Amanat–Indotrinasi
Presiden Soekarno, pada pembukaan Kursus Kilat Kader Nasakom, 1 Juni 1965, di
Istora Senayan, Jakarta.
Saudara-saudara sekalian,
Kita
sekarang ini sudah hampir dua puluh tahun merdeka, 17 Agustus’ 45 kita
mengadakan proklamasi dan insya Allah 17 Agustus tahun ini kita akan dua puluh
tahun merdeka. Dan kemerdekaan itu adalah hasil dari perjuangan yang bukan dua
puluh tahun, tetapi hasil dari perjuangan yang lebih panjang dari dua puluh
tahun itu, tergantung dari cara kita menghitungnya; bisa dikatakan sekian puluh
tahun, bisa dikatakan sekian ratus tahun.
Kalau
kita sekadar mulai dengan tahun 1908, permulaan kita mengadakan organisasi
modern, pergerakan, yaitu dengan berdirinya Budi Utomo, maka antara tahun ‘08
dan ’45 adalah 37 tahun. Tetapi jikalau kita hitung dari sejak sultan angung,
Sultan Agung dari Mataram, sebab ada dua Sultan Agung, ada Sultan Agung dari
Mataram, Yogyakarta, ada Sultan Agung dari Banten, dua-duanya pejuang; Sultan
Agung dari Yogya itu dinamakan hajejuluk, menamakan diri Sultan Agung
Hanyokrokusuma atau Sultan Agung Cokrokusumo; Sultan Agung yang dari Banten
menamakan diri Sultan Agung Tirtayasa, beliau akan membuat kolam Indah. Pembuat
kolam indah, maka beliau menamakan diri Sultan Agung Tirtayasa. Jika kita
hitung perjuangan kita untuk mencapai kemerdekaan sejak saat-saat Sultan Agung
Hanyokrokusumo menggempur Jakarta atau Sultan Agung Tirtayasa menggempur
Jakarta, maka perjuangan kemerdekaan kita itu lebih dari tiga abad. Sultan
Agung dua itu diikuti oleh pejuang-pejuang yang lain, oleh Suropati, Joko
Untung Suropati, diikuti oleh Trunojoyo, diikuti oleh Sultan Hasanuddin,
diikuti oleh Diponegoro, diikuti oleh Tuanku Imam Bonjol, diikuti oleh Teuku
Umar, atau Teuku Cik Ditiro, diikuti oleh Pattimura, diikuti oleh gerakan kita
yang terkenal di abad ke-20 ini; maka total perjuangan kita lebih dari tiga
abad dan baru pada tanggal 17 Agustus ’45 kita dapat mengadakan proklamasi
kemerdekaan.
Pernah
saya kupas, apa sebab perjuangan-perjuangan yang terdahulu, Sultan Agung
Hanyokrokusumo, Sultan Agung Tirtayasa, Suropati, Trunojoyo, Hasanuddin, Teuku
Umar, Teuku Cik Ditiro, Diponogoro, dan lain-lain gagal, apa sebab tak berhasil
mengusir kekuasaan Belanda atau imperialis Belanda dari Indonesia.
Maka
jawaban saya selalu ialah, oleh karena Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan
Agung Tirtayasa, Trunojoyo, Suropati, Hasanuddin, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro,
Tuanku Imam Bonjol, Diponegoro dan lain-lain sebagainya itu, perjuangannya
sudah didasarkan atas persatuan dan kesatuan perjuangan seluruh rakyat
Indonesia. Betapa hebatnya pun Diponegoro menjalankan ia punya perjuangan, ia
tidak berhasil memerdekakan Indonesia, oleh karena perjuangannya hanya
disandarkan atas kekuatan rakyat di pulau Jawa saja. Bagaimanapun Sultan
Hasanuddin berjuang—demikian hebatnya sehingga Cornelis Speelman menamakan dia
“de jonge haan van her Oostern”, ayam jantan muda di alam timur. Notabene ayam
jantan muda itu juga salah satu titel dari seorang raja kita yang hebat, yaitu
Hayam Wuruk, Majapahit. Hayam Wuruk artinya ayam jantan muda; Speelman
menamakan Sultan Hasanuddin: “de jonge haan”— tetapi toh perjuangannya tidak
berhasil, tidak berhasil mengusir Belanda, oleh karena tidak disandarkan atas
seluruh Rakyat Indonesia. Demikian pula Teuku Umar, demikian pula Tuanku Imam
Bonjol, demikian pula lain-lain pahlawan kita. ini harus menjadi pelajaran bagi
kita, pelajaran yang sudah ditarik oleh kita menentang imperialism, perjuangan
kita memerdekakan Indonesia harus disandarkan atas persatuan dan kesatuan
rakyat Indonesia seluruhnya, dengan tidak mengenal suku, tidak mengenal agama,
tidak mengenal waktu.
Kita
pada hari ini memperingati hari lahirnya Pancasila, 1 Juni 1965. Ya, memang
pada tanggal 1 Juni 1945, dus sebelum kita mengadakan proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, saya telah membuat pidato mengusulkan Pancasila kepada
pemimpin-pemimpin Indonesia, agar supaya Pancasila itu dijadikan dasar Negara
Indonesia Merdeka. Dan, saudara-saudara, tatkala saya memikir-mikirkan apa yang
akan aku usulkan ke hadapan para pemimpin rakyat Indonesia, satu hal yang
menjadi pegangan teguh bagi saya, yaitu bahwa Persatuan Indonesia, kesatuan
Indonesialah, pokok dari segala pokok. Kita hendak mengadakan Indonesia Merdeka
pada waktu itu , dan pada waktu itu, sebelum aku mengadakan Pidato Pancasila,
telah menjadi keyakinan di dalam kalbuku, keyakinan, ilmu-yakin, ainul-yakin,
hakkul-yakin, bahwa kemerdekaan kita yang akan datang itu hanya dapat
dipertahankan abadi, jikalau kemerdekaan kita itu didasarkan atas kesatuan
bangsa Indonesia.
Lebih
dahulu aku memberi penjelasan. Ini saya melihat beberapa mata dari
wanita-wanita itu—tatkala aku menyebutkan ilmu-yakin, ainul-yakin,
hakkul-yakin—-kelihatan bersinar-sinar, tetapi mengandung pertanyaan. Apa
bedanya ilmu-yakin, ainul-yakin, hakkul-yakin? hakkul-yakin itu keyakinan yang
sudah seyakin-yakinnya sepanjang pikiran, sepanjang ‘ilm, sepanjang ilmu. Tempo
hari di sini saya pernah melukiskan sebagai berikut: aku berdiri di sini,
umpamanya aku berdiri di sini, tidak ada gedung ini, aku berdiri di sini,
kemudian dibelakang kampung sana itu aku melihat asap mengepul, dibelakang
kampung sana aku melihat asap mengepul. Ilmuku, pikiranku berkata, tidak ada
asap kalau tidak ada api, dus aku yakin, bahwa di belakang kampung itu ada api;
tetapi keyakinanku itu sekadar hasil dari ‘ilm, pikiran, ilmu. Dengan
Ilmu-yakin aku berani mengatakan, bahwa di belakang kampung itu ada api.
Tapi
mungkin, ya mungkin, matakulah yang salah, mataku sedang menderita penyakit
yang dinamakan penyakit hallucinatie, hallucinatie melihat barang tetapi
sebetulnya tidak ada. Mengira melihat asap, tetapi sebetulnya tidak ada,
sebagaimana orang di padang pasir jikalau panas sepanas-panasnya dan dia sedang
menderita dahaga, huh, matanya melihat di tepi langit itu seperti ada telaga,
dia mengira disana ada telaga, padahal tidak ada, wong padang pasir. Tetapi dia
punya mata melihat telaga. Itu yang biasa dinamakan Fatamorgana. Jadi si orang
itu melihat fatamorgana, fatamorgana, bahwa ditepi langit sana itu ada telaga,
air sejuk dan dia yang menderita dahaga itu bukan main, ya, ingin meminum air
telaga itu, terus dia lari kesana, tetapi lari punya lari, tidak ada telaga air
sejuk di sana itu.
Nah,
saya pindahkan kepada tamsilku itu tadi. Meskipun aku melihat asap di belakang
kampung, mungkin matakulah yang salah, mungkin mataku melihat asap seperti
orang itu di padang pasir melihat talaga, tetapi sebenarnya tidak ada asap,
sehingga keyakinanku bahwa di belakang kampung itu api—sebab akalku berkata ada
asap ada api, sehingga keyakinanku di belakang kampung itu ada api—adalah
sebenarnya keyakinan yang salah, sehingga ilmul-yakin itu satu keyakinan yang
bertaraf paling rendah.
Kemudia
ainul-yakin. Aku melihat asap di belakang kampung dan aku berkata di sana itu
tentu ada api, ilmul-yakin. Tetapi aku berjalan, aku pergi ke sana, pergi ke
belakang kampung itu, ee, benar-benar aku melihat api. Bukan hanya aku melihat
asap, aku melihat api, dan sekarang aku berkata, dengan ainul –yakin aku boleh
berkata bahwa ada api, sebab aku melihat api. Tadi aku sekedar melihat asap,
sekarang aku melihat api, aku pergi ke belakang kampung, aku melihat api; benar
ilmiah tadi itu benar, yah, ini ainul-yakin. Di belakang kampung itu ada api,
karena mataku melihat api.
Tapi
keyakinan ini, nomor dua ini masih bisa salah, mungkin mataku yang masih salah,
mataku yang tadi melihat asap, masih kabur, sekarang mengira melihat api,
padahal bukan api. Ainul-yakin lebih tinggi tarafnya daripada ilmul-yakin,
tetapi belum keyakinan yang setinggi-tingginya, sebab mungkin mataku masih
salah. Sekarang singsingkan kupunya lengan baju. Aku melihat api, aku masukkan
tanganku kepada barang yang aku sangka api itu, oo panasnya bukan main,
betul-betul ini api, jadi bukan penglihatan matuku saja, tetapi benar-benar ini
api sebab tanganku terbakar. Hakkul-yakin, ini api. Nah, saudara-saudara, sudah
mengerti sekarang perbedaan antara ilmul-yakin, ainul-yakin, hakkul-yakin?
Nah,
pada waktu aku keesokan harinya hendak mengucapkan pidato di hadapan sidang
pemimpin-pemimpin seluruh Indonesia untuk mengusulkan dasar-dasar Negara, pada
waktu aku telah hakkul-yakin bahwa kemerdekaan hanya dapat dipertahankan abadi
dan kekal, sekali merdeka tetap merdeka, jikalau didasarkan atas persatuan dan
kesatuan rakyat Indonesia, maka aku mohon lebih dari ke- hakkul-yakin-an. Dan
aku telah pernah ceritakan di sini, malam-malam itu aku keluar dari rumah—rumah
yang kudiami pada waktu itu, yaitu Pengangsaan Timur 56, yang sekarang menjadi
Gedung Pola—pada waktu itu aku keluar dari rumah, pergi ke belakang rumah, dan
aku menengadahkan wajah mukaku dan hatiku kepada Allah SWT. Beribu-ribu bintang
gemerlapan pada waktu itu, bintang bulan Mei/ Juni yang sedang tiada hujan
tiada awan, angkasa bersih, beribu-ribu bintang di langit dan aku menekukkan
lutut (Presiden menangis tersedu-sedu—red.), maaf… kalau aku ingat ini selalu
aku terharu. Ya Allah, ya Rabi: aku tekukkan lututku, aku menengadah ke langit,
aku kirimkan permohonanku dibalik, di belakangnya bintang yang beribu-ribu itu
kepada Allah SWT : Ya Tuhan, ya Allah ya Rabi, berikanlah ilham kepadaku. Besok
pagi aku harus berpidato mengusulkan dasar-dasar Negara Indonesia Merdeka.
Pertama, benarkah keyakinanku, ya Tuhan, bahwa kemerdekaan itu harus didasarkan
atas persatuan dan kesatuan bangsa? Kedua, ya Allah ya Rabi, berikanlah
petunjuk kepadaku, berikanlah ilham kepadaku, kalau ada dasar-dasar lain yang
harus ku kemukakan. Apakah dasar-dasar lain itu?
Sesudah
aku memohon yang demikian, saudara-saudara, aku masuk lagi ke rumah, berbaring
di tempat pembaringan, menenangkan aku punya pikiran dan aku tertidur. Dan,
saudara-saudara, tatkala pagi-pagi aku banging, aku telah mendapat ilham: Pancasil.
Ilha itu, saudara-saudara, bisa diberikan oleh Tuhan kepada siapa pun, bukan
hanya kepada Nabi, tidak. Yang diberikan kepada Nabi adalah Wahyu, kalau kepada
manusia biasa, setiap-tiap manusia bisa mendapat ilham. Engkau bisa mendapat
ilham, engkau bisa mendapat ilham — yang “silo,” anak kecil itu — engkau bisa
mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, Yo Chairul Saleh bisa mendapat
Ilham, engkau Jeng Sukahar bisa mendapat ilham, engkau saudariku dari Sulawesi
Selatan bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat ilham, engkau bisa mendapat
ilham, engkau bisa mendapat ilham, kita semuanya bisa mendapat ilham, yaitu
pikiran yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Seperti kukatakan tadi tatkala
aku pagi-pagi tanggal 1 Juni bangun hendak sembahyang subuh, pada waktu itu aku
telah mendapat ilham, pikiran yang nanti akan aku usulkan di hadapan rapat para
pemimpin, ialah Pancasila. Dan nomor satu, oleh karena aku mendapat ilham itu
karena kau mohon kepada Allah SWT, aku taruh sebagai sila yang pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua Kebangsaan Indonesia, Persatuan bangsa
Indonesia, tersebar di atas kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke,
persatuan yang kompak sekompak-kompkanya. Kemudian baru yang lain-lain,
saudara-saudara, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Pancasil,
saudara-saudara, saya usulkan kepada sidang pada tanggal 1 Juni itu dan syukur
Alhamdulillah diterima dengan segera, sekaligus oleh sidang.
Saya
cerita, ya. Siapa yang paling pertama di antara hadirin dan hadirat pada waktu
itu yang mengusulkan agar Bung Karno diterima? Almarhum Ki Hajar Dewantara.
Padahal tadinya, tadinya sebelum aku, almarhum Ki Hajar Dewantara juga bicara
dan mengusulkan beberapa dasar lain. Sebelum aku pidato itu ada
pemimpin-pemimpin lain berpidato, almarhum Ki Bagus Hadikusumo berpidato, Ki
Hajar Dewantara berpidato, Mohammad Hatta berpidato, banyak lagi berpidato,
mengusulkan dasar-dasar, kemudian dipersilahkanlah Bung Karno berpidato. Pada
waktu itu yang memegang palu ialah almarhum Dr. Rajiman Wedyodiningrat, yang
sudah mangkat. Dr. Rajiman Wedyodiningrat. Sesudah lain-lain pemimpin
berpidato, maka sekarang Bung Karno dipersilahkan berpidato, dan pada waktu aku
mulai berpidato itu, aku sekali lagi mengucap Bismillah, Bismillah, oleh karena
aku merasa bahwa apa yang aku katakan nanti ialah ilham yang Tuhan berikan
kepadaku (Presiden terharu dan tersedu-sedu—Red). Bismillah, aku anjurkan:
Pancasila. Dan sesudah aku pidato, Ki Hajar Dewantara minta bicara, dan beliau
mengajurkan kepada seluruh sidang: saudara-saudara sekalian, mari kita terima
seluruhnya apa yang diusulkan oleh Bung Karno ini. Sejak dari saat itulah,
saudara-saudara, Pancasila resmi menjadi dasar Negara Indonesia yang akan kita
proklamirkan.
17
Agustus ’45 datang, proklamasi kemerdekaan diucapkan juga di Penganggsaan Timur
56. 18 Agustus ’45, satu hari kemudian diadakan lagi sidang seluruh pemimpin
Indonesia dan di situ ditetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang
kemarinnya diproklamirkan itu. Undang-undang Dasar Republik Indonesia disahkan
pada tanggal 18 Agustus ’45 dan di dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar itu — Undang-undang
Dasar ’45, Undang-undang Dasar yang kita kenal semuanya — tertulisah dengan
nyata unsur-unsur Pancasila itu, saudara-saudara. Dan berkat Pancasila itu, saudara-saudara,
sampai hari ini Alhamdulillah Republik Indonesia masih berdiri teguh, meskipun
Republik Indonesia ini dicoba oleh musuh dihancurkan dengan macam-macam jalan;
dicoba dihancurkan dengan aksi militer yang kedua, tahun ’48, dicoba dengann
subversi macam-macam, dicoba dengan pemberontakan-pemberontakan PRRI/Permesta
dan RMS, dicoba dengan segala hal, tetapi Republik Indonesia tetap berdiri
kuat, karena Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.
Dan,
saudara-saudara, di dalam pidatoku waktu aku menganjurkan Pancasila itu, aku
juga telah berkata: Pancasila dapat kita peras menjadi tiga, Trisila: Ketuhanan
Yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi. Tiga. Kalau kita persatukan
Kebangsaan dengan Perikemanusiaan—sila dua dan sila tiga kita peras menjadi
satu—menjadilah ia Sosio-Nasionalisme, dan jikalau kita peras sila keempat,
Kedaulatan Rakyat dengan sila kelima, Keadilan Sosial, perasannya itu menjadi
Sosio-demokrasi, sehingga perasan dari lima ini menjadi tiga: Ketuhanan Yang
Maha Esa, Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi. Tetapi aku lantas berkata kepada
sidang, barangkali tuan-tuan toh belum senang kepada angka tiga, barangkali
tuan-tuan senang kepada kepada angka satu, wahai, kataku, peraslah tiga ini
menjadi satu, menjadi Ekasila—Eka artinya satu—dan apakah Ekasila itu? Ekasila
itu adalah gotong-royong. Negara Republik Indonesia berdasarkan gotong-royong,
gotong-royong seluruh rakyat Indonesia, gotong-royong rakyat di Sabang sampai
rakyat di Merauke. Dan aku ulangi, saudara-saudara, dengan prinsip
gotong-royong ini, dengan kenyataan gotong-royong ini, kita makin lama makin
kuat.
Nah,
saudara-saudara, belakangan, belakangan aku juga berkata bahwa Pancasila ini
bisa juga diperas lagi secara lain, bukan secara Ketuhanan Yang Maha Esa,
Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, tetapi bisa diperas pula secara lain, dan
perasan secara lain ini adalah Nasakom. Nasakom adalah pula perasan Pancasila,
dus Nasakom adalah sebenarnya juga gotong-royong, sebab gotong-royong adalah de
totale perasan dari Pancasila, maka perasan daripada Nasakom adalah
gotong-royong pula. Benar apa tidak? melihat keadaan, kenyataan-kenyataan di
masyarakat kita, saudara-saudara, masyarakat kita selalu berjalan, bersendi,
melakukan gotong-royong: Orang membuat rumahh di desa, rumah itu didirikan
secara gotong-royong; orang mengawinkan anak di desa, perkawinan itu dijalankan
secara gotong-royong; orang menggarap tanah, menggarap tanah itu dijalankan
secara gotong-royong; orang mengubur orang yang mati, mengubur orang mati
dijalankan secara gotong-royong; orang memperbaiki jalan di desa, memperbaiki
jalan di desa itu dijalankan secara gotong-royong.
Apakah
pada waktu bersama-sama menggarap jalan, bersama-sama menggarap sawah,
bersama-sama membuat rumah, bersama-sama mengawinkan anaknya yang cantik,
saudara-saudara, anaknya yang cantik dan anaknya yang tidak cantik, apakah pada
waktu bergotong-royong menjalan hal-hal itu, ditanya lebih dahulu: saudara ini
Kom ataukah bukan? saudara itu Nas apa buka? saudara, saudara itu A apa tidak?
Tidak, zonder tanya lagi, Nas atau A atau Kom, bergotong-royong, mengawinkan
anak perempuan itu. Kenyataan yang demikian, saudara-saudara.
Maka
itu saya berkata, lha kok, lha kok sampai sekarang ini ada, masih ada
orang-orang, bahkan pemimpin-pemimpin Indonesia yang anti-Nasakom atau
pura-pura pro-Nasakom, tetapi sebenarnya anti-Nasakom—kata ibu Salawati yang
duduk persis di depan saya ini: Ganyang saja, Bung, pemimpin yang
begitu!—pura-pura pro-Nasakom, tetapi sebenarnya anti-Nasakom: orang yang
demikian ini dinamakan Nasakom gadungan.
Lho,
belakangan ini ada lagi, saya dikritik oleh Nasakom gadungan, yaitu sesudah
pidato saya pada ulang tahun ke-45 PKI. saya berpidato di Stadion, belakangan
ada yang bilang, kletik, kletik, kletik, kletik, kletik, tapi dengar saya punya
telinga ini—-lho, saya ini mempunyai mata seribu dan telinga seribu,
saudara-saudara, makanya jangan ngerasani Bung Karno, lho—saya dengar, katanya:
Waah, presiden sudah salah koq pidato di rapat raksasa PKI, rapat raksasa
komunis. Presiden telah menjatuhkan nama Republik Indonesia dalam pandangan
Rakyat A-A, Asia-Afrika.
Pada
waktu saya berpidato di hadapan para panglima, saya berkata: omong kosong,
nonsens, sebab sesudah, malahan sesudah saya berpidato di dalam rapat raksasa
PKI itu, saya mendapat banyak surat-surat dan telegram-telegram dari negara
A-A, telegram-telegram dan surat-surat yang menyatakan persetujuan mereka itu
terhadap pidato saya di rapat PKI itu. Ndak, yang berkata, Bung Karno
menjatuhkan nama Republik Indonesia di pandangan Rakyat A-A itu, dia adalah
anti Nasakom, dia adalah Komunisto-phoby. Kepada saudara-saudara, saya sudah
saya katakan berulang-ulang: proklamasi kemerdekaan Indonesia, saya ucapkan
atas nama seluruh bangsa Indonesia, dan proklamasi ituu dipertahankan oleh
seluruh Rakyat Indonesia zonder phobi-phobian, zonder ada perpecahan di antara
kita dengan kita.
He,
siapa dari antara saudara-saudara pernah, misalnya pada tanggal 10 November
berada di Suurabaya? Atau pernah ikut-ikut membakar kota Bandung, sebagai
perjuangan gerilya? sehingga kemudian timbul nyanyian kita “Halo, halo
Bandung”? Siapa dari antara saudara-saudara yang pernah ikut di dalam
peperangan gerilya kita? Tidakkah benar jikalau kukatakan pada waktu itu nggak
ada phobi-phobian, saudara-saudara? Nggak ada! Di Surabaya, ya pemuda Nas, ya
pemuda dari Agama, ya pemuda dari Komunis berjuang bersama-sama. Di Bandung
demikian pula, di padang-padang gerilya demikian pula. Hanya belakangan ini,
karena ya mungkin hasutan, hasutan Nekolim, cekokan Nekolim, membuat kita
pura-pura pro-Nasakom, tetapi sebenarnya anti-Nasakom, sebab memang Nasakom
adalah kekuatan Revolusi Indonesia, kekuatan yang mutlak.
Yang
ditakuti oleh Nekolim itu Revolusi Indonesia, saudara-saudara, Revolusi
Indonesia. Tadi oleh Pak Chairul sudah disentil dengan perkataan: sebenarnya
yang ditakuti oleh Nekolim, oleh imperialis, bukan kok kemedekaan kita, tidak.
Revolusi kita! kaum imperialis, kaum nekolim juga mengerti bahwa dunia sekarang
ini, negara-negara di Asia dan Afrika itu membutuhkan kemerdekaan. jadi mereka
itu tidak terlalu anti kemerdekaan an sich—an sich itu kemerdekaan itu sebagai
kemerdekaan—tetapi mereka tidak senang jikalau kemerdekaan itu berdasarkan atas
prinsip-prinsip yang bertentangan dengan mereka punya prinsip.
Ambil,
seperti tadi dikatakan oleh Pak Chairul, Nekolim bukan saja setuju kepada
zogenaamde kemerdekaan “Malaysia,” tetapi malahan membantu kemerdekaan
“Malaysia,” oleh karena kemerdekaan “ Malaysia” itu cocok dengan kehendak
mereka itu. Di sekitar itu ada lagi negara-negara lain yang namanya merdeka,
tetapi mereka tidak pernah diganggu-gugat, diusik-usik oleh kaum imperialis,
oleh karena kemerdekaan mereka itu—saya tidak sebutkan namanya lho, saya ini
Presiden Republik Indonesia, tidak boleh menyebutkan nama—oleh karena kemerdekaan
negara-negara itu adalah kemerdekaan-kemerdekaan yang dicocoki, disenangi,
disetujui oleh kaum imperialis. Kita punya kemerdekaan, lho kok umpamanya kita
itu sekedar merdeka saja, mereka tidak anti kepada kita, tidak terlalu anti
kepada kita. Tetapi yang mereka tentang, yang mereka tidak senangi, mereka akan
coba hancurka ialah jiwa kemerdekaan kita. Revolusi Indonesia itu yang mereka
coba hancurkan dan binasakan. Revolusi kita yang berdasarkan atas
prinsip-prinsip Pancasila, prinsip-prinsip anti Imperialis, prinsip-prinsip
Nasakom, itu yang mereka takuti.
Saudara-saudara,
benarlah apa yang dikatakan dan yang aku katakan, bahwa sekarang ini yang
paling dianggap kaum Nekolim sebagai enemy number one—enemy number one yaitu
musuh nomor satu, musuh nomor wahid imperialisme—ialah Indonesia, oleh karena
Indonesia berjiwa Revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia ini yang paling
ditakuti. Dulu, saudara-saudara yang paling ditakuti adalah Moscow. Dulu,
kira-kira tahun dua puluhan sampai tahun, ya empat puluhan. Tetapi sekarang
lebih-lebih daripada Moscow yang ditakuti itu kita, saudara-saudara. Malahan
dengan Moscow sudah bisa diadakan sedikit-sedikit peaceful coexistence, hidup
berdampingan bersama-sama dalam suasana damai, tetapi Indonesia tidak bisa oleh
mereka diajak hidup berdampingan secara damai, tidak bisa.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar