Perdebatan mengenai “seni murni” dan seni
bertendens sering terjadi diantara kaum liberal dan kaum “populis”.
Permasalahan tersebut bukanlah persoalan kita. Dialektika materialis berdiri di
atas ini; dari cara pandang proses historis yang obyektif, seni selalu
merupakan pelayan sosial dan berdasarkan sejarah selalu bersifat utilitarian.
Seni memberikan alunan kata yang dibutuhkan bagi suasana hati yang samar dan
kelam, mendekatkan atau mengkontraskan pikiran dan perasaan, memperkaya
pengalaman spiritual individu dan masyarakat, memurnikan perasaan,
menjadikannya lebih fleksibel, lebih responsif, memperbesar volume pemikiran
sebelumnya dan bukan melalui metode personal yang berdasar pada pengalaman yang
terakumulasi, mendidik individu, kelompok sosial, kelas dan bangsa. Dan apa
yang disumbangkannya tersebut tidak dipengaruhi oleh permasalahan apakah seni
tersebut muncul di bawah bendera seni yang “murni” ataupun yang jelas-jelas
bertendensi pada kasus tertentu.
Dalam perkembangan sosial masyarakat kita (Rusia),
keberpihakan merupakan panji-panji kaum intelektual yang berusaha untuk
membangun hubungan dengan rakyat. Kaum intelektual yang tak mempunyai kekuatan
tersebut, dihancurkan oleh kekaisaran dan kehilangan lingkungan budaya,
berusaha mencari dukungan pada strata bawah dalam masyarakat dan membuktikan
kepada “rakyat” bahwa mereka berfikir, hidup, dan mencintai rakyat "secara
luar biasa." Dan seperti halnya kaum populis yang siap turun ke masyarakat
tanpa kain linen yang bersih, sisir dan sikat gigi, kaum intelektual siap
mengorbankan “kerumitan” bentuk dalam ekspresi seni mereka, demi memberikan
ekspresi yang paling spontan dan langsung untuk penderitaan dan harapan-harapan
kaum tertindas. Pada pihak lain, seni "murni" merupakan panji-panji
kaum borjuis yang sedang tumbuh, yang tidak bisa mendeklarasikan karakter
borjuisnya secara terbuka, dan pada waktu yang sama berusaha mempertahankan
kaum intelektual dalam kelompoknya.
Cara pandang Marxist telah dijauhkan dari tendensi-tendensi
tersebut, yang memang dulunya dibutuhkan secara historis, tetapi sesudahnya
menjadi sesuatu yang ketinggalan jaman. Dengan tetap mempertahankan investigasi
ilmiahnya, Marxisme secara seimbang mencari akar sosial dari seni yang murni
maupun seni yang berpihak. Marxisme sama sekali tidak "membebani"
seorang penyair dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pemikiran dan perasaan
yang dia ekpresikan, tetapi memberikan pertanyaan yang jauh lebih signifikan,
yaitu, pada perasaan-perasaan yang seperti apa sebuah karya artistik
berhubungan satu sama lain dalam keanehan-keanehannya? Kondisi-kondisi sosial
apa yang melingkupi pemikiran dan perasaan itu? Tempat apa yang mereka jajah
dalam perkembangan historis masyarakat dan kelas? Dan lebih jauh lagi, warisan
sastra apa yang bermain dalam elaborasi bentuk seni yang lebih baru? Di bawah
pengaruh impuls historis apa kompleksitas perasaan dan pemikiran terpecah dalam
kulit yang memisahkan mereka dari wilayah kesadaran puitik? Investigasi
tersebut dapat menjadi rumit, mendetil atau terindividualisasi, tetapi ide
mendasarnya terletak pada peran tambahan yang dijalankan seni dalam proses
sosial.
Setiap kelas memiliki kebijakannya sendiri terhadap seni,
yaitu berupa sebuah sistem yang menampilkan tuntutan-tuntutan atas seni, yang
berubah sesuai dengan waktu; seperti contohnya, perlindungan ala Maecenas
terhadap istana dan grand seigneur, hubungan otomatis antara permintaan dan
penawaran yang dipasokkan oleh metode-metode kompleks yang mempengaruhi
individu-individu, dan seterusnya, dan sebagainya. Ketergantungan sosial dan
bahkan personal dari seni tidaklah ditutup-tutupi, tapi secara terbuka
diumumkan selama seni tersebut mempertahankan sifat jujurnya. Karakter
misterius, luas, dan populer dari borjuis yang bangkit telah menggiring, secara
menyeluruh, pada teori seni murni, meskipun begitu banyak penyelewengan terjadi
dalam teori ini. Seperti yang telah diindikasikan di atas, sastra bertendens
kaum intelektual "populist" diimbuhi dengan sebuah kepentingan kelas;
kaum intelektual tidak mampu memperkuat dirinya sendiri dan merebut hak untuk
memainkan peranan dalam sejarah bagi dirinya tanpa dukungan dari rakyat. Tapi
dalam perjuangan revolusioner, egotisme kelas kaum intelektual terpadamkan, dan
pada sayap kirinya, mereka mengasumsikan bentuk pengorbanan diri dalam tataran
tertinggi. Itulah kenapa kaum intelektual tidak hanya menutupi seni dengan
sebuah tendensi, tapi memproklamirkannya, yaitu mengorbankan seni, seperti
halnya mereka mengorbankan banyak hal lainnya.
Konsepsi Marxist tentang ketergantungan sosial obyektif serta
kegunaan sosial dari seni, saat diterjemahkan dalam bahasa ilmu politik,
bukannya dimaksudkan untuk mendominasi seni dengan perintah atau pesanan. Tidak
benar jika dikatakan bahwa kita hanya menghargai seni yang baru dan revolusioner,
yang menyuarakan suara para pekerja, dan omong kosong jika kita dikatakan
menuntut para penyair menggambarkan cerobong pabrik, atau pemberontakan melawan
kapital! Tentu saja seni yang baru, tidak bisa tidak, menempatkan perjuangan
proletariat pada perhatiannya yang utama. Tapi penjajakan seni baru tidaklah
terbatas pada beberapa bidang saja. Sebaliknya, ini harus menjajaki semua
seluruh lapangan dalam keseluruhan arah. Syair-syair pribadi dalam lingkupnya
yang terkecil memiliki hak mutlak untuk tetap eksis dalam seni baru. Tetapi,
manusia baru tak akan bisa dibentuk tanpa adanya sebuah puisi liris baru.
Tetapi untuk menciptakannya, sang penyair harus memandang dunia dengan
cara yang baru. Jika Kristus atau Sabaoth saja lunglai dalam rengkuhan para
penyair (seperti dalam kasus Akhmatova, Tsvetaeva, Shkapskaya dan yang lain),
ini membuktikan betapa ketinggalannya lirik mereka dan betapa tidak
mencukupinya mereka bagi manusia baru. Bahkan saat dimana terminologi seperti
itu tidak lebih dari sekedar kata dalam menghadapi zaman, hal tersebut
menunjukkan sebuah kemacetan psikologis, dan oleh karenaya berdiri dalam
kontradiksi dengan kesadaran manusia baru.
Tak seorangpun ingin atau bermaksud memaksakan tema-tema pada
para penyair. Silahkan menulis tentang segala sesuatu yang anda pikirkan. Tapi
biarkanlah kelas baru ini, kelas yang merasa terpanggil untuk membangun sebuah
dunia baru, bersuara kepada anda dalam beberapa permasalahan-permasalahan
tertentu. Kelas ini tidak memaksa penyair-penyair muda anda menerjemahkan
filsafat hidup abad tujuh belas dalam bahasa yang sempurna. Karya seni, dalam
lingkup tertentu dan tingkatan yang luas, bersifat merdeka, tetapi seniman yang
menciptakan karya ini dan juga pemirsa yang menikmatinya bukanlah mesin-mesin
mati; yang pertama menciptakan karya dan yang kedua mengapresiasi karya
tersebut. Mereka adalah makhluk hidup, meskipun kadang tidak seluruhnya
harmonis, dengan kondisi psikologi terkristalisasi yang mewakili sebuah
kesatuan tertentu. Psikologi seperti ini merupakan akibat dari kondisi-kondisi
sosial. Penciptaan dan persepsi seni adalah satu dari sekian fungsi psikologi
tersebut. Dan tak peduli sepandai apapun kaum formalis mencoba menampilkan
dirinya, konsepsi keseluruhan mereka secara sederhana didasarkan pada fakta bahwa
mereka mengabaikan kesatuan psikologis dari manusia sosial, yang menciptakan
dan menikmati apa yang telah diciptakan itu.
Dalam seni, kelas proletar harus memiliki ekspresi yang
berasal dari cara pandang spiritual baru yang mulai diformulasikan dalam diri
mereka, dan kemana seni harus membantunya untuk menciptakan bentuk. Ini
bukanlah tuntutan negara, tetapi tuntutan sejarah. Kekuatannya terletak pada
obyektifitas dari kebutuhan sejarah. Anda tak bisa melewatinya begitu saja,
atau lari dari kekuatannya. . . .
Victor Shklovsky, yang secara enteng meloncat dari formalisme
verbal ke penilaian subyektif, menunjukkan sikap yang sangat memusuhi teori
materialisme historis seni. Dalam sebuah booklet yang dia publikasikan di
Berlin, dengan judul The March of the Horse, dia
memformulasikan sebuah nilai fundamental, dalam tingkatan tertentu juga tak
terbantahkan, argumen panjang Shklovsky-five (bukannya empat atau enam,
tapi lima) melawan konsepsi materialis seni dalam tiga halaman kecil. Mari kita
bersama-sama mempelajari argumen ini, karena toh untuk mengetahui guyonan
seperti apa yang disebarkannya sebagai perlawanan terakhir dari pemikiran
ilmiah (dengan ragam referensi ilmiah terbesar yang termuat dalam tiga halaman
microscopik yang sama) tak akan membuat kita cedera.
"Jika lingkungan dan relasi produksi”, kata Shklovsky, “telah
mempengaruhi seni, lalu tidakkah tema-tema seni akan terikat pada tempat-tempat
yang terhubung dalam relasi-relasi itu saja? Padahal tema tak terbatas
wilayah.” Well, bagaimana dengan
kupu-kupu? Menurut Darwin, mereka juga terhubung dengan relasi-relasi khusus,
tapi mereka toh terbang dari satu tempat ke tempat lain, seperti halnya sastra.
Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memahami kenapa Marxisme
selalu dicurigai mengutuk atau memperbudak tema-tema. Fakta bahwa orang yang
berbeda dan orang yang sama dalam kelas yang berbeda mempergunakan tema yang
sama secara sederhana menunjukkan betapa terbatasnya imaginasi manusia, dan
betapa manusia mencoba untuk mempertahankan energi ekonomi dalam setiap jenis
kreasi, bahkan dalam artsitik. Setiap kelas mencoba untuk memanfaatkan, hingga
tingkatan yang tertinggi, warisan material dan spiritual dari kelas lainnya.
Argumen Shklovsky dapat ditransfer secara sederhana ke dalam
bidang tekhnik produktif. Mulai zaman kuno, wagon selalu didasarkan pada satu
tema yang sama, yang disebut, as roda, roda, dan lampu. Tetapi, kereta
patrisian Roma diadaptasi sesuai selera dan kebutuhannya, seperti halnya kereta
Count Orloy, disesuaikan dengan kelembutan yang sesuai dengan selera Catherine
the Great. Wagon petani Rusia diadaptasi sesuai dengan kebutuhan rumah
tangganya, pada kekuatan kudanya yang kecil, dan pada karakter jalan-jalan
pedesaan. Otomobil, yang tak bisa dibantah merupakan produk dari tekhnik baru,
menunjukkan tema yang sama, yang disebut empat roda dan dua as roda. Tapi saat
kuda para petani mundur ketakutan terkena sinar lampu yang menyilaukan dari
otomobil di jalanan Rusia pada malam hari, sebuah konflik dari dua budaya
terefleksi dalam sebuah episode.
"Jika lingkungan mengekspresikan dirinya sendiri dalam
novel," makan muncullah argumen yang kedua, "ilmu pengetahuan Eropa
tidak akan bersusah payah memikirkan dari mana cerita Seribu Satu Malam
diciptakan, entah dari Mesir, India, atau Persia." Untuk menyebutkan bahwa
lingkungan seseorang, termasuk seorang seniman, yaitu kondisi dari pendidikan
dan kehidupannya, menemukan ekspresi dalam seninya bukanlah berarti menyatakan
bahwa ekspresi seperti itu memiliki memiliki karakter geografis, etnografis,
dan karakter statistikal yang sama persis. Tidaklah mengejutkan bahwa adalah
sulit untuk memutuskan apakah sebuah novel ditulis di Mesir, India atau Persia,
karena kondisi sosial dari negara-negara tersebut memiliki banyak kesamaan.
Tapi fakta utama bahwa ilmu pengetahuan Eropa “memecahkan kepalanya” mencoba
untuk menjawab pertanyaan ini dari novel tersebut menunjukkan bahwa novel itu
merefleksikan sebuah lingkungan, meskipun tak sama persis. Tak seorang pun bisa
melompat diluar dirinya. Bahkan omelan dari seorang yang sakit jiwa
berisi sesuatu yang orang itu terima dari dunia luar sebelum dia sakit. Tapi
adalah gila untuk menganggap omelannya sebagai refleksi akurat dari dunia di
luar dirinya. Hanya seorang psikiatris yang berpengalaman dan penuh
perhitungan, yang mengetahui masa lalu dari sang pasien, yang akan mampu
menemukan mana bagian realita yang terefleksi atau terdistorsi dalam isi
omelannya.
Kreasi artistik tentu saja bukanlah omelan meskipun ini juga
merupakan pembelokan, sebuah perubahan dan transformasi realita, sesuai dengan
hukum-hukum kekhususan seni. Sejauh apapun seni fantasi melangkah, dia tak bisa
menolak material lain kecuali apa yang diberikan dunia tiga dimensi dan
masyarakat berkelas padanya. Bahkan saat sorang artis menciptakan sorga dan
neraka, dia hanya mentransformasikan pengalaman dari hidupnya dalam
phantasmagoria.
"Jika ciri-ciri kelas dan kelas sendiri terakumulasi
dalam seni," Shklovsky melanjutkan, "lalu bagaimana bisa
dongeng-dongeng orang Rusia yang beragam mengenai bangsawannya sama dengan
dongeng tentang pendeta mereka?"
Dalam esensinya, ini hanyalah bentuk lain dari argumen yang
pertama. Kenapa dongeng tentang bangsawan dan pendeta tidak boleh sama, dan
apakah itu bertentangan dengan Marxisme? Proklamasi yang ditulis secara jelas
oleh kaum Marxist seringkali membicarakan mengenai tuan tanah, kapitalis,
pendeta, jendral dan penghisap lainnya. Tuan tanah tak bisa dibantah berbeda
dengan kapitalis, tapi terdapat kasus dimana mereka dianggap serupa. Kenapa,
karenanya, kesenian rakyat dalam kasus-kasus tertentu tidak boleh memperlakukan
bangsawan dan pendeta sebagai wakil dari kelas yang berdiri di atas rakyat dan
yang merampok mereka? Dalam kartun Moor dan Deni, pendeta bahkan sering berdiri
berdampingan dengan tuan tanah, tanpa merusak analisa Marxisme.
"Jika ciri-ciri etnografis tercermin dalam seni,"
lanjut Shklovsky, " folklore tentang orang di luar batas folknya tak akan
bisa terserap dan tak akan bisa dituturkan oleh folk yang lain."
Seperti yang anda lihat, argumen tersebut sama sekali tak
bisa dijadikan sebagai serangan pada Marxisme. Marxisme tidak pernah menyatakan
bahwa ciri-ciri etnografi mempunyai sifat independen. Sebaliknya, Marxisme
menekankan adanya signifikansi ketergantungan formasi folklore pada
kondisi-kondisi ekonomis dan alamiah. Kesamaan kondisi dalam perkembangan
masyarakat beternak dan bertani, dan kesamaan dalam karakter hubungan
pengaruh-mempengaruhi yang menguntungkan antara satu sama lain, tidak bisa
tidak akan akan menggiring pada penciptaan folklore yang serupa. Dan dari cara
pandang pertanyaan yang menjadi perhatian kita saat ini, kita dapat mengetahui
bahwa pertanyaan ini tidak membedakan apakah tema homogen ini muncul secara
independen diantara komunitas yang berbeda, sebagai refleksi pengalaman hidup
yang homogen dalam ciri mendasarnya dan yang terefleksi melalui prisma homogen
imajinasi para petani, atau apakah benih dari dongeng ini diseret angin yang
ramah dari satu tempat ke tempat yang lain, mengakar dimanapun juga tanah mau
menerimanya. Sangatlah mungkin, dalam realitanya, bahwa metode-metode tersebut
terkombinasikan.
Dan akhirnya, dalam argumen kelimanya yang terpisah -
"Rasio yang telah diajukan (Marxisme) salah”- Shklovsky merujuk pada tema
seputar penculikan yang diangkat dalam komedi-komedi Yunani sampai dengan drama
Ostrovsky. Dengan kata lain, pengkritik kita ini mengulangi, dalam bentuk
khusus, argumennya yang terawal (seperti yang kita lihat, bahkan dalam
menggunakan logika formal, formalis kita ini tak bagus juga). Benar, tema-tema
memang bermigrasi dari rakyat ke rakyat yang lain, dari kelas ke kelas yang
lain, dan bahkan dari penulis ke penulis yang lain. Ini menunjukkan bahwa
imajinasi manusia bersifat ekonomis. Sebuah kelas tidak betul-betul menciptakan
budayanya dari nol, tapi merebut kepemilikan kelas sebelumnya atas budaya sebelumnya,
memecahnya, menyentuhnya, menggarapnya, dan membangunnya lebih jauh. Jika tak
terjadi pemanfaatan tangan kedua seperti demikian, proses historis tak akan
pernah mengalami perkembangan sama sekali. Tidak hanya tema drama Ostrovsky itu
saja yang didapat melalui Mesir dan melalui Yunani, tetapi kertas dimana
Ostrovsky mengembangkan temanya juga merupakan sebagai sebuah pengembangan dari
papyrus Mesir dan perkamen Yunani. Mari kita mengambil analogi yang lain yang
lebih dekat: fakta bahwa metode kritis dari para Sophis Yunani, yang merupakan
kaum formalis di zamannya, telah berpenetrasi dalam kesadaran teoritis
Shklovsky, tidak merubah sama sekali fakta bahwa Shklovsky sendiri merupakan
sebuah produk yang apik dari sebuah lingkungan sosial tertentu dan zaman
tertentu.
Usaha menghancurkan Marxisme yang dilakukan Shklovsky dalam
lima poinnya sangat mengingatkan kita pada artikel-artikel yang diterbitkan
melawan Darwinisme dalam sebuah majalah The Orthodox Review pada
masa lalu yang indah. Jika doktrin bahwa manusia berasal dari kera adalah
benar, tulis Uskup berpendidikan Nikanor dari Odessa tiga puluh atau empat
puluh tahun yang lalu, maka kakek kita akan memiliki tanda-tanda semacam ekor,
atau setidaknya akan pernah melihat ciri seperti itu pada kakek atau nenek
mereka. Kedua, seperti semua orang ketahui, monyet hanya bisa melahirkan
monyet... Kelima, Darwinisme salah, karena dia menyangkal formalism — maaf,
maksud saya, keputusan formal konferensi gereja seluruh dunia. Keuntungan dari
rahib berpendidikan ini terletak pada fakta bahwa dia merupakan passéist
terang-terangan dan mengambil pedomannya dari Rasul Paulus dan bukan dari
Fisika, Kimia atau Matematika, seperti sang futuris Shklovsky lakukan.
Tak perlu dipertanyakan lagi kebenaran bahwa kebutuhan akan
seni bukanlah diciptakan oleh kondisi-kondisi ekonomi. Kebutuhan akan pangan
juga tak diciptakan oleh ilmu ekonomi. Sebaliknya, kebutuhan pangan dan
kehangatan menciptakan ilmu ekonomi. Adalah benar bahwa seseorang tak bisa
selalu menengok prinsip-prinsip Marxisme dalam memutuskan apakah akan menolak
atau menerima sebuah karya seni. Sebuah karya seni harus, pertama kali, dinilai
berdasarkan hukumnya sendiri, yaitu dengan hukum-hukum seni. Tapi Marxisme
sendiri dapat menjelaskan kenapa dan bagaimana tendensi tertentu dalam seni
bermula dalam periode tertentu sejarah; dengan kata lain, siapakah yang
menciptakan tuntutan terhadap sebuah bentuk artistik dan bukan yang lain, dan
kenapa.
Akan kekanak-kanakan untuk berfikir bahwa setiap kelas mampu
secara menyeluruh dan penuh menciptakan seninya sendiri dari dalam dirinya
sendiri, dan, secara khusus, bahwa kaum proletariat mampu untuk menciptakan
sebuah seni baru melalui gilda-gilda seni dan lingkaran-lingkaran tertutup,
atau dengan Organisasi Budaya Proletar, dan sebagainya. Berbicara secara umum,
karya artistik manusia selalu berkelanjutan. Setiap kelas yang baru tumbuh
melekatkan dirinya pada bahu kelas sebelumnya. Tapi kontinuitas ini bersifat
dialektis, yaitu dia menemukan dirinya sendiri melalui tabrakan-tabrakan dan
perpecahan internal. Kebutuhan atau tuntutan artistik baru bagi cara pandang
artistik dan susastra baru distimulasikan oleh ekonomi, melalui perkembangan
sebuah sebuah kelas baru, dan desakan kecil yang dipasok oleh perubahan posisi
kelas itu, dibawah pengaruh dari pertumbuhan kekayaan serta kekuasaan budaya
kelas tersebut.
Penciptaan artistik merupakan penggalian segala isi
bentuk-bentuk lama yang rumit, di bawah pengaruh desakan baru yang berasal dari
luar seni. Dalam pengertian yang besar, seni adalah buah tangan. Seni bukannya
sebuah elemen terpisah yang mampu merawat dirinya sendiri, tapi seni adalah
sebuah fungsi manusia sosial yang terikat pada hidup dan lingkungannya. Dan
betapa berkarakternya–jika seseorang ingin mereduksi setiap ketakhayulan sosial
ke dalam absurditasnya- seorang Shklovsky ketika dia sampai pada ide mengenai
independensi mutlak seni dari lingkungan sosial dalam sebuah periode sejarah
Rusia dimana seni mengungkapkan spiritualitasnya, lingkungannya dan
ketergantungan materialnya pada kelas-kelas sosial, sub-kelas and
kelompok-kelompok secara gamblang!
Materialisme tidak menyangkal signifikansi dari elemen-elemen
bentuk, baik dalam logika, yurisprudensi atau seni. Seperti halnya sebuah
sistem yurisprudensi dapat dan harus dinilai dengan logika dan konsistensi
internal, maka seni juga dapat dan harus dinilai dari sudut pandang
pencapaiannya dalam bentuk, karena tak akan pernah ada seni tanpanya. Namun,
teori yuridis yang dicoba untuk mengembangkan independensi hukum dari kondisi
sosial akan cacat pada dasar terdalamnya. Kekuatan gerak hukum terletak pada
bidang ekonomi-dalam kontradiksi-kontradiksi sosial. Hukum hanya memberikan
ekspresi yang terharmonisasi secara internal dan ekspresi formal dari
fenomena-fenomena ini, bukan tentang kekhususan-kekhususan individual, tapi
tentang karakter umumnya, yaitu elemen-elemen yang terulang dan permanen
didalamnya. Kita dapat melihat sekarang dengan secercah kejelasan dalam sejarah
bagaimana hukum yang baru terbentuk. Ini tidak dilakukan dengan deduksi logis,
tapi melalui penilaian empirik dan penyesuaian pada kebutuhan-kebutuhan
ekonomis dari kelas penguasa baru.
Sastra, yang metode dan prosesnya memiliki akar jauh di masa
lalu dan mewakili pengalaman akumulatif dari kepengrajinan verbal,
mengekspresikan pemikiran, perasaan, suasana hati, sudut pandang dan harapan
dalam era baru dan kelas barunya. Kita tak bisa melompati tahap ini. Dan tak
ada gunanya untuk melompatinya, setidaknya, bagi mereka yang tidak mengabdi
pada masa lalu atau kelas yang telah hidup lebih lama dari kekuasaannya.
Metode analisis formal memang dibutuhkan, tapi tidak
mencukupi. Anda bisa menghitung jumalah aliterasi dalam mazmur-mazmur populer,
mengklasifikasikan metafora, menghitung jumlah huruf vokal dan konsonan dalam
sebuah lagu pernikahan. Ini tentu saja memperkaya pengetahuan kita akan seni
rakyat, dalam satu atau beberapa segi lainnya; tapi jika anda tidak paham akan
sistem bercocok tanam para petani, dan kehidupan yang didasarkan pada sistem
ini, jika anda tidak tahu bagian permainan-permainan celurit, dan jika anda
tidak menguasai makna dari kalender gereja bagi para petani, periode waktu
dimana para petani menikah, atau dimana para petani perempuan melahirkan, anda
hanya akan memahami lapisan luar kesenian folk, tapi bagian terpentingnya tidak
akan pernah teraih.
Pola arsitektural dari katedral Cologne bisa dibentuk dengan
cara menghitung dasar dan tinggi dari tapaknya, dengan menentukan tiga dimensi
pada bagian tengahnya, dimensi-dimensi dan penempatan kolom-kolomnya, dan
seterusnya. Tapi tanpa tahu seperti apa kota di abad pertangahan, apakah gilda
itu, dan apakah makna dari gereja Katolik dalam abad pertengahan, katedral
Cologne tak akan pernah bisa dipahami. Usaha untuk memisahkan seni dengan
kehidupan, untuk mendeklarasikan kemandirian kerajinan dalam dirinya,
mendevitalisasi dan membunuh seni. Kebutuhan akan tindakan seperti itu
merupakan sebentuk peringatan yang tak mungkin meleset tentang adanya
kemunduran intelektual.
Analogi antara argumen-argumen teologis dan Darwinisme yang
disebutkan di atas mungkin terkesan tak berhubungan dan anekdotal bagi pembaca.
Mungkin benar, untuk beberapa segi. Tapi sebuah hubungan yang lebih dalam
memang ada. Teori formalis tak pelak akan membangkitkan kenagan kaum Marxist
yang telah membaca semua lagu-lagu akrab berisikan melodi filosofis yang sangat
kuno. Para ahli hukum dan dan kaum moralis (untuk mengingat kembali secara acak
Stammler si orang Jerman, dan kaum subyektivis kita Mikhailovsky) mencoba untuk
membuktikan bahwa moralitas dan hukum tak bisa ditentukan oleh kondisi ekonomi,
karena kehidupan ekonomi tak mungkin berada diluar norma etis dan yuridis.
Nyatanya, kaum formalis hukum dan moral tak pernah melangkah sampai titik
dimana mereka mampu memperlihatkan independensi total hukum dan etika dari
ekonomi. Mereka mengakui hubungan tertentu yang mutual dan komplek. Mereka
mengakui keberadaan 'faktor,’ dan faktor-faktor ini, meski mempengaruhi satu
sama lain, mempertahankan kwalitas substansi-substansi independen, datang tanpa
seorangpun tahu darimana asalnya. Penegasan atas independensi total dari faktor
estetik dari pengaruh kondisi-kondisi sosial, seperti yang dirumuskan oleh
Shklovsky, merupakan sebuah contoh dari hiperbola spesifik yang akarnya
terletak pada kondisi-kondisi sosial juga; ini adalah megalomania estetika yang
menyalakan realita kehidupan yang berat pada kepalanya. Lepas dari ciri khusus
ini, konstruksi kaum formalis menunjukkan metodologi yang salah, sama dengan
apa yang setiap jenis idealisme lain punyai.
Bagi seorang materialis, agama, hukum, moral dan seni
merepresentasikan aspek-aspek terpisah dari satu kesatuan dan proses
pembangunan sosial yang sama. Meski mereka membedakan dirinya dari dasar
industrialnya, bertumbuh semakin komplek, memperkuat dan mengembangkan
sifat-sifat istimewanya dalam detil-detil, politik, agama, hukum, etika dan
estetika tetap mempertahankan fungsi manusia sosial dan mengikuti hukum-hukum
organisasi sosialnya. Kaum idealis, pada lain pihak, tidak melihat sebuah
kesatuan proses perkembangan historis yang mengembangkan organ-organ dan fungsi
yang perlu dari dalam dirinya sendiri, tapi lebih sebagai sebuah
penginteraksian, pengkombinasian, dan persinggungan prinsip-prinsip independen
tertentu- substansi-substansi agamis, politis, yuridis, estetik dan etis, yang
mempunyai sebab dan penjelasan dalam diri mereka sendiri.
Idealisme (dialektis) Hegel merancang substansi-substansi
semacam ini (yang merupakan kategori-kategori abadi) dalam beberapa urutan
dengan cara mereduksi mereka menjadi sebuah kesatuan genetik. Lepas dari fakta
bahwa kesatuan ini bagi Hegel adalah roh absolut, yang membagi dirinya sendiri
dalam sebuah proses manifestasi dialektisnya menjadi beragam
"faktor," sistem Hegel, karena sifat dialektisnya, bukan karena
idealismenya, memberikan sebentuk gambaran realita historis seperti dalam
ilustrasi sebuah tangan manusia yang dilepaskan dari sarung tangannya.
Tapi kaum formalis (dan wakil terjeniusnya, Immanuel Kant)
dalam hari dan jam penyingkapan filosofisnya, tidak mencermati seluruh dinamika
perkembangan, melainkan hanya pada satu bagian persinggungannya saja. Mereka
mengungkapkan kompleksitas dan keberagaman obyek yang terdapat dalam dalam
garis pertemuan itu (bukannya proses, karena mereka tidak memikirkan tentang
proses-proses). Kompleksitas ini mereka analisa dan kelompokkan. Mereka memberi
nama pada elemen-elemen, yang serta merta ditransformasikan dalam
esensi-esensi, dalam sub-absolut, tanpa ayah dan ibu; dalam gurauan, agama,
politik, moral, hukum, seni. Di sini kita tak lagi mendapati sarung tangan
sejarah yang terobek saja, tapi juga kulit jari yang terkoyak, dijemur dalam
suhu abstraksi penuh, dan tangan sejarah ini menjadi produk dari “interaksi”
ibu jari, jari telunjuk , jari tengah, dan semua "faktor-faktor"
lainnya. Jari kelingking merupakan "faktor" estetik, bagian yang
terkecil, tapi bukannya yang terakhir dicintai.
Dalam biologi, vitalisme adalah variasi-variasi pemujaan
mutlak yang sejenis dalam menunjukkan aspek-aspek berbeda dari proses dunia, tanpa
pemahaman atas relasi internal. Seorang pencipta adalah semua yang tak memiliki
estetika atau moralitas absolut dan supersosial, atau “kekuatan vital” absolut
superfisikal. Keberagaman faktor-faktor independen, "faktor-faktor"
yang tak berawal dan berakhir, tidak lain adalah sebuah politeisme bertopeng.
Seperti halnya idealisme Kantian secara historis mewakili sebuah terjemahan
Kekristenan dalam bahasa filsafat rasionalistik, semua jenis formalisasi
idealistik, baik yang terbuka maupun rahasia, menggiring kita pada figur tuhan,
sebab dari segala sebab. Dalam perbandingan dengan oligarki sekumpulan
sub-absolut filsafat idealis, seorang individu pencipta tunggal hanyalah satu
elemen dalam deretan yang ada. Di sinilah terletak hubungan yang lebih dalam
antara penolakan kaum formalis terhadap Marxisme dan penolakan teologis
terhadap Darwinisme.
Mazhab formalis adalah idealisme gagal yang diterapkan pada
pertanyaan seni. Kaum formalis menunjukkan sebuah relijiusitas yang matang.
Mereka adalah pengikut Santo Yohanes. Mereka percaya bahwa "pada mulanya
adalah Firman." Namun kita percaya bahwa pada mulanya adalah perbuatan.
Sang kata mengikuti, sebagai bayang-bayang fonetiknya.
[Sumber: www.marxist.org]
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar