Tidak pernah ada begitu banyak kaum pasifis
di dunia seperti sekarang ini, ketika di semua negeri manusia saling membunuh.
Setiap epos sejarah tidak hanya memiliki tekniknya sendiri dan bentuk
politiknya sendiri, tetapi juga kemunafikannya sendiri yang unik. Dulu kala,
manusia saling menghancurkan atas nama ajaran Kristen mengenai cinta kasih
kemanusiaan. Sekarang, hanya pemerintah-pemerintah terbelakang saja yang
berperang atas nama Yesus Kristus. Negara-negara progresif saling memotong
leher masing-masing atas nama pasifisme. Wilson[1]
menyeret Amerika ke peperangan atas nama Liga Bangsa-Bangsa dan perdamaian
abadi. Kerensky[2]
dan Tsereteli[3]
memerintahkan serangan ofensif demi perdamaian secepatnya.
Epos kita tidak memiliki satire-satire macam Juvenal[4].
Biarpun begitu, bahkan senjata satire yang paling kuat pun beresiko menjadi tak
berdaya di hadapan kekejian dan kebodohan, dua elemen yang dibebaskan oleh
perang ini.
Pasifisme memiliki benang sejarah yang sama seperti
demokrasi. Kaum borjuis membuat satu usaha historis untuk mengatur semua
hubungan antara manusia berdasarkan akal sehat, untuk menggantikan tradisi yang
buta dan bodoh dengan institusi pemikirian kritis. Gilda-gilda yang merupakan
halangan bagi produksi, institusi-institusi politik dengan privilese-privilese
mereka, absolutisme monarkis – semua ini adalah sisa-sisa dari zaman
pertengahan. Demokrasi borjuis menuntut persamaan hukum untuk kompetisi bebas,
dan parlementerisme sebagai metode untuk mengatur perkara-perkara publik. Kaum
borjuasi juga ingin mengatur hubungan-hubungan nasional dengan cara yang sama.
Tetapi disini ia berbenturan dengan perang, yakni sebuah metode penyelesaian
semua masalah yang merupakan penyangkalan penuh terhadap “akal sehat”. Jadi
mereka mulai menganjurkan kepada orang-orang lewat puisi, etika, dan
metode-metode bisnis, bahwa jauh lebih berguna bagi mereka untuk memperkenalkan
perdamaian abadi. Inilah argumen logis dari pasifisme.
Akan tetapi kelemahan dasar pasifisme adalah kejahatan
fundamental yang merupakan karakter dari demokrasi borjuis. Kritiknya hanya
menyentuh permukaan fenomena sosial saja. Ia tidak punya keberanian untuk
memotong lebih dalam ke fakta-fakta ekonomi yang menjadi dasarnya. Namun
realisme kapitalis mengharapkan perdamaian abadi berdasarkan keharmonisan
logika, dan ia mengharapkan ini mungkin lebih menyedihkan daripada gagasan
kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Kapitalisme, yang mengembangkan ilmu
teknik dengan basis rasional, gagal mengatur kondisi masyarakat secara
rasional. Ia mempersiapkan senjata-senjata penghancur massal yang bahkan tidak
pernah termimpikan oleh “kaum barbar” dari abad pertengahan.
Situasi internasional yang memburuk dengan cepat dan
pertumbuhan pesat militerisme menghancurkan tanah pijakan di bawah kaki
pasifisme. Tetapi pada saat yang sama, kekuatan-kekuatan ini memberikan
pasifisme sebuah kehidupan yang baru di depan mata kita, sebuah kehidupan yang
berbeda dari yang sebelumnya, seperti merah-darah matahari terbenam berbeda
dari merahnya fajar.
Sepuluh tahun sebelum perang ini [Perang Dunia Pertama – Ed.]
adalah periode yang disebut “perdamaian bersenjata”. Seluruh periode tersebut
pada kenyataannya tidak lain adalah peperangan yang tidak terinterupsi, sebuah
perang yang dilakukan di daerah-daerah koloni.
Perang ini dilakukan di tanah-tanah rakyat yang terbelakang
dan lemah. Ini menyebabkan partisipasi Afrika, Polynesia, dan Asia, dan
mempersiapkan jalan bagi peperangan hari ini. Tetapi, karena tidak pernah ada
perang Eropa sejak 1871, walaupun telah ada sejumlah kecil konflik-konflik yang
tajam, opini umum di antara kaum borjuis kecil telah secara sistematis didorong
untuk melihat tentara yang semakin membesar sebagai jaminan perdamaian, yang
secara perlahan-lahan akan membuahkan hasil di dalam sebuah organisasi hukum
internasional yang popular. Sementara bagi negara-negara kapitalis dan
bisinis-bisnis besar, mereka sama sekali tidak keberatan dengan interpretasi
“pasifis” dari militerisme ini. Sementara konflik-konflik dunia sedang dalam
persiapan, dan bencana dunia sedang menunggu.
Secara teori dan politik, pasifisme memiliki basis yang sama
dengan doktrin keharmonisan sosial antara kepentingan-kepentingan kelas yang
berbeda.
Pertentangan antara negara-negara kapitalis memiliki basis
ekonomi yang sama dengan perjuangan kelas. Bila kita siap menerima kemungkinan
menumpulnya perjuangan kelas secara gradual, maka kita juga harus siap menerima
kemungkinan menumpulnya konflik-konflik nasional dan regulasi konflik-konflik
tersebut.
Penjaga ideologi demokrasi, dengan semua tradisi dan
ilusinya, adalah kaum borjuis kecil. Selama paruh kedua abad ke 19, borjuasi
kecil telah berubah sepenuhnya, tetapi ia belumlah hilang dari panggung. Pada
saat yang sama dimana perkembangan teknik kapitalis telah melemahkan peran
ekonomi borjuasi kecil, hak memilih universal dan wajib militer memberikan
mereka kekuatan politik – di permukaan luar – karena jumlah mereka yang besar.
Dimana kapitalis kecil belumlah tersingkir sepenuhnya oleh bisnis raksasa, ia
sepenuhnya tunduk pada sistem kredit. Perwakilan kapitalis besar juga
menundukkan kaum borjuis kecil di bidang politik, dengan mengambil semua
teori-teori dan prasangka-prasangka mereka dan memberi mereka nilai yang palsu.
Inilah penjelasan dari fenomena yang kita saksikan selama sepuluh tahun sebelum
perang, ketika imperialisme reaksioner tumbuh besar, sementara pada saat yang
sama ilusi demokrasi borjuasi juga tumbuh, dengan semua reformisme dan
pasifismenya. Kapitalis besar menundukkan borjuasi kecil pada tujuan imperialisnya
dengan menggunakan prasangka-prasangka kaum borjuis kecil itu sendiri.
Prancis adalah contoh klasik dari proses ganda ini. Prancis
adalah sebuah negara kapital-finansial yang berdiri di atas basis kaum borjuis
kecil yang jumlahnya banyak dan secara umum konservatif. Berkat pinjaman asing,
koloni-koloni, dan aliansi dengan Rusia dan Inggris, strata atas dari populasi
Prancis terseret ke semua kepentingan dan konflik kapitalisme dunia. Sementara,
kaum borjuis kecil Prancis masihlah tetap terbelakang sampai ke tulang
sumsumnya. Secara insting dia takut dengan geografi, dan selama hidupnya dia
sangat ketakutan dengan peperangan, terutama karena dia biasanya hanya punya
satu anak, yang akan mewarisi bisnis dan perabotannya. Kaum borjuis kecil ini
mengirim kaum borjuis Radikal[5]
ke parlemen untuk mewakilinya, karena tuan-tuan borjuis Radikal ini berjanji
padanya bahwa dia akan mempertahankan perdamaian baginya dengan Liga
Bangsa-Bangsa di satu pihak dan dengan Cossask Rusia yang akan memenggal kepala
Kaiser Jerman di pihak yang lain. Para deputi Radikal ini tiba di Paris dari
lingkaran para pengacaranya yang terbelakang, yang tidak hanya penuh dengan
hasrat untuk perdamaian, tetapi juga dengan ketidaktahuan dimana letak Teluk
Persia, dan tanpa pengetahuan jelas mengapa atau untuk siapa Rel Kereta Baghdad
dibangun. Para deputi “pasifis radikal” ini menyediakan dari antara mereka
seorang Menteri Radikal, yang segera menemukan dirinya terjerat oleh benang
kusut segala macam perjanjian diplomatik dan militer sebelumnya yang telah
diteken oleh berbagai kepentingan finansial Bursa Saham Prancis di Rusia,
Afrika, dan Asia. Kabinet dan Parlemen Prancis tidak pernah menghentikan
fraseologi pasifisme mereka, tetapi pada saat yang sama mereka menjalankan
kebijakan asing yang akhirnya membawa Prancis ke peperangan.
Pasifisme Inggris dan Amerika, kendati semua perbedaan
kondisi sosial dan ideologi (kendati juga ketiadaan ideologi di Amerika),
melakukan kerja yang sama: mereka menyediakan sebuah jalan keluar bagi
ketakutan kaum borjuis kecil pada peristiwa-peristiwa dunia yang menggemparkan,
yang hanya dapat merebut sisa-sisa kemandirian mereka; mereka meninabobokan
kaum borjuis kecil dengan gagasan pelucutan senjata, hukum internasional, dan
pengadilan dunia yang tidak berguna. Lalu, pada saat tertentu, mereka
menyerahkan tubuh dan jiwanya ke imperialisme kapitalis yang telah memobilisasi
semua sumber daya untuk tujuan ini: yakni, pengetahuan teknologi, seni, agama,
pasifisme borjouis dan “Sosialisme” patriotik.
“Kami menentang perang. Deputi-deputi kami, menteri-menteri
kami, semua menentang perang,” teriak kaum borjuis kecil Prancis. “Oleh
karenanya, jelas kalau perang ini dipaksakan pada kami, dan untuk
merealisasikan ideal-ideal pasifis kami, kita harus melanjutkan peperangan ini
sampai ke kemenangan akhir.” Dan perwakilan pasifisme Prancis, Baron
d’Estournel de Constant, mentahbiskan filosofi pasifisnya dengan seruan khidmat
“jusqu’au bout!” – perang sampai akhir!
Satu hal yang paling dibutuhkan oleh Bursa Saham Inggris
untuk melakukan peperangan dengan sukses adalah seorang pasifis seperti Asquith[6],
seorang liberal, dan demagog radikal Lloyd George[7].
“Bila orang-orang ini yang menjalankan peperangan,” kata orang-orang Inggris,
“maka tentu kebenaran ada di pihak kita.”
Jadi pasifisme memiliki perannya tersendiri di dalam
mekanisme peperangan, seperti gas beracun, dan hutang perang yang terus
menumpuk.
Di Amerika Serikat, pasifisme borjuis kecil menunjukkan
dirinya dalam perannya yang sesungguhnya, sebagai pelayan imperialisme, dan
dengan cara yang bahkan lebih terbuka. Di sana, seperti di tempat lain,
bank-bank dan sindikat-sindikat bisnis yang sesungguhnya mengendalikan politik.
Bahkan sebelum peperangan, berkat perkembangan industri yang pesat, dan juga
karena perdagangan ekspor, AS telah bergerak ke arah kepentingan-kepentingan
dunia dan imperialis. Tetapi peperangan Eropa mendorong perkembangan imperialis
ini menjadi lebih cepat. Saat dimana banyak orang-orang saleh (termasuk Kautsky[8])
berharap kalau kekejaman pembantaian di Eropa akan membuat kaum borjuasi
Amerika dipenuhi dengan rasa takut terhadap militerisme, pengaruh yang
sesungguhnya terhadap peristiwa-peristiwa di Eropa berlangsung bukan dalam
garis psikologi tetapi dalam garis material, dan ini memberikan hasil yang sama
sekali berlawanan. Ekspor AS, yang pada tahun 1913 berjumlah 2446 juta dolar,
meningkat pada tahun 1916 menjadi 5481 milyar dollar. Tentunya sebagian besar
ekspor ini datang dari industri perang. Lalu tiba-tiba datang ancaman
penghentian ekspor ke negara-negara Sekutu, ketika peperangan kapal selam yang
terbatas mulai. Pada tahun 1915, pihak Sekutu telah mengimpor produk-produk AS
sebanyak 15 milyar dolar, sementara Jerman dan Austria-Hungaria hanya mengimpor
15 juta. Oleh karenanya, laba seluruh industri Amerika yang berbasiskan
industri perang terancam. Dari angka-angka inilah kita harus mencari kunci dari
perpecahan “simpati-simpati” di Amerika. Dan oleh karenanya kaum kapitalis
memohon kepada pemerintah: “Kalianlah yang memulai perkembangan industri perang
ini di bawah panji pasifisme, sekarang adalah kewajiban kalian untuk menemukan
pasar baru untuk kami.” Bila pemerintah tidak ada di posisi untuk menjanjikan
“kebebasan di lautan” (dalam kata lain, kebebasan untuk memeras laba dari darah
manusia) maka ia harus membuka sebuah pasar baru untuk industri perang yang
terancam, dan pasar baru ini adalah Amerika sendiri. Jadi pembataian di Eropa
menghasilkan militerisasi AS.
Tak diragukan kalau ini akan membangkitan oposisi dari rakyat
banyak. Untuk menghapus ketidakpuasan ini, dan mengubahnya menjadi patriotisme
adalah tugas politik domestik AS yang terpenting. Dan sungguh suatu ironi
takdir bahwa pasifisme Wilson, seperti pasifisme “oposisi” Bryan[9],
menyediakan senjata terampuh untuk pelaksanaan tugas ini, yakni menenangkan
massa dengan metode militeristik.
Bryan dengan cepat mengekspresikan dengan lantang
ketidaksukaan alami para petani dan kaum borjuis kecil pada imperialisme,
militerisme, dan kenaikan pajak. Tetapi pada saat yang sama ketika dia mengirim
bergerobak-gerobak petisi dan perutusan ke kawan-kawan pasifisnya, yang
menduduki posisi tinggi di pemerintahan, Bryan juga melakukan segala usaha
untuk menghancurkan kepemimpinan revolusioner dari gerakan ini.
“Bila akhirnya perang meledak,” ujar Bryan di sebuah telegram
kepada sebuah pertemuan anti-perang di Chicago pada bulan Februari, “maka tentu
saja kita harus mendukung pemerintahan kita. Tetapi sampai saat itu terjadi,
adalah tugas suci kita untuk berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan rakyat
dari horor peperangan.” Di dalam kata-kata ini terjabar seluruh program
pasifisme borjuis kecil.. “Mencegah perang sekuat tenaga kita,” berarti
menyediakan saluran pelampiasan untuk oposisi massa dalam bentuk
manifesto-manifesto tak berbahaya, dimana pemerintah diberi jaminan kalau
perang pecah maka tidak akan ada halangan dari oposisi pasifis.
Inilah pasifisme resmi yang dipersonifikasikan oleh Wilson,
yang telah memberikan banyak bukti kepada kaum kapitalis yang berperang bahwa
dia “siap berjuang.” Dan bahkan Mr. Bryan sendiri merasa cukup membuat
pernyataan ini, yang setelahnya dia siap mengesampingkan oposisinya terhadap
perang, hanya untuk satu tujuan – mendeklarasikan perang. Seperti Mr. Wilson,
Mr. Bryan bergegas menyebrang ke sisi pemerintah. Dan bukan hanya kaum borjuis
kecil, tetapi juga massa rakyat, mengatakan pada diri mereka sendiri: “Bila
pemerintah kita, yang dipimpin oleh seorang pasifis dengan reputasi dunia
seperti Wilson, dapat mendeklarasikan perang, dan Bryan sendiri dapat mendukung
pemerintah dalam peperangan ini, maka tentu ini adalah sebuah perang yang benar
dan diperlukan.” Inilah mengapa pasifisme yang saleh dan penakut, yang terbuai
oleh demagog-demagog pemerintah, begitu dinilai tinggi oleh bursa-bursa saham
dan para pemimpin industri perang.
Menshevik kita sendiri, pasifisme sosial-revolusioner,
kendati perbedaan penampilan luar mereka, memainkan peran yang sama. Resolusi
perang, yang diadopsi oleh mayoritas Kongres Soviet Buruh dan Tentara Seluruh
Rusia[10]
tidak hanya diambil dengan berdasarkan prasangka pasifis umum mengenai perang,
tetapi juga berdasarkan karakteristik perang imperialis. Kongres ini
mendeklarasikan bahwa “tugas utama dan terpenting demokrasi revolusioner”
adalah pengakhiran perang dengan secepatnya. Tetapi semua asumsi ini hanya
diarahkan pada satu tujuan: selama usaha-usaha internasional dari negara-negara
demokrasi telah gagal mengakhiri perang, maka demokrasi revolusioner Rusia
menuntut dengan semua kekuatannya bahwa tentaranya harus siap berperang, secara
defensif maupun ofensif.
Revisi perjanjian-perjanjian internasional lama membuat
Kongres Rusia tergantung pada pemahaman sukarela dengan diplomasi Sekutu, dan
bukanlah kebiasaan para diplomat ini untuk melikuidasi karakter imperialistik
dari peperangan ini, bahkan bila mereka mampu. “Usaha-usaha internasional dari
negara-negara demokrasi” membuat Kongres Rusia dan para pemimpinnya bergantung
pada kehendak para patriot sosial-demokrat, yang terikat kaki dan tangannya
pada pemerintahan imperialis mereka. Dan mayoritas kongres yang sama ini,
setelah terseret ke gang buntu dengan “pengakhiran perang dengan secepatnya”
sekarang telah tiba dengan sendirinya pada kesimpulan politik praktis ini:
lakukan serangan ofensif. Sebuah “pasifisme” yang mendorong kaum borjuis kecil dan
kita untuk mendukung serangan ofensif tentunya akan disambut hangat bukan hanya
oleh imperialisme Rusia tetapi juga oleh imperialisme Sekutu.
Miliukov[11],
misalnya, mengatakan: “Demi loyalitas kita pada para Sekutu dan
perjanjian-perjanjian (imperialis) lama kita, kita harus melakukan ofensif.”
Kerensky dan Tseretelli mengatakan: “Walaupun
perjanjian-perjanjian lama kita belumlah diubah, serangan ofensif adalah tak
terelakkan.”
Argumennya berbeda, tetapi kebijakannya sama. Dan ini tidak
bisa lain, karena Kerensky dan Tseretelli terikat dengan partainya Miliukov
[Partai Borjuis Liberal Rusia, yakni Partai Kaded – Ed.].
Untuk alasan inilah tugas terpenting dari diplomasi Rusia
bukanlah untuk menbujuk diplomasi Sekutu untuk mengubah perjanjian ini atau
itu, atau untuk membatalkan sesuatu, tetapi untuk meyakinkan mereka bahwa
revolusi Rusia adalah sesuatu yang dapat diandalkan, dan dapat dipercaya.
Duta besar Rusia, Bachmatiev, dalam pidatonya di hadapan
Kongres Amerika Serikat pada tanggal 10 Juni, juga mengkarakterisasikan
aktivitas Pemerintahan Provisional dari sudut pandang ini:
“Semua peristiwa-peristiwa ini,” katanya, “menunjukkan bahwa
kekuatan dan signifikansi Pemerintahan Provisional sedang tumbuh tiap harinya,
dan semakin mereka tumbuh besar semakin pemerintahan ini mampu menyingkirkan
semua elemen-elemen pemecah, yang datang dari reaksi maupun dari agitasi kiri
ekstrim. Pemerintahan Provisional telah memutuskan untuk mengambil semua
langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan ini, bahkan bila ia harus
menggunakan kekerasan, walaupun pemerintahan ini tidak berhenti untuk mencari
solusi damai dari masalah-masalahnya.”
Kita tidak perlu ragu kalau “kehormatan nasional” dari para
patriot sosial-demokrat kita tidaklah terusik sementara duta besar dari
“demokrasi revolusioner” dengan bersemangat membuktikan kepada plutokrasi
Amerika bahwa pemerintahan Rusia siap menumpahkan darah kaum proletar Rusia
demi hukum dan ketertiban. Elemen terpenting dari hukum dan ketertiban adalah
dukungan loyalnya terhadap kapitalisme Amerika.
Dan di saat ketika Herr Bachmatief sedang berdiri sambil
memegang topinya, dan dengan rendah hati berbicara di hadapan para dubuk Bursa
Saham Amerika, Tuan Tseretelli dan Kerensky sedang mempersiapkan kuping
“demokrasi revolusioner”, untuk meyakinkan mereka bahwa tidak mungkin “anarki
kiri” dapat diperangi tanpa menggunakan kekerasan, dan sedang mengancam untuk
melucuti buruh Petrograd dan resimen yang mendukung mereka. Kita sekarang dapat
menyaksikan bahwa ancaman-ancaman ini dihantarkan pada momen yang tepat: mereka
adalah jaminan terbaik untuk mendapatkan pinjaman dari Amerika.
“Kau lihat, sekarang,” Tuan Bachmatiev mungkin berkata pada
Mr. Wilson, “pasifisme revolusioner kami tidak berbeda sama sekali dari
pasifisme Bursa Sahammu. Dan bila mereka percaya pada Mr. Bryan, mengapa mereka
tidak akan percaya pada Tuan Tseretelli?”
1. Woodrow
Wilson (1856-1924) adalah Presiden AS ke-28, dari 1913-1921. Dia
memenangkan kampanye kepresidenannya dengan slogan “Dia mencegah kita terlibat
dalam perang”. Namun kenetralan AS terancam pada awal 1917 ketika Jerman
memulai perang kapal selam yang memblokade penjualan senjata AS ke Eropa,
sehingga Wilson pun akhirnya mendeklarasikan keterlibatan AS dalam Perang Dunia
Pertama pada April 1917.
2.
Alexander
Kerensky (1882-1970) adalah anggota sayap kanan partai Sosialis Revolusioner.
Saat Revolusi Februari, Kerensky adalah wakil ketua Soviet Petrograd. Dia
menjadi Menteri Kehakiman dalam pemerintahan yang baru dibentuk. Dia lalu
menjabat sebagai Perdana Menteri yang terakhir dari Pemerintahan Sementara
sebelum digulingkan oleh Revolusi Oktober.
3.
Irakli
Tsereteli (1882-1959) adalah pemimpin Menshevik. Ia adalah anggota Komite
Eksekutif Soviet Petrograd pada tahun 1917. Tsereteli menjadi Menteri Pos dan
Telegraf pertama dalam Pemerintahan Sementara. Setelah insiden Juli pada tahun
1917 dia menjadi Menteri Dalam Negeri, menggantikan Prince Lvov. Setelah
Revolusi Oktober Tsereteli memimpin blok anti Soviet dalam Majelis Konstituante
yang menolak mengakui Pemerintahan Soviet. Selama Perang Sipil Tsereteli
membantu mendirikan pemerintahan Menshevik di Georgia. Setelah Stalin memimpin
Tentara Merah untuk menyerang Georgia (yang kemudian dikenal sebagai Insiden
Georgia), pemerintahan Menshevik digulingkan dan Tsereteli kemudian
meninggalkan Rusia.
7. David
Lloyd George (1863-1945) adalah seorang politisi Inggris yang menjabat sebagai
Perdana Menteri Inggris selama Perang Dunia Pertama dari tahun 1916-1922.
8. Karl
Kautsky (1854-1938) menyandang reputasi sebagai kawan lama Engels, ia termasuk
pendiri Internasionale Kedua, dan pembela Marxisme di masa awal dalam menghadapi
revisionisme Berstein. Akan tetapi, dengan semakin mendekatnya tugas-tugas
praktek dari revolusi, makin bimbanglah Kautsky, dengan lihai ia menutupi
penolakannya terhadap Marxisme revolusioner dengan menggunakan tetek bengek
sofis dan ungkapan-ungkapan 'Marxis'. Ia menjadi duri dalam daging dalam
Revolusi Oktober di Rusia 1917.
9. William
Jennings Bryan (1860-1925) adalah seorang politisi Partai Demokrat yang menjadi
Sekretaris Negara di bawah Presiden Wilson. Dia adalah seorang pasifis yang
awalnya tidak setuju dengan keterlibatan AS dalam Perang Dunia Pertama.
11. Pavel Nikolayevich Milyukov (1859-1943). Profesor di
Universitas Sejarah Moscow. Anggota Duma Ketiga dan Keempat. Seorang organiser
dan pemimpin Partai Cadet. Setelah Revolusi Februari, Milyukov menjadi Menteri
Luar Negeri dalam Pemerintahan Sementara. Dia adalah seorang sosial sovinis
selama Perang Dunia Pertama, yang mengirim surat atas nama pemerintahan
sementara untuk pemerintahan Sekutubahwa Rusia siap untuk melanjutkan
perang hingga “kemenangan akhir “. Dia menjadi anti Bolshevik pada tahun
1918-19. Dia disingkirkan dari posisinya pada April 1917, sebagai akibat dari
demonstrasi massa pekerja dan tentara melawan dilanjutkannya perang. Pada
Agustus 1917, Milyukov mendukung usaha kudeta Kornilov terhadap Pemerintahan Sementara.
Mengikuti kegagalan ini, Milyukov meninggalkan Rusia, kemudian membantu Tentara
Putih yang menginvasi Rusia tahun berikutnya.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar