KETERANGAN TENTANG KENAIKAN HARGA BARANG DAN INFLASI

Diposting oleh poentjak harapan on Sabtu, 17 Maret 2012



Ada propaganda imperialis dan orang-orang pemerintah yang mengatakan, bahwa aksi-aksi kaum buruh yang menuntut kenaikan upah adalah merugikan kepentingan nasional dan kepentingan umum, karena kenaikan upahlah yang menyebabkan naiknya harga barang dan yang menyebabkan inflasi. Dengan alasan ini pula orang-orang pemerintah dan majikan-majikan imperialis menuduh gerakan kaum buruh untuk kenaikan upah sebagai gerakan a-nasional, a-sosial, dan menuduh bahwa aksi-aksi kaum buruh untuk kenaikan upah sebagai aksi-aksi untuk mencapai tujuan politik "yang tertentu". Ya, mereka juga menuduh bahwa aksi-aksi kaum buruh menuntut kenaikan upah serupiah atau dua rupiah sehari, atau kenaikan upah sepuluh atau duapuluh rupiah sebulan, sebagai "aksi politik", sebagai aksi "untuk merobohkan negara", sebagai aksi untuk mengadakan "coup d'etat". Tetapi mereka tidak banyak bicara, jika bermilyar-milyar dollar diangkut keluar negeri oleh majikan-majikan imperialis sebagai keuntungan luar biasa dari mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga Rakyat Indonesia. Mereka tidak berteriak-teriak bahwa keuntungan-keuntungan yang bermilyar-milyar inilah yang menyebabkan kenaikan harga barang dan yang menyebabkan inflasi. Tidak, malahan mereka bergiat untuk membikin berbagai Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan guna memberi kedudukan lebih kuat pada modal besar asing di Indonesia.
Propaganda yang menyesatkan ini juga harus kita telanjangi dan kuliti. Kita harus terangkan, bahwa justru untuk kepentingan nasional dan kepentingan umum, justru untuk menciptakan syarat-syarat kemakmuran bagi umum, justru untuk itulah kaum buruh menuntut kenaikan upah. Hanya kaum buruh yang upahnya banyak bisa mengeluarkan uang banyak untuk membeli kebutuhan-kebutuhannya, dan ini berarti menghidupkan sektor-sektor lain dari masyarakat (pemilik warung, pemilik toko), pemilik restoran, tukang pakaian, toko buku, sekolah-sekolah, pemilik bioskop, dokter, advokat, dsb.). Jika upah buruh sangat merosot, maka sektor-sektor lain dari masyarakat juga akan mengalami keambrukan. Maka itu, soal pentingnya kenaikan upah buruh tidak hanya penting untuk kaum buruh, tetapi juga penting untuk seluruh masyarakat.
Apakah kenaikan upah buruh mesti berakibat kenaikan harga barang dan inflasi? Sama sekali tidak. Kita harus terangkan, bahwa kenaikan upah sama sekali tidak mesti berakibat naiknya harga barang dan inflasi. Pokoknya asal pemerintah suka menekan modal besar asing, agar sebagian keuntungan yang bermilyar-milyar itu bisa digunakan untuk menaikkan upah kaum buruh. Seandainya 50% saja dari keuntungan yang bermilyar-milyar itu digunakan untuk kenaikan upah buruh, maka ia pasti akan memperbesar kekuatan-membeli dari kaum buruh dan ini akan membawa kegembiraan bekerja pada kaum buruh. Kegembiraan bekerja ini akan mempertinggi prestasi kerja, yang berarti mempertinggi produksi, dan seluruh masyarakat akan untung olehnya. Masyarakat tidak akan mengalami kenaikan harga dan tidak akan hidup dalam cengkeraman inflasi seperti sekarang. Dengan mengambil 50% dari keuntungan modal besar asing sama sekali tidak menambah jumlah uang yang beredar. Kantor cetak uang kertas tidak perlu kerja ekstra untuk mencetak lebih banyak uang. Dengan demikian uang yang ada tidak perlu mengalami nasib uang Jepang, dimana untuk membeli sedikit barang harus membawa uang ber-kantong-kantong. Singkatnya apa yang dinamakan inflasi, yaitu keadaan dimana uang terlalu banyak beredar, jika dibanding dengan barang yang tersedia, tidak perlu dialami oleh Rakyat Indonesia. Secara sewajarnya, karena ada kegembiraan bekerja kaum buruh akan memperbesar produksi, harga barang akan menjadi turun untuk keuntungan seluruh masyarakat. Negarapun akan mendapat keuntungan, karena 50% dari keuntungan modal besar asing pasti tidak diangkut keluar negeri, tetapi digunakan di dalam negeri sendiri. Ini hanya satu contoh saja yang menunjukkan, bahwa suatu pemerintah yang bukan pemerintah Demokrasi Rakyat, tetapi yang sedikit progresif, bisa meringankan sekedar beban Rakyat yang dengan mengurangi keuntungan modal besar asing. Tetapi ini belum berarti pemecahan yang sempurna untuk perbaikan yang stabil atas nasib rakyat dan untuk melikwidasi sama sekali kekuasaan imperialis di Indonesia.
Jadi jelaslah, bahwa tidak adil sekali, dan jahat sekali, jika soal kenaikan harga barang dan inflasi mau ditimpakan tanggung jawabnya pada kaum buruh yang menuntut kenaikan upah serupiah atau dua rupiah. Kenapa beberapa rupiah di tangan si Amat dan si Ali bisa menyebabkan kenaikan harga barang dan inflasi, sedangkan bermilyar-milyar dividend yang dibagikan oleh modal besar asing tidak dibikin ribut sebagai sumber kenaikan harga barang dan inflasi?
Ada lagi taktik pemerintah dan majikan imperialis untuk tidak membenarkan kaum buruh menuntut kenaikan upah. Mereka seolah-olah dokter yang pintar dan memberikan obat pada kaum buruh berupa: janji penurunan harga. Secara prinsipil kaum buruh menyetujui penurunan harga. Bagi kaum buruh tidak ada bedanya, apakah upah mereka naik 100% atau harga barang turun 50%. Dalam dua hal ini bukankah kaum buruh bisa membeli barang dua kali lebih banyak? Kalau kaum buruh bisa membeli barang lebih banyak dengan upah Rp. 100,- jika dibanding dengan upah Rp. 150,- kaum buruh akan memilih yang Rp. 100,-. Tetapi siapakah yang prinsipil menentang penurunan harga barang? Ialah kaum majikan sendiri, sehingga tiap-tiap janji pemerintah untuk menurunkan harga barang menjadi omong kosong belaka. Oleh karena itu, usaha pemerintah untuk mengadakan rikhtprijs (harga ancer-ancer) terhadap beberapa macam barang tidak akan ada hasilnya, karena harga ancer-ancer itu sendiri berada di luar kemampuan membeli dari Rakyat. Dengan demikian, pada hakekatnya pemerintah membiarkan harga terus membubung, tetapi disamping itu, dan ini tidak adilnya, pemerintah terus-menerus menekan kenaikan upah buruh.
Bagi kaum buruh adalah sama saja, apakah ia mendapat kenaikan upah atau penurunan harga barang, asal saja kedua-duanya ini tidak dibebankan kepada kaum buruh dan Rakyat, tetapi diambilkan dari keuntungan modal besar asing.
Apakah dengan politik mengontrol keuntungan dan menggunakan sebagian keuntungan modal besar asing untuk kenaikan upah buruh akan berakibat "larinya modal besar asing dari Indonesia?" Tidak mesti. Dunia sudah terlalu sempit untuk modal besar bercokol. Sebagian dari dunia dan sebagian dari umat manusia sudah membebaskan diri dari sistim kapitalisme. Tetapi seandainya modal besar asing "lari", sama sekali tidak ada alasan untuk berkecil hati. Hanya orang-orang yang berpikiran picik dan tidak mempunyai kepercayaan pada kekuatan nasional sendiri, hanya mereka yang sudah menjalin kepentingannya menjadi satu dengan kepentingan imperialis, hanya mereka yang akan merasa kehilangan jika imperialis (modal besar asing) angkat kaki dari Indonesia. Suatu pemerintah yang progresif segera akan mengambil over perusahaan-perusahaan kepunyaan modal besar asing itu, segera akan menasionalisasi perusahaan-perusahaan vital itu guna kemakmuran Rakyat.
Jadi teranglah, bahwa hanya pikiran kapitalis yang membenarkan "teori" bahwa kenaikan upah mesti berakibat kenaikan harga barang dan mesti berakibat inflasi. Memang, kenaikan harga barang yang tidak ada hingganya dan inflasi tidak bisa dipisahkan dengan sistim kapitalis. Biarpun tidak ada aksi-aksi kaum buruh yang menuntut kenaikan upah, selama perusahaan-perusahaan vital belum dinasionalisasi dan tujuan-cari-untung secara kapitalis dari perusahaan-perusahaan vital itu belum dilenyapkan, kenaikan harga barang dan inflasi akan terus menjadi penyakit umum dari masyarakat.

SUMBER: KEWAJIBAN FRONT PERSATUAN BURUH BAB III
 
Penerbit Yayasan “Pembaruan”
Jakarta, Juli 1952.

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar