Imperialisme di Indonesia [1]

Diposting oleh poentjak harapan on Minggu, 18 Maret 2012


 Zaman Kompeni
Tuan-tuan Hakim yang terhormat, begitulah gambar imperialisme di Asia diluar Indonesia.
Dan keadaan di Indonesia? Ah, Tuan-tuan Hakim, kita mengetahuinya semua. Kita mengetahui bagaimana didalam abad-abad ke-17 dan ke-18 Oos-Indische Compagnie (VOC), terdorong oleh persaingan hebat dengan bangsa-bangsa Inggris, Portugis dan Spanyol, menanam sistem monopolinya. Kita mengetahui, bagaimana di Kepulauan Maluku ribuan jiwa manusia dibinasakan, kerajaan-kerajaan dihancurkan, jutaan tanaman-tanaman cengkeh dan pala saban tahun dibasmi (hongitochten). Kita mengetahui, bagaimana, untuk menjaga monopoli di kepulauan Maluku itu, kerajaan Makassar ditaklukkan, perdagangannya dipadamkan, sehingga penduduk Makassar itu ratusan, ribuan yang kehilangan pencarian-rezekinya dan terpaksa menjadi bajak laut yang merampok ke mana-mana. Kita mengetahui, bagaimana ditanah Jawa dengan politik “devide et empera”, yakni dengan politik “memecah belah”, seperti dikatakan Prof. Veth atau Clive Day atau Raffles[1], kerajaan-kerajaannya satu persatu diperhamba, ekonomi rakyat oleh sistem monopoli, contingenten[2] dan leverantien[3] sama sekali disempitkan, ya sama sekali didesak dan dipadamkan. Kita mengetahui….tetapi cukup Tuan-tuan Hakim yang terhormat!
Caranya Oost-Indische Compagnie menanamkan monopolinya, caranya Oost-Indische Compagnie mengekal monopolinya, caranya Oost-Indische Compagnie memperteguh monopolinya, tidak asing lagi bagi siapa yang suka membaca.
Tetapi , maafkanlah Tuan-tuan Hakim, bahwa kami disini mau bercerita sedikit lebar tentang zaman Oost-Indische Compagnie itu dan juga tentang zaman cultuurstelsel, yakni oleh karena bekas-bekas VOC dan cultuurstelsel itu sampai kini hari masih tampak didalam susunan pergaulan hidup Indonesia, sehingga sifat-sifat PNI terpengaruh pula oleh karenanya.
Maafkanlah jika terhubung dengan itu kami sependapat dengan Prof. Snouck Hurgronje yang menulis:[4]
“Orang bisa berkata, bahwa tidak ada gunanya membongkar-bongkar dosa lama yang bukan salahnya keturunannya sekarang, tapi…..akibat dua abad pemerintahan yang jelek itu atas sikap jiwa rakyat bumiputra terhadap dunia Barat, sama sekali tidak boleh diabaikan dalam menyelediki soal-soal itu”.
Oleh karena itu, sekali lagi, maafkanlah berhubung dengan cultuurstelsel itu, kami mengulangi pendapat-pendapat satu dua kaum intelektual Eropa yang ternama:
“Kompeni itu mengusai raja-raja dan kaum bangsawan dan membebaninya dengan kewajiban-kewajiban, yang oleh mereka itu dijatuhkannya lagi diatas pundak rakyat. Kompeni itu lebih rendah serakah daripada kejam, tetapi akibatnya adalah sama: Penindasan!”, begitulah Prof. Colenbrander menulis[5] dan Prof. Veth berkata:
“Kekejaman tidak menjadi sifat jeleknya yang biasa tetapi……keserakahannya yang picik barangkali lebih banyak merusak daripada kekejamannya. Bahkan kebuasan Nero hanya mencelakakan sedikit orang yang berdekatana dengan dia, kesejahteraan propinsi-propinsi tidak diganggu-gugatnya; tapi suatu pemerintahan yang jelek peraturannya, adalah suatu bencana umum[6]
Jadi, tidak selamanya “kejam”, tidak selamanya “wreed” ? Tetapi toh sering kejam dan buas.
Marilah kita bacakan lagi Colenbrander tentang penaman monopoli di Ambon dan Banda:
“Coen (Jan Pieterszoon Coen, Sk.) didalam seluruh perkara ini, yang menodai namanya, telah bertindak dengan kelemahan yang meluar batas kemanusiaan, kekejaman yang kelewatan bahkan dalam mata hamba-hamba Kompeni sendiri…….
Sampai-sampai Kuasa-kuasa Kompeni pun sama terkejut membaca cerita-cerita hukuman mati yang diceritakan dengan tenang oleh Coen di dalam surat-suratnya….”Itu benar membikin takut, tapi tidak menerbitkan kasih”……..
demikianlah kata mereka sendiri, yang untuk keperluan labanya, suatu bangsa yang makmur…….hampir tumpas sama sekali[7]
Dan Prof. Kielstra[8] menceritakan:
“Monopoli dagang itu harus diperjuangkan oleh orang-orang kita dan apabila sudah didapat, maka dengan tidak pikir panjang, dipergunakan tiap cara untuk mempertahankannya. Kepentingan-kepentingan penduduk sama sekali tidak diperdulikan oleh kuasa-kuasa kita; kaum Islam dan kaum heiden[9] dalam mata orang Kristen kurang harganya; menurut faham-faham zaman itu, mereka–orang gemar memakai istilah Injil–adalah keturunan yang palsu dan sesat” yang apabila berani melawan kompeni, jika perlu boleh dibinasakan”.
Lagi satu dalil dari seorang Jerman, Prof. Dietrich Schafer, yang berbunyi:
“Percobaan-percobaan mereka, memasukkan juga pulau-pulau Australia yang dekat-dekat ke dalam lingkungan kegiatannya, sudah kami ceritakan. Tatkala ternyata, bahwa di sini tidak ada hasil apa-apa untuk perusahaan mereka waktu yang sudah dikenal lebih dulu. Caranya hal ini terjadi, bukan tidak beralasan orang menyebutnya yang paling kejam dalam riwayat penjajah[10] Sebagai penutup, pemandangan Prof. Snouck Hurgronje, yang berkata:
“Bagian pertama dari duka cita Hindia-Belanda, namanya Kompeni dan mulai hampir sama dengan abad ke-17. Pelakon-pelakon utamanya berhak atas rasa hormat kita, karena energinya yang hebat, tapi maksud yang mereka kejar dan cara-cara yang mereka pergunakan, demikian rupa, sehingga seringkali kita sukar menahan-nahan rasa jijik kita, meskipun kita mengingat sepenuhnya akan kaidah, harus mengukur laku perbuatan mereka dengan ukuran zaman mereka. ‘Percobaan’ itu mulai dengan perkenalan penduduk Hindia dengan kotoran dari bangsa Belanda, yang memperlakukan penduduk asli itu dengan penghinaan yang sangat besar, yang mungkin mereka tanggungkan; kewajiban mereka ialah berusaha sekuat tenaga untuk memperkaya suatu golongan pemegang andil di negeri Belanda. Ambetenaar-ambetenaar kompeni ini, yang oleh majikan-majikannya digaji sangat sedikit, tapi tidak kurang dari majikannya juga suka sekali beroleh laba, memperlihatkan suatu masyarakat penuh korupsi, yang melebihi kejelekan sejelek-jeleknya yang dituduhkan kepada bangsa-bangsa Timur[11]
Zaman Cultuurstelsel
Begitulah gambaran imperialisme-tua dari Oost-Indische Compagnie. Sesudah Oost-Indische Compagnie pada kira-kira tahun 1800 mati, maka tidak ikut mati sistem monopoli, tidak ikut mati sistem mengaut untung bersendi pada paksaan. Malahan… sesudah habis zaman komisi-komisi dan pemerintahan Inggris, yang mengisi tahun-tahun 1800-1830; sesudah habis zaman “tergoyang-goyang” antara ideologi-tua dan ideologi-baru, sebagai yang disebar-sebarkan oleh revolusi Prancis; sesudah habis “tijdvak van den twijfel”[12] ini, maka datanglah sistem kerja paksa yang lebih kejam lagi, lebih mengungkung lagi, lebih memutuskan nafas lagi, – yakni sistem kerja paksa dari cultuurstelsel, yang sebagai cambuk jatuh diatas pundak dan belakangnya rakyat kami! Juga cultuurstelsel ini, Tuan-tuan Hakim, tidak usah kami beberkan panjang lebar kekejamannya; juga cultuurstelsel ini sudah diakui jahatnya oleh hampir setiap kaum yang mengalaminya dan oleh kaum terpelajar yang mempelajarinya riwayatnya.
Tetapi, juga tentang cultuurstelsel ini, yang bekas-bekasnya sampai hari ini belum juga hilang dan mempengaruhi susunan PNI itu (sebagai nanti akan kami uraikan), marilah kami ulangi satu dua pendapat ahli-ahli itu.
“Pemerasan penduduk, yang tiada batasnya lagi selain tahan tidaknya badannya, berjalan dengan tiada alangan apa-apa,” begitu kata Prof. Gonggrijp[13].
Dan di lain tempat pujangga ini menulis pula:
“Jadi sistem ini tidak hanya bersendikan paksaan; paksaan itu, di dalam dua puluh tahun pertama yang gelap dari jangka waktu yang dibicarakan di sini, lebih berat dari beban contingenten yang penagihannya terutama diserahkan kepada Kepala-kepala Bumiputra. Cultuurstelsel menjadi lebih berat oleh kegiatan Ambtenaar Eropa: ini berarti bertambah beratnya tekanan sistem itu dan berarti pula perbaikan teknis dan keuntungan besar.”
“Tidak ada tanaman yang begitu menjadi gangguan seperti nila[14].Tatkala nila ini akan dalam tahun 1830 dengan cara yang sembrono dimasukkan di tanah Priangan, maka tanaman itu sungguh-sungguh menjadi bencana bagi penduduk. Di dalam distrik Simpur di daerah itu, orang laki-laki dari beberapa desa dipaksa mengerjakan kebun-kebun nila, 7 bulan lamanya dengan tidak putus-putusnya, jauh dari rumahnya; dan selama itu mereka harus mencari makanannya sendiri. Tatkala mereka kembali ke rumahnya, didapatinya tanaman padinya sudah rusak. Selama lima bulan yang pertama dari tahun 1831, 5000 orang laki-laki dan 3000 kerbau dari distrik itu juga, dipaksa mengerjakan tanah untuk suatu pabrik yang telah didirikan. Sesudah pekerjaan itu selesai, batang-batang nila tidak ada. Dua bulan kemudian, sesudah alang-alang, rumput yang ditakuti itu, tumbuh di atas lapangan yang telah dikerjakan itu, baru diterima untuk mengolah sekali lagi ladang-ladang itu. Kerap kali terjadi bahwa perempuan-perempuan yang hamil melahirkan anak waktu bekerja keras”………
Dan Stokvis menceritakan:[15]
“Sampai-sampai tahun 1886 masih ada daerah-daerah, dimana si penanam kopi mendapat 4-5 sen sehari, sedang ia memerlukan 30 sen buat hidup. Di dalam perkebunan nila kerap kali dibayarkan f8[16] setahun… Di dalam perkebunan kopi ada pembayaran f4,50 setahun buat satu keluarga,jadi 90 sen buat satu orang…. ”Penulis (Vitalis) itu juga melihat di tanah Priangan orang-orang tersebut kelaparan seperti kerangka kurusnya terhuyung-huyung sepanjang jalan. Beberapa orang begitu letih, sehingga mereka tidak bisa makan makanan yang diberikan kepada mereka sebagai persekot; mereka meninggal….”
…”pengungsian penduduk banyak juga kejadian di perkebunan-perkebunan itu dan dengan cara besar-besaran. Inilah jalan satu-satunya untuk keluar dari kesengsaraan. “Pukulan dengan pentungan dan labrakan dengan cambuk terjadi sehari-hari dan di banyak ladang nila biasa saja orang melihat tiang-tiang untuk menyiksa orang.” “Di sini kita melihat suatu bangsa yang tidak secara undang-undang hidup dalam perbudakan tapi secara kenyataan. Ketakutan kepada para bangsawannya telah merasuk ke dalam jiwa mereka; para bangsawan itu belajar pula takut kepada kaum penjajah. Segala keberanian dan semangat  merdeka yang tadinya masih hidup dalam hati sanubari bangsa Jawa, kini hilang lenyap oleh laku Kompeni yang kasar dan kesalahan yang fatal dari Van den Bosch[17] ialah, bahwa ia menghisap lagi rakyat yang sudah rusak itu, penghisapan yang pada hakikatnya sama betul dengan sistem Kompeni. Malahan lebih jahat dan lebih salah lagi! Kompeni tidak harus memikul tanggungjawab dan tidak pernah mau memikul tanggungjawab itu, Kompeni berdagang dengan cara-cara orang dagang yang keras. Van den Bosch mewakili negara sendiri, negara induk, yang begitu banyak masih yang harus diperbaikinya. Segala cara yang membikin perhubungan jajahan lebih memuakkan lagi dari yang sudah menjadi sifatnya, telah dipergunakan olehnya dan oleh penggantinya-penggantinya. Memaksakan suatu cara produksi Barat, jadi suatu cara produksi yang lebih banyak syarat-syaratnya, kepada suatu masyarakat negeri panas yang hidup bertani, sudah merupakan suatu tekanan, tapi lebih berat lagi dukacita yang dibawa oleh nafsu kuasa si bangsa asing”…
Dua dalil lagi, Tuan-tuan Hakim, lantas kami tutup kami punya dalil-dalil berhubung dengan cultuurstelsel ini: dua dalil lagi dari Prof. Kielstra dan Prof. Veth:
“Di negeri Belanda orang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahwa di Hindia semua pengeluaran buat pengajaran, pekerjaan umum, polisi dan sebagainya itu, selalu dikecilkan sampai-minimum yang paling kecil, supaya “keuntungan bersih” bisa bertambah besar; dan, yang lebih jahat lagi, oleh paksaan yang dibebankan kepada mereka, penduduk begitu terhalang-alangi dalam memelihara sawah dan ladangnya sendiri, sehingga dalam beberapa daerah timbul kemiskinan dan kesengsaraan, bahaya kelaparan dan pengungsian[18], dan “bahkan buat mereka yang melihat dalam cultuurstelsel itu suatu kebaikan buat Jawa dan juga buat negeri Belanda; – buat Jawa oleh karena mengajar orang Jawa bekerja, buat negeri Belanda oleh karena kas negeri jadi berisi – , bahkan buat mereka saya kira kemunafikan yang menjadi alasan untu memasukkannya, mestinya menjijikkan,[19] begitulah kedua profesor itu menulis.
Tuan-tuan Hakim yang terhormat! Oost-Indische Compagnie mengcoar-ngacirkan rumah tangga Indonesia, cultuurstelsel mengoar-ngacirkan rumah tangga Indonesia. Tuan-tuan barangkali bisa juga lantas mempunyai pikiran: “Benar VOC dan cultuurstelsel jahat, benar VOC dan cultuurstelsel memasukkan rakyat Indonesia ke dalam kesengsaraan dan kehinaan, tetapi buat apa membongkar-bongkar hal-hal yang sudah kuno?”
Betul Tuan-tuan Hakim, kejahatan VOC dan kejahatan cultuurstelsel adalah kejahatan kuno, tetapi hati-nasional tak gampang melupakannya.
‘Ingatan orang kepada kelaliman yang dideritanya lama hilangnya; kelaliman yang orang lakukan, lekas lupa olehnya,”
Begitulah Sanders berkata. Lagi pula, sebagai tadi telah kami katakan, sebagai pula telah dikatakan oleh Prof. Snouck Hurgronje yang kami kutip tadi, – akibat-akibat VOC dan cultuurstelsel itu, naweeen[20] VOC dan cultuurstelsel itu, yang keduanya bersistem monopoli, sampai ini hari belum hilang, sampai ini hari masih terbayang dalam wujud susunan pergaulan hidup Indonesia, sehingga politik dan gerakan Partai Nasional Indonesia, sebagai nanti akan kami terangkan, terpengaru oleh karenanya!
Pada pertengahan abad ke-19 “kapitalisme-modern” yang bersendi kepada “bisnis liberal” dan “persaingan liberal”, di negeri Belanda mulai timbul. Toh……cultuurstelsel yang bersendi kepada “kerja paksa” dan yang terutama memberi untung kepada negara Belanda itu, yang telah begitu menggemukkan kantong kapitalis Belanda partikelir itu, cultuurstelsel itu tidak lekas-lekas dihapuskan. Bukan oleh karena negara Belanda tak mempedulikan kepentingan kaum pemodal partikelirnya, bukan oleh karena kepentingan negara itu lebih ditinggikan dari kepentingan borjuis, tetapi tak lain tak bukan ialah karena borjuis Belanda pada masa itu butuh pada cultuurstelsel itu sebagai pembayar segala yang perlu diadakan lebih dulu bagi suburnya kapitalisme di negeri Belanda sendiri! Henriette Roland Holst[21] di dalam bukunya “Kapital en Arbeid in Nederland” menuliskan seperti berikut:
“Perbuatan kaum borjuis disekitar tahun lima puluh[22] adalah praktis dan menunjukkan kesadaran kelas yang sehat, yakni perbuatan mereka tidak melemparkan cultuurstelsel ke sudut, sebelum mereka mengambil daripadanya segala yang bisa diambilnya…..Ada bahaya, bahwa orang-orang yang tidak sabar dan lekas mau maju, terlalau lekas mau memberikan orang Jawa berkah-berkah pekerjaan liberal dan menggantikan cultuurstelsel, warisan otokrasi itu, dengan inisiatif pertikelir. Tetapi mungkin beberapa orang berpendapat demikian, – borjuis pada umumnya mengetahui. Sebagai golongan, mereka itu terutama merasa berkepentingan dalam hal, pertama, pelunasan utang. Kedua, liberalisasi perdagangan dan perusahaan dengan mengurangi bea-bea dan pajak-pajak, yang hanya bisa terlaksana oleh yang tersebut dibawah! Ketiga, pembikinan jalan-jalan kereta-api dan jalan-jalan airm dengan tidak membebani rakyat dengan ongkos-ongkos yang besar, suatu hal yang tentu akan mengobarkan semangat konsevatisme pada orang-orang Belanda yang selalu hemat itu. Semua ini perlu, sebelum bisa dimulai eksploitasi pertikelir di Hindia, sebab kredit nasional, jalan-jalan kereta-api dan pelabuhan-pelabuhan di negeri Belanda, harus menjadi tumpuan eksploitasi itu. Semua hal yang baik-baik itu didapat dari keuntungan-keuntungan Hindia, jadi keuntungan-keuntungan Hindia buat sementara harus tetap ada.”[23]

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar