EKONOMI INDONESIA DI MASA MENDATANG [1]

Diposting oleh poentjak harapan on Jumat, 23 Maret 2012

       Saya terima palu pimpinan rapat ini dari Menteri Kemakmuran. Dan sebelum saya membuka rapat ini, izinkanlah saya melahirkan pandangan dengan sepatah kata tentang “Ekonomi Indonesia di masa datang”.
          Dalam saat yang sesingkat ini tentu tak dapat saya merancangkan susunan ekonomi Indonesia yang selengkapnya bagi masa datang. Hanya beberapa garis yang besar-besar saja dapat dikemukakan di sini. Dasar politik perekonomian Republik Indonesia terpancang dalam undang-undang dasar kita, dalam bab “Kesejahteraan Sosial”, pasal 33, yang begini bunyinya.
         (1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
        (2). Cabang-cabang yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
     (3). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
          Dasar-dasar inilah yang menjadi pokok pemandangan yang akan saya uraikan di muka rapat ini.
        Perekonomian sesuatu negeri pada umumnya ditentukan oleh tiga hal. Pertama, kekayaan tanahnya. Kedua, kedudukannya terhadap negeri lain dalam lingkungan internasional. Ketiga, sifat dan kecakapan rakyatnya serta cita-citanya.
         Terhadap Indonesia harus ditambah satu pasal lagi: yaitu sejarahnya sebagai tanah jajahan. Oleh karena Indonesia meringkuk dalam penjajahan Belanda, lebih dari tiga abad lamanya, maka keadaan perekonomiannya seluruhnya tidak sebagaimana mestinya menurut faktor-faktor yang tersebut di atas. Indonesia tanahnya kaya, menghasilkan bagi dunia luaran beratus juta saban tahun. Tetapi rakyat Indonesia sendiri hidup miskin dan sengsara di tengah-tengah kekayaannya yang melimpah.
         Kedudukannya di tengah-tengah jalan perhubungan di muka daratan besar Asia dan diapit pula oleh dua lautan besar, Lautan Hindia dan Lautan Teduh, sebetulnya memperkuat hubungan ekonominya dengan negeri-negeri di Asia Timur dan sekitar Pasifik. Tetapi penjajahan Belanda membelokkan perhubungan Indonesia ke Barat yang lebih jauh, dan dikungkung oleh kepentingan perekonomian Nederlan.
        Sebagai penduduk pulau-pulau yang tersusun di tengah-tengah jalan perhubungan pelayaran, sepatutnya orang Indonesia menjadi bangsa pelajar yang kuat bertindak dan kuat merantau. Memang begitu sifatnya di masa dahulu kala, sebelum orang Belanda datang menjajah. Tetapi penjajahan Belanda, yang bermula dengan menanam kekuasaan monopoli dalam segala rupa, memusnahkan segala aktivitas orang Indonesia. Rakyat Indonesia tertunda hidupnya ke desa, hidup dengan segala genap. Rakyat Indonesia kehilangan sifatnya yang sediakala. Hanya cita-cita untuk menjadi bangsa yang merdeka kembali berdasarkan segala bangsa, tetap ada padanya. Fiil tuan rumah yang baik hati dan halus budi tidak lenyap dari kebudayaan Indonesia.
        Ujud penjajahan Belanda tidak lain melainkan menjadikan Indonesia sebagai sumber keuntungan semata-mata. Dahulu sumber itu dikuasai dengan sistem monopoli. VOC dan cultuurstelsel. Sejak munculnya kapitalisme liberal sesudah tahun 1870 Indonesia dipandang semata-mata sebagai suatu onderneming besar, untuk menghasilkan barang-barang bagi pasar dunia. Dasar ekonominya ialah export-economie. Pasar di dalam negeri diabaikan semata-mata, sebab tidak mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
         Oleh karena Indonesia dipandang sebagai suatu onderneming besar, maka masyarakat Indonesia dipandang semata-mata sebagai daerah persediaan buruh yang murah. Soal menimbulkan tenaga pembeli rakyat dengan sendirinya tersingkir dari perhitungan. Ini kelanjutan dari sistem kapitalisme, yang mendasarkan perekonomian Indonesia kepada export-economie.
          Sistem ini memutar ujung jadi pangkal. Dasar tiap-tiap perekonomian ialah mencapai keperluan hidup rakyat. Mana yang tidak dapat dihasilkan sendiri, didatangkan dari luar negeri, diimpor. Barulah datang ekspor untuk pembayar impor tadi.
        Sebaliknya yang kita dapati di Indonesia, beratus tahun lamanya. Ekspor diutamakan, barulah datang impor sebagai tukaran ekspor tadi. Impor itu sebagian besar mengandung barang keperluan perusahaan-perusahaan besar dan orang-orang barat yang ada di sini. Keperluan rakyat yang diimpor terutama pakaian.  Oleh karena impor ini adalah bayaran ekspor sebagian, maka di Indonesia sampai waktu yang akhir tidak boleh diadakan pabrik kain.
        Kita tahu, bahwa politik export-economie itu kandas takkala kapitalisme liberal berangsur lenyap dan aliran “neo-mercantilisme” bertambah kuat. Tetapi segala perubahan hanya merugikan bagi Indonesia. Muslihat perekonomian yang dirancang oleh pemerintah Nederlan dengan semboyan “kerja bersama dalam perekonomian” antara Nederlan dan Indonesia sebagai daerah ekonomi industri negerinya.
        Demikianlah faktor-faktor yang harus menentukan perekonomian Indonesia, tidak bisa bekerja atas pengaruh penjajahan Belanda. Tetapi faktor-faktor itu masih ada; hanya faktor yang ketiga – yaitu kecakapan rakyat serta cita-citanya – yang lemah duduknya karena penindasan yang tiga abad lamanya. Manakala kita pandai memimpin kemauan rakyat yang meluap-luap di waktu sekarang untuk mengekalkan Indonesia merdeka, ke jalan pembangunan masyarakat yang teratur, kita pasti akan sanggup menghidupkan tenaga produktif rakyat, yang terpendam sekian lama dalam sejarah.
         Menurut arahnya, dasar perekonomian di masa datang akan semakin jauh dari dasar individualisme, dan semakin dekat kepada kolektivisme, yaitu sama sejahtera. Memang kolektivismelah yang sesuai dengan cita-cita hidup Indonesia. Sudah dari dahulu kala masyarakat Indonesia – seperti juga dengan masyarakat Asia lainnya – berdasar kepada kolektivisme itu, yang terkenal sebagai dasar tolong-menolong. Pun dalam hukum adat Indonesia tidak ada perpisahan yang tepat seperti dalam hukum Barat antara yang disebut publiek recht dan privaat recht. Berbagai hal yang disebut dalam hukum barat masuk bagian hukum prive, di Indonesia sering diurus oleh desa.
        Pembangunan ekonomi Indonesia sesudah perang haruslah didasarkan kepada cita-cita tolong-menolong itu. Sudah tentu pada tingkatan yang lebih tinggi dan lebih teratur, dengan mempergunakan hasil kemajuan teknik modern!
          Kalau diperhatikan benar-benar, ada tiga soal yang bersangkut dengan pembangunan perekonomian Indonesia yang kita hadapi sekarang.
1. Soal ideologi. Bagaimana mengadakan susunan ekonomi yang sesuai dengan cita-cita tolong-menolong?
2. Soal praktek. Politik perekonomian apakah yang praktis dan perlu dijalankan dengan segera di masa yang akan datang ini?
3. Soal koordinasi. Bagaimanakah mengatur pembangunan perekonomian Indonesia, supaya pembangunan itu sejalan dan bersambung dengan pembangunan di seluruh dunia?
        I. Dasar perekonomian yang sesuai dengan cita-cita tolong-menolong ialah kooperasi. Seluruh perekonomian rakyat harus berdasar kooperasi. Kooperasi mendahulukan keperluan bersama dan membelakangkan kepentingan orang-seorang. Seterusnya kooperasi mengandung dasar pendidikan kepada anggotanya bersama. Di atas bangunan-bangunan kooperasi itu diadakan pimpinan dari pemerintah, untuk mengkoordinir segala usaha produktif bagi keselamatan masyarakat.
           Kalau kita hendak membangunkan perekonomian rakyat di atas kooperasi, dari semulanya hendaknya terang bagi kita, daerah manakah dalam perekonomian yang boleh diselenggarakan oleh orang-seorang dan manakah yang harus diusahakan oleh badan-badan kolektif. Pada umumnya segala usaha yang hanya dapat dikerjakan bersama-sama oleh orang banyak, mestinya memakai bangun kooperasi. Jika tidak, tentu lambat laun timbul juga semangat kapitalisme dengan akibat pemerasan dan penindasan orang banyak yang lemah oleh satu golongan kecil yang cerdik dan bermodal.
        Tetapi tidak segala usaha harus dilakukan secara kooperasi. Usaha-usaha yang dapat dikerjakan oleh orang-seorang dengan tiada menguasai hidup orang banyak bolehlah terus dikerjakan oleh orang-seorang itu. Kecuali kalau kepentingannya sendiri menghendaki perikatan dalam satu badan dengan orang lain yang serupa persoalannya. Perusahaan kecil sebagai tukang membetulkan yang rusak, dagang kecil seperti kelontong yang masuk kampung keluar kampung memikul barang dagangannya, warung yang dikemudikan sendiri dengan bantuan keluarga saja, pada dasarnya dibolehkan berdiri sebagai usaha sendiri. Paksaan berkooperasi kepada perusahaan-perusahaan kecil yang tersebar letaknya tidak pada tempatnya, malahan melanggar dasar kooperasi. Oleh karena masyarakat Indonesia pusatnya di desa, maka bangunan kooperasi model baru hendaklah dimulai di desa pula. Tiap-tiap desa hendaknya merupakan satu susunan kooperasi! Kalau dasarnya sudah kokoh, maka susunan kooperasi ke atas bisa teratur baik.
             Berhubung dengan ini, timbul pertanyaan.
             Mungkinkah industri disusun sebagai kooperasi?
            Jawab saya mungkin, dan keterangan yang luas telah saya berikan dalam buku saya: Beberapa Fasal Ekonomi halaman 40 dan seterusnya.
         Bagi siapa yang sanggup melepaskan pandangan dari dasar individualisme dan liberalisme, soal mendirikan industri dengan bangun kooperasi tinggal lagi sebagai soal didikan dan bantuan pemerintah. Yang terutama bagi industri ialah pimpinan yang cakap, yang penuh rasa tanggung jawab. Kecakapan itu bergantung kepada orangnya, tidak kepada stelsel perekonomiannya. Apabila terdapat orang yang cakap memimpin, yang besar pula minatnya kepada kooperasi, maka kooperasi industri itu akan hidup dan maju jalannya. Malahan lebih baik jalannya daripada industri kapitalis biasa, oleh karena orang yang bekerja di dalamnya semuanya mempunyai perhatian kepada industrinya. Perusahaan itu mereka yang punya. Dalam bekerja kaum buruh adalah buruh, yang harus tunduk kepada disiplin bekerja. Tetapi di luar pekerjaan ia orang yang ikut mempunyai perusahaan tersebut.
          Yang susah untuk membangunkan industri secara kooperasi ialah perkara kapital. Kaum buruh yang akan serta jadi yang empunya tidak mempunyai modal. Dari mereka tidak dapat diharapkan kapital perusahaan. Dalam hal ini pemerintahlah yang harus memberi uang muka sebagai pinjaman, yang dapat diangsur berdikit-dikit oleh perusahaan tadi. Angsuran itu dapat dilakukan dengan modal yang didapat dari cicilan uang andil yang dibeli oleh kaum buruhnya dan dari keuntungan habis tahun. Pemerintah daerah sendiri pun bisa serta sebagian pada kapital kooperasi industri itu.
          Pendek kata, industri mungkin didasarkan kepada kooperasi, malahan lebih baik. Kesukaran yang dihadapi bukanlah soal dasar, soal prinsipil, malahan soal praktis, yaitu soal memperoleh kapital permulaan.
          Kalau diperhatikan, bahwa onderneming besar-besar itu sudah merupai masyarakat sendiri, beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidunya, maka tak pantas lagi buruk-baiknya diputuskan oleh beberapa orang partikulir saja, yang berpedoman kepada keuntungan semata-mata. Dalam hal ini pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur, dengan berpedoman kepada keselamatan masyarakat. Bangunan kooperasi dengan diawasi dan juga disertai oleh pemerintah adalah bangunan yang sebaik-baiknya bagi onderneming besar-besar. Semakin besar perusahaannya dan semakin banyak jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya ke sana, semangkin besar mestinya pesertaan pemerintah. Dengan sendirinya perusahaan besar-besar itu merupai bangunan kooperasi publik! Itu tidak berarti, bahwa pimpinannya harus bersifat birokrasi. Perusahaan dan birokrasi adalah dua hal yang bertentangan. Soal yang istimewa bagi Indonesia ialah soal milik tanah. Kalau masyarakat didasarkan kolektif, kembali pada sifatnya bermula, maka ada akibatnya terhadap milik orang-seorang yang sudah terjadi selama penjajahan Belanda.
           Indonesia adalah negeri agraria, oleh karena itu tanah adalah faktor produksi yang terutama. Buruk baik penghidupan rakyat bergantung kepada keadaan milik tanah. Sebab itu tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak. Dan sebab itu pula dalam perusahaan besar, yang berpengaruh atas penghidupan orang banyak, tanah itu tidak boleh miliknya orang-seorang, tetapi mestilah di bawah kekuasaan pemerintah. Hak milik orang-seorang atas tanah yang luas, yang diusahakan oleh orang banyak sebagai buruh saja, adalah pembawaan dasar individualisme, dan bertentangan dengan dasar perekonomian yang adil. Perusahaan semacam itu sebaik-baiknya diatur sebagai kooperasi di bawah penilikan pemerintah.
           Hal ini terutama mengenai kebun-kebun besar. Dalam hal ini barangkali ada sedikit kesukaran. Ini tidak bisa dibereskan dengan main sita saja, tetapi hendaklah diselesaikan menurut dasar yang fundamental. Hak milik bangsa asing atas kebun-kebun itu mengenai hak kapital. Yang akan mengusahakannya yang terbanyak adalah tenaga orang Indonesia. Kalau kita tidak mau lagi memakai dasar kapitalisme, maka dasar perusahaan kebun-kebun itu bisa diatur secara kooperasi dengan patokan istimewa. Usaha bersama antara kapital bangsa asing dengan tenaga Indonesia, di bawah penilikan pemerintah. Sebagian dari kapitalnya yang ada di tengah orang-orang asing hendaklah ditetapkan kembali besarnya, satu persatu. Banyak yang telah tandas, sebab itu harus diketahui berapa penghargaan tukarnya sekarang. Sebagian lagi dari kapitalnya adalah pembawaan dari buruh-buruh kebun itu sendiri, yang menjadi ahli kooperasinya. Kebun buruh yang akan menjadi peserta kooperasi, boleh mencicil uang pesertaannya berangsur-angsur dengan potongan upahnya. Pimpinan perusahaan kebun itu diletakkan di tangan orang-orang cakap, dengan tiada memandang bangsa. Yang dipentingkan ialah kesetiaannya kepada kooperasi dan pandainya bergaul sebagai saudara dengan buruh sekerja, serta rasa tanggung jawabnya kepada pemerintah dan masyarakat[1]
         Tentang hal milik tanah, tidak lagi menimbulkan kesukaran, jika soal-soal perusahaan kebun besar-besar dibereskan seperti tersebut. Pada dasarnya, menurut hukum adat Indonesia
         Demikian juga tentang perusahaan industri alat dan lain-lainnya kepunyaan bangsa asing. Bukan dengan jalan menyita dibereskan hal ini, melainkan diselesaikan manurut asas fundamental tadi.
            Yang asli, tanah adalah kepunyaan masyarakat. Orang seorang berhak memakainya sebanyak yang perlu baginya serta keluarganya. Hanya menjual ia tak boleh. Kalau tanah itu tidak dikerjakan lagi, ia jatuh kembali kepada masyarakat, lahirnya desa, dan desa itu boleh membagikannya kepada orang lain. Tanah yang dipakai oleh kebun besar-besar pada dasarnya kepunyaan masyarakat. Kooperasi yang tersebut di atas boleh memperusahakannya selama perlu baginya. Hanya memindahkan hak berusaha ia tak boleh. Perusahaan di atas tanah adalah kepunyaan kooperasi yang tersusun dari kapital asing dan kapital rakyat dan tenaga Indonesia. Tetapi tanahnya adalah milik masyarakat yang dipinjamkan kepada kooperasi tersebut.
              Nyatalah, bahwa tak ada soal yang sukar, jika dibereskan dari dasarnya.
         Sesuai dengan keterangan di atas tentang batas perusahaan kooperasi dan perusahaan orang-seorang, maka perusahaan di atas tanah yang tidak begitu luas dan dapat dikerjakan sendiri boleh menjadi kepunyaan orang-seorang. Orang-seorang menurut hukum adat Indonesia, boleh memakai tanah sebanyak yang perlu baginya serta keluarganya. Hak milik atas kebun yang diusahakan sendiri boleh tetap sebagai sekarang. Hanya, apabila yang empunya berkepentingan untuk menggabungkan dirinya ke dalam kooperasi, ia menjadi anggota kooperasi dengan tanahnya sebagai pembawaannya. Demikian juga sawah yang sudah menjadi milik sendiri, boleh tetap di tangan yang empunya. Kooperasi pertanian, yang menyusun seluruh orang tani di desa dalam satu badan kooperasi, tidak mengusik hak milik yang sudah ada itu.
         Apabila tanah dipandang sebagai faktor produksi yang terutama pemakaian tanah – selain daripada pekarangan tempat kediaman – hanya boleh sebagai faktor produksi pula. Tanah tidak boleh lagi menjadi obyek perniagaan, yang diperjual-belikan semata-mata untuk mencari keuntungan.
           Sekarang timbul lagi pertanyaan: bagaimana duduknya tanah kosong yang terletak di luar desa?
       Dahulu soal ini menimbulkan pertentangan yang hebat. Desa jugalah yang empunya tanah itu atau negarakah? Kalau tanah kosong itu jatuh jadi kepunyaan negara, maka negara berhak menyewakannya kepada barang siapa juga yang akan mempergunakannya. Inilah dasar teori yang terkenal sebagai domeinverklaring.
        Soal ini tidak penting lagi sekarang. Soal ini hanya tajam dalam stelsel individualisme, yang mengadakan pertentangan antara masyarakat dan negara dan orang seorang. Dalam tanah jajahan kedudukan negara tidak lain daripada penjaga keselamatan orang-orang bangsa yang menjajah.
            Dalam paham kolektivisme, tidak ada pertentangan antara masyarakat dengan negara. Negara adalah alat masyarakat untuk menyempurnakan keselamatan umum. Oleh karena tanah kepunyaan masyarakat, maka dengan sendirinya pemerintah menjadi juru kuasa yang mengurusnya dan mempergunakannya untuk keselamatan umum. Negara harus berusaha, supaya tanah kosong dan lainnya itu diusahakan menjadi sumber kemakmuran rakyat. Dalam hal ini negara dapat mendasarkan segala politiknya terhadap tanah sebagai faktor produksi yang terutama.
           Perusahaan tambang misalnya harus dijalankan sebagai usaha negara, sebab ia dikerjakan oleh orang banyak dan cara mengusahakannya mempunyai akibat terhadap kemakmuran rakyat. Dan tanahnya serta isinya negara yang empunya. Tetapi cara menjalankan eksploatasi itu bisa diserahkan kepada badan yang bertanggung jawab kepada pemerintah, menurut peraturan yang ditetapkan. Ini terjadi, apabila usaha negara sendiri, karena berbagai hal, tidak dapat dilangsungkan.
           Selanjutnya, segala perusahaan penting, yang menjadi pokok atau kunci hidup bagi perusahaan lain, harus menjadi usaha negara. Misalnya kereta api, industri pembangun tenaga (listrik dan lain-lain) industri bahan penting, serta industri yang mengusahakan pokok penghidupan rakyat, sebagai penggilingan dan lain-lain.

        II. Politik Perekonomian yang praktis dan perlu dijalankan di masa datang untuk menimbulkan kemakmuran rakyat ialah membarui tenaga produktif. Pekerjaan ini berat dan sukar, tetapi wajib didahulukan dari segala-galanya. Karena pembaruan tenaga produktif itulah dasar pembangunan ekonomi Indonesia.
         Kerja ini berat dan sukar, karena tenaga produktif rakyat selama kekuasaan Jepang banyak terpakai dan banyak yang tandas. Rakyat di bawah perintah Jepang banyak sekali mengeluarkan tenaga yang luar biasa, dan pula sangat menderita segala rupa, sehingga tubuhnya sangat lemah. Rakyat negeri lain juga menderita selama perang, akan tetapi penderitaan yang serupa dirasakan lebih berat oleh rakyat Indonesia. Sebabnya karena sebelum perang rakyat Indonesia tidak mempunyai cadangan tenaga. Berabad-abad lamanya ia ditindas dan diperas dengan berbagai jalan. Sistem penghasilan paksa oleh VOC, cultuurstelsel oleh pemerintah Hindia Belanda yang berlaku sebagai saudagar monopoli, dan akhirnya tenaganya dihisap oleh kapitalisme liberal sampai sehabis-habisnya. Dalam keadaan tenaga yang begitu lemah, rakyat Indonesia dipaksa bekerja sehabis-habisnya oleh pemerintah militer Jepang untuk membangunkan berbagai usaha pertahanan negeri serta melipat-gandakan hasil bumi. Karena itu berpuluh ribu yang tewas dalam pekerjaan dan dalam penderitaan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah Indonesia. Berjuta-juta yang mati kelaparan, yang sekarang merupakan tenaga produktif yang hilang sama sekali.
          Betapa sukarnya membangunkan kembali tenaga produktif rakyat. Yang telah berabad-abad lamanya dimusnahkan, dinyatakan seterang-terangnya oleh Alfred Marshall dalam bukunya Principles of Economics bab VI. Tenaga manusia yang terlalu diperas, katanya, melahirkan turunan yang semangkin lemah. Akibat pemerasan tenaga itu bersifat kumulatif, yaitu berganda. Kerusakan yang ditimbulkan dalam satu turunan masyarakat melemahkan masyarakat itu sampai beberapa turunan. Dan pembaruan tenaga masyarakat itu tidak dapat ditimbulkan dalam satu turunan, melainkan hanya dapat dicapai dengan berangsur-angsur dalam beberapa turunan. Merusak tenaga dan moral manusia mudah. Tetapi menimbulkan perbaikan adalah sukar dan lama.
        Tetapi betapa juga berat dan sukar pekerjaan membarui tenaga produktif yang rusak dan tandas, ia harus dikerjakan menurut plan yang teratur.
     Yang pertama sekali harus dikerjakan ialah menyempurnakan makanan rakyat serta dengan mencocokkan upah dengan keperluan hidup yang lebih atas dari dasar minimum. Dasar penghidupan mesti dipertinggi dan tenaga pembeli rakyat mesti ditimbulkan. Karena itulah sendi yang pertama untuk membangunkan kemakmuran.
        Sejalan dengan itu harus diperbaiki kesehatan rakyat dengan ongkos apa pun juga. Di masa yang lalu kesehatan rakyat tidak terpelihara sama sekali. Sudahlah miskin hidupnya dan kurang makanannya senantiasa, kesehatannya pun diabaikan. Sebab itu, usaha menjaga dan memperbaiki kesehatan rakyat mesti diutamakan.
        Sebenarnya pasal makanan dan kesehatan tidak dapat dipisah dalam hal membarui tenaga produktif rakyat. Kesehatan tidak akan tercapai, kalau rakyat kurang makan.
        Satu pasal yang terpenting dalam hal memperbaiki kesehatan rakyat ialah soal tempat kediaman. Tempat kediaman tidak saja mengenai soal kesehatan, tetapi besar sekali pengaruhnya atas jiwa manusia. Hidup dalam segala primitif memperkuat semangat menerima, dan menahan segala aktivitas. Sebab itu, kalau kita hendak membangunkan rasa percaya akan diri dan kesanggupan sendiri, kita harus merobohkan pondok-pondok yang lebih merupai kandang sapi daripada merupai tempat kediaman manusia. Bakar habis-habis semuanya, hingga mati kuman-kuman penyakit yang bersarang di dalamnya dan hilang semangat primitif yang tersimpan di dalamnya, yang menjadi pupuk semangat menerima. Di atas pembakaran itu didirikan dengan jalan kerja sama, tolong-menolong, bangunan baru yang berlainan sekali dengan yang lama, dan sebab itu menimbulkan pengharapan akan masa datang dan akan kesanggupan manusia memperbaiki hidupnya.
        Usaha membarui tempat kediaman menjadi tempat hidup yang bersinar bagi seluruh rakyat adalah usaha yang berat sekali dan tidak sedikit ongkosnya. Berjuta-juta rumah yang harus dirombak atau dibakar dan diganti dengan yang baru yang mengandung di dalamnya benih kesenangan. Dalam rumah Indonesia mestilah ada tertanam dasar untuk menghargai kebudayaan. Membangunkan berjuta-juta rumah semacam itu tidak sedikit ongkosnya dan memakai tempo yang lama. Tetapi juga berat kerjanya, mestilah dikerjakan dan dapat dikerjakan dengan plan yang teratur. Usaha ini tidak dapat diserahkan kepada orang partikulir yang berpedoman dengan keuntungan, tetapi mestilah usaha negara dengan bagian-bagiannya. Dengan secara begitu dapat diharapkan dapat diharapkan di desa pekerjaan rakyat dengan cara tolong-menolong. Untuk belanja kapitalnya ada baiknya jika didirikan oleh negeri atau bagiannya di tiap-tiap keresidenan suatu Bank Industri Rumah. Bank ini memberi uang muka, yang dapat diangsur dari sedikit ke sedikit oleh rakyat yang tertolong dengan rumah baru. Pada hakikatnya ongkos sebuah rumah di desa tidak begitu besar, oleh karena kerjanya dilakukan secara tolong-menolong.
             Pasal yang perlu dan praktis pula dalam politik perekonomian ialah memajukan pendidikan dengan secepat-cepatnya. Bukan saja memperbanyak sekolah untuk menambah kecerdasan rakyat, akan tetapi juga mementingkan didikan kooperasi. Kooperasi tiang perekonomian Indonesia di masa datang. Oleh karena itu didikan dan latihan pemimpinnya mesti diperhebat. Tiap-tiap desa mesti mempunyai beberapa pemimpin dan pengurus kooperasi yang cakap, barulah subur hidup kooperasi seluruhnya.
          Untuk mencapai maksud itu, hendaklah ditiap-tiap ibu kota kabupaten diadakan kursus latihan pemimpin kooperasi. Dan untuk mengadakan pusat latihan yang begitu banyak, perlu dilatih lebih dahulu guru-guru yang akan menjadi pelatih di tiap-tiap kabupaten. Latihan guru kooperasi itu dapat diselenggarakan Jakarta.
           Politik perekonomian yang positif menuju kemakmuran rakyat ialah mengadakan secara besar-besaran transmigrasi, yaitu pemindahan penduduk dari tanah Jawa ke tanah seberang, yang disertai sekali dengan politik industrialisasi. Transmigrasi gunanya untuk mengadakan koreksi dalam hal persebaran penduduk. Persebaran penduduk yang sangat timpang seperti sekarang ini – sebagai akibat dari politik kolonial Belanda – menjadi halangan besar untuk memajukan industrialisasi sebagai politik kemakmuran bagi rakyat. Dengan penduduk yang terlalu rapat, yaitu 360 orang per km persegi, yang tidak mempunyai tenaga pembeli tidak dapat dibangunkan di Jawa berbagai macam industri yang akan menjadi tiang kemakmuran rakyat. Tanah seberang penduduknya terlalu jarang, yaitu, 12 orang per km persegi, sehingga tak mungkin diadakan industri di sana. Sebab itu diadakan lebih dahulu perbaikan dalam hal persebaran penduduk, dengan jalan transmigrasi besar-besaran.
          Disebut secara besar-besaran, sebab penduduk yang dipindahkan itu mestilah dipindahkan secara masyarakat kecil yang lengkap susunannya, dan diperlengkapi pula dengan alat kerja yang modern. Jadinya bukan memindahkan orang banyak sebagai orang-seorang. Bangun pemindahan itu ialah kooperasi atau – barangkali lebih benar – korporasi. Mereka yang dipindahkan itu mestilah dapat bekerja dengan serentak, setelah mereka sampai di tempat yang dituju. Di antara mereka ada yang membabat hutan. Yang lain membikin sawah dan ladang pada tempat yang dibuka itu. Yang lainlagi mengerjakan pertukangan berbagai rupa, misalnya membuat papan dari kayu yang ditebang, membuat perkakas rumah lain-lainnya. Satu golongan lagi kerjanya tak lain daripada memperbuat rumah bagi semuanya. Demikianlah seterusnya. Pembagian diatur dengan sebaik-baiknya dalam pemboyongan yang bersifat kooperatif itu.
Nyatalah, bahwa pemindahan penduduk dengan secara besar-besaran itu hanya dapat dilakukan dengan bantuan tenaga teknik yang sempurna. Alat kerja yang modern mesti lengkap, istimewa pada permulaannya. Apa lagi karena mereka yang membuka jalan pertama itu sangat berat perjuangannya dengan alam yang masih buas.


[1] . Demikian juga tentang perusahaan industri alat dan lain-lainnya kepunyaan bangsa asing. Bukan dengan jalan menyita dibereskan hal ini, melainkan diselesaikan manurut asas fundamental tadi.


        Pidato ini diucapkan pada Pembukaan Konferensi Ekonomi di Yogyakarta, 3 Februari 1946, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun.
               Sumber: Inti Idayu Press, 1971, Hal. 139 – 156

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar