaraku
sekalian
Saya
adalah orang Islam, dan saya keluarga Negara Republik Indonesia. Sebagai orang
islam, saya menyampaikan salami salam kepada saudara-saudara sekalian,
“assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”.
Sebagai
warga Republik Indonesia, saya menyampaikan kepada saudara-saudara sekalian,
baik yang beragama Islam, baik beragama Hindu-Bali, baik yang beragama lain,
kepada saudara-saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional “Merdeka”!
Tahukah
saudara-saudara, arti perkataan “salam” sebagai bagian daripada perkataan
assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu? Salam artinya damai, sejahtera.
Jikalau kita menyebutkan assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, berarti
damai dan sejahterahlah sampai kepadamu. Dan moga-moga rahmat dan berkat Allah
jatuh kepadamu. Salam ber-arti damai, sejahtera. Maka oleh karena itu, saya
minta ke-pada kita sekalian untuk merenungkan benar-benar akan arti perkataan
“assalamu alaikum”.
Salam—damai—sejahtera!
Marilah
kita bangsa Indonesia terutama sekalian yang beragama Islam hidup damai dan
sejahtera satu sama lain. Jangan kita bertengkar terlalu-lalu sampai
membahayakan persatuan bangsa. Bahkan jangan kita sebagai gerombolan-gerombolan
yang menyebutkan assalamu alaikum, akan tetapi membakar rumah-rumah rakyat.
Salam—damai—sejahtera!
Rukun—bersatu! Terutama sekali dalam di dalam revolusi nasional kita belum
selesai ini.
Dan
sebagai warganegara yang merdeka, saya tadi memekikkan pekik “Merdeka”
bersama-sama dengan kamu. Kamu yang beragama Islam, kamu yang beragama Kristen,
kamu yang beragama Syiwa Buddha, Hindu-Bali atau agama lain. Pekik merdeka
adalah pekik yang membuat rakyat Indonesia itu, walaupun jumlahnya 80 juta,
menjadi bersatu tekad, memenuhi sumpahnya “sekali merdeka tetap merdeka”!
Pekik
merdeka, saudara-saudara, adalah “pekik pengikat”. Dan bukan saja pekik
pengikat, melainkan adalah cetusan daripada bangsa yang berkuasa sendiri,
dengan tiada ikatan imprealisme—dengan tiada ikatan penjajahan sedikit pun.
Maka oleh karena itu, saudara-saudara, terutama sekali fase revolusi nasional
kita sekarang ini, fase revolusi nasional belum selesai, jangan lupa kepada
pekik merdeka! Tiap-tiap kali kita berjumpa satu sama lain, pekikkanlah pekik
“merdeka”!
Tatkala
aku mengadakan perjalanan ke tanah suci beberapa pekan yang lalu, aku telah
diminta oleh khalayak Indonesia dikota Singapura untuk mengadakan amanat kepada
mereka. Ketahuilah, bahwa di Singapura itu berpuluh-puluh ribu orang Indonesia
berdiam. Mereka bergembira, bahwa Presiden Republiknya lewat Singapura. Mereka
menyambut kedatangan Presiden Republik Indonesia itu dengan gegap-gempita, dan
diminta kepada Presiden Republik Indonesia untuk memberikan amanah kepadanya.
Didalam amanah itu beberapa kali dipekikkan pekik “merdeka”.
Apa
lacur? Sesudah bapak meneruskan perjalanan ke Bangkok ke Rangoon, ke New Delhi,
Karachi, ke Bagdad, ke Mesir, ke Negara Saudi Arabia, sesudah bapak
meninggalkan kota Singapura, geger….pers imprealisme Singapura,
saudara-saudara. Mereka berkata: “Presiden Soekarno kurang ajar”. Presiden
Soekarno menjalankan ill-behavior, katanya. ill-behavior itu artinya tidak tau
kesopanan. Apa sebabnya pers imprealisme mengatakan bapak menjalankan
ill-behavior, kurang ajar? Kata mereka, toh tahu Singapura ini bukan negeri
merdeka? Toh tahu, bahwa di sini masih didalam kekuasaan asing, kok memekikkan
pekik “merdeka”?
Tatkala
bapak kembali dari tanah suci, singgah lagi di Singapura, bapak dikeroyok oleh
responden-responden dan wartawan-wartawan. Mereka menanyakan kepada bapak:
“Tahukah PYM Presiden, bahwa tatkala PYM Presiden meninggalkan kota Singapura
ddalam perjalanan ke Mesir dan tanah suci, PYM dituduh kurang ajar, kurang
sopan, ill-behavior, oleh karena PYM memekikkan pekik merdeka dan mengajarkan
kepada bangsa Indonesia disini memekikkan pekik merdeka? Apa jawab Paduka Yang
Mulia atas tuduhan itu?”
Bapak
menjawab: “jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warganegara
Republik Indonesia berjumpa dengan warganegara Republik Indonesia, pendek kata
jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia selalu memekikkan pekik
“merdeka”! Jangankan di sorga, di dalam neraka pun”!
Nah…saudara-saudara
dan anak-anakku sekalian, jangan lupa akan pekik merdeka itu. Gegap-gempitakan
tiap-tiap kali pekik merdeka itu. Apalagi sebagai bapak katakan tadi dalam fase
revolusi nasional kita yang belum selesai. Dus kuulangi lagi, sebagai manusia
yang beragama Islam, aku menyampaikan kepadamu salam “assalamu alaikum!”
sebagai warganegara Republik Indonesia, aku menyampaikan kepadamu “merdeka!”
Saudara-saudara,
aku pulang dari Bali—beristirahat beberapa hari di sana—diminta oleh Kongres
Rakyat Jawa Timur untuk pada inti malam memberikan sedikit ceramah, wejangan,
amanah, terutama sekali mengenai hal “apa sebabnya negara Republik Indonesi
berdasarkan kepada Pancasila? Dan memberikan penerangan tentang hal Panca
Dharma.
Tadi,
tatkala aku baru masuk gedung Gubernuran ini, hati kurang puas. Apa sebab?
Terlalu jauh jarak rakyat dengan bung Karno. Maka oleh karena itulah
saudara-saudaraku dan anak-anakku sekalian, maka bapak minta kepadamu pimpinan
agar supaya saudara-saudara diberi izin lebih dekat. Sebab, saudara-saudara
tahu isi hati bapak ini, isi hati Presiden, isi hati bung Karno, kalau jauh
daripada rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan rakyat,
rasanya laksana Kokrosono turun dari pertapaannya.
Permintaan
Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada saudara-saudara, insya Allah saya
kabulkan. Dan dengarkan benar, aku berpidato di sini bukan sekedar sebagai
Soekarno. Bukan sekedar sebagai bung Karno. Bukan sekedar sebagai pak Karno.
Aku berpidato disini sebagai Presiden Republik Indonesia! Sebagai Presiden
Republik Indonesia aku diminta memberi penjelasan tentang Pancasila. Apa
sebabnya negara Republik Indonesia didasarkan atas Pancasila?
Apa
sebab? Tak lain dan tak bukan ialah oleh karena aku ini Presiden Republik
Indonesia disumpah atas Undang-Undang dasar kita. Saya tadi berkata, bahwa saya
memenuhi permintaan Kongres Rakyat Jawa Timur dengan penuh kesenangan hati,
ialah oleh karena saya ini sebagai Presiden Republik disumpah atas dasar
Undang-Undang dasar kita. Disumpah harus setia kepada Undang-Undang dasar kita.
Di dalam Undang-Undang dasar kita, dicantumkan satu mukadimah, kata
pendahuluan. Dan di dalam kata pendahuluan itu dengan tegas disebutkan
Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan Indonesia yang bulat,
Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”. Malahan bukan satu kali
ini Pancasila itu disebutkan didalam Undang-Undang dasar kita. Sejak kita
didalam tahun 1945 telah berkemas-kemas untuk menjadi suatu bangsa yang
merdeka, sejak itu kita telah mengalami empat kali naskah.
Sebelum
kita mengadakan proklamasi 17 Agustus, sudah ada naskah. Kemudian pada tanggal
17 Agustus, satu naskah lagi. Kemudian tatkala RIS dibentuk, satu naskah lagi.
Kemudian sesudah itu, tatkala kita kembali kepada zaman Republik Indonesia
Kesatuan, satu naskah lagi. Empat kali naskah, saudara-saudara. Dan di dalam
keempat naskah itu dengan tegas disebutkan Pancasila.
Pertama,
tatkala kita didalam zaman Jepang, kita telah berkemas-kemas didalam tahun 1945
itu untuk menjadi bangsa yang merdeka. Pada waktu itu telah disusunlah satu
naskah yang dinamakan “Charter Jakarta”. Di dalam Charter Jakarta ini telah
disebutkan dengan tegas lima azas yang hendak kita pakai sebagai pegangan untuk
negara yang akan datang. “Ketuhanan yang maha esa, Kebangsaan, Peri
Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”.
Demikian
pula tatkala kita telah memproklamirkan kemerdekaan kita pada tanggal 17 Agustus
1945, dengan tegas pula keesokan harinya, saudara-saudara, kukatakan dengan
Undang-Undang Dasar yang kita pakai ini. Yaitu undang-undang dasar yang kita
rencanakan pada waktu zaman Jepang dibawah ancaman bayonet Jepang; kita
rencanakan satu undang-undang dasar daripada negara Republik Indonesia yang
kita proklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945. Dan didalam Undang-Undang
Dasar itu dengan tegas dikatakan Pancasila: “Ketuhanan yang maha esa,
Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”.
Tatkala
berhubung dengan jalannya politik, negara Republik Indonesia Serikat dibentuk
(RIS), pada waktu itu dibentuklah Undang-Undang Dasar RIS. Dan di dalam
mukadimah Undang-Undang Dasar RIS ini disebutkan lagi dengan tegas Pancasila.
Kita
tidak senang dengan federal-federalan. Segenap rakyat akan memprotes akan
adanya susunan ini. Delapan bulan susunan federal ini. Delapan bulan susunan
RIS berdiri, hancur lebur RIS, berdirilah negara Republik Indonesia Kesatuan.
Dan Undang-Undang Dasar yang dipakai RIS ini diubah menjadi Undang-Undang Dasar
Sementara daripada negara Republik Indonesia Kesatuan. Tetapi tidak diubah isi
mukadimah yang mengandung Pancasila.
Jadi,
dengan tegas, saudara-saudara, jelas! Empat kali didalam sepuluh tahun ini kita
melewati empat naskah. Tiap-tiap naskah menyebutkan Pancasila. Dan tatkala aku
dengan karunia Allah SWT dinobatkan menjadi Presiden, aku disumpah. Dan isi
sumpah itu antara lain setia kepada Undang-Undang Dasar. Maka oleh karena
itulah, saudara-saudara, rasa sebagai kewajiban jikalau diminta oleh sesuatu
golongan akan keterangan tentang Pancasila, memenuhi permintaan itu.
Dan
pada ini malam dengan mengucap suka syukur kehadira Allah SWT, aku berdiri
dihadapan saudara-saudara. Berhadap-hadapan muka dengan kaum buruh, dengan
pegawai, rakyat jelata, Pihak Angkatan Laut Republik Indonesia dan pihak
tentara, dengan pihak Mobrig, pihak polisi, pihak perintis, dengan pemuda,
dengan pemudi, berdiri dihadapan saudara-saudara dan anak-anak sekalian, yang
telah datang membanjiri lapangan yang besar ini laksana air hujan. Aku mengucap
banyak terima kasih kepadamu. Dan insya Allah, saudara-saudara, aku akan
terangkan kepadamu tentang apa sebab negara Republik Indonesia didasarkan
Pancasila.
Saudara-saudara.
Ada yang berkata Pancasila ini hanya sementara! Yah….jikalau diambil di dalam
arti itu, memang Pancasila adalah sementara. Tetapi bukan saja Pancasila adalah
sementara, bahkan ketentuan didalam Undang-Undang Dasar kita, bahwa Sang Merah
Putih bendera kita, itu pun sementara! Segala Undang-Undang Dasar kita sekarang
ini adalah sementara.
Tidakkah
tadi telah kukatakan, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita pakai sekarang ini,
malahan disebut Undang-Undang Dasar Sementara daripada negara Republik
Indonesia? Apa sebab sementara? Yah…..oleh karena akhirnya nanti yang akan
menentukan segala sesuatunya ialah konstituante.
Maka itu
saudara-saudara, kita akan mengadakan pemilihan umum dua kali. Pertama, pada
tanggal 29 September nanti, insya Allah, untuk memilih DPR. Kemudian pada
tanggal 5 desember untuk memilih konstituante adalah Badan pembentuk
Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar yang tetap. Konstituante adalah
pembentuk konstitusi. Konstitusi berarti Undang-Undang Dasar. Undang-Undang
Dasar tetap bagi negara Republik Indonesia, yang sampai sekarang ini
segala-segalanya masih sementara.
Tetapi,
saudara-saudara, jikalau ditanya kepadaku “Apa yang berisi kalbu bapak ini akan
permohonan kepada Allah SWT? Terus terang aku berkata, jikalau saudara-saudara
membelah dada bung Karno ini, permohonanku kepada Allah SWT ialah,
saudara-saudara bisa membaca didalam dada bung Karno memohon kepada Allah SWT
supaya negera Republik Indonesia tetap berdasarkan Pancasila.
Yah…benar,
bahwa segala sesuatunya adalah sementara. Tetapi aku berkata, bahwa Sang Merah
Putih adalah sementara, adalah bendera Republik Indonesia pun sementara. Dan
jikalau nanti konstituante bersidang, insya Allah, Saudara-saudaraku, siang dan
malam bapak memohon kepada Allah SWT agar supaya konstituante tetap menetapkan
bendera Sang Merah sebagai bendera negara Indonesia.
Aku
minta kepadamu sekalian, janganlah memperdebatkan Sang Merah Putih ii . jangan
ada satu pihak yang mengusulkan warna lain sebagai bendera Republik Indonesia.
Tahukah
saudara-saudara, bahwa warna Merah Putih ini bukan buatan Republik Indonesia?
Bukan buatan kita dari zaman pergerakan nasional. Apalagi bukan buatan bung
Karno, bukan buatan bung Hatta! Enam ribu tahun sudah kita mengenal akan warna
Merah Putih ini. Bukan beribu tahun, bukan dua ribu tahun, bukan tiga ribu
tahun, bukan empat ribu tahun, bukan enam ribu tahun! Enaaaam….ribu tahun kita
telah mengenal warna Merah Putih!
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar